JANGAN PERGI 39
(Tien Kumalasari)
Dian menatap Dewi tak berkedip. Meyakinkan apa yang
didengarnya, apakah benar, atau salah. Dewi tersenyum ke arahnya.
“Mengapa menatap aku seperti itu?”
“Kamu bicara apa? Kamu sadar apa yang kamu katakan?”
“Tentu saja aku sadar.”
“Coba ulangi.”
“Aku ingin, kamu juga menikahi Listi.”
“Ini gila! Tidak mungkin aku melakukannya.”
“Tolong ingatlah. Listi pasti sangat menderita. Bekas
pacarnya, mencintai adiknya. Bekas suaminya, mencintai wanita lain beranak
satu.”
“Lalu kenapa? Hanya bekas dan bekas. Bukan berarti
menyengsarakan dia kan? Bukan berarti aku membuat dia menderita kan?”
“Tapi dia pasti menderita.”
“Pasti?”
“Pasti. Kamu ingat ketika dia mendatangi bu Ratri di
rumah makan. Dia marah karena bu Ratri dekat dengan bekas pacarnya. Lalu
mengamuk di sekolah, mengira aku merebut kamu darinya. Itu berarti, jauh
dilubuk hatinya, dia masih mengharapkan cinta mas Dian.”
“Dan mengharapkan cinta mas Radit juga, karena dia
pernah marah-marah pula sama Ratri?”
“Kamu tidak mengerti, bagaimana seorang wanita.”
“Tentu, aku tidak mengerti apa yang kamu inginkan.
Banyak wanita tak mau dimadu, tapi kamu menginginkannya. Kamu belum merasakan,
bagaimana rasanya diduakan? Banyak cerita tentang kejadian seperti itu. Banyak
sekali cerita, rumah tangga rusak karena tidak seorangpun mau dimadu. Apa lagi? Kamu ingin
mencobanya? Lalu kalau hati kamu sakit, aku yang akan kamu salahkan?”
“Tidak, bukan begitu.”
“Lalu apa?”
“Aku sungguh kasihan sama Listi.”
“Apa dia minta dikasihani?”
“Tidak. Aku yang merasa kasihan.”
“Omong kosong apa itu.”
“Mas, aku serius”
“Aku tidak mau dengar.”
“Aku akan bicara sama dia.”
“Apa? Bicara sama Listi? Melamarkan dia untuk aku?
Begitu?”
“Lebih kurangnya ‘ya’.”
“Aku tidak mau.”
“Tidak mau? Mas tidak mau memenuhi permintaan aku?”
“Mintalah bulan turun ke bumi, mintalah bintang jatuh
dari langit, aku bisa mengerti, karena itu kan hanya lagu atau puisi. Tapi
minta dimadu? Itu adanya hanya dalam dongeng.”
Dewi merengut.
“Dengar ya, jangan sekali lagi kamu ulangi kata-kata
kamu itu. Aku tidak mau dengar, apalagi melakukannya. Aku bukan orang yang bisa
berbagi cinta. Cintaku hanya untuk satu, dan tidak untuk yang lain.
“Tapi aku …”
“Arinaaa … sudah mainnya ya, ayo kita pulang,” kata
Dian sambil berdiri, mendekati Arina yang asyik bermain bersama teman
sebayanya.
Dewi mengikuti Dian. Ia merasa, memang dia salah, tapi
sungguh dia merasa kasihan mengingat Listi. Dia mengira sebenarnya Listi masih
mencintai Dian.
“Aku akan bicara padanya,” gumam Dewi sambil mengikuti
Dian yang sudah menggendong Arina menuju keluar dari arena bermain itu.
***
Tak ada yang bicara di sepanjang perjalanan pulang,
hanya celoteh Arina yang kadang terdengar, dan membuat keduanya tersenyum,
sampai kemudian Arina tertidur kelelahan.
Hari memang sudah malam, tak sepantasnya Dian berada
lebih lama di rumah Dewi, setelah mereka sampai. Dian menggendong Arina yang
sudah terlelap, menidurkannya ke dalam kamarnya, kemudian dia pamit untuk
pulang.
“Besok aku kembali ke Jakarta, pagi,” katanya sebelum
masuk ke dalam mobilnya.”
“Selamat jalan, hati-hati.”
“Kepulangan aku yang berikutnya, adalah untuk melamar
kamu, lalu dua bulan berikutnya, kita menikah. Tapi ingat, hanya kamu yang aku
nikahi.”
“Mas _”
“Titik!” potong Dian yang segera masuk ke dalam mobil,
menstarternya, kemudian membawanya keluar.
Dewi menghela napas. Lalu masuk ke dalam rumah sambil
menimbang-nimbang. Benarkah dia tidak akan bisa menjalaninya? Kalau saling
mengerti diantara dirinya dan Listi, pasti rumah tangga itu akan tenang dan
aman-aman saja.
Dewi tidak pernah berpikir, namanya manusia pasti
punya rasa iri, dengki. Dan kalau itu timbul? Ketenangan mana yang bisa
tercipta?
Sedangkan Dian merasa sangat kesal dengan permintaan
Dewi. Malam sebelum tidur dia menelpon Ratri.
“Ya Dian, aduh … ada apa ini?”
“Kamu masih di rumah sakit?”
“Ya enggak lah, aku pulang setelah bu Listyo kembali
ke rumah sakit. Tadinya dia pulang untuk sekedar beristirahat. Sekarang aku di rumah mbak Listi.”
“Listi ada di dekat kamu?”
“Tidak, aku tidur di kamar sendiri bersama ibu Cipto.
Listi di kamar lain bersama ibuku.”
“Aku nggak bisa tidur nih.”
“Ada apa? Bu Dewi marah gara-gara kamu datang ke
sorean?”
“Tidak, bukan itu.”
“Lalu apa?”
“Aku bilang bahwa aku akan segera melamarnya, tapi dia
punya permintaan aneh.”
“Apa? Minta seserahan yang mahal?”
“Lebih dari itu.”
“Apa maksudnya? Jauh lebih mahal? Berlian satu ton?”
canda Ratri.
“Tidak. Dia minta aku juga menikahi Listi.”
“Apa?”
“Ini sungguh gila, dan dia tampak bersungguh-sungguh.”
“Tidak bisa begitu. Mbak Listi sudah memutuskan untuk
tidak akan menikah lagi.”
“Benarkah?”
“Iya, dia serius mengatakannya.”
“Kenapa? Dia masih muda dan cantik.”
“Dia sudah divonis tidak akan bisa punya anak, setelah
keseringan menggugurkan kandungan.”
“Ya ampun, separah itu?”
“Jangan memikirkan hal itu. Mbak Listi sangat kuat,
dia bisa menjalaninya. Janganlah terganggu dengan masalah itu. Aku akan bicara
sama bu Dewi.
“Baiklah, aku prihatin mendengarnya. Menyesali mengapa
dulu dia melakukannya.”
Setelah menutup pembicaraan itu, Dian justru merasa
kasihan pada Listi. Tidak akan bisa mengandung lagi? Aduhai …
***
Saat bangun pagi hari, Radit mencari-cari, tapi yang
dicari tidak ada.
Ia melihat ibunya tidur di sofa, dan bibi diatas
karpet, dibawahnya.
Seorang perawat datang memeriksa infus yang masih
tergantung dan nyaris habis, lalu menggantikannya dengan yang baru. Lalu tak
lama seorang perawat pria membersihkan tubuhnya dan menggantinya dengan pakaian
bersih.
“Bisa tidur nyenyak semalam, dok?” tanya perawat itu.
“Lumayan,” jawab Radit singkat.
Bu Listyo tampak menggeliat, melihat ke arah Radit
yang sudah berganti pakaian. Di meja, tampak sebaki bubur dan lauknya, serta
segelas susu.
Bu Listyo mendekat.
“Mau makan sekarang?”
“Mana Ratri?”
“Radit, Ratri kan harus bekerja. Semalam ibu suruh dia
pulang setelah ibu datang. Kasihan, dia kan capek.”
“Ibu tidak berkata kasar kan?”
“Radit, mengapa kamu berkata begitu?”
“Radit khawatir, Ratri tidak mau mendekati Radit
lagi.”
“Dia bilang, sepulang dari bekerja akan datang kemari.
Kamu jangan seperti anak kecil dong Dit.”
“Radit takut kehilangan dia. Kalau dia pergi, lebih
baik_”
“Hentikan, bicaralah yang baik-baik.”
“Beri restu untuk hubungan kami Bu, kalau tidak, Ratri
tidak mau sama Radit.”
“Makanlah dulu.”
“Katakan dulu, ibu bersedia. Kalau tidak aku tidak mau
makan.”
“Radit ….”
Radit menutup matanya, lalu membalikkan tubuhnya
membelakangi ibunya. Ia sudah melihat ibunya bersikap baik pada Ratri, tapi
Radit belum yakin ibunya akan merestui hubungannya.
“Apakah wanita berbaju kuning itu tadi ibu kandungnya?”
“Ya. Apakah dia seperti kurang waras?”
“Entahlah.”
“Radit sudah bilang, dia hanya tertekan, dan sekarang
sudah pulih.”
“Ibu ingat, pernah melihatnya di pasar, mengenakan baju
seperti yang ibu berikan pada Ratri. Ternyata dia ibunya,” kata bu Listyo
pelan.
“Ibu menyapanya?”
“Ibu terus menatapnya, dan menduga-duga. Ibu ingat
baju itu, karena ibu yang memilihkannya. Tapi ibu tidak mengatakan apa-apa. Kan
ibu belum kenal sama keduanya?”
“Dia bersama bu Cipto juga?”
“Ya, itulah yang ibu lihat.”
“Setelah mengetahui bahwa Listi dan Ratri anak
kandungnya, kemudian bu Cipto dan bu Tijah seperti menemukan saudara. Radit
ikut senang. Semuanya menjadi baik, kecuali ibu,” ejek Radit.
“Aku juga akan menjadi baik.”
“Benarkah? Berarti ibu merestuinya bukan?”
“Ibu akan bicara sama Ratri.”
“Tapi ibu merestuinya kan? Mengapa susah sekali ibu
mengatakan itu,” kesal Radit.
“Kita akan bicara serius, setelah kamu sembuh."
“Yang ingin Radit dengar sekarang adalah, ibu merestui
hubungan kami.”
“Baiklah, bandel. Ibu akan merestuinya.”
“Terima kasih, Ibu,” kata Radit dengan mata berbinar,
lalu meraih tangan ibunya dan menciumnya berkali-kali.
“Karena kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan ibu.”
***
Saat istirahat siang, Ratri menuju ke ruang kepala
sekolah, duduk di depan Dewi dengan wajah serius.
“Ada apa Bu Ratri?”
“Saya ingin bicara sama Ibu.”
Dewi meletakkan kedua tangannya di atas meja.
“Serius sekali, tampaknya?”
“Semalam Dian menelpon saya. Dia tampak gelisah.”
“Oh ya?”
“Katanya memikirkan permintaan bu Dewi.”
“Oh, itu ya.”
Dewi tertawa.
“Saya hanya memikirkan bu Listi. Kasihan sama dia.”
“Mbak Listi tidak memikirkan apa-apa. Dia sudah
memutuskan tak ingin menikah lagi.”
“Memangnya kenapa?”
“Entahlah, tapi yang jelas, karena dia sudah tidak
akan bisa hamil lagi.”
Dewi menutup mulutnya.
“Tapi mbak Listi itu wanita yang kuat. Setelah
beberapa kejadian menimpanya, tampak bahwa sebenarnya dia itu bisa menata hati
dan perasaannya dengan baik. Dia juga pelindung yang luar biasa sebagai seorang
kakak, dan anak tertua bagi ibu saya. Jadi tak ada yang perlu dikasihani dari
dia. Nanti dia malah tersinggung.”
Dewi mengangguk-angguk.
“Saya bisa mengerti. Untunglah bu Ratri mengingatkan
saya. Saya hanya teringat ketika dia mengamuk di sini, seakan menuduh saya
merebut mas Dian dari dia.”
“Saat itu pikirannya sedang sangat labil, bingung,
terkejut, entah apa lagi. Tapi sekarang dia sangat tenang. Itu sangat melegakan
saya.”
“Baiklah, saya mengerti. Terima kasih sudah
mengingatkan saya.”
“Saya hargai perhatian bu Dewi. Itu sesuatu yang mulia,
bisa mengerti perasaan orang lain. Terima kasih juga untuk bu Dewi.”
***
Listi menjemput adiknya karena bu Cipto juga masih
berada di sana. Tapi Ratri minta diantarkan ke rumah sakit.
“Langsung? Nggak makan dulu? Ibu masak enak lho,”
Listi menggoda adiknya.
“Tapi aku janji mau langsung ke sana.”
“Ya ampun Tri, makan dulu masa nggak boleh? Oh ya,
orang kalau lagi jatuh cinta tuh nggak ngerasa lapar ya?”
Ratri tertawa.
“Ibu masak apa sih?”
“Masak apapun, kalau yang masak ibu-ibu kita itu,
pasti enak deh. Aku jadi nggak suka makan di restoran sekarang.”
“Itu peringatan buat Mbak Listi. Terlalu sering makan di
restoran itu boros. Ngabisin uang. Tahu.”
“Hm, gantian memarahi aku nih?”
“Kakak adik itu kan harus saling mengingatkan.”
“Okey. Terima kasih sudah diingatkan. Tapi sekarang ke
rumahku dulu. Makan, ganti baju. Masak sih nemuin kekasih badannya bau asem.”
“Eeh, badanku nggak bau, tahu.”
“Bau lah, namanya keringat, dari pagi sampai siang,
bohong kalau nggak bau.”
“Baiklah, aku nurut saja kalau begitu.”
“Nah, itu baru namanya adik yang baik. Nanti setelah
makan dan ganti baju, aku antar kamu ke rumah sakit. Tapi aku nggak akan ikut
turun lho ya.”
“Kenapa nggak turun?”
“Ya enggak lah, masa aku harus nungguin orang pacaran.”
“Ya ampun, pacaran di rumah sakit? Lagian aku hanya
ingin menyenangkan hatinya saja. Setelah sembuh aku belum tentu masih bisa
menemani dia atau enggak.”
“Omong apa sih? Memangnya ibunya yang nyinyir itu
masih saja menyakiti kamu? Kemarin seperti baik deh sikapnya.”
“Bukan itu. Sikap baik, bisa saja. Tapi menerima
menantu seperti aku, belum tentu juga kan?”
“Tapi Radit nggak bisa pisah sama kamu. Kalau kamu
benar-benar ingin pisah sama dia, aku khawatir dia akan bunuh diri.”
“Apa? Ngomongnya yang enggak-enggak saja deh,” kesal
Ratri.
“Itu bisa jadi lho. Banyak orang putus cinta lalu
bunuh diri.”
“Udah, jangan diterusin ngomong yang enggak-enggak.”
Listi terkekeh. Senang bisa mengerjain adiknya.
Tapi akhirnya, sebelum ke rumah sakit Ratri memang
pulang dulu ke rumah Listi, makan timlo masakan ibu-ibu yang luar biasa, ada
bakwan jagung dan perkedel juga.
Dan bukan hanya ganti baju, sebelum berangkat Ratri
memerlukan mandi terlebih dulu.
“Nah, begitu. Ketemu kekasih harus bau wangi, bukan
bau acem …” ledek Listi melihat tingkah adiknya, yang dibalas hanya dengan
senyuman manis olehnya.
***
Hari terus berjalan, keadaan Radit sudah mulai
membaik, dan sudah ribut ingin pulang, tapi teman-teman dokternya melarang.
Karena keadaannya masih harus memerlukan perawatan.
Hari Sabtu sore itu Dian pulang, dan seperti janjinya,
dia sudah mengabari kerabatnya untuk melamar Dewi.
Tapi sebelum pergi ke rumah Dewi untuk mengabari
maksudnya tersebut, Dian pergi menemui Listi di rumahnya, membuat Listi
terkejut.
“Kamu? Tumben kemari, bukannya ini jadwal main sama
calon anak kamu?” tanya Listi ketika mereka duduk berdua.
“Ada yang ingin aku sampaikan.”
“Oh ya? Mengirim undangan?”
“Belum dulu. Begini. Entah nanti bagaimana
prosedurnya, tapi aku ingin mengutarakan sesuatu. Ini seperti keinginan Dewi.”
“Apa tuh?”
“Apa kamu mau kembali menjadi istriku?” tanya Dian
bersungguh-sungguh.
Listi berpegang erat pada tangan kursi yang
didudukinya, takut terlonjak kemudian terjatuh akibat terkejut mendengar
perkataan Dian.
***
Besok lagi ya.
Yessss………..!!!!!
ReplyDeleteJePe eps_39 sudah tayang.
Terima kasih bu Tien, sugeng dalu sugeng nyerat lanjutan Selamat Pagi Bidadari.
Sdh ditunggu para pembacanya.
HorΓ© udah jaga gawang
DeleteAlhamdulillah
DeleteMatur nuwun
ReplyDeleteHayo jeng Iin aku dijegal
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien...
ReplyDeleteSelamat tuk pak KakekHabi sll.nomor.wahid
Alhamdulilah, matur nuwun mbak Tien ππ
ReplyDeleteMtrnwn mb Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah JP39 hadir , terimakasih bunda Tien ,semoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang awal
ReplyDeleteAlhamdulillah.....
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun . . sehat wal’afiat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah JANGAN PERGI~39 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien π
alhamdulillah... maturnuwunπ
ReplyDeleteAlhamdulillah .....
ReplyDeleteYg ditunggu2 sdh datang...
Matur nuwun bu Tien ...
Semoga sehat selalu....
Tetap semangat ...
Alhamdulilah, jp sdh tayang terima kasih bu tien salam sehat
ReplyDeleteAluamdulillah...
ReplyDeleteWaduh kasian dewi nu...π₯
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien...π
Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.
ReplyDeleteAlhamdulilah..
ReplyDeleteTks bunda Tien..
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tienπ·π·π·π·π·
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Pertanyaan Dian kpd Listi apa maksudnya yaa?
ReplyDeleteSeandainya Listi mau bgmn bun?? π€π€
Semoga bunda Tien sehat selalu dan tetap bahagia..
Aamiin.. πππΉ❤️
Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat π€π₯°
Wah mantab aduhaaaai sekali,,,,bu Tien ,,jika listi mau kembali dg dian dan smg dewi tdk berubah pemikiranya ,,oh damai sekali hidup ini πππΏπΉ
Theklek kecemplung got kalo ini...π€£π€£π€£
ReplyDeleteMatur nuwun bu tien...π₯°ππ
Hallo Listy, mau jadi madu apa racun, jadi orang merdeka saja ya...
ReplyDeleteUntuk Ratri jangan khawatir, masmu Radit telah 'memaksa' ibunya untuk setuju.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat selalu
Terima kasih.... Bu Tien.
ReplyDeleteHatur nuhun ( terima kasih) bunda ceritanya makin seru
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteWaduh Dian bgmn tuh kok mlh cari perkara yah
ReplyDeleteBikin penasaran aj
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Dan ttp semangat dan ADUHAI
Waduh kok Dian dah sampaikan maksud Dewi..jgn trima Listy dah biar mrk senang deh ..trims bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, mtr nuwun bu Tien..
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai dari mBantul
Alhamdulillah JP 39 sudah tayang
ReplyDeleteSemakin seru Bu...
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin
Mbak Tien memang luar biasa...
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
Alhamdulillah....Trimakasih bu Tien
ReplyDeleteHah.. Dian, kalau Listi mau gimana? Emang mau punya dua istri?
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Jadi agak kecewa sama Dian
ReplyDeleteMaturnuwun ibu Tien, sehat sll
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima ksih bunda jp nya..smg diakhir endingnya pd bahagia..slm sehat danaduhai unk bundaπππ₯°πΉ❤️
ReplyDelete