RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 09
(Tien Kumalasari)
Sanusi dan Alvin saling pandang. Apa itu suara manusia? Jangan-jangan suara siluman perempuan bernama Kenanga atau Widuri, yang akan kembali menjebaknya.
“Adakah orang di situ?”
Suara itu kembali menyapa.
“Kamu siapa?” tanya Sanusi yang kemudian merasa bahwa pertanyaannya jadi aneh. Kalaupun dia menjawab siapa, apa dia mengenalnya? Maksud pertanyaan sebenarnya adalah … kamu siluman atau manusia? Tapi kalau siluman, masa muncul saat malam sudah pergi?
“Aku penduduk dusun di bawah, sedang mencari daun-daun obat.”
Jawaban itu membuat Sanusi dan Alvin merasa lega.
“Aku terjebak di dalam sini, apa kamu bisa menolong?”
“Mengapa kamu masuk ke situ? Kamu ingin mencuri harta karun?”
“Apa? Kami berlima, terjebak tidak bisa keluar..”
“Orang yang berani masuk ke situ biasanya ingin mencuri harta karun yang tersimpan di situ, tapi tak ada yang bisa keluar hidup-hidup. Itu balasan manusia serakah.”
“Kami sebelumnya tidak tahu ada harta karun di dalam sini, kami orang tersesat.”
“Tersesat? Bagaimana bisa tersesat? Tak ada jalan masuk kecuali memang berniat masuk.”
Sanusi dan Alvin merasa kesal. Perempuan desa itu menuduh yang bukan-bukan, keterangan yang dikatakannya seperti tak dipercayainya.
“Mohon jangan bicara sembarangan. Kami bukan orang seperti itu,” kata Alvin berusaha sabar, karena bukankah kalau bisa mereka ingin meminta tolong?
“Tolonglah. Di sini kami hanya berdua, sedangkan tiga orang lainnya diujung sebelah sana, jauh. Kami terperosok ke dalam lobang ketika lari dari kekuatan siluman, setelah terperosok, lobang itu kemudian tertutup batu. Kami kelaparan dan kehausan, terpisah dengan tiga orang teman kami.”
“Ujung dari goa ini ada di bukit Senyap, itu bukit para siluman.”
“Ini bukan bagian dari bukit Senyap?”
“Ini bukit yang lain. Ceritanya panjang, tapi saya ingin menolong kalian, lebih dulu aku mau memberikan air ini, terimalah.”
Wanita itu mengulungkan sebuah botol besar berisi air. Tepatnya meluncurkan kebawah. Mereka ragu untuk meminumnya. Jangan-jangan isinya racun, atau jampi-jampi atau apalah, pokoknya dengan niat buruk.
“Kalian mencurigai aku memberikan racun? Ya sudah, terserah kalian kalau ingin mati di situ.”
Sanusi dan Alvin terdiam. Mereka minum air itu atau tidak, toh hasilnya akan sama. Seandainya mereka mati karena minum air beracun, apa bedanya dengan tidak bisa keluar dari situ? Mati juga kan? Karenanya setelah saling pandang, mereka meneguk air itu bergantian, masing-masing separuh.
Badan mereka terasa lebih nyaman. Mereka menyesal telah menuduh perempuan itu punya niat buruk.
“Kalau kalian lapar, aku juga bawa bekal, kalian makanlah,” lalu perempuan itu menurunkan sebungkus plastik melalui lobang itu, yang kemudian diterima dengan rasa terima kasih.
Makanan itu tidak banyak, karena hanya bekal perempuan itu, tapi lumayan bisa mengisi perut mereka yang kosong sejak kemarin.
“Ini ada lagi,” terdengar suara perempuan itu, yang kemudian menjatuhkan beberapa butir pisang ke bawah. Keduanya makan dengan lahap. Tapi tiba-tiba Alvin merasa sedih.
“Bagaimana dengan tiga orang teman kita yang lain?”
Lalu keduanya terdiam dalam kesedihan.
“Kita bisa makan, bagaimana dengan mereka? Lalu setelah kita kenyang, bagaimana bisa keluar dari tempat ini?” kata Sanusi sedih.
“Hei, kalian ingin keluar dari sini atau tidak?”
Keduanya terkejut. Rupanya perempuan itu masih ada di atas mereka.
“Bagaimana menemukan jalan keluar?” teriak Sanusi.
“Diujung jalan ini ada jalan menanjak, agak jauh, tapi tidak langsung bisa keluar, karena terhambat oleh sungai yang dalam, sumber air sungai itu datangnya dari atas sini.”
“Sungai? Air? Apakah suara menetes itu datangnya dari sana?” kata Alvin.
“Mungkin ada tempat yang bisa dilalui tetesan air, tapi di mana?”
“Ya sudah, berusahalah, semoga berhasil. Aku akan menunggu kalian di sungai itu.”
Lalu terdengar langkah menjauh.
“Keterangannya tidak jelas. Jalan menanjak?” Mana ada jalan menanjak? Ketika memasuki ruangan ini, ada seperti tangga, menanjak. Jalan mana yang dimaksud perempuan itu?”
“Aku juga melewati jalan menanjak sebelum masuk kemari, mari kita mencarinya lagi.”
***
Sementara itu Sarman, Rasto dan Hasto menunggu kedua temannya dengan harap-harap cemas. Kebetulan mereka tidak seberani Sanusi maupun Alvin, jadi hanya duduk menunggu. Tapi karena tak tahan, mereka bertiga beranjak dari sana bersama-sama. Suasana di dalam agak lebih terang, karena seperti Sanusi dan Alvin, mereka melihat ada celah batu di atas mereka. Hal itu membuat mereka sedikit lega. Ketika mereka lebih mendekati celah itu.. mereka mendengar denting-denting air menetes lagi lebih jelas.
“Dari celah itu, apakah kita bisa keluar?”
Mereka mendongak ke atas,
Ruangan itu sangat luas, dan suasana masih sedikit remang. Tiba-tiba Hasto kembali berteriak.
“Aaapp… pa… ini?”
Keduanya menoleh ke arah Hasto yang berjalan di depan, ada lagi kerangka manusia, tidak hanya satu, ada tiga..
Dengan gemetar Hasto berjalan menyingkir, diikuti oleh kedua temannya.
“Mengapa banyak … tulang … tulang … manusia?”
“Mungkin mereka sama seperti kita, terjebak dan tak bisa keluar, akhirnya mati,” kata Rasto enteng, membuat bulu kuduk teman-temannya merinding.
“Berarti … kita akan mati … di … sini?” Sarman mulai gemetar.
“Kita sudah lemas, apakah lama-lama tidak mati?”
“Kalau tidak bisa keluar, lalu haus dan lapar… ke mana lagi kalau tidak mati?”
“Aku tidak mau mati, ayo kita cari jalan keluar. Teruslah berdoa,” kata Rasto.
Suara denting air menetes itu terdengar semakin jelas. Tapi tidak tahu asalnya dari mana. Tiba-tiba Rasto berteriak.
“Denting-denting air itu asalnya dari sini,” kata Rasto sambil menepuk-nepuk dinding di sampingnya.
Dua orang temannya mendekat, menajamkan pendengarannya.
"Benar, dari sebelah, bagaimana masuknya? Kalau bisa masuk lumayan, kita bisa sekedar minum."
Ketiganya mencari-cari dengan meraba-raba. Tiba-tiba Hasto memegang sesuatu yang bisa berputar.
“Apa ini?” teriaknya.
Yang lain ikutan meraba. Rasto menggoyang-goyangkannya. Tak ada apa-apa.
“Coba diputar,” kata Hasto.
Sarman memutarnya, dan suara gemuruh terdengar, sebuah batu besar bergeser.
“Kita bisa masuk,” kata ketiganya yang langsung melompat masuk. Tapi tiba-tiba batu itu bergeser menutup kembali.
“Waduh, kita terkunci di sini,” kata Hasto.
Tapi mereka lebih tertarik ketika melihat sebuah kolam di sudut ruangan. Di atas kolam itu air menetes-netes dari atas. Bukan hanya satu tempat, tapi beberapa tempat di sekelilingnya.
“O, dari sini … “
Mereka berhamburan mendekat. Air di kolam itu begitu jernih. Mereka meraupnya tanpa ragu, dan meminumnya sepuas hati, sampai membuat mereka terengah-engah.
“Semoga tidak beracun.”
“Syukurlah, biarpun hanya air, tapi membuat kita hidup. Tidak beracun kok, kita tidak merasakan apa-apa kan?”
“Kita malah merasa segar.”
“Tapi aku heran, air itu tak berhenti menetes, mengapa kolam ini tak menjadi penuh, atau bahkan meluber ke sekelilingnya?”
“Iya benar, harusnya semakin penuh karena terus di isi, dan tetesan ini tidak berhenti.”
“Hanya ada satu ke mungkinan. Kolam ini mengalir keluar.”
“Berarti ada aliran keluar? Hei, apa yang kalian pikirkan?”
“Kita cari di mana letak salurannya, kita ikuti, sehingga kita bisa keluar.”
Ketiganya saling pandang. Kemungkinan itu ada, tapi di mana letak lobang salurannya?
“Biar aku mencarinya,” kata Sarman.
“Kita bersama-sama saja.”
“Baiklah, hati-hati. Berdoa dulu sebelum masuk.”
Lalu ketiganya masuk ke dalam kolam. Tidak begitu dalam, hanya sebatas perut mereka. Dimana ada saluran keluarnya ya?’
Lalu mereka menemukan sesuatu, bahwa kolam itu bukan hanya berasal dari tetesan air, tapi dari sebuah lobang yang lain.
“Air itu masuk dari sini. Aneh. Deras alirannya,” teriak Sarman.
“Ini ada lobang yang mengalirkan air keluar, tapi kecil, hanya tanganku yang bisa masuk,” teriak Hasto.
“Pasti ada saluran keluar yang lebih besar. Air itu dari sini dan deras, kalau keluar melalui saluran kecil, lama-lama akan meluap airnya.”
“Benar, jadi pasti ada saluran lain yang lebih besar.”
“Bagaimana kalau kita masuk melalui saluran yang masuk kemari?”
“Melawan arus?”
“Lebih baik mengikuti saluran yang keluar, itu lebin ringan.”
“Semoga napas kita panjang, seandainya saluran itu panjang.”
Tiba-tiba Sarman menemukannya.
“Air keluar dari sini, lihatlah.”
Mereka melihat air mengalir deras dari satu tempat.
“Ini lebar, seukuran manusia. Lebih lebar malah.”
“Kalau begitu ayo kita ikuti saja.”
”Bersiap kalian? Berenang mengikuti arus, tapi harus menahan napas, entah sampai berapa lama.”
“Apa boleh buat. Kalau memang kita harus mati karena kehabisan napas, apa bedanya kita harus mati di sini karena kelaparan?”
“Ayo berdoa dan mulai masuk ya.”
"Kalau aku mati dan kalian bisa pulang ke rumah, sampaikam maafku pada kedua orang tuaku ya," kata Hasto menahan tangis.
"Demikian juga aku," kata yang lain, yang kemudian saling berangkulan dan bertangisan.
Akhirnya setelah berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan mereka, satu persatu mereka memasuki saluran air itu.
***
Entah berapa lama mereka menyusuri aliran pada saluran air itu. Dan tanpa diduga mereka tiba dan terjun ke dalam sungai, yang merupakan pertemuan bukan dari satu tempat. Mereka terengah engah, lalu dengan heran mereka merasa ada yang menariknya satu persatu ke arah tepi.
Mereka terbaring lemas, tapi matanya bisa menatap penolongnya.
“Kkamu … manusia?” tanya Sarman terengah.
“Aku manusia seperti kamu, aku dari dusun di bawah itu, namaku Kenanga.”
Ketiganya lemas dan jatuh pingsan.
***
Besok lagi ya.
ππ²ππ²ππ²ππ²
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eRKaDeBe_09
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai π¦πΉ
ππ²ππ²ππ²ππ²
Alhamdulillah eRKaDeBe_09 sdh tayang....
ReplyDeleteMohon maaf Dhe, belum ke Babar Layar.... Sesuk nggih Dhe.
Matur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 09 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda dan pak Tom selalu sehat
Terima ksih bundaqu cerbungnya..slmt mlm dan slm istrhat..salam seroja dan aduhaaii unknbunda sekeluarga ππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillaah matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua & bahagia ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteKok ada Kenanga lagi,,,
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 09" sampun tayang,
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~09 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Ealah....ketemu Kenanga lagi....ttp semoga Kenanga yg ini beneran manusia....hehe.
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien, semoga bukan kenanga siluman, salam sehat,bahagia dan semangat berkarya cerbung selanjutnya,...ππ
ReplyDeleteTerima kasih, ibu ceritanya sudah tayang. Yang 3 sudah berhasil menyelamatkan diri. Gimana dengan nasip, alfin dan sanusi? Apa berhasil selamat juga?
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....09...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Slamet...3 X....!! Hasto, Rasto dan Sarman...sdh keluar terlebih dahulu, tapi yang menolong di luar gua adalah Kenanga...jadi pingsan mereka...ππ
Aduh, Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteWalah, malah pingsan gegara nama Kenanga, wkwk...ππ
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...ceritanya makin seru dan menarik. Sehat selalu ya...ππ»