Saturday, October 4, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 28

 LANGIT TAK LAGI KELAM  28

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi mengangkat wajahnya. Menatap laki-laki setengah tua  yang berdiri di depannya sambil mengulurkan tangannya.

“Anda siapa ya, agak pangling saya,” kata pak Hasbi sambil mengerutkan keningnya.

“Saya Sartono, dulu pernah menjadi karyawan Tuan.”

“O, di bagian ekspedisi?”

“Benar, Tuan. Tuan sakit apa?”

“Tidak sakit apa-apa. Sudah tua, kadang-kadang butuh dijamah dokter. Ini sedang menunggu jemputan.”

“Oh, begitu?’

“Kamu sakit?”

“Tidak, istri saya yang sakit. Sekarang sedang mengambil obat di apotek. Saya sedang menunggu dia, tiba-tiba melihat Tuan.”

“Saya dengar kamu menikah lagi setelah istri kamu meninggal?”

“Iyalah Tuan, waktu itu saya masih muda.”

“Anakmu ada berapa?”

“Saya tidak punya anak. Dengan istri yang meninggal belum punya, dengan istri saya ini juga tidak punya anak. Mungkin karena saya tidak suka anak kecil, jadi oleh Yang Maha Kuasa saya tidak diberi anak.”

“Mengapa tidak suka anak kecil?”

“Entahlah, mungkin karena saya tidak punya saudara, jadi tidak pernah suka anak kecil.”

“Apa iya, itu bisa menjadi alasan untuk tidak suka anak kecil?”

“Entah karena itu atau karena apa. Ketika saya menikah dengan istri saya ini, dia membawa anak bayi, tapi saya suruh dia meninggalkan anaknya pada suaminya. Saya benar-benar tidak mau merawat anak kecil.”

“Jadi kamu menikah dengan janda?”

“Sebenarnya dia tadinya masih punya suami sih.”

“Lhoh, itu artinya kamu merusak rumah tangga orang?” kata pak Hasbi sambil mengerutkan keningnya.

“Tidak sepenuhnya begitu. Istri saya memang tidak suka pada suaminya, dan sudah mau minta cerai.”

“Tidak benar itu. Kamu tetap merebut istri orang. Tapi ya sudahlah, sudah menikah berapa tahun kamu?”

“Sudah duapuluhan tahun lebih, Tuan.”

“Semoga kalian baik-baik saja.”

“Maaas, aku cari ke mana-mana,” sebuah teriakan terdengar. Seorang wanita muncul sambil menenteng keresek berisi obat.

“Ini, ketemu bekas juraganku, Sri.”

Wanita itu mendekat, lalu merangkapkan tangannya di depan pak Hasbi.

“Ini istrimu?”

“Benar, Tuan. Baru mengambil obat, perutnya sakit.”

“Iya Tuan, saya Srining. Senang bertemu Tuan.”

“Suamimu dulu karyawanku. Syukurlah masih ingat aku.”

“Masa saya bisa melupakan juragan saya yang baik hati ini,” kata Sartono sambil berdiri.

“Kami permisi dulu, Tuan. Perut saya sedang tidak baik-baik saja,” kata Srining.

“Ya sudah, semoga segera sembuh. Hati-hati ya. Kapan-kapan main ke rumahku.”

“Tuan masih di rumah lama?”

“Masih, aku tidak ke mana-mana.”

“Lain kali saya pasti ke rumah Tuan,” katanya yang kemudian membalikkan badan, tapi tiba-tiba seseorang menabrak istrinya dari belakang.

“Hei, kamu tidak punya mata ya?” Srining langsung menghardik.

“Kamu membalikkan badan langsung jalan, apa saya salah?” sahut laki-laki muda yang baru datang.

“Rizki! Mengapa kamu berteriak?” tegur pak Hasbi.

Yang datang memang Rizki. Tapi Rizki tidak segera menemui sang ayah. Ia memelototi perempuan yang bertabrakan dengannya. Tidak ada yang terluka, tapi Srining marah-marah. Rizki tidak lupa, dia perempuan yang pernah menyerempetnya dan membuatnya terluka.

“Ini perempuan yang dulu menyerempet saya, Dan ini suaminya Pak. Ini yang dulu menonjok muka Rizki,” kata Rizki sambil menatap ayahnya.

“Apa? Jadi ini putra Tuan?” Sartono yang sebenarnya ingin nimbrung di pertengkaran itu terkejut.

“Anakku, Rizki. Kamu yang menghajar anakku waktu itu?”

“Ya ampun, saya tidak tahu Tuan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya Tuan. Waktu itu suasana panas, istri saya sedang bertengkar dengan_”

“Dan sekarang mau bertengkar lagi hanya gara-gara saling tabrak?” kata pak Hasbi yang kesal menyaksikan kekasaran Srining.

“Maaf Tuan, Maaf,” kata Sartono yang segera menggelandang istrinya menjauh.

“Istri Sartono kasar sekali,” gumam pak Hasbi.

“Bapak kenal mereka?”

“Sartono itu, dulu karyawan bapak. Kok kamu kemari?”

“Saya ditelpon mbak Dewi yang mengatakan kalau Bapak di rumah sakit. Saya disuruh menjemput Bapak karena Bapak sudah boleh pulang.”

“Kamu memberikan obat yang salah pada ayahmu,” kata Dewi yang tiba-tiba datang. 

Tadi dia agak menjauh untuk menelpon Satria, tapi Satria sedang menemani pak Sunu melihat proyek yang sedang digarap, jadi Dewi menelpon Rizki. Tidak mengira Rizki datang begitu cepat.

“Aku salah memberi obat? Dua obat pagi, dua obat sore kan?”

“Yang kamu berikan obat yang sama, jadi kedobel.”

“Oh, maaf. Lalu Bapak bagaimana?”

“Tidak apa-apa, ayo pulang," kata pak Hasbi.

***

Rizki berkali-kali meminta maaf kepada ayahnya, dan mengaku tidak sengaja memberikan obat yang salah. Selama perjalanan, bahkan sampai di rumah, Rizki tak berhenti mengucapkannya.

“Rizki menyesal, membuat Bapak harus dibawa ke rumah sakit.”

“Ya sudah, namanya sudah terlanjur, tidak usah disesali.”

“Bapak memaafkan Rizki kan? Tak terbayangkan, bagaimana kalau Bapak kenapa-kenapa,” Rizki masih nyerocos walau sudah di rumah dan pak Hasbi sudah tiduran di ranjangnya.

“Namanya tidak sengaja, ya dimaafkan. Kecuali kalau kamu memang sengaja mencelakai bapak.”

“Ya ampun, mengapa Bapak berkata begitu? Mana ada anak mencelakai orang tuanya?”

“Ya sudah, sekarang bagaimana masalah kwitansi itu.”

Rizki kesal, sudah seharian, sudah sempat dibawa ke rumah sakit, masih ingat tentang kwitansi itu lagi. Padahal dia baru pesan di percetakan, jadinya paling cepat dua hari. Kalau stempelnya sih sudah jadi, kan sehari bisa. Blangko kwitansinya baru dua hari lagi.

“Maaf Pak, hari ini belum bisa mengurus kesana, besok Rizki ada kuliah sampai sore, jadi lusa baru bisa. Tapi Rizki sudah konfirmasi ke sana dan mereka siap mengganti dengan kwitansi resmi,” katanya lancar karena sudah dirancang sejak sebelum menjemput sang ayah di rumah sakit.

Pak Hasbi terdiam. Bukan karena langsung percaya pada apa yang dikatakan anaknya, tapi karena kepalanya masih terasa sedikit pusing.

“Mana Dewi?” pak Hasbi malah memanggil Dewi.

“Rizki panggilkan ya Pak.”

Tak lama setelah Rizki keluar, Dewi segera masuk menemui sang kakek.

“Bagaimana perasaan Kakek sekarang? Sudah lebih segar?”

“Rasa ngantuk itu masih ada, tapi tidak seberat tadi. Tadi tuh rasanya sangat susah membuka mata.”

“Syukurlah. Mulai sekarang, simbok yang akan menyiapkan obat untuk Kakek, Dewi sudah memberi tahu.”

“Benar, simbok lebih teliti. Rizki selalu tergesa-gesa masuk kuliah, jadi sembarangan mengambilkan obat untuk aku.”

“Sekarang Kakek istirahat dulu. Dewi masih ada di sini, menunggu dijemput Satria.”

“Kasihan suami kamu, harus bolak balik kemari.”

“Tidak apa-apa, demi Kakek, kami siap untuk segala sesuatunya,” kata Dewi sambil mencium tangan sang kakek.

“Aku hanya masih sedikit ngantuk, juga sedikit pusing.”

“Karena itu tidur saja dulu, nanti kalau Satria datang, Dewi baru akan pamit.”

“Baiklah.”

***

Di rumah, Srining bertengkar dengan suaminya, setelah sejak boncengan di jalanpun sudah saling menyalahkan.

“Ini gara-gara kamu. Hanya tabrakan dan tidak ada yang luka, kamu mengomel panjang pendek. Memaki-maki dengan kasar.”

“Mana aku tahu kalau dia anak bekas juragan kamu. Anak itu petentang-petenteng menyebalkan. Lalu aku ingat, dia itu yang dulu juga membuat aku marah.”

“Tapi tadi membuat aku malu. Dia ternyata anak bekas juraganku. Aku pernah menonjok mukanya pula. Itu sebabnya aku langsung mengajak kamu kabur.”

“Ya sudah, jangan ketemu lagi dengan mereka. Heran, aku sebel banget sama anak itu. Sama perempuan nggak mau mengalah.”

“Kan kamu yang duluan mendampratnya. Cuma begitu saja, kalau kamu bilang ‘maaf’, kan cukup.”

“Bahuku sakit, tahu. Mana perutku juga masih mengganggu.”

“Dasar kamu orangnya nggak sabaran.”

Sartono terus mengomel, karena masih terbawa rasa malu dan sungkan.

“Aku tuh sungkan banget, tahu nggak. Anak muda itu mengatakan kalau aku pernah menonjok mukanya. Lalu aku harus bilang apa, kalau pak Hasbi kemudian menegurku karena itu. Yang menyuruh aku menghajarnya juga kamu kan? Benar-benar sungkan aku, dia tuh bekas juraganku.”

“Hanya bekas juragan saja, kenapa kamu pikirkan? Dia nggak akan memecat kamu, atau memotong gajimu kan?”

“Dia tuh orang baik. Baik sekali. Bukan hanya kepada aku, tapi kepada semua karyawannya.”

“Lha sekarang biar dia baik, apa ada pengaruhnya sama kamu? Gitu aja dibawa rame sampai ke rumah.”

“Kamu itu perempuan yang tidak punya perasaan.”

Lalu Sartono meninggalkan istrinya yang masih mengomel. Ia menghampiri sepeda motornya lalu pergi begitu saja.

Srining melupakan sakit perutnya. Akhir-akhir ini entah mengapa mereka sering sekali bertengkar. Ia ingat perkataan salah seorang tetangga, katanya Sartono punya selingkuhan. Srining sangat marah, tapi Sartono tidak mengaku. Mana ada sih, maling mengaku? Mengakunya kalau sudah digebugin. Tapi Srining tidak melakukannya karena belum menemukan bukti. 

Tiba-tiba ia merasa hidupnya begitu sepi. Sakit perut itu terasa lagi, kemudian ia baru ingat kalau harus minum obatnya.

Srining duduk sendirian di ruang tengah rumahnya. Acara televisi tak lagi menarik baginya. Selentingan tetangga kembali mengusik kupingnya. Sudah duapuluhan tahun menikah, Sartono tak pernah berulah, tapi akhir-akhir ini tabiatnya berubah. Sering marah-marah dan pulang larut malam. Alasannya lembur, dan harus bekerja malam. Sartono bekerja di sebuah pabrik plastik, yang jadwal masuknya tidak selalu sama. Tapi bukan berarti ia harus bekerja siang dan malam bukan?

Ketika ponsel berdering, Srining mengangkatnya.

“Aku tidak pulang. Tiba-tiba ada tugas malam. Aku pulang besok pagi.”

Itu suara Sartono. Tiga kalimat yang membuat Srining tak mampu menjawab, karena ponsel sudah dimatikan dan dia tak lagi bisa menghubungi.

Tiba-tiba Srining merasa sedih, dan sepi menggayuti hati dan jiwanya. Kalau saja ia punya anak, pasti hidupnya tak akan sesepi ini. Lalu ia teringat Jarot yang ditinggalkan di sebuah panti asuhan, gara-gara Sartono tak mau dirinya membawa anak.

“Pasti Jarot sudah dewasa, seperti apa dia sekarang?”

Srining menyesali semuanya. Menyesal telah meninggalkan suaminya, menyesal telah ‘membuang’ anaknya.

Srining masih ingat dimana dia meninggalkan Jarot. Ketika ketemu Misdi, dia mengatakan lupa menaruh Jarot dimana, itu adalah bohong. Dia hanya tak ingin Misdi bertemu anaknya, kemudian sama-sama membencinya.

Tapi sekarang Srining begitu merindukan darah dagingnya.

***

Srining mendatangi panti asuhan, di mana dia dulu meninggalkan anaknya begitu saja.

Seorang yang melayani membuka data, kapan anak itu dititipkan, dan agak sulit karena Srining hanya ingat bulan dan tahunnya.

Ia juga tidak meninggalkan nama untuk bayi itu karena ditinggalkan begitu saja. Tapi panti asuhan itu kebetulan mencatat salah satu bayi yang ditinggalkan tanpa identitas. Hanya saja Srining tidak yakin, apakah itu anaknya.

Tapi ketika kepala panti menunjukkan sebuah foto, Srining segera mengenalinya.

“Ini anak saya. Apakah dia masih ada di sini?”

***

Besok lagi ya.

22 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak lagi kelam telah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah.... eLTeeLKa_28
    Sdh tayang.
    Matur nuwun, Dhe.

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 28 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  4. Terima kasih Bunda Tien. Barokalloh...alhamdulillah tayang gasik Bunda...sehat2 ya Bunda

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 28 " sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  6. 🌷πŸͺ»πŸŒ·πŸͺ»πŸŒ·πŸͺ»πŸŒ·πŸͺ»
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eLTe'eLKa_28
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    🌷πŸͺ»πŸŒ·πŸͺ»πŸŒ·πŸͺ»πŸŒ·πŸͺ»

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, terimakasih mbakyu, maaf jarang menyapa, semoga sehat selalu...

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~28 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah sudah tayang
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  12. Yerima ksih bunda cerbungnya..slm sht sll unk bunda πŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah Langit Tak Lagi Kelam eps 28 telah tayang maksh Bu Tien smg keluarga sll diberikan kesehatan

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillaah " Langit Tak Lagi Kelam - 28" sdh hadir.
    Terima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin🀲

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 28 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  16. Maturnuwun Bu Tien cerbungnya, sehat dan bahagia sll bersama Kel tercinta.

    ReplyDelete
  17. Matur nuwun Bu Tien.
    Tabiat Rizki nurun dari ibunya ya Bund.
    Selamat berakhir pekan dg keluarga tercinta.....semoga semuanya sehat wal'afiat.

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Sehat selalu nggih Bu, ridho dan rahmat Alloh untuk kita semua. Aamiin πŸ™πŸ’–

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, maturnuwun bunda Tien.
    Semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga, aamiin ..

    ReplyDelete
  20. Hehe...itulah karma Srining, punya anak durhaka. Coba nanti ketemu, seru deh...πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 29

  LANGIT TAK LAGI KELAM  29 (Tien Kumalasari)   Berlinang air mata Srining, sambil memandangi foto yang ditunjukkan kepadanya. “Ini anak say...