Wednesday, December 12, 2018

SEPENGGAL KISAH 71

SEPENGGAL KISAH  71

(Tien Kumalasari)

"Ma'af pak, kalau saya lancang, saya harus mengutarakannya karena sudah lama saya memendam perasaan ini," kata Ongky ketika melihat pak Marsam diam.

Tidak apa2 nak, bapak bisa mengerti kok, tapi apakah nak Ongky sudah pernah bicara masalah perasaan itu pada Asri?

"Belum pak, baru kepada bapak ini saya berterus terang.{"

"Begini nak, memang Asri itu sudah dewasa, sudah sa'atnya punya suami, apalagi bapak kan sudah tua, bapak harus memastikan bahwa anak bapak nanti tidak akan hidup sengsara. Orang yang sengsara itu bukan hanya karena susah kekurangan harta, tapi lebih kepada ketenteraman hati. Kalau hati tidak tenteram, tidak bahagia, maka itulah bagian dari kesengsaraan."

"Bapak, saya berjanji akan membahagiakan Asri, saya berjanji tidak akan menyengsarakan Asri. Disamping saya Asri akan bahagia. Saya berjanji pak..sum.."

"Jangan bersumpah, tidak perlu, sumpah itu berat tanggungannya, karena dicatat sampai akhirat dengan tinta yang lebih tebal."

"Tapi..."

"Baiklah, pada dasarnya saya menerima lamaran ini, kalau memang nak Ongky dan keluarga menyetujuinya, dan benar2 bisa menjadi pelindung bagi anak saya."

Ongky bangkit dan bersimpuh dihadapan pak Marsam, lalu mencium lutut pak Marsam dengan perasaan bahagia.. Pak Marsamlah yang gelagapan menerima penghormatan ini. Selama hidup belum ada orang lain yang pernah mencium lututnya. Hanya anaknya dan almarhum isterinya.. Sekarang tiba2 anak seorang terpandang mencium lututnya, benar2 pak Marsam gugup.

"Eit, sudah..sudah nak.. jangan begini..ayo berdiri dan duduklah ditempatmu ..ayo.." susah payah pak Marsam mengangkat tubuh anak muda yang bersedia menjadi menantunya ini.

"Saya bahagia sekali pak, sungguh.. "

"Tapi bukan berarti pembicaraan ini sudah tersepakati lho, bapak juga harus bicara dulu sama Asri, karena dialah yang akan menjalani.Lagi pula nak Ongky belum lama mengenal Asri demikian juga Asri belum lama mengenal nak Ongky, jadi jangan tergesa gesa ingin menikah, siapa tau dalam berjalannya waktu nanti ada kekurangan diantara nak Ongky atau Asri, yang bisa memutuskan hubungan itu."

"Ya pak, saya mengerti.."

Namun malam hari itu Asri tidak bersedia menerima Ongky sebagai suaminya. Hatinya masih terpaut pada Bowo, dan belum bisa dilupakannya. 

"Tapi nduk, kamu itu sudah dewasa, dan nak Ongky sudah bersedia menjadi pelindung kamu. Apalagi bapak kan sudah tua , kalau bapak sudah tiada nanti, siapa yang akan menjadi pelindung kamu?"

"Tapi pak, Asri belum ingin menikah,"

"Asri, nak Ongky juga tidak ingin menikah sekarang, masih banyak waktu untuk saling mengerti, saling berbagi, saling menjajagi satu sama lain, begitu kan? Kalau nanti akhirnya ada yang kamu tidak suka, ya sudahlah.. nggak apa2 kalau dibatalkan, wong baru mau jadi suami isteri, bukan langsung menjadi suami isteri. Ya kan?"

Asri terdiam, angannya melayang kembali ketika Bowo menyatakan cinta, ketika senyum menawan itu mulai merayapi hatinya, merenda hari2nya yang penuh keindahan, walau sesungguhnya ia merasa tak pantas menerima cinta itu. Alangkah manis kebersamaan itu, dan alangkah pedih ketika menyadari bahwa tangannya tak akan sampai menggapai semua mimpi2nya.

"Apa kamu mencintai mas Bowo?" pertanyaan pak Marsam mengejutkannya. Asri tak mampu menjawab. Berlinang air matanya. Dan pak Marsam sungguh mengerti apa yang sebenarnya ada didalam hati anak gadisnya.

"Bapak tau, bagaimana perasaanmu, tapi kan bapak sudah selalu mengingatkan adanya perbedaan kita dan keluarganya? Memang mas Bowo itu baik, tapi bagaimana dengan ibunya? Berapa kali kamu disakiti, berapa kali bapak disakiti, bahkan nyawa bapak nyaris melayang karena bicaranya yang sangat pedas. Bapak nggak tega menilaht hidupmu menderita nak,"

 Asri terisak, mimpi tentang Bowo tiba2 lenyap seperti mega2 putih yang berarak diawang, kemudian menghilang tertiup angin. Tak mungkin.. tak mungkin.. bisiknya dalam hati.

"Nak Ongky itu memang anak orang kaya, tapi bapaknya sudah setuju kalau anaknya menikahi kamu. Dia baik, berjanji membahagiakan kamu, apalagi yang kamu cari Asri?"

Asri masih tetap tidak menjawab.

"Kalau bapak meninggal nanti, harus ada seseorang yang bisa melindungi kamu," diulang lagi kata2 itu, membuat tangis Asri tak terbendung lagi. Hatinya mulai menimbang nimbang.

 

Sore itu Ongky mengajak Bowo ketemuan. Kebahagiaan itu harus dibagi bersama sahabatnya. Walau Asri belum menyetujuinya, tapi kan bapaknya sudah setuju. 

"Ayo.. makan dan minum apa saja sepuasmu Bowo, aku yang akan mentraktirmu hari ini." 

"Pastilah, mumpung ditraktir aku harus makan sebanyak banyaknya biar ludes uang didompet kamu."

"Nggak masalah.. yang penting berita ini harus kamu yang mendengarnya pertama kali."

"Berita apa tuh, lamaranmu diterima?"

"Hampir seperti itu, belum sepenuhnya sih.."

"Maksudnya ?"

"Aku sudah melamarnya, langsung sama bapaknya. Dan diterima dengan tangan terbuka.." katanya dengan nada gembira.

"Owh, baru bapaknya, bagaimana dengan anaknya?"

"Itu kan pekerjaan gampang, kalau bapaknya oke, anaknya tinggal menurutlah."

"Wah, tidak segampang itu.. yang penting itu yang menjalani.. Biar bapaknya oke kalau anaknya nggak mau..?"

Onky terdiam.. bagaimana kalau Asri menolak nanti? Tapi daripada nasibnya Bowo, dianya mau, tapi ibunya ogah, nyatanya nggak jadi kan? Pikir Bowo.

"Tapi baiklah, kamu nggak usah sedih begitu, aku hanya bercanda, mudah2an seperti katamu, anaknya akan menuruti kemauan bapaknya. Semoga..! Sekarang habiskan makananmu, aku pengin nambah nih." 

"Yah, do'akan ya, habisnya aku sangat mencintai Asri." desis Ongky tiba2 

"Apa katamu ? Asri ?"

Bowo segera berdiri lalu lari keluar dari rumah makan itu.

#adalanjutannyaya#


No comments:

Post a Comment

MAWAR HITAM 04

  MAWAR HITAM  04 (Tien Kumalasari)   Nyonya Andira menunjuk-nunjuk ke arah Satria, tapi Sinah segera menurunkan tangannya. “Jangan Nyonya, ...