LANGIT TAK LAGI KELAM 30
(Tien Kumalasari)
Pak Hasbi sedang mengingat-ingat, kapan dia mendengar nama Srining disebut. Mungkin Srining yang orangnya sama, atau hanya nama saja yang sama?
“Bapak mengenal nama itu? Mengenal nama orang tua Rizki?” tanya kepala panti yang sejak tadi menunggu pak Hasbi mengingat-ingat.
“Tidak. Saya tidak kenal orang tua Rizki. Tapi saya seperti pernah mendengar nama itu, sebentar … memang yang namanya orang tua itu kan bawaannya lupa.”
“Di mana Kakek mengenal nama itu? Seorang perawat di rumah sakit, barangkali?” sambung Dewi.
“Naa, rumah sakit. Benar, di rumah sakit. Tapi bukan perawat. Perempuan itu, istrinya Sartono. Dia bilang namanya Srining.”
“Sartono itu yang ….”
“Yang kemarin menemui Kakek, dia bekas karyawan Kakek.”
“O, yang agak rame sama Rizki karena bertubrukan itu?”
“Iya, dia. Namanya Srining.”
“Srining bertabrakan sama Rizki?” tanya petugas panti yang duduk di samping atasannya.
“Di rumah sakit, ketika Sartono dan istrinya berpamitan mau pulang Rizki datang menjemput saya, Srining tidak tahu ada Rizki di belakangnya, jadinya bertubrukan. Sedikit heboh, Srining itu ternyata kasar sekali. Tapi tidak apa-apa. Tidak mungkin dia ibunya Rizki. Tidak ada mirip-miripnya,” kata pak Hasbi.
“Belum tentu anak mirip dengan ibunya. Mungkin mirip ayahnya.”
“Sartono … apa lagi, tidak ada kemiripan sama sekali. Sartono itu hitam, hidungnya agak mancung, pipinya tembem, gemuk. Masa Rizki seperti itu? Rizki kan agak ganteng dan tinggi.”
“Saya hanya ingin mengabarkan masalah itu Pak. Tapi kalau memang Bapak tidak tahu tentang orang tuanya, ya sudah. Kelihatannya ibu Srining ingin bertemu Rizki, mungkin mau dibawa pulang, atau apa, saya tidak tahu. Tapi kalau tidak ada bukti bahwa dia adalah orang tuanya, mana mungkin saya bisa mengatakan bahwa saat ini Rizki sudah menjadi putra angkat pak Hasbi.”
“Benar, jangan sampai nyasar kepada orang yang hanya mengaku-aku.”
***
Dewi yang kembali duduk menemani pak Hasbi, melihat pak Hasbi tampak seperti mengingat ingat.
“Tapi Sartono mengatakan, bahwa dia menikahi Srining ketika Srining sudah punya anak. Dan Sartono juga mengatakan bahwa dia tidak suka anak kecil, jadi anak itu oleh Srining dikembalikan kepada suaminya.”
“Mengapa Kakek tiba-tiba berpikir tentang Srining dan Sartono?”
“Entahlah. Mengapa jadi berpikir bahwa ibu Rizki itu Srining ya?”
“Bukankah Rizki ditiggalkan di panti asuhan begitu saja?”
“Gambaran yang terlintas di pikiranku adalah, Srining lari dari suaminya, dengan membawa bayi. Karena suami barunya tidak mau kalau Srining membawa bayi, harusnya Srining mengembalikan anaknya pada suaminya, tapi mungkin karena takut pada suaminya, tentunya dia tak berani pulang untuk menyerahkan bayinya.”
“Lalu ditinggalkan saja di panti asuhan?”
“Itu yang aku pikirkan. Tapi pastinya tidak benar ya, masa aku bisa menebak-nebak.”
“Semuanya tidak jelas,” kata Dewi.
Tiba-tiba ponsel Dewi berdering, dari suaminya.
“Ya Sat, ada apa?”
“Kamu jadi bertanya ke panti-panti tentang sumbangan itu?”
“Belum, maksudku siang ini. Tapi masih menemani kakek sih.”
“Bukankah kamu bisa menelponnya saja, tanpa harus datang?”
“Aku hanya punya catatannya, tapi tidak punya nomor kontaknya.”
“Kakek pastinya punya.”
”Oh iya, nanti aku tanyakan pada kakek. Sebenarnya kakek kan bisa menelponnya, kalau saja kakek punya nomor kontaknya. Tapi kakek kan tidak pernah memegang ponsel. Di rumah juga tidak ada telponnya. Tapi nanti aku bilang saja pada kakek. Iya sih, kok tidak punya pikiran untuk itu.”
“Ya sudah, cuma mau mengingatkan kamu soal itu.”
“Dari suamimu?” tanya pak Hasbi setelah Dewi menutup ponselnya.
“Iya.”
“Ada berita apa?"
“Bukan berita apa-apa. Ini tentang panti-panti yang mendapat sumbangan dari Kakek setiap bulan.”
“Sebenarnya aku tuh tidak apa-apa tentang uang itu. Hanya aku ingin mendisiplinkan Rizki tentang tugas mengirimkan sumbangan itu. Tanda terima yang dibawa sangat membuat aku kecewa.”
“Apakah Kakek merasa curiga?”
“Maksudmu … Rizki tidak menyetorkan sumbangan itu?”
“Dewi tidak ingin menuduh, tapi bagaimana kalau saya menanyakan ke panti-panti itu tentang sumbangan yang Kakek berikan?”
“Mencari bukti kalau Rizki sudah menyerahkannya, atau tidak?”
“Sedikit menegur mengapa tanda terimanya seperti bukan tanda terima resmi,” kata Dewi yang tidak ingin terang-terangan mencurigai Rizki.
“Itu bagus. Aku setuju. Kata Rizki baru besok mengurus tanda terima itu.”
“Kakek punya nomor telponnya kan?”
“Ada, di setiap blanko kwitansi kan ada nomor kontaknya.”
“Boleh Dewi minta?”
“Sebentar kakek ambilkan.”
Dewi merasa senang. Mengapa semuanya baru terpikirkan setelah diingatkan? Mungkin karena banyak masalah yang harus dipikirkan.
“Ini Dew, ada nomor kontaknya semua,” kata pak Hasbi sambil memberikan beberapa lembaran tanda terima.
Dewi membacanya satu persatu, lalu dia juga menelponnya satu persatu. Hasilnya? Pak Hasbi terbelalak mendengarnya. Dari enam panti atau yayasan itu, tak ada satupun yang sudah menerima sumbangan darinya.
Wajah pak Hasbi merah padam. Inilah yang sebenarnya membuat Dewi khawatir. Kemarahan yang berlebihan.
“Berarti Rizki itu memang kurangajar! Dia membohongi aku. Itu uang yang tidak sedikit.”
“Sabar dulu Kek.”
“Ini bukan karena uangnya. Aku masih punya banyak uang. Tapi kebohongan itu tidak bisa dimaafkan. Aku tidak percaya Rizki bisa melakukannya. Sikapnya yang menjadi baik, hanya kamuflase saja, untuk menutupi kebusukannya.”
Dewi mendekatinya dan mengelus bahunya lembut.
“Kakek tidak usah marah-marah begini, nanti Kakek sakit.”
“Bagaimana kamu itu Dewi, aku ini dibohongi. Mentang-mentang aku sudah tua lalu seenaknya dia membohongi aku?”
“Nanti Kakek tanya saja pada dia secara baik-baik, barangkali dia punya alasan mengapa harus berbuat begitu.”
“Orang berbuat jahat itu tidak ada alasan yang bisa menutupinya. Tidak!”
“Iya, tapi Kakek jangan marah ya?”
“Jangan-jangan pencuri uang itu bukan Misdi, tapi Rizki,” pak Hasbi hampir berteriak.
Dewi yang merasa cemas melihat keadaan sang kakek, sedikit merasa lega. Setidaknya ada gambaran tentang Rizki, tentang pak Misdi dan tentu saja Misnah.
“Menurut Dewi, pak Misdi orangnya baik. Tapi kan semua itu harus dibuktikan? Mungkin setelah mengambil uang Kakek, lalu pak Misdi hidup berkecukupan, enak, punya uang banyak. Ya kan?”
Dewi hanya memancing-mancing. Harus ada alasan mengapa dia membela pak Misdi.
Mengingat pak Misdi, rona merah padam di wajah pak Hasbi mereda, suaranya juga sedikit lembut.
“Kamu tahu di mana pak Misdi sekarang? Apa benar dia hidup enak?”
“Kakek sebenarnya suka pada pak Misdi dan anaknya bukan?”
“Sesungguhnya iya, tapi Rizki membuktikan bahwa dia mencuri uangku.”
“Bagaimana kalau Rizki yang menaruh uang di almari pak Misdi kemudian menuduh dia telah mencuri uang Kakek? Aku percaya Kakek itu pintar, aku percaya kalau dalam hati Kakek yang paling dalam, Kakek tidak mempercayai bahwa pak Misdi sejahat itu.”
“Cari dan lihat bagaimana pak Misdi sekarang, apa benar dia sekarang hidup enak?”
“Kalau Kakek sudah sehat, Dewi akan mengajak Kakek menemui pak Misdi.”
“Kakek tidak sakit. Kamu tahu sesuatu, mengapa tidak memberitahukannya pada kakek?”
“Akan ada saatnya Kakek mengetahui semuanya.”
Pak Hasbi diam, tapi tampak ada sesuatu yang dipikirkannya. Rupanya dia sedang menunggu kedatangan Rizki.
***
Citra turun dari mobil, ke arah percetakan yang diminta menggarap pesanannya. Janji untuk besok pagi diabaikannya. Citra berharap hari ini sudah siap. Dan itu memang benar. Ketika kembali ke mobil, dia sudah membawa beberapa bendel kwitansi yang dipesannya, dengan logo beberapa panti yang berbeda, tergantung yang dituliskan Rizki.
Tentu saja Rizki sangat senang.
“Ke rumahku saja dulu, tulis tanda terimanya di rumahku, bukankah stempelnya juga ada di rumahku?”
Dengan perasaan lega kemudian Rizki membawa mobilnya ke rumah Citra. Memang benar, harus ditulis di sana karena stempelnya juga Citra yang menyimpannya.
Ringan tangan Rizki ketika menuliskan angka-angka sumbangan sebanyak yang disarankan ayahnya.
“Riz, bedakan tulisannya, jangan sama. Masa panti yang berbeda tulisannya sama. Sini, sebagian aku yang nulis. Aku juga bisa nulis dengan bentuk hurup yang berbeda kok.”
“Ya, nggak apa-apa, memang harus berbeda.”
“Nanti kalau kamu pulang, jangan lupa obat yang sudah aku beli dari temanku nanti kamu bawa. Kamu pasti bisa dong, membuang isi kapsul ramuan itu lalu menggantinya dengan obat yang aku berikan?”
“Iya, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan. Kamu tidak usah khawatir. Segera selesaikan tulisannya, jangan lupa stempelnya berbeda-beda lhoh, jangan sampai terbalik.”
“Iya, aku mengerti.”
Siapa yang sebenarnya bodoh? Pak Hasbi walau tua bukan tak punya pengalaman. Bagaimana Rizki bisa membuat tanda terima dengan kop panti yang semau dia dan tidak sesuai dengan aslinya, lalu berharap pak Hasbi bisa mempercayainya? Kebohongan sudah terkuak, dan pekerjaan Rizki pastinya hanya sia-sia saja.
***
Misnah sudah boleh duduk, walau cairan infus masih tersambung di lengannya.
Pak Misdi yang sudah merasa sehat, selalu menungguinya. Akan tetapi sesungguhnya ada perasaan tak enak yang dirasakannya. Biaya rumah sakit itu, yang oleh para penolongnya, dia tak boleh memikirkannya. Masa iya, uang yang tidak sedikit maka dia tak boleh memikirkannya? Karenanya ketika Misnah merengek ingin pulang, pak Misdi sebenarnya juga menginginkannya.
“Pak, ayo kita pulang.”
“Nah, kamu kan masih di infus. Tuh, berarti kamu belum sembuh. Tapi nanti kalau pak dokter kemari, bapak akan berbicara dengannya.”
“Apa Bapak akan jadi tukang kebun lagi?”
“Tidak Nah, bapak akan kembali menambal ban seperti dulu.”
“Aku bisa menambal ban. Aku dapat uang … “
Pak Misdi tersenyum, mengelus kepala Misnah dengan kasih sayang.
"Kamu kan harus sekolah?"
“Oh, iya … bukankah aku sekolah? Aduh, ayo pulang Pak, aku belum mengembalikan sisa roti juga, tapi … uangku mana? Bukankah uangku dibawa pencopet?”
Lalu Misnah menangis terisak. Ia teringat dompet berisi uang dilarikan pencopet.
“Ada apa Misnah menangis?”
Pak Misdi menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata yang datang adalah perawat yang akan menggantikan perban Misnah.
“Dompet saya hilang, dokter.”
“Oh iya? Sabar ya, nanti pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih banyak, tapi aku bukan dokter lhoh, panggil aku ‘mbak’ atau ‘suster’, begitu,” kata perawat yang mengerti keadaan Misnah. Dengan sabar kemudian dia menggantikan perban di kepala Misnah.
“Suster, bolehkah saya bertanya, berapa nanti bayarnya semua biaya saya dan anak saya ketika di rumah sakit?” tanya pak Misdi.
“Lhoh, biayanya kan sudah dibayar oleh yang namanya pak Listyo? Jadi Bapak tidak usah memikirkannya.”
“Oh, sudah dibayar?”
“Sudah, bahkan uangnya yang dititip masih sisa.”
“Ya Allah. Terima kasih, begitu banyak orang baik untuk hambamu yang teraniaya ini,” kata pak Misdi lirih dengan linangan air mata.
“Pak Listyo itu yang kemarin kan Pak?”
“Yang menolong kamu ketika kamu diserempet mobil.”
“O, itu aku tahu, aku marah-marah sama dia. Dia itu jahat Pak,” kata Misnah berapi-api.
“Sekarang Misnah istirahat lagi dulu ya,” kata perawat setelah selesai mengganti perban, kemudian keluar dari ruangan.
“Kamu kenal siapa dia?”
“Mobilnya itu, ada gambar tengkorak.”
Pak Misdi terkejut. Mobil itu mobil pak Hasbi yang dipakai Rizki, ditempel sticker tengkorak di kaca bagian belakang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jreng In
DeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
DeleteSalam sehat dari Solo
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 30 " sampun tayang...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun 🤲🙏🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Afuhai aduhai
Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~30 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteNuwun pak Latiefr
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
aduhaihai hai
🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏😍
Cerbung eLTe'eLKa_30
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai 💐🦋
🍄🍁🍄🍁🍄🍁🍄🍁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Aduhai
Makasih bunda tayangannya.
ReplyDeleteSebentar lagi Rizki kena batuna bakal ketahuan kebohongannya.
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteeLTeeLKa30 sdh tayang
Sugeng dalu sugeng istirahat
Nuwun mas Kakek
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Hatur nuhun bunda 🙏salam sehat sll dan tetap aduhai unk bunda🙏😃🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam srhat juga
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin 🤲🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖🌿🌸
ReplyDeleteMulai terkuak satu persatu ttg Rizky, anak kecil dah tau bikin stempel & kwitansi palsu, calon karuptor . biasanya para pengusaha
Seruuuu.keren bunda Tien bikin penasaran 😁🤭
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 30 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam sehat aduhsi dari Solo
Alhamdulillah, mksh Bu Tien smg sll diberikan kesehatan
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ida
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 30 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MERa
DeleteTerimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga....Aamiin YRA
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin 🤲🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Rizki...Rizki...jadi penjahat kok tanggung amat, kurang licik. Harusnya kalau mau memalsukan kwitansi ya 'pinjam' kwitansi yang asli dulu...hehe, apa mungkin ada di lemari uang ya?😅
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Bahagia selalu.🙏🏻💖
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nana
Menunggu LTLK 31, semoga bunda Tien sehat selalu 🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Sabar menanti LTLK 31....semoga Bunda Tien sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni