LANGIT TAK LAGI KELAM 31
(Tien Kumalasari)
Misnah mengerutkan kening. Ia merasa tak suka mengingat mobil itu. Entah mengapa. Atau karena mobil itu menyerempet dirinya sehingga jatuh?
“Aku jatuh karena mobil itu,” gumamnya.
“Kamu ingat itu mobil siapa?”
“Entahlah. Misnah tak suka mobil itu. Misnah ingat ketika memarahi orang. Dia itu orang jahat.”
“Siapa?”
“Siapa dia? Nanti Misnah ingat-ingat dulu. Orangnya jahat.”
“Dia laki-laki?”
“Iya, wajahnya seperti hantu.”
“Seperti hantu? Hitam … begitu?”
“Pokoknya jelek.”
Tapi pak Misdi sudah mulai meraba-raba. Walau tidak diutarakannya kepada anaknya, tapi ada sesuatu yang melintas. Pemilik mobil, atau orang yang biasanya mengendarai mobil itu. Bukankah benar kalau Misnah harus memarahinya? Mungkin Misnah ketemu di jalan, memarahi atau mengomelinya, lalu dia berusaha menabrak Misnah atau menyakitinya dengan menyerempetnya.
“Kamu ingat seseorang bernama Rizki?”
“Bukankah Rizki itu anak tuan Hasbi?”
“Bagus, kamu ingat dia.”
“Rizki itu sangat membenci aku kan?”
Pak Misdi menggeleng-gelengkan kepalanya. Misnah ingat kalau Rizki membencinya, tapi tidak ingat siapa yang diomelinya, atau tepatnya siapa yang menyerempet dengan mobilnya.
“Yang kamu marah-marahi itu bukan Rizki?”
“Kan Bapak melarang aku mengatakan sesuatu tentang Rizki. Katanya kita harus membiarkannya saja.”
“Iya, benar,” jawab pak Misdi singkat.
“Pak, ayo kita pulang.”
“Sebentar, bapak sedang menunggu dokternya.”
“Misnah ingin mengembalikan rantang itu. Tapi di mana ya, rumahnya?”
“Apa kabar Misnah?”
Misnah terkejut. Pak Misdi juga menoleh ke arah datangnya suara.
“Pak Listyo …” sapa pak Misdi sambil menyalaminya.
“Sedang tak ada tugas, jadi keluar sebentar untuk menemui Misnah.”
“Saya mengucapkan terima kasih atas semuanya.”
“Terima kasih untuk apa?”
“Bapak membayar semua biaya. Saya tidak tahu harus bilang apa.”
“Jangan bilang apa-apa. Bukan saya saja yang membayar, tapi Dewi juga.”
“Tuan, saya mau pulang saja.”
“Aku sudah bilang, jangan panggil aku tuan, cukup pak Listyo saja.”
“Baiklah, saya mau pulang ya Pak.”
“Nanti bilang sama dokternya dulu. Kalau dokter bilang belum boleh, Misnah harus menurut. Ya kan?”
“Tapi saya harus mengembalikan rantang.”
“Rantang? Oh, rantang itu. Kamu mau mengembalikan ke mana?”
“Nanti saya cari. Saya juga lupa. Saya sudah janji mau mengembalikannya. Kalau tidak saya kembalikan, nanti saya dosa.”
“Tapi kamu kan belum tahu atau masih bingung di mana rumah orang yang punya rantang itu?”
“Siapa ya? Ibu-ibu sudah tua, rumahnya luas. Kalau dari sekolah Misnah, Misnah ingat. Iya, ada roti sisa juga, aduh .. ayo pulang Pak, Misnah harus mengembalikan roti sama rantang. Mana sisa roti itu?”
“Misnah, kamu tidak usah ke sana. Yang punya rantang pasti nanti akan mampir kemari.”
“Benarkah? Untuk memarahi Misnah karena Misnah tidak segera mengembalikan rantangnya?”
“Bukan untuk memarahi. Kamu kenal dia kok.”
“Ya kenal, dia memborong roti dagangan saya.”
“Yang akan datang kemari bukan ibu-ibu itu. Tenang saja, dia itu tidak pernah marah-marah. Dia sangat baik.”
“Siapa dia?”
“Kamu nggak kenal bu Dewi?”
“Bu Dewi nggak kenal. Misnah kenalnya sama non Dewi.”
“Nah, dia itulah pemilik rantangnya.”
“Bukan kok. Pemiliknya dua orang ibu, sudah tua-tua.”
Listyo tersenyum. Misnah sudah banyak kemajuan. Banyak yang diingatnya, walau terkadang masih kelihatan bingung.
“Kamu tahu, rumah itu sebenarnya milik non Dewi, sedangkan ibu-ibu tua itu, pengasuh non Dewi.
“Masa iya? Kenapa waktu itu dia tidak bilang begitu?”
Listyo tertawa. Mana bisa bilang? Mereka kan tidak tahu kalau Misnah kenal non Dewi? Tapi Listyo hanya tertawa. Ia memaklumi keadaan Misnah yang belum sepenuhnya normal.
“Jadi … Misnah tidak boleh bingung. Rantang itu nanti berikan saja pada non Dewi, beres kan?”
“Bagaimana dengan roti itu?”
“Roti itu juga tidak usah kamu pikirkan. Yang punya perusahaan sudah tahu kalau Misnah sakit, jadi dia bisa mengerti.”
“Tapi uangku … “
Tiba-tiba Misnah menangis lagi. Uang itu sangat besar artinya bagi kehidupannya. Misnah sadar sepenuhnya. Karenanya setiap mengingat uang itu Misnah selalu menangis.
Listyo mengerti. Ia merogoh kantongnya, kemudian memberikan beberapa lembar uang kepada Misnah.
“Ini, sebagai penukar uangmu yang dicopet.”
Misnah menggoyang-goyangkan tangannya.
“Tidak. Apakah pak Listyo yang mencopet uang itu?”
“Husssh!” pak Misdi menutup mulut Misnah dengan telapak tangannya.
“Jangan bicara sembarangan,” lanjutnya.
“Mengapa dia memberikan uang sebagai pengganti yang dicopet?”
“Misnah, karena uangmu dicopet orang, pak Listyo yang baik hati ini memberi uang kepada kamu, agar kamu tidak sedih lagi, bukan karena dia mencopet lalu mengembalikan uangnya. Ayo minta maaf pada pak Listyo.”
”Aku harus minta maaf?”
“Tentu saja. Cepatlah.”
“Tuan, eh … pak, saya minta maaf ya?”
Listyo tersenyum.
“Tidak apa-apa, karena kamu tidak mengerti. Sekarang terimalah uang ini. Aku ganti kalimatnya ya. Uang ini untuk Misnah. Titik.”
“Mengapa pak Listyo memberi uang?”
“Karena kamu anak baik, jadi aku beri kamu uang.”
“Terimalah Nah, dan bilang terima kasih.”
“Terima kasih, tu … Pak.”
“Sama-sama. Misnah. Sekarang aku mau kembali mengajar, semoga kamu segera pulih, lalu kamu bisa masuk sekolah lagi,” kata Listyo sambil mengacak rambut Misnah.
“Pak, aku sekolah ya? Aku mau membantu menambal ban saja, aku bisa kok.”
“Sssst, tidak begitu. Kamu tetap sekolah, supaya pintar. Tapi kamu harus sembuh dulu.”
“Yang sabar ya Pak,” kata Listyo sambil menepuk bahu pak Misdi.
“Terima kasih banyak,” kata pak Misdi haru, sambil mengantarkan Listyo sampai ke depan.
“Ada yang ingin saya katakan pada Bapak,” kata pak Misdi dalam mengiringi Listyo.
“Ada apa? Pak Misdi tidak usah memikirkan masalah biaya rumah sakit, semua sudah beres.”
“Bukan itu, saya hanya ingin mengatakan tentang siapa yang menabrak atau menyerempet Misnah waktu itu.”
“Misnah sudah ingat?”
“Belum sepenuhnya ingat, tapi Misnah ingat tentang mobil yang ada gambar tengkorak dibagian kaca belakang. Itu mobil tuan Hasbi yang setiap hari dipakai mas Rizki.”
“Jadi …
“Kemungkinan besar yang menyerempet Misnah itu adalah mas Rizki.”
“Baiklah, nanti kita kumpulkan semua bukti-bukti kejahatan Rizki. Dewi sudah menceritakan semuanya. Percayalah bahwa kebaikan dan keburukan akhirnya akan terkuak.”
Pak Misdi mengangguk. Ia bersyukur masih ada orang-orang yang mempercayainya.
***
Siang hari itu Dewi makan siang menemani pak Hasbi, yang selalu menanyakan mengapa Rizki belum juga pulang.
“Biasanya pulang sore kan? Jadi mungkin sebentar lagi,” kata Dewi.
“Apakah ini belum sore?”
“Hampir sore. Kakek harus sabar.”
“Sungguh aku tidak mengira. Aku tidak mau punya anak seperti itu. Akan aku kembalikan ke panti, atau aku laporkan saja ke polisi,” geram pak Hasbi.
“Kakek jangan marah-marah sekarang. Nanti tensinya naik bagaimana?”
“Siapa yang tidak marah? Rizki itu menganggap aku bodoh. Tidak mengerti apa-apa. Aku ini juga orang sekolahan. Apa kalau orang tua lalu tidak mengerti apa-apa?”
“Kakek sangat pintar, dan karena itulah Kakek menjadi pengusaha yang sukses.”
“Sayang sekali aku kemudian merasa tidak punya penerus, dan tidak mampu mengurus perusahaan lagi.”
“Tidak apa-apa, Kakek bisa hidup bahagia dengan keadaan Kakek selama ini.”
“Tapi dengan adanya Rizki, apa yang aku dapatkan? Aku telah salah memilih orang.”
“Kalau dipikir-pikir, sebenarnya Dewi yang salah bukan? Dewi yang menyarankan Kakek mengambil Rizki sebagai anak angkat.”
“Tidak, bukan kamu atau bukan siapapun yang salah. Ini sebuah perjalanan hidup. Dan aku menemukan banyak pelajaran dari ini semua. Bahwa aku harus hati-hati, dan tidak mudah mempercayai orang. Lalu apa? Sekarang aku ingin sering-sering keluar, bahkan pergi ke panti-panti, lalu ngobrol di sana, tidak menunggu anak angkat yang pulang hampir malam ke rumah, dan apa yang aku dapat? Tetap saja aku kesepian.”
“Bagus sekali kalau Kakek mau keluar dan jalan-jalan. Itu akan membuat Kakek sehat penuh semangat.”
“Oh ya, kamu belum mengatakan bagaimana keadaan Misdi dan anaknya sekarang ini. Dia hidup enak dan berkecukupan?”
“Tidak Kek, sebelum saya antar Kakek menemuinya, saya ingin bilang bahwa pak Misdi tetap menjadi tukang tambal ban.”
“Tapi aku pernah lewat, dia tak ada lagi di sana.”
“Pindah tempat mangkalnya. Tapi tetap sebagai tambal ban.”
“Bagaimana dengan Misnah?”
“Misnah tetap sekolah, tapi sepulang sekolah menjadi penjual roti keliling.”
“Gadis kecil itu?”
“Kalau uangnya banyak, mengapa menjadi penjaja roti dan ayahnya tetap menjadi penambal ban?”
“Jangan-jangan benar, bukan dia pencuri uangku.”
Ketika itu sebuah mobil masuk ke halaman. Dewi meminta simbok agar membersihkan meja makan, kemudian mengajak pak Hasbi duduk di ruang tengah saja.
Rizki memasuki rumah sambil tersenyum lebar. Begitu melihat sang ayah duduk di ruang tengah, Rizki segera mendekat dan duduk di depannya. Walau agak heran melihat sikap ayahnya yang dingin dan muram, ia tetap mengeluarkan enam lembar tanda terima lalu diberikannya kepada sang ayah.
“Ini Pak, ternyata tadi Rizki bisa pulang siang, dan mengambil tanda terima ini ke panti-panti yang sudah Bapak beri sumbangan.”
“Ini apa?”
“Coba Bapak baca, Itu tanda terima yang Bapak minta kan?”
“Jadi kamu mencetak blanko tanda terima ini, dan karena itu aku harus menunggu dua hari untukkamu buatkan tanda terima palsu ini,” kata pak Hasbi yang kemudian menyebar tanda terima palsu itu ke lantai.
“Bapak bagaimana sih? Kok malah disebar?”
“Aku tidak butuh tanda terima palsu ini.”
“Tanda terima palsu bagaimana sih Pak?” kata Rizki yang kegembiraannya mulai surut.
“Ini bukan tanda terima dari panti-panti itu. Ini buatan kamu. Kamu kira aku tidak hafal bagaimana bentuk tanda terima mereka?”
“Lhoh, kalaupun berbeda, memangnya kenapa? Mungkin mereka membuat tampilan baru pada blanko mereka.”
“Bohong!” teriak pak Hasbi, yang membuat Rizki hampir terjengkang.
“Pak, mengapa_”
“Bohong! Kamu membohongi aku. Kamu tidak menyetor ke panti-panti itu.”
“Pak, mengapa Bapak tidak mempercayai anaknya sendiri?”
“Aku lebih percaya kepada pembantu daripada kepada orang yang aku anggap anak.”
“Tapi ….”
“Diam dan jangan bicara lagi. Sekarang jawab, apakah kamu, ataukah pak MIsdi yang mencuri uangku?”
Rizki sangat terkejut. Ia tak mengira kebohongannya mendapat tanggapan yang sama sekali tak pernah dibayangkannya. Ia mulai gemetar.
“Pak, buk … bukankah Bapak melihat sendiri … ketika Rizki menemukan uang itu di kamar pak Misdi?”
“Baiklah, bagaimana kalau aku lapor polisi saja, supaya diperiksa sidik jari yang ada pada uang itu, apakah ada sidik jari pak Misdi atau tidak.”
Wajah Rizki pucat seperti kertas.
***
Besok lagi ya
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng In
DeleteAlhamdulillah Terimakasih Bunda Tien sudah tayang cerbungny,sehat selalu Bunda
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwin
Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~31 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 31 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Alhamdulillah....
ReplyDeleteAkhirnya yang ditunggu sdh hadir....
Nuwun mas Kakek
DeleteEnggal sehat nggih
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur sembah nuwun Mbak Tien..ππ₯°π
Sami2 jeng Ning
DeleteSehat selalu
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
π»πΌπ»πΌπ»πΌπ»πΌ
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
Cerbung eLTe'eLKa_31
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
π»πΌπ»πΌπ»πΌπ»πΌ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah yg dinanti sudah tayang. Matur nuwun Bu Tien atas cerbungnya yg selalu aduhai setiap hari. Tetap sehat njih Bu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulillah... matur uwun bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin ..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Ermi
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 31 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien
Sami2 ibu Sri
DeleteAduhai aduhai
Hamdallah...sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillaah tayang.
ReplyDeleteBagus pa Hasbi laporkan saja ke polisi tuk penyelidikan, mampus rizkii...
Makasih bunda
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 jeng Susi
DeleteTerima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..31. .sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Rizki sdh ketahuan jadi tukang bohong dan menjadi gedibal nya Citra.
Polisi akan menciduk mu ya..π
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Selalu saja setiap cerita dibuat menarik oleh Mbak Tien...
ReplyDeleteTerima kasih mas MERa
DeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteTerima ksih bundaqu..slm sehat dll unk bunda sekeluargaππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteMantab....seruuu, ih pingin tahu bgm tingkah Rizky ya,,,trs bilang ini Krn Citra ,,,ππππ, tangkap juga untuk shoj terapi kali ya ππ€
Alhamdulillah... Matur nuwun.
ReplyDeleteAlhamdulillah,yg ditunggu telah hadir, dan pak Hasbi bisa tegas kpd Rizki,semoga cepat terkuak kejahatan nya bersama citra, maturnuwun Bu Tien,sehat2 dan bahagia selalu bersama Kel tercintaπ
ReplyDelete