Thursday, December 1, 2022

JANGAN PERGI 39

 

JANGAN PERGI 39

(Tien Kumalasari)

 

Dian menatap Dewi tak berkedip. Meyakinkan apa yang didengarnya, apakah benar, atau salah. Dewi tersenyum ke arahnya.

“Mengapa menatap aku seperti itu?”

“Kamu bicara apa? Kamu sadar apa yang kamu katakan?”

“Tentu saja aku sadar.”

“Coba ulangi.”

“Aku ingin, kamu juga menikahi Listi.”

“Ini gila! Tidak mungkin aku melakukannya.”

“Tolong ingatlah. Listi pasti sangat menderita. Bekas pacarnya, mencintai adiknya. Bekas suaminya, mencintai wanita lain beranak satu.”

“Lalu kenapa? Hanya bekas dan bekas. Bukan berarti menyengsarakan dia kan? Bukan berarti aku membuat dia menderita kan?”

“Tapi dia pasti menderita.”

“Pasti?”

“Pasti. Kamu ingat ketika dia mendatangi bu Ratri di rumah makan. Dia marah karena bu Ratri dekat dengan bekas pacarnya. Lalu mengamuk di sekolah, mengira aku merebut kamu darinya. Itu berarti, jauh dilubuk hatinya, dia masih mengharapkan cinta mas Dian.”

“Dan mengharapkan cinta mas Radit juga, karena dia pernah marah-marah pula sama Ratri?”

“Kamu tidak mengerti, bagaimana seorang wanita.”

“Tentu, aku tidak mengerti apa yang kamu inginkan. Banyak wanita tak mau dimadu, tapi kamu menginginkannya. Kamu belum merasakan, bagaimana rasanya diduakan? Banyak cerita tentang kejadian seperti itu. Banyak sekali cerita, rumah tangga rusak karena tidak  seorangpun mau dimadu. Apa lagi? Kamu ingin mencobanya? Lalu kalau hati kamu sakit, aku yang akan kamu salahkan?”

“Tidak, bukan begitu.”

“Lalu apa?”

“Aku sungguh kasihan sama Listi.”

“Apa dia minta dikasihani?”

“Tidak. Aku yang merasa kasihan.”

“Omong kosong apa itu.”

“Mas, aku serius”

“Aku tidak mau dengar.”

“Aku akan bicara sama dia.”

“Apa? Bicara sama Listi? Melamarkan dia untuk aku? Begitu?”

“Lebih kurangnya ‘ya’.”

“Aku tidak mau.”

“Tidak mau? Mas tidak mau memenuhi permintaan aku?”

“Mintalah bulan turun ke bumi, mintalah bintang jatuh dari langit, aku bisa mengerti, karena itu kan hanya lagu atau puisi. Tapi minta dimadu? Itu adanya hanya dalam dongeng.”

Dewi merengut.

“Dengar ya, jangan sekali lagi kamu ulangi kata-kata kamu itu. Aku tidak mau dengar, apalagi melakukannya. Aku bukan orang yang bisa berbagi cinta. Cintaku hanya untuk satu, dan tidak untuk yang lain.

“Tapi aku …”

“Arinaaa … sudah mainnya ya, ayo kita pulang,” kata Dian sambil berdiri, mendekati Arina yang asyik bermain bersama teman sebayanya.

Dewi mengikuti Dian. Ia merasa, memang dia salah, tapi sungguh dia merasa kasihan mengingat Listi. Dia mengira sebenarnya Listi masih mencintai Dian.

“Aku akan bicara padanya,” gumam Dewi sambil mengikuti Dian yang sudah menggendong Arina menuju keluar dari arena bermain itu.

***

Tak ada yang bicara di sepanjang perjalanan pulang, hanya celoteh Arina yang kadang terdengar, dan membuat keduanya tersenyum, sampai kemudian Arina tertidur kelelahan.

Hari memang sudah malam, tak sepantasnya Dian berada lebih lama di rumah Dewi, setelah mereka sampai. Dian menggendong Arina yang sudah terlelap, menidurkannya ke dalam kamarnya, kemudian dia pamit untuk pulang.

“Besok aku kembali ke Jakarta, pagi,” katanya sebelum masuk ke dalam mobilnya.”

“Selamat jalan, hati-hati.”

“Kepulangan aku yang berikutnya, adalah untuk melamar kamu, lalu dua bulan berikutnya, kita menikah. Tapi ingat, hanya kamu yang aku nikahi.”

“Mas _”

“Titik!” potong Dian yang segera masuk ke dalam mobil, menstarternya, kemudian membawanya keluar.

Dewi menghela napas. Lalu masuk ke dalam rumah sambil menimbang-nimbang. Benarkah dia tidak akan bisa menjalaninya? Kalau saling mengerti diantara dirinya dan Listi, pasti rumah tangga itu akan tenang dan aman-aman saja.

Dewi tidak pernah berpikir, namanya manusia pasti punya rasa iri, dengki. Dan kalau itu timbul? Ketenangan mana yang bisa tercipta?

Sedangkan Dian merasa sangat kesal dengan permintaan Dewi. Malam sebelum tidur dia menelpon Ratri.

“Ya Dian, aduh … ada apa ini?”

“Kamu masih di rumah sakit?”

“Ya enggak lah, aku pulang setelah bu Listyo kembali ke rumah sakit. Tadinya dia pulang untuk sekedar beristirahat.  Sekarang aku di rumah mbak Listi.”

“Listi ada di dekat kamu?”

“Tidak, aku tidur di kamar sendiri bersama ibu Cipto. Listi di kamar lain bersama ibuku.”

“Aku nggak bisa tidur nih.”

“Ada apa? Bu Dewi marah gara-gara kamu datang ke sorean?”

“Tidak, bukan itu.”

“Lalu apa?”

“Aku bilang bahwa aku akan segera melamarnya, tapi dia punya permintaan aneh.”

“Apa? Minta seserahan yang mahal?”

“Lebih dari itu.”

“Apa maksudnya? Jauh lebih mahal? Berlian satu ton?” canda Ratri.

“Tidak. Dia minta aku juga menikahi Listi.”

“Apa?”

“Ini sungguh gila, dan dia tampak bersungguh-sungguh.”

“Tidak bisa begitu. Mbak Listi sudah memutuskan untuk tidak akan menikah lagi.”

“Benarkah?”

“Iya, dia serius mengatakannya.”

“Kenapa? Dia masih muda dan cantik.”

“Dia sudah divonis tidak akan bisa punya anak, setelah keseringan menggugurkan kandungan.”

“Ya ampun, separah itu?”

“Jangan memikirkan hal itu. Mbak Listi sangat kuat, dia bisa menjalaninya. Janganlah terganggu dengan masalah itu. Aku akan bicara sama bu Dewi.

“Baiklah, aku prihatin mendengarnya. Menyesali mengapa dulu dia melakukannya.”

Setelah menutup pembicaraan itu, Dian justru merasa kasihan pada Listi. Tidak akan bisa mengandung lagi? Aduhai …

***

Saat bangun pagi hari, Radit mencari-cari, tapi yang dicari tidak ada.

Ia melihat ibunya tidur di sofa, dan bibi diatas karpet, dibawahnya.

Seorang perawat datang memeriksa infus yang masih tergantung dan nyaris habis, lalu menggantikannya dengan yang baru. Lalu tak lama seorang perawat pria membersihkan tubuhnya dan menggantinya dengan pakaian bersih.

“Bisa tidur nyenyak semalam, dok?” tanya perawat itu.

“Lumayan,” jawab Radit singkat.

Bu Listyo tampak menggeliat, melihat ke arah Radit yang sudah berganti pakaian. Di meja, tampak sebaki bubur dan lauknya, serta segelas susu.

Bu Listyo mendekat.

“Mau makan sekarang?”

“Mana Ratri?”

“Radit, Ratri kan harus bekerja. Semalam ibu suruh dia pulang setelah ibu datang. Kasihan, dia kan capek.”

“Ibu tidak berkata kasar kan?”

“Radit, mengapa kamu berkata begitu?”

“Radit khawatir, Ratri tidak mau mendekati Radit lagi.”

“Dia bilang, sepulang dari bekerja akan datang kemari. Kamu jangan seperti anak kecil dong Dit.”

“Radit takut kehilangan dia. Kalau dia pergi, lebih baik_”

“Hentikan, bicaralah yang baik-baik.”

“Beri restu untuk hubungan kami Bu, kalau tidak, Ratri tidak mau sama Radit.”

“Makanlah dulu.”

“Katakan dulu, ibu bersedia. Kalau tidak aku tidak mau makan.”

“Radit ….”

Radit menutup matanya, lalu membalikkan tubuhnya membelakangi ibunya. Ia sudah melihat ibunya bersikap baik pada Ratri, tapi Radit belum yakin ibunya akan merestui hubungannya.

“Apakah wanita berbaju kuning itu tadi ibu kandungnya?”

“Ya. Apakah dia seperti kurang waras?”

“Entahlah.”

“Radit sudah bilang, dia hanya tertekan, dan sekarang sudah pulih.”

“Ibu ingat, pernah melihatnya di pasar, mengenakan baju seperti yang ibu berikan pada Ratri. Ternyata dia ibunya,” kata bu Listyo pelan.

“Ibu menyapanya?”

“Ibu terus menatapnya, dan menduga-duga. Ibu ingat baju itu, karena ibu yang memilihkannya. Tapi ibu tidak mengatakan apa-apa. Kan ibu belum kenal sama keduanya?”

“Dia bersama bu Cipto juga?”

“Ya, itulah yang ibu lihat.”

“Setelah mengetahui bahwa Listi dan Ratri anak kandungnya, kemudian bu Cipto dan bu Tijah seperti menemukan saudara. Radit ikut senang. Semuanya menjadi baik, kecuali ibu,” ejek Radit.

“Aku juga akan menjadi baik.”

“Benarkah? Berarti ibu merestuinya bukan?”

“Ibu akan bicara sama Ratri.”

“Tapi ibu merestuinya kan? Mengapa susah sekali ibu mengatakan itu,” kesal Radit.

“Kita akan bicara serius, setelah kamu sembuh."

“Yang ingin Radit dengar sekarang adalah, ibu merestui hubungan kami.”

“Baiklah, bandel. Ibu akan merestuinya.”

“Terima kasih, Ibu,” kata Radit dengan mata berbinar, lalu meraih tangan ibunya dan menciumnya berkali-kali.

“Karena kebahagiaan kamu adalah kebahagiaan ibu.”

***

Saat istirahat siang, Ratri menuju ke ruang kepala sekolah, duduk di depan Dewi dengan wajah serius.

“Ada apa Bu Ratri?”

“Saya ingin bicara sama Ibu.”

Dewi meletakkan kedua tangannya di atas meja.

“Serius sekali, tampaknya?”

“Semalam Dian menelpon saya. Dia tampak gelisah.”

“Oh ya?”

“Katanya memikirkan permintaan bu Dewi.”

“Oh, itu ya.”

Dewi tertawa.

“Saya hanya memikirkan bu Listi. Kasihan sama dia.”

“Mbak Listi tidak memikirkan apa-apa. Dia sudah memutuskan tak ingin menikah lagi.”

“Memangnya kenapa?”

“Entahlah, tapi yang jelas, karena dia sudah tidak akan bisa hamil lagi.”

Dewi menutup mulutnya.

“Tapi mbak Listi itu wanita yang kuat. Setelah beberapa kejadian menimpanya, tampak bahwa sebenarnya dia itu bisa menata hati dan perasaannya dengan baik. Dia juga pelindung yang luar biasa sebagai seorang kakak, dan anak tertua bagi ibu saya. Jadi tak ada yang perlu dikasihani dari dia. Nanti dia malah tersinggung.”

Dewi mengangguk-angguk.

“Saya bisa mengerti. Untunglah bu Ratri mengingatkan saya. Saya hanya teringat ketika dia mengamuk di sini, seakan menuduh saya merebut mas Dian dari dia.”

“Saat itu pikirannya sedang sangat labil, bingung, terkejut, entah apa lagi. Tapi sekarang dia sangat tenang. Itu sangat melegakan saya.”

“Baiklah, saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkan saya.”

“Saya hargai perhatian bu Dewi. Itu sesuatu yang mulia, bisa mengerti perasaan orang lain. Terima kasih juga untuk bu Dewi.”

***

Listi menjemput adiknya karena bu Cipto juga masih berada di sana. Tapi Ratri minta diantarkan ke rumah sakit.

“Langsung? Nggak makan dulu? Ibu masak enak lho,” Listi menggoda adiknya.

“Tapi aku janji mau langsung ke sana.”

“Ya ampun Tri, makan dulu masa nggak boleh? Oh ya, orang kalau lagi jatuh cinta tuh nggak ngerasa lapar ya?”

Ratri tertawa.

“Ibu masak apa sih?”

“Masak apapun, kalau yang masak ibu-ibu kita itu, pasti enak deh. Aku jadi nggak suka makan di restoran sekarang.”

“Itu peringatan buat Mbak Listi. Terlalu sering makan di restoran itu boros. Ngabisin uang. Tahu.”

“Hm, gantian memarahi aku nih?”

“Kakak adik itu kan harus saling mengingatkan.”

“Okey. Terima kasih sudah diingatkan. Tapi sekarang ke rumahku dulu. Makan, ganti baju. Masak sih nemuin kekasih badannya bau asem.”

“Eeh, badanku nggak bau, tahu.”

“Bau lah, namanya keringat, dari pagi sampai siang, bohong kalau nggak bau.”

“Baiklah, aku nurut saja kalau begitu.”

“Nah, itu baru namanya adik yang baik. Nanti setelah makan dan ganti baju, aku antar kamu ke rumah sakit. Tapi aku nggak akan ikut turun lho ya.”

“Kenapa nggak turun?”

“Ya enggak lah, masa aku harus nungguin orang pacaran.”

“Ya ampun, pacaran di rumah sakit? Lagian aku hanya ingin menyenangkan hatinya saja. Setelah sembuh aku belum tentu masih bisa menemani dia atau enggak.”

“Omong apa sih? Memangnya ibunya yang nyinyir itu masih saja menyakiti kamu? Kemarin seperti baik deh sikapnya.”

“Bukan itu. Sikap baik, bisa saja. Tapi menerima menantu seperti aku, belum tentu juga kan?”

“Tapi Radit nggak bisa pisah sama kamu. Kalau kamu benar-benar ingin pisah sama dia, aku khawatir dia akan bunuh diri.”

“Apa? Ngomongnya yang enggak-enggak saja deh,” kesal Ratri.

“Itu bisa jadi lho. Banyak orang putus cinta lalu bunuh diri.”

“Udah, jangan diterusin ngomong yang enggak-enggak.”

Listi terkekeh. Senang bisa mengerjain adiknya.

Tapi akhirnya, sebelum ke rumah sakit Ratri memang pulang dulu ke rumah Listi, makan timlo masakan ibu-ibu yang luar biasa, ada bakwan jagung dan perkedel juga.

Dan bukan hanya ganti baju, sebelum berangkat Ratri memerlukan mandi terlebih dulu.

“Nah, begitu. Ketemu kekasih harus bau wangi, bukan bau acem …” ledek Listi melihat tingkah adiknya, yang dibalas hanya dengan senyuman manis olehnya.

***

Hari terus berjalan, keadaan Radit sudah mulai membaik, dan sudah ribut ingin pulang, tapi teman-teman dokternya melarang. Karena keadaannya masih harus memerlukan perawatan.

Hari Sabtu sore itu Dian pulang, dan seperti janjinya, dia sudah mengabari kerabatnya untuk melamar Dewi.

Tapi sebelum pergi ke rumah Dewi untuk mengabari maksudnya tersebut, Dian pergi menemui Listi di rumahnya, membuat Listi terkejut.

“Kamu? Tumben kemari, bukannya ini jadwal main sama calon anak kamu?” tanya Listi ketika mereka duduk berdua.

“Ada yang ingin aku sampaikan.”

“Oh ya? Mengirim undangan?”

“Belum dulu. Begini. Entah nanti bagaimana prosedurnya, tapi aku ingin mengutarakan sesuatu. Ini seperti keinginan Dewi.”

“Apa tuh?”

“Apa kamu mau kembali menjadi istriku?” tanya Dian bersungguh-sungguh.

Listi berpegang erat pada tangan kursi yang didudukinya, takut terlonjak kemudian terjatuh akibat terkejut mendengar perkataan Dian.

***

Besok lagi ya.

43 comments:

  1. Yessss………..!!!!!
    JePe eps_39 sudah tayang.
    Terima kasih bu Tien, sugeng dalu sugeng nyerat lanjutan Selamat Pagi Bidadari.
    Sdh ditunggu para pembacanya.

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun bu Tien...

    Selamat tuk pak KakekHabi sll.nomor.wahid

    ReplyDelete
  3. Alhamdulilah, matur nuwun mbak Tien πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah JP39 hadir , terimakasih bunda Tien ,semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nuwun . . sehat wal’afiat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete

  6. Alhamdulillah JANGAN PERGI~39 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah .....
    Yg ditunggu2 sdh datang...
    Matur nuwun bu Tien ...
    Semoga sehat selalu....
    Tetap semangat ...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulilah, jp sdh tayang terima kasih bu tien salam sehat

    ReplyDelete
  9. Waduh kasian dewi nu...πŸ˜₯
    Matur nuwun bunda Tien...πŸ™

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun mbak Tien-ku, Jangan Pergi sudah tayang.

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷

    ReplyDelete
  12. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch.,

    ReplyDelete
  13. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien

    ReplyDelete
  14. Pertanyaan Dian kpd Listi apa maksudnya yaa?
    Seandainya Listi mau bgmn bun?? 🀭🀭
    Semoga bunda Tien sehat selalu dan tetap bahagia..
    Aamiin.. πŸ™πŸ™πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, Matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat πŸ€—πŸ₯°

    Wah mantab aduhaaaai sekali,,,,bu Tien ,,jika listi mau kembali dg dian dan smg dewi tdk berubah pemikiranya ,,oh damai sekali hidup ini πŸ™πŸ˜ŠπŸŒΏπŸŒΉ

    ReplyDelete
  16. Theklek kecemplung got kalo ini...🀣🀣🀣
    Matur nuwun bu tien...πŸ₯°πŸ˜˜πŸ˜˜

    ReplyDelete
  17. Hallo Listy, mau jadi madu apa racun, jadi orang merdeka saja ya...
    Untuk Ratri jangan khawatir, masmu Radit telah 'memaksa' ibunya untuk setuju.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  18. Terima kasih Bu Tien
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Hatur nuhun ( terima kasih) bunda ceritanya makin seru

    ReplyDelete
  20. Waduh Dian bgmn tuh kok mlh cari perkara yah

    Bikin penasaran aj
    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Dan ttp semangat dan ADUHAI

    ReplyDelete
  21. Waduh kok Dian dah sampaikan maksud Dewi..jgn trima Listy dah biar mrk senang deh ..trims bu Tien

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, mtr nuwun bu Tien..
    Salam sehat dan aduhai dari mBantul

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah JP 39 sudah tayang
    Semakin seru Bu...
    Terima kasih Bu Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  24. Mbak Tien memang luar biasa...
    Terima kasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah....Trimakasih bu Tien

    ReplyDelete
  26. Hah.. Dian, kalau Listi mau gimana? Emang mau punya dua istri?
    Makasih mba Tien.

    ReplyDelete
  27. Jadi agak kecewa sama Dian
    Maturnuwun ibu Tien, sehat sll

    ReplyDelete
  28. Terima ksih bunda jp nya..smg diakhir endingnya pd bahagia..slm sehat danaduhai unk bundaπŸ™πŸ˜˜πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete

KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 14

  KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH  14 (Tien Kumalasari)   Mbok Truno heran melihat barang-barang yang dibeli Arumi. Ia membuka keresek yang dil...