Friday, October 3, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 27

 LANGIT TAK LAGI KELAM  27

(Tien Kumalasari)

 

Dewi berlari ke arah kamar pak Hasbi. Ia tampak pulas, bahkan sedikit mendengkur.

“Kakek … “ Dewi memegang lengan pak Hasbi. Biasa saja, tidak panas, bahkan sedikit keringatan.

“Tidurnya sudah lama?”

“Tadi sehabis sarapan, lalu minum obat, tidak lama kemudian mengatakan kalau sangat ngantuk. Lalu tuan ke kamar, tidur.”

“Mungkin memang agak mengantuk.”

“Tidurnya aneh. Tadi ada pak Mantri menengok kemari, karena mendengar bahwa tuan sakit. Tapi tuan sama sekali tidak mau bangun. Ini tidak seperti biasanya.”

“Rizki mana?”

“Mas Rizki sudah pergi setelah membantu tuan minum obat.”

“Tadi Rizki yang melayani minum obat?”

“Iya, kan tadi sarapan bareng mas Rizki lalu sekalian mengambilkan obat untuk tuan. Setelah itu mas Rizki berangkat.”

“Kakek … Kakek ngantuk ya?”

Dewi kembali menggoyang-goyang lengan pak Hasbi.

“Kek ….”

Lalu terlihat pak Hasbi membuka matanya tapi hanya sebentar, kemudian kembali terpejam.

“Masih ngantuk ya Kek? Ini Dewi Kek. Kakek nggak ingin ngobrol sama Dewi?”

“Hmm ….”

“Mbok, obat yang harus diminum kakek ini ada tiga macam, yang satu vitamin. Tadi apa saja yang diminum?”

“Mana saya tahu Non, mas Rizki yang membantu tuan minum obat. Yang mengambilkan obatnya juga mas Rizki.”

“Mana obat-obat itu?”

“Masih di meja makan, Non.”

Dewi beranjak ke meja makan. Ia tahu obat pak Hasbi ada tiga macam. Yang satu adalah vitamin, yang satu antibiotik, satunya lagi ramuan. Mungkin yang menyebabkan ngantuk ya ramuan itu. Tapi semalam Dewi meminumkannya, pak Hasbi hanya mengatakan kalau ngantuk.

“Mbok, tadi pagi kakek bangun seperti biasa kan?”

“Iya Non, malah lebih pagi. Tuan bilang sudah lebih segar. Tadi sempat berbincang dengan mas Rizki tentang kwitansi-kwitansi. Sepertinya mas Rizki belum bisa mengambil kwitansi asli karena kuliahnya akan sampai sore. Begitu Non.”

“Hm, kwitansi apa? Ngarang dia. Uangnya tidak benar-benar disetor,” omel Dewi sambil menghitung jumlah obat yang tersisa.

“Tidak disetor, Non?”

“Pastinya. Mana ada sebuah panti tidak punya blanko kwitansi yang ada kop nama panti atau yayasannya? Alasan sudah tutup itu kan hanya alasan dia dan tidak masuk akal. Masa dia mau membohongi ayahnya dengan jawaban yang tidak masuk akal begitu? Kakek juga seperti tidak percaya. Kakek bukan orang bodoh lho. Dia kan bekas pimpinan sebuah perusahaan, terpelajar pula. Lagipula enam yayasan  penerima bantuan kompak tidak punya kwitansi resmi?” omel Dewi tanpa henti. Simbok mendengarkan sambil melongo.

“Itu uangnya banyak lho Non, setiap bulan saya yang menyetor.”

“Sebetulnya hari ini aku mau membuktikan kebenarannya ke sana, biarpun aku tahu kalau memang tidak disetor. Tapi kan aku harus punya bukti.”

“Benar Non, uang banyak kok tidak jelas. Saya sebetulnya juga mau bilang sama Non.”

“Tentang apa Mbok?”

“Kemarin, ketika tuan ke rumah sakit bersama Non, mas Rizki memasuki kamar tuan, agak lama. Entah apa yang dilakukannya. Padahal dia baru saja pulang.”

“Semakin jelas bagaimana kelakuannya. Baiklah, simpan saja dulu itu Mbok, nanti akan banyak yang akan kita buktikan.”

“Iya, Non.”

“Lho  … ini obatnya juga aneh."

Kata dokter untuk lima hari. Vitamin jumlahnya 5 karena sehari satu. Yang dua ini jumlahnya sepuluh-sepuluh, karena sehari diminum dua kali. Lha kok ramuan ini sudah berkurang tiga, antibiotiknya baru berkurang satu.”

“Harusnya bagaimana Non?”

“Kakek minum obatnya dobel. Harusnya satu kapsul, diminum  dua kapsul. Yang antibiotik malah tidak diminumkan.”

“Ya ampun, lalu bagaimana Non?”

“Aku menelpon mas Satria dulu supaya kemari, kakek harus dibawa ke rumah sakit.”

 “Waduh, sembrono. Mas Rizki tadi yang memberikan obatnya, tuan tinggal meminumnya.”

“Entah disengaja atau tidak, tapi kakek harus segera mendapat pertolongan.”

“Bahaya apa tidak Non?”

“Semoga saja tidak. Aku menelpon mas Satria dulu.”

***

Rizki masih ada di rumah Citra. Dengan tenangnya mereka menghitung uang yang terkumpul. Citra melakukannya dengan penuh semangat.

“Tadi bapak menanyakan lagi kwitansi itu. Aku jadi bingung, aku jawab saja kalau aku sedang sibuk jadi belum sempat mengambil tanda terimanya.”

“Mengapa tidak ke percetakan saja, membuat stempel palsu, dan mencetak kwitansi dengan logo nama yayasan-yayasan itu.”

“Wah, hanya butuh satu, masa harus ke percetakan?”

“Itu bisa dibuat berkali-kali kan? Bulan depan kamu bisa melakukannya lagi dengan mulus, soalnya sudah punya tanda terima yang ada logo dan stempelnya.”

“Begitu ya?”

“Gimana sih, katanya pintar, begitu saja tidak bisa menemukan jalannya.”

“Tadi karena kesal ditanya terus, aku buat bapak tertidur.”

“Kamu punya obat tidur?”

“Salah satu obat kakek itu efeknya tidur, karena semalam setelah minum obat bapak tertidur pulas. Jadi tadi aku minumkan dua kapsul sekaligus. Biar tidur nyenyak sehingga nanti tidak bertanya-tanya lagi.”

“Bagus sekali Riz, kalau bisa buat saja supaya tidur selamanya,” kata Citra enteng.

Rizki agak terkejut, tapi melihat Citra tersenyum-senyum, terpikir juga olehnya rencana itu. Mengapa tidak? Dan dia adalah anak tunggalnya, jadi semua akan menjadi miliknya bukan?

“Tapi tidak bisa dengan obat bapak yang kemarin itu. Bisa cari obat tidur di mana ya?”

“Aku punya teman yang pasti bisa menolong. Nanti aku bicara dulu sama dia, dan berapa aku harus membayarnya,” kata Citra yang bersikap sudah seperti penjahat profesional. Ia mengatakan semuanya dengan enteng, sambil menumpuk uangnya dan membungkusnya dengan kain supaya rapi.

“Uang ini biar aku bawa saja ya, kalau kamu yang membawa, bisa bahaya. Di mana kamu akan menyimpannya. Susah kan?”

“Ya sudah, terserah kamu saja. Sekarang kita harus ke kampus. Simpan baik-baik uangnya.”

”Kita mampir ke tukang membuat stempel, dan ke percetakan. Itu harus cepat. Kalau bisa suruh segera, bayar dobel juga tidak apa-apa.”

Rizki mengangguk, lalu segera bergegas menuju mobilnya, sementara Citra menyimpan uangnya.

***

Pak Misdi sudah bisa bangun. Ia mendekati Misnah yang masih terbaring dengan infus yang masih terhubung di lengannya.

“Misnah ….”

Misnah menatap ayahnya, matanya masih terlihat kosong. Tapi ia kemudian tersenyum.

“Bukankah kamu ayahku?”

“Tentu saja. Kamu ingat siapa nama ayahmu ini?”

“Pak Misdi kan?”

“Apa pekerjaan ayahmu?”

“Tukang kebun kan?”

“Misnah, aku sudah lama tidak bekerja di sana. Maksudnya tidak bekerja menjadi tukang kebun lagi.”

“Bapak tidak suka ya?”

“Ya, tidak suka. Bapak menjadi tukang tambal ban lagi saja.”

“Tambal ban? Bukankah Misnah bisa menambal ban?”

“Iya, benar. Misnah bisa membantu bapak menambal ban.”

“Tapi aku kan menjual roti?”

Pak Misdi tersenyum, sudah agak banyak yang diingat Misnah, walau belum berurutan.

“Kamu ingat pernah jadi penjual roti?”

“Ingat … ingat … tapi … mana rantang itu?”

“Rantang apa?”

“Rantang apa ya? Aku ingat membawa rantang, bukan punyaku. Punya siapa ya, tapi aku harus mengembalikannya.”

Misnah mengerutkan keningnya. Ia tampak mengingat-ingat. Tapi kemudian ia memegangi kepalanya.

“Pusing ya?” lalu pak Misdi ingat bahwa Misnah tak boleh dipaksa mengingat ingat.

“Pusing Pak. Gara-gara rantang itu.”

“Ya sudah, sekarang Misnah tidur saja. Bapak menunggui Misnah di sini.”

“Ayo kita pulang saja. Apa Bapak belum membayar sewa rumah?”

“Sudah, kamu jangan memikirkannya. Tidurlah. Pejamkan matamu, bapak menunggui kamu di sini.”

“Mengapa aku di sini?”

“Kamu kan sakit. Jadi harus dirawat. Tuh, dahimu masih diperban kan?”

“O, aku sakit ya?”

“Tidurlah,” kata pak Misdi sambil mengelus dahi anaknya. Ia ingat ketika Misnah masih kecil, setiap kali ingin tidur, pak Misdi selalu mengusap usap keningnya, barulah Misnah bisa tidur nyenyak.

***

Ketika Satria datang ke kantor siang itu, ternyata pak Sunu sudah menunggu. Satria meminta maaf karena datang sangat terlambat.

“Saya sedang ada masalah. Maksud saya istri saya, jadi tadi sebetulnya mau ke kantor, tapi harus kembali lagi mengantarkan kakeknya ke rumah sakit.”

“Oh, bagaimana keadaan kakeknya?”

“Sudah ditangani. Hanya kebanyakan minum obat. Tapi sekarang sudah baik-baik saja.”

“Bagaimana dengan gudang itu? Sudah mulai dikerjakan bukan?”

“Sudah Pak, proyek ditangani oleh  temannya bu Andira, tapi pak Andra juga berperan di situ.”

“Syukurlah, aku senang Andra bisa melakukannya. Dia agak tinggi hati dalam hal perasaan, tapi sebenarnya dia baik, tangguh dan bertanggung jawab.”

“Benar Pak. Sayang sekali pak Andra tidak bersedia kembali ke perusahaan ini.”

“Tidak apa-apa. Kelak perusahaan ini juga akan menjadi tanggung jawabnya. Aku sudah mempercayai kamu untuk mengendalikannya.”

“Tapi saya mohon Bapak juga menuntun saya dalam banyak hal. Saya tidak bisa berjalan sendiri.”

“Kamu itu mirip Andra, suka merendahkan diri juga. Tapi tidak apa-apa. Lebih baik merendahkan diri dari pada menyombongkan diri. Sekarang aku mau melihat proyek itu, sejauh mana mereka mengerjakannya. Tapi … maaf, apa urusan kamu sudah selesai?”

“Semua sudah ditangani istri saya. Sekarang saya siap menemani Bapak.”

***

Ketika kemudian terbangun, pak Hasbi merasa heran karena ada di rumah sakit. Ia melihat Dewi duduk di sampingnya.

“Mengapa aku tidur di sini?”

“Kakek tidak merasa, pindah tidur dari rumah, kemudian kemari?”

“Heran aku. Perasaan aku tidur sehabis sarapan.”

“Kakek tidurnya mirip orang pingsan, Dewi takut, lalu membawa Kakek ke rumah sakit.”

“Kamu ini … sedikit-sedikit rumah sakit. Memang apa salahnya kalau aku tidur nyenyak?”

“Kalau tidur biasa ya tidak apa-apa. Kakek tidur tapi tidak sadar, seperti pingsan.”

“Masa sih?”

“Tadi pagi Kakek minum obat yang kemarin itu?”

“Iya, kan kamu bilang yang dua macam diminum dua kali, pagi sama sore, yang satunya vitamin, sehari hanya sekali. Jadi yang diminum dua obat kan?”

“Siapa yang melayani Kakek minum obat?”

“Rizki, kan aku sarapan bareng Rizki lalu Rizki yang mengambilkan obatnya.”

“Kakek minum berapa obat?”

“Dua. Kan yang dua pagi, siang satu, sore dua lagi. Kapsulnya warnanya mirip.”

“Tapi yang Kakek minum itu dua obat yang sama.”

“Masa?”

“Kakek tidak tahu kalau itu obat yang sama?”

“Begitu Rizki mengambilkan lalu aku langsung meminumnya. Warnanya mirip sih.”

“Kakek tidak tahan obatnya dobel. Tidur sangat pulas, sehingga simbok ketakutan.”

“Sekarang aku mau pulang saja. Aku kan tidak sakit?”

“Baiklah, menunggu dokter.”

“Aku mau keluar saja. Mual perutku bau obat-obatan terus.”

Pak Hasbi yang sebenarnya masih di IGD itu langsung nekat turun. Agak pusing, tapi dasar pak Hasbi sedikit ngeyel. Untunglah dokter segera datang, dan mengijinkan pak Hasbi pulang, dengan catatan harus hati-hati meminum obat.

Karena pak Hasbi masih mengeluh pusing, Dewi memapahnya, lalu memintanya duduk dulu di kursi tunggu. Dewi akan meminta tolong Satria agar mengantarkannya lagi.

Ketika duduk sambil menunggu itu, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.

“Tuan, siapa yang sakit?”

***

Besok lagi ya.

 

24 comments:

  1. Alhamdulillah.....
    eLTeeLKa_27 sdh tayang.....

    Terimakasih bu Tien....

    Salam SEROJA

    ReplyDelete
  2. 🌵🎋🌵🎋🌵🎋🌵🎋
    Alhamdulillah 🙏💐🦋
    Cerbung eLTe'eLKa_27
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien dan
    keluarga sehat terus,
    banyak berkah dan
    dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🤲.Salam seroja 😍
    🌵🎋🌵🎋🌵🎋🌵🎋

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.....
    Sampun tayang.
    Sugeng dalu mbak Tien....

    ReplyDelete
  4. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 27 " sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun 🤲🙏🩷🩷

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  6. Terima ksih bunda..slm sht sll unk bunda🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~27 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🤲

    ReplyDelete
  8. Matur nuwun Bu Tien atas cerbung yg selalu aduhai...
    Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  10. Terimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga... Aamiin Allahumma Aamiin 🤲🤲🤲

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 27 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien. Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien cerbung dah tayang, salam sehat dan bahagia Bu Tien, bersama Kel.

    ReplyDelete
  15. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah. Trmksh Bu Tien cerbung sudah tayang. Smg sehat selalu bersama keluarga.

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillaah matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖🌿🌸

    Siapa mister guest itu ...🤭😁

    ReplyDelete
  18. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 27 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  19. Wah wah...Citra memang licik ya...dia yg mempengaruhi Rizki habis2an, demi menguras harta kakeknya. Btw, emangnya mereka tahu bagaimana bentuk asli kwitansi yayasan2 yg akan dipalsukan itu? Bukankah perlu contoh dari kwitansi2 asli yg biasanya diterima dan disimpan pak Hasbi ya? Stempelnya juga pasti perlu contoh utk membuatnya mirip dengan yang asli.

    Terima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.🙏🏻

    ReplyDelete
  20. Terimà kasih....saya mengikuti dengan sabar....

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 29

  LANGIT TAK LAGI KELAM  29 (Tien Kumalasari)   Berlinang air mata Srining, sambil memandangi foto yang ditunjukkan kepadanya. “Ini anak say...