LANGIT TAK LAGI KELAM 29
(Tien Kumalasari)
Berlinang air mata Srining, sambil memandangi foto yang ditunjukkan kepadanya.
“Ini anak saya, apakah dia masih ada di sini?” ulangnya dengan suara gemetar.
“Anak ini sudah besar, ketika diangkat anak oleh seseorang.”
“Siapa? Siapa yang mengambilnya? Siapa namanya? Di mana alamatnya? Tolong katakan, saya adalah ibu kandungnya.”
Kepala panti menatapnya ragu.
“Tidak mudah menerima pernyataan bahwa Ibu adalah ibu kandungnya. Anak itu ditinggalkan begitu saja di teras, tanpa kesan, tanpa pesan, tanpa catatan.”
Srining menangis terisak.
“Saya khilaf. Saya terpaksa melakukannya. Sungguh saya terpaksa melakukannya.”
“Mengapa Ibu meninggalkannya?” tanyanya penuh teguran.
“Saya terpaksa. Saya tidak bisa membawanya. Maafkanlah saya.”
“Kami minta maaf. Tak ada catatan apapun, lalu Ibu mengakui sebagai ibu kandung anak itu. Bahkan tidak ada nama yang tertera. Maaf Bu, kami tidak bisa membantu Ibu.”
Srining mengusap air matanya yang mengalir deras.
“Tapi saya ini ibu kandungnya. Nama saya Srining. Masa saya tidak boleh mengerti tentang anak saya? Tolonglah, saya ini ibu kandungnya,” katanya berkali-kali.
"Bagaimana saya bisa mempercayainya?”
“Ya Allah, bagaimana saya bisa meyakinkan Ibu?” kata Srining, memelas.
“Memang tidak mudah Bu, bisa saja siapapun mengakui bahwa dia adalah anaknya. Tapi anak itu ditinggalkan tanpa identitas dan catatan apapun. Bagaimana saya bisa mempercayai Ibu?”
“Di rumah, saya punya fotonya juga, akan saya ambil, nanti Ibu bisa melihat kesamaan diantara keduanya.”
“Mungkin ditemukan kesamaan, Tapi saya tidak berjanji ya Bu, dengan foto, apakah saya bisa mempercayainya.”
“Ibu ini bagaimana, kalau sama fotonya, berarti anaknya juga sama. Sebentar, saya akan mengambilnya,” katanya sambil berlalu.
Kepala panti hanya menatapnya iba, tapi ada aturan yang harus dipegangnya, karena pengambilan anak angkat dilakukan melalui pengadilan juga. Tentu dia tidak bisa mempercayai setiap orang, karena banyak orang yang hanya mengaku-ngaku, demi mendapatkan keuntungan. Apalagi dia tahu, yang mengadopsi adalah orang yang terbilang kaya.
***
Srining tahu masih ada foto Jarot anaknya, tapi foto itu ditinggalkan di rumah, bersama bekas suaminya. Hanya saja dia tak lagi menemukan Misdi di rumah lamanya. Kata sang pemilik rumah, pak Misdi sudah pergi sejak beberapa bulan lalu.
“Pindah ke mana dia?”
Lalu Srining teringat bahwa bekas suaminya menjadi penambal ban, yang dia pernah menemuinya. Srining bergegas ke sana. Foto itu penting. Percaya atau tidak, pengurus panti harus melihat foto itu. Barangkali ada jalan keluar yang bisa mempertemukan dirinya dengan anak kandungnya.
Tapi Srining kecewa. Pak Misdi tidak lagi mangkal di tempatnya yang dulu. Tukang warung di sebelahnya juga tak bisa memberikan keterangan, ke mana pak Misdi pindah.
“Masa dia tidak mengatakan mau pindah ke mana?”
“Dia dan anaknya hanya datang untuk mengambil peralatan yang tadinya dititipkan pada saya.”
“Sampeyan juga tidak bertanya ke mana perginya?”
“Saya bertanya, tapi dia mengatakan bahwa belum nenemukan tempat yang tepat untuk membuka bengkel lagi, begitu Bu.”
“Mengapa dia harus pindah?”
“Mana saya tahu Bu, saya kan tidak pantas bertanya sedetail itu. Lagipula ketika dia mengambil peralatannya, warung saya sedang ramai.”
“Waduh, ke mana saya harus mencari dia. Eh, tunggu, sampeyan tadi bilang dia datang bersama anaknya? Dia sudah besar?”
“Iya.”
“Anaknya laki-laki?” Srining mengira bekas suaminya sudah bisa bertemu dengan Jarot, anaknya.
“Tidak, perempuan. Masih anak-anak. Kira-kira sepuluh atau sebelasan tahunlah.”
“Apa dia menikah lagi dan punya anak?”
“Wah, saya tidak tahu Bu. Tapi kelihatannya pak Misdi tidak punya istri.”
“Dia pasti pernah punya istri dan punya anak,” gumam Srining.
“Memangnya Ibu siapanya?”
“Saya bekas istrinya. Nama saya Srining.”
“O,” hanya itu yang diucapkan tukang warung.
“Aduh, ke mana ya aku harus mencarinya?” gumamnya sambil berlalu, bahkan sampai lupa berpamit pada tukang warung itu, yang menatapnya heran.
“Bekas istri pak Misdi cantik juga ya, dan tampaknya hidup berkecukupan. Pakaiannya juga bagus, tidak lusuh seperti pak Misdi. Mengapa dia mencari-cari bekas suaminya? Aku yakin bukan karena ingin rujuk.”
Lalu tukang warung itu tersenyum sendiri, sambil masuk lagi ke dalam warungnya.
***
Pak Misdi mengucek matanya berkali-kali. Siang itu dia ketiduran. Entah mengapa tiba-tiba dia bermimpi menggendong bayi. Bayi itu Jarot, yang bertahun-tahun tak pernah ditimangnya. Rasa rindu tiba-tiba terasa menyesak dadanya. Ia ingat bahwa punya seorang anak laki-laki yang entah berada di mana. Sudah lama dia melupakannya, tapi entah mengapa sekarang tiba-tiba mengingatnya. Gara-gara mimpinya siang itu.
“Dasar pemalas aku ini, siang-siang begini tidur.”
Pak Misdi hanya tertidur di kursi, di mana dia menunggui Misnah yang masih terbaring sakit.
“Bapak,” Misnah membuka matanya.
Pak Misdi mendekatkan kursinya, tangannya memegangi tangan Misnah.
“Ada apa? Kamu masih merasakan sakit?”
“Tidak, ayo pulang saja.”
“Kamu belum sembuh, jadi belum boleh pulang.”
“Aku mau mengembalikan rantang dulu.”
“Rantang apa?”
“Rantang itu.”
Pak Misdi tidak tahu tentang rantang. Di kamar itu ada tas sekolah Misnah dan ada keranjang berisi roti, dan sebuah rantang susun. Ia mengambilnya, karena memang tidak tahu rantang itu milik siapa. Listyo maupun Dewi tidak mengatakan apapun kecuali hanya mengatakan bahwa itu barang-barang Misnah.
“Rantang ini maksudnya?” pak Misdi menunjukkan rantang itu.
“Itu bukan punya kita kan?”
“Kamu ingat, ini punya siapa?”
“Ibu-ibu tua yang baik hati. Rumahnya lupa.”
Tiba-tiba pak Misdi ingat ketika Misnah membawa pulang makanan, wadahnya adalah rantang itu. Mengapa ia sampai lupa? Pikirnya sambil menepuk dahinya.
“Mengapa Bapak memukul kepala Bapak sendiri?”
“Aku ingat rantang itu. Kamu pulang membawa makanan di dalam rantang, katanya diberi makanan oleh ibu-ibu kaya yang rumahnya sangat luas. Rumahnya rumah kuno. Kamu ingat?”
“Oo, itu … aku ingat Pak, lalu Bapak ikut makan di bengkel?”
Pak Misdi tersenyum senang.
“Sudah banyak yang kamu ingat, Nak. Bapak senang sekali. Kamu akan segera sembuh.”
“Mengapa aku lupa semuanya ya Pak?”
“Tidak semuanya, sudah banyak yang kamu ingat. Kamu ingat ketika diserempet mobil?”
“Iya, diserempet, lalu aku jatuh. Tapi ada orang … dia menolong aku.”
“Namanya pak Listyo, dia dosen di sebuah perguruan tinggi, saudaranya non Dewi. Kamu ingat non Dewi?”
“Yang kemarin datang kan? Tentu saja aku ingat, dia baik sekali. Aku juga ingat ada orang jahat. Aku bertengkar sama dia. Di mana ya?”
“Siapa orang jahat itu?”
Misnah mengerutkan keningnya.
“Aku benci sekali sama dia, tapi dia tuh siapa, aku lupa Pak.”
“Ya sudah, jangan diingat-ingat dulu. Nanti kamu akan ingat dengan sendirinya.”
“Aku mau pulang saja.”
“Sabar ya Nak, kan bapak ada di sini menemani kamu. Nanti kalau kamu sudah sembuh, kita pulang.”
Misnah hanya mengangguk, tapi keningnya berkerut. Tampaknya dia sedang mengingat-ingat.
***
Pagi hari itu pak Hasbi sudah bisa duduk sarapan bersama Rizki. Ia tampak sehat dan wajahnya tak lagi pucat.
“Bapak sudah kelihatan sehat,” kata Rizki.
“Lumayanlah. Tidak seperti kemarin, pengin merem saja.”
“Mbok, obat untuk bapak mana? Kok tidak disiapkan di sini?” teriak Rizki.
“Ya mas, nanti simbok yang akan menyiapkan, ini sudah simbok ambil dari almari obat,” kata simbok sambil mendekat. Ditangannya ada kotak plastik kecil berisi obat.
"Non Dewi yang meletakkannya di sini,” katanya sambil menaruh kotak itu di meja.
“Biar aku yang menyiapkan, tuh bapak sudah selesai makan.”
“Biar simbok saja Riz, nanti kamu keliru lagi, trus tidak hanya tidur, tapi malah pingsan.”
“Bapak kok gitu. Masa salah sekali juga akan salah selamanya.”
“Sudah, jangan ikut campur. Siap-siap kuliah sana.”
“Ya sudah, kalau Bapak tidak mau.”
“Eh, jangan lupa. Kwitansi itu diminta.”
“Bapak gimana, aku kan sudah bilang hari ini aku pulang sore, bisanya besok siang. Pokoknya beres, bapak tidak usah khawatir.”
“Cuma kwitansi saja susahnya bukan main. Baru sekali ini lho, panti-panti tidak memberikan kwitansi resmi.”
“Karena Rizki ke sananya sudah agak sore. Masak sih, Rizki harus memaksa kalau adanya cuma kertas biasa.”
“Paling tidak harus ada stempelnya. Kamu itu orang terpelajar, masalah begitu saja tidak mengerti. Orang membayar, harus ada kwitansinya.”
“Kita kan bukan beli sesuatu, tapi niatnya menyumbang, sebenarnya tanpa kwitansi resmi asalkan sudah diterima kan cukup.”
“Dalil dari mana itu? Menyumbang atau memberi, apalagi dalam jumlah yang tidak sedikit, harus ada tanda terimanya. Bukan karena kita menyumbang lalu hanya memberikan lalu ditinggal pergi. Atau untuk menyombongkan diri bahwa kita sudah menyumbang. Karena bapak rutin menyumbang, tanda terima itu untuk pegangan kita bahwa bulan ini kita sudah menyumbang, sehingga kita tidak lupa. Lagi pula penerima bantuan itu kan hanya karyawan. Dia juga harus menyetor ke kantor. Jadi harus ada tanda terima.. yang ditanda tangani kamu juga. Memang begitu caranya.”
“Ya sudah, besok sudah dipastikan bahwa Rizki sudah membawa tanda terima yang asli. Sekarang Rizki mau berangkat dulu ya Pak,” katanya sambil mencium tangan ayahnya, kemudian berlalu.
“Anak itu, bagaimana seorang terpelajar tidak tahu tatanan orang memberi dan menerima?”
“Kalau saya memberi nasi pada tukang becak, barulah tidak pakai tanda terima, ya kan Tuan,” canda simbok.
Pak Hasbi tertawa.
“Kamu ada-ada saja. Sekarang mana obatnya?”
“Ini Tuan, sudah saya siapkan.”
“Yang ramuan itu memang kata dokter efeknya ngantuk, tapi kalau satu saja tidak apa-apa. Kemarin itu kan minum dobel. Dasar anak itu sembrono,” gerutu pak Hasbi.
***
Siang hari itu pak Hasbi sedang duduk di teras, ditemani Dewi, yang memang datang untuk menghiburnya.
Ia berharap yang buruk akan segera terungkap, dan ingin agar pak Misdi bisa kembali menjadi teman ngobrol sang kakek.
“Kakek sudah merasa sehat ya, wajah Kakek tidak pucat seperti kemarin.”
“Itu karena ada kamu. Kalau ada kamu, hati kakek senang, sehingga sakitpun tidak terasa.”
“Kakek tidak boleh sakit. Kalau hati senang, tubuh akan terasa sehat.”
“Iya, aku tahu itu.”
Tiba-tiba ada mobil berhenti di luar pagar.
“Itu bukan mobilku kan?”
“Bukan, itu kan mobil Panti Asih Kek?”
“Panti Asih itu kan panti di mana kita dulu mengambil Rizki, ya kan?”
“Iya, benar.”
Seseorang turun, kemudian berjalan mendekat. Pak Hasbi dan Dewi menyambutnya berdiri.
“Selamat siang. Saya dari Yayasan Panti Asih.”
“Silakan masuk,” kata pak Hasbi ramah.
Kedatangan orang panti itu ternyata ingin mengatakan, bahwa kemarin ada orang mengaku orang tua Rizki, yang menanyakan di mana sekarang Rizki berada.
“Apakah Ibu mengatakan di mana Rizki berada?”
“Tidak. Kami tidak yakin apa itu benar orang tuanya atau bukan, soalnya ketika Rizki ditinggalkan, tak ada tanda apapun yang dibawa. Orang tuanya meninggalkannya begitu saja. Tak ada catatan bahkan nama si bayi sekalipun. Jadi kami tidak bisa mengatakan apa-apa, kecuali ada bukti jelas bahwa dia memang orang tuanya.”
“Itu benar sekali Bu. Siapa napa orang yang mengaku menjadi orang tua Rizki itu?”
“Katanya namanya Srining. Dia datang sendirian.”
“Srining?”
Pak Hasbi ingat sesuatu.
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit tak lagi kelam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
Deleteππ¦ππ¦ππ¦ππ¦
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ©·
Cerbung eLTe'eLKa_29
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
ππ¦ππ¦ππ¦ππ¦
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai haif
Alhamdulillah....
ReplyDeleteWa'syukurilah eLTeeLKa_29 sdh tayang.....
Matur nuwun mbak Tien....
Sami2 mas Kakek. Udah sehat?
DeleteAlhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~29 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 29 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat.....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 29 " sampun tayang...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, semoga selalu sehat bersama keluarga π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Bams
Maturnuwun cerbung langit tak lagi kelam sdh tayang smg Bu Tien sekeluarga sll diberikan kesehatan , aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Ida
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien cerbung Langit tak Lagi Kelam telah tayang,tetep sehat semangat Bu Tien, terus berkarya.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdullilah terima ksih bunda cerbungnya πdalmt mlm slmr istrhat..salam seroja unk bunda sekeluargaππ«’πΉ❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam sehat juga
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 29 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah LTLK 29 sdh tayang. Matursuwun Bu Tien, sehat dan bahagia selalu bersama keluarga, sll dlm lindungan Alloh subhanahu wa ta'ala. Aamiin π
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Umi
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteRizky tdk berpikir ada tanda terima yg hrs ditandatangani,.. mantab Bu Tien πππ
Kelakuan Rizky turun dari ibunya yg TDK tahu tata Krama ternyata ππ€
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu
Trm ksh Bu Tien, cerbungnya sdh tayang. Salam Seroja...
ReplyDeleteSami2 ibu. Salam seroja juga
DeleteTerimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga....Aamiin Allahumma Aamiin π€²π€²π€²
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Komariyah
Terimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga....Aamiin Allahumma Aamiin π€²π€²π€²
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete