Thursday, December 13, 2018

SEPENGGAL KISAH 74

SEPENGGAL KISAH  74

(Tien Kumalasari)

Pak Prasojo tampak serius namun bu Prasojo dan Bowo tak bisa mempercayainya. Bagaimana bisa terjadi, dan bagaimana pak Prasojo bisa mengetahuinya?

"Bapak bercanda ?" tanya Bowo hampir bersamaan dengan ibunya..

"Itu benar, kita tak bisa mengingkari kebenaran itu.

"Itu karena bapak menyetujui hubungan Bowo sama Asri kan?" tanya bu Prasojo sengit.

"Bukan.. bukan.. bapak hanya tak tahan menyimpan rahasia ini lebih lama, bapak sadar, siapapun dia kita harus mengakuinya.

"Menyimpan lama?Jadi sudah lama bapak mengetahuinya?" Bowo menatap ayahnya tanpa berkedip, namun diam2 Bowo berharap bahwa memang itulah kebenarannya.

"Sudah lumayan lama," jawab pak Prasojo enteng. Akhirnya setelah melalui perdebatan sengit didalam hatinya, antara mempertahankan gengsinya dan mengakui sebuah kebenaran yang terjadi, pak Prasojo mengalah, bahwa memang kebenaran itulah yang harus digenggamnya. Bukankah harta hanya titipan dan derajat adalah sama dimata Tuhan?

"Bapak bohong !! kata bu Prasojo hampir berteriak. 

"Itu benar."

"Darimana bapak tau ? O, bapak juga bertemu Asri dan Asri mengatakan bahwa dialah pendonornya.. lalu bapak mempercayainya, begitu ?" 

"Bowo bilang telah bertemu Asri. Tapi bapak belum pernah ketemu dan tidak tau dimana dia tinggal. Itu penemuan bapak sendiri."

"Penemuan bagaimana?" Bu Prasojo tetap tidak percaya.

"Bapak mendapat data itu dari rumah sakit dimana Asri mendonorkan darahnya. Asri juga yang membawa ibu kerumah sakit. Dan waktu itu ibu tidak sadar."

Bowo tak menjawab, ia bergegas keluar rumah dan ingin menanyakannya langsung pada Asri. Namun ketika mau berangkat, tiba2 Ongky datang. Bowo menghentikan langkahnya.Walau kesal terhadap sahabatnya tapi disambutnya Ongky dengan baik. Keduanya duduk diteras.

"Bowo, aku minta ma'af, kata Ongky sambil menatab wajah Bowo yang masih lebam."

"Aku sudah melupakannya, aku sadar semua ini salah paham.

"Semalam aku kehilangan akal karena melihatmu bersama Asri. Aku mengira kamu menghianati aku."

"Ya, aku sudah tau itu, lupakan saja."

"Aku ikut senang, kamu telah bertemu dengan kekasihmu lagi. Mudah2an ibumu tidak menghalangi keinginanmu lagi."

"Apa kamu sakit hati?"

"Tidak.. tidak.. semua rasa itu sudah hilang sekarang. Aku berharap persahabatan kita tidak ternoda oleh kejadian semalam. "

"Tentu tidak, kamu tetap sahabatku, selamanya akan begitu." Lalu keduanya berpelukan lama sekali." 

"Aku juga mau pamit," kata Ongky tiba2.

"Pamit kemana ?

"Bapak memindahkanku dikota lain, bukan hari ini sih, cuma jangan mencari aku untuk sementara ini."

"Karena patah hati?"

Ongky tersenyum kecut.:" Kalau patah hati... ya.. tapi kan kamu sudah berpesan, bahwa seorang lelaki yang berani melamar gadis yang dicintainya, harus siap untuk patah hati? Tapi percayalah aku tidak akan bunuh diri." Dan keduanya tertawa, walau tidak semeriah sebelumnya. Maaklum, Bowo masih kesakitan kalau mulutnya terbuka agak lebar sedikit saja.

"Aku antar kamu kedokter saja?"

"Nggak, terimakasih, nanti kalau perlu aku akan kedokter sendiri."

"Jangan bawel, aku ini sahabatmu, aku menyesal telah membuatmu menjadi begini, jadi ijinkanlah aku menolongmu." 

Akhirnya Bowo menurut pada anjuran sahabatnya.

Mereka pergi setelah berpamitan juga pada pak Prasojo dan isterinya. Tapi Bowo melarang Ongky menceriterakan kejadian semalam pada orang tuanya.

 

Ketika suaminya berangkat kekantor, bu Prasojo juga keluar dari rumahnya. Pikirannya masih kacau. Ia tidak bisa dengan mudah mempercayai kata2 suaminya. Asri yang mengantarnya kerumah sakit, lalu mendonorkan darahnya? Sepertinya mustahil. Tapi sebentar lagi ia akan membuktikannya.Bukankah ia sudah tau dimana rumah Asri?

Ketika mobil itu berhenti didepan rumah, dilihatnya rumah itu sepi. Bu Prasojo turun dari mobilnya, menuju rumahnya lalu mengetuk pintunya perlahan.

Pak Marsam terkejut melihat bu Prasojo berdiri didepan pintu rumahnya. Mau menghina dengan ucapan apa lagi perempuan ini, pikir pak Marsam. Tapi ia mengangguk hormat, sambil dalam hati berkata, kalau sampai dia mengucapkan lagi kata2 yang menghina, aku akan melawannya. Lelah rasanya mengalah terus.Pak Marsm juga berfikir, pasti Bowo sudah menceriterakan pertemuannya dengan Asri dirumah ini, lalu bu Prasojo akan mengamuk.

"Pak Marsam..." nada suara itu mengejutknnya.Begitu halus dan bersahabat. Mimpi apa aku semalam, pikir pak Marsam, atau ini juga mimpi?

"Boleh aku masuk?"

Gugup pak Marsam mempersilahkannya. :" Oh, eh..silahkan..silahkan.. "

"Asri mana ?"

Pak Marsam berteriak :" Asriiii " lalu ia menjawab, " Sedang masak didapur."

"Oh, biarkan saja dulu."

Bu Prasojo mengamati ruangan kecil sederhana itu. Matanya berkeliling mengamati satu persatu yang ada diruangan itu. Foto pak Marsam dan isterinya, lalu foto isteri Marsam dan seorang gadis kecil yang pastinya adalah Asri, sebuah vas bunga disudut ruangan, berisikan mawar2 yang cantik beragam warna.Rumah ini walau sederhana tapi tampak rapi, Pikir bu Prasojo.

"Kamu pindah disini rupanya?"

"Ya, memilih agak kepinggir, dan rumah saya sewakan, supaya ada sisa uang untuk menyambung hidup."

Ketika Asri keluar, wajahnya menampakkan rasa terkejut. Sama dengan ayahnya, ia mengira bu Prasojo akan mengamuk setelah mendengar laporan Bowo tentang kejadian semalam. Tapi wajah itu tersenyum padanya. Asri mengangguk dengan bingung, lalu membalikkan tubuhnya masuk lagi kedalam rumah.

"Asri..!" Kesini dulu.." tapi Asri menjawab dari dalam rumah :" Saya buatkan minum dulu..

"Ah, sebenarnya nggak usah repot2."

Ketika Asri keluar menyajikan minuman itu, bu Prasojo menyuruhnya duduk.

Asri duduk dengan kepala tertunduk. Entah apa yang akan dilakukan perempuan ini, kata batin Asri.

"Aku mau bertanya Asri, kamu kah dulu yang menyelamatkan aku?" tanya bu Prasojo tiba2.

Pak Marsam dan Asri terkejut. Mereka menyembunyikan kejadian itu, darimana bu Prasojo tau? Tapi bu Prasojo bertanya, berarti belum tau. Mungkin  baru mngira ira.Asri dan ayahnya berpandangan, tapi Asri melihat ayahnya menggeleng geleng, jadi mereka sepakat untuk tidak mengatakannya. Apa yang dilakukan Asri tulus untuk membantu dan tidak membutuhkan pujian, apalagi imbalan.

"Menyelamatkan.. apa ya bu ?"Bu Prasojo melihat Asri menggeleng

"Membawaku kerumah sakit ketika aku mengalami kecelakaan. Dan mendonorkan darah untuk aku..." lanjut bu Prasojo.

Asri menggeleng geleng lagi. :"Tidak bu, jawabnya lirih.

"Sesungguhnya aku sedang mencari siapa pendonor itu, karena aku ingin memberikan hadiah besar, nyawa kan tidak murah harganya." Bu Prabowo berharap, dengan iming2 hadiah itu Asri akan mengatakan "ya".

Tapi Asri dan pak Marsam tidak tergiur dengan hadiah itu. Mereka tetap mengatakan tidak, dan membiarkan bu Prasojo pulang dengan kecewa.

 

#adalanjutannyaya#

 


No comments:

Post a Comment

MAWAR HITAM 03

  MAWAR HITAM  03 (Tien Kumalasari)   Malam semakin larut. Nyonya Andra yang terkapar lelap tak peduli atau bahkan tak mendengar, ada desah ...