Tuesday, December 11, 2018

SEPENGGAL KISAH 70

Damar panik. Ia menyesal karena tak memperhatikan surat itu. Siapa tau pak Manto ingin mengatakan sesuatu padanya, dan itu ada hubungannya dengan kata bu Tumi tentang sesuatu yang disimpan pak Manto sebagai rahasia tentang  meninggalnya ayah ibunya. Bu Surya ikut mencari, merogoh setiap kantung baju, termasuk bajunya sendiri walau tak mungkin ada karena Damarlah yang menerima surat itu.

"Dimana ya?" keluh Damar sambil menjatuhkan dirinya di sofa.

"Jangan2 jatuh dijalan dan kamu nggak merasakannya tadi,"

"Mungkin tante, tapi dimana ya, biar Damar mencarinya tante." Damar beranjak berdiri lalu melangkah keluar rumah. Jarak rumah itu dengan rumah sakit lumayan jauh, tapi Damar menyusuri setiap jengkal yang dilaluinya. Terkadang ada orang yang bertanya, sedang mencari apa mas? Mereka pasti mengira Damar kehilangan dompet atau barang berharga lainnya. Hari sudah malam dan tentu saja ia hanya bergantung pada penerangan yang ada disekitar jalan itu.

Namun sampai kerumah sakit dimana tadi pak Manto dirawat, tak ditemukannya surat itu. Ia juga bertanya tanya, namun tak seorangpun melihat ada amplop jatuh dijalan itu. Ia juga bertanya kepada petugas rumah sakit, atau perawat2 yang mungkin melihat atau mendengar ada orang menemukan amplop. Tapi tak seorangpun bisa menjawabnya kecuali kata "tidak tau". Mungkin sudah diambil orang karena mengira berisi uang. Damar kembali kerumah dengan putus asa. Ia tak mengira meninggalnya ayah ibunya ternyata menyimpan sebuah misteri, yang sangat susah diungkapkannya.

Bu Surya ikut prihatin melihat keadaan Damar. Iapun ingin tau apa isi surat itu.

"Apa kira2 isi surat itu ya, jangan2 Manto ingin mengungkapkan apa2 tentang yang tadi dikatakan Tumi, yang ada hubungannya dengan meninggalnya ayah ibumu."

"Damar yakin itu tante, tapi sekarang Damar harus bertanya kepada siapa, sedangkan bu Tumi juga tidak tau apa2.

 

Pak Prasojo dan isterinya baru saja  pulang dari kondangan. mereka bertemu orang2 kaya, pengusaha2, bahkan pejabat, yang semuanya gemerlap bagai bintang bertaburan diangkasa. Bu Prasojo sangat senang, :"Pak, mudah2an kalau kita menikahkan Bowo nanti, bisa semeriah ditempat kita pesta tadi ya."

Pak Prasojo hanya mengangguk. Pikirannya menerawang jauh, membayangkan Asri bersanding dengan Bowo, lalu ia, isterinya dan pak Marsam mendampingi pengantin itu dikiri kanannya. Pak Prasojo bimbang, mana yang harus ia jalani, membiarkan gengsinya jatuh, atau melakukan perbuatan mulia dengan mengambil menantu Asri seperti sumpah isterinya.

"Ada apa pak? Pulang2 kok melamun?"

"Nggak ada apa2, bapak hanya memikirkan, kapan kita punya menantu."

"Ya... kapan yaa? Ibu juga bingung. Kalau menuruti kata hati Bowo, menantu kita hanya orang biasa seperti Asri, ya malu lah ibu.."

"Tapi kan ibu punya sumpah. Dan sumpah itu harus ditepati lho bu."

"Tapi kalau sampai sekarang kita tidak tau siapa gadis itu, apa ya kita harus membiarkan Bowo menjadi perjaka tua?"

"Sekarang bapak mau bertanya, seandainya kita temukan gadis itu, dan ternyata dia anak orang biasa, bagaimana?"

"Wah, ya jangan pak, jangan sampai."

"Kok jangan sampai, lha itu sudah menjadi sumpah ibu, salah sendiri ibu bersumpah, dan sumpah itu lebih berat dari sekedar janji lho."

Bu Prasojo terdiam. Rupanya para pemilik harta masih enggan bersanding dengan orang kebanyakan, dalam segala hal.

"Ibu akan berdo'a, mudah2an dia gadis baik, cantik, dan yang sederajat dengan kita."

Pak Prasojo mengeluh dalam hati. Asri belum diketemukan, tapi penolakan untuk menjadikannya keluarga terhadap dirinya sudah tampak nyata. Pak Prasojo bertambah bingung. Seandainya isterinya suka pada Asri, mungkin kebimbangannya akan berakhir. Tapi yang suka adalah Bowo anaknya.. yang belum tau tentang rahasia yang disimpannya.

 

Ongky pulang dari kantorketika hari masih sore. Ia ingin bertemu Asri, dan jalan satu2nya adalah dengan membeli bunga. Ia merasa sungkan kalau hanya bertamu tanpa alasan yang jelas. Jangan dulu kelihatan bahwa dirinya menyukai Asri. Ongky harus bersabar. Jadi diurungkannya lagi niyatnya untuk pergi kesana. Tapi semakin lama, ia semakin tak kuat lagi menahannya. Sikap Asri sudah sangat baik terhadap dirinya, ayahnya sudah setuju bermenantukan Asri, lalu sekarang tinggal bagaimana caranya berterus terang.

Ketika Bowo bertandang kerumahnya, Ongky mengeluhkan keinginan hatinya yang belum juga tersampaikan itu.

"Ya kalau kamu memang suka, katakan saja terus terang bahwa kamu suka, kalau ditahan tahan ya kamu akan kepikiran terus menerus.Dan itu bertambah menyiksa batinmu bukan?"

"Benar juga, tapi kok aku deg2an ya. Kalau ditolak bagaimana?"

"Ya itu kan resikonya orang jatuh cinta. Kamu harus berani donk. Segera lamar dia, dan apapun hasilnya akan lebih melegakan. Kalau diterima ya syukur, kalau ditolak ya bersiaplah untuk patah hati. Siapkan tali yang kuat, gantungkan dipohon manggamu itu." Bowo menggoda sahabatnya.

"Mungkin aku benar2 pengin bunuh diri kalau ditolak.."

"Hush! Ada2 saja kamu itu. . bunuh diri itu dosa, tau !"

"Kalau begitu ayo antarkan aku,"

"Waah, ya nggak mungkin aku mau, mosok menyatakan cinta pada seorang gadis pake ngajak temannya. Lha nanti kalau kamu ditolak, terus dia memilih aku, bagaimana?" Canda Bowo lagi.

"Aku bunuh kamu." dan keduanya tertawa terbahak bahak.. Tapi ketika pulang dari rumah sahabatnya, mata Bowo kembali melirik kearah rumah gadis penjual bunga. Bowo kecewa karena tak melihat bayangannya disana.

Sore itu Ongky tidak ketemu Asri. Kata pak Marsam Asri baru belanja kewarung, mungkin agak lama.

"Apa nak Ongky pengin membeli tanaman lagi? Lha saya lihat kebun nak Ongky sudah penuh bunga2 begitu, mau ditaruh dimana lagi?"

"Bukan pak, sesungguhnya..." Ongky tiba2 ingin mengungkapkan keinginannya pada ayahnya Asri dulu saja. Tapi alangkah sulit mengatakannya. Ia minum seteguk air yang disajikan pak Marsam, barangkali bisa membuat hatinya lebih tenang.

"Ada apa to nak Ongky kok seperti orang bingung begitu?" tanya pak Marsam keheranan ketika melihat sikap Ongky yang tidak seperti biasanya.

"Sesungguhnya begini pak, saya ingin mengatakan sesuatu. Tapi sebelumnya saya minta ma'af kalau pak Marsam tidak berkenan."

"Ya..ya, katakan saja, "

"Sesungguhnya..... saya ingin mengatakan .. bahwa..mm... bolehkah.. mm.. saya .. sesungguhnya mencintai Asri pak." akhirnya Ongky mampu mengucapkannya.

Pak Marsam bengong seperti sapi ompong. Anak muda yang baik ini, bukan orang biasa, pak Marsam yakin bahwa dia anak orang kaya. Rumahnya walau kecil tapi bagus, mobilnya bagus, uangnya.. jangan ditanya lah, pokoknya orang kaya. Sekarang jatuh cinta pada anaknya?

"Nak Ongky jangan bercanda. Kalau orang menyatakan cinta pada anak saya, berarti dia siap menjadi menantu saya. Saya tidak suka anak saya hanya dijadikan pacar, dibawa kemana mana, tapi ..."

"Saya sangat serius pak.. sangatt.." Ongky menegaskan kata serius dihadapan pak Marsam. Saya ingin mengambilnya sebagai isteri.

"Lha mana mungkin to nak, jangan begitu, nak Ongky itu siapa, Asri itu siapa, nggak mungkin bisa hidup berdampingan, kasihan anak saya nanti."

"Mengapa bapak berkata begitu?"

"Kalau nak Ongky suka, bagaimana dengan orang tua nak Ongky."

"Bapak saya sudah setuju."

"Bagaimana dia bisa setuju, sedangkan belum pernah melihat Asri.."

"Bapak pernah datang kemari, pura2 membeli bunga yang kemudian diberikannya bunga itu pada Asri lagi."

Pak Marsam terkejut. Terbayang olehnya laki2 setengah tua yang ramah, dan membeli seikat bunga dan dikataknnya akan diberikan kepada gadis yang disukai anaknya. Lalu bunga iu diberikannya pada Asri. Waktu itu pak Marsam dan Asri tak bisa menemukan jawabnya, siapa laki2 itu dan siapa anaknya. Sekarang terjawablah sudah teka teki itu.

"Bagaimana pak? Saya suka, dan orang tua sudah setuju,"

Pak Marsam diam sejenak. Anak gadisnya memang sudah dewasa, umurnya sudah cukup, dan sudah sa'atnya mendapatkan seorang pendamping. Sekarang ditemukannya seorang anak muda yang baik, berkecukupan lagi, yang siap mengambilnya sebagai isteri, dan sudah disetujui orang tuanya pula.

#adalanjutannyalho#

 

 

No comments:

Post a Comment

MAWAR HITAM 24

  MAWAR HITAM  24 (Tien Kumalasari)   Dewi menatap Satria yang seperti sedang  memikirkan sesuatu. Apakah Satria menemukan orang yang memben...