Thursday, October 2, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 26

 LANGIT TAK LAGI KELAM  26

(Tien Kumalasari)

 

Misnah terus mengawasi punggung laki-laki yang melintas dan berjalan semakin jauh. Tapi ada yang dirasakannya dan terasa aneh.

“Misnah? Bukankah namaku Misnah?”

Misnah masih terus menatapnya, lalu ia melihat ada sebuah bungkusan plastik terjatuh dari tangan laki-laki itu, yang tak dihiraukannya.

Misnah bangkit perlahan. Bungkusan itu dihampirinya, lalu diambilnya. Kemudian dia berteriak.

“Pak … Pak, bungkusannya jatuh.”

Laki-laki itu bergeming dan terus melangkah.

Misnah mengikutinya sambil mengacungkan bungkusan itu.

“Paaak, bungkusannya jatuh,” ia melangkah semakin cepat. Tapi laki-laki itu seperti tak mempedulikannya. Misnah terus saja berteriak.

“Paaak. Bungkusannya.”

“Biarkan saja, aku tak mau makan kalau belum bertemu Misnah,” katanya sambil terus melangkah.

“Tapi Misnah itu aku.”

“Jangan menggangguku. Hei, apa kamu Misnah? Suaranya mirip anakku ….”

Laki-laki itu berhenti, menunggu orang yang mengejarnya. Lalu dengan gemetar tangannya menggapai.

“Kamu ,,, Misnah?”

“Ini bungkusannya jatuh.”

“Kamu Misnah … Misnah … anakku … “ lalu laki-laki tua itu memeluknya.

Misnah merasa kepalanya berdenyut.

“Kamu … ayahku?”

“Misnah …”

Pak Misdi menangis mengguguk sambil memeluk Misnah. Ada kilatan-kilatan ingatan yang melewati kepala Misnah … antara sebuah mimpi dan nyata.

“Aku punya bapak kan?”

“Mengapa kamu begini? Misnah, anakku …”

“Kamu Bapak ya?”

“Misnah … “

Lalu keduanya berpelukan erat, kemudian ambruk ke tanah bersama-sama.

***

Malam itu Satria dan Dewi masih ada di rumah pak Hasbi. Ia sudah diperiksa dokter, yang menurut dokter sakit pak Hasbi hanya karena perasaan tertekan. Ada obat yang diberikan, dan sudah diambil Satria di apotek.

“Kakek harus banyak istirahat, tidak boleh banyak pikiran,” kata Dewi di kamar pak Hasbi, di mana pak Hasbi sedang terbaring.

“Sudah aku bilang, bahwa aku tidak sakit.”

“Pokoknya Kakek tidak boleh bandel,” kata Dewi tandas.

Pak Hasbi tersenyum. Ia senang Dewi selalu memperhatikannya.

“Apa Dewi biar tidur di sini dulu sementara waktu?” kata Satria.

“Jangan Nak. Kamu kan suaminya, masa membiarkan istrinya menjaga orang lain. Lagian aku kan tidak apa-apa.”

“Tapi Kakek sedang sakit,” kata Satria lagi.

“Aku tidak apa-apa. Besok saja Dewi ke sini lagi, seperti janjinya. Malam ini harus pulang,” tandas pak Hasbi.

“Baiklah kalau Kakek tidak apa-apa, tapi besok pagi jangan lupa minum obatnya. Kalau malam ini sudah diminum semua kan?”

“Bapak sakit apa?” tiba-tiba Rizki muncul.

“Ke mana saja kamu, dari tadi baru muncul?” tegur pak Hasbi.

“Maaf Pak, Rizki ketiduran, capek muter-muter.”

Sudah kamu selesaikan tugasmu?”

“Sudah beres Pak.”

“Mana kwitansinya? Biasanya mereka memberi tanda terima.”

“Baiklah, ini Pak, sudah Rizki bawa,” kata Riski sambil mengulurkan setumpuk kertas.

Pak Hasbi menerimanya, lalu mengerutkan keningnya.

“Ini apa?”

“Bapak minta tanda terima. Itu tanda terimanya.”

“Kok seperti ini? Biasanya setiap lembar tanda terima itu ada stempel resminya. Tiap-tiap panti dan yayasan kan punya stempel.”

“Ya nggak tahu Pak, tadi Rizki hanya diberi itu.”

“Kok aneh.”

Dewi mendekat, dan meminta kertas-kertas itu.

“Ini tanda terima dari yayasan-yayasan itu? Ini bukan tanda terima resmi. Masa hanya ditulis dengan kertas biasa?” kata Dewi sambil menatap tajam Rizki.

“Tunggu. Jangan dulu memarahi aku. Tadi kan Rizki berangkatnya sudah siang, jadi mungkin kantor-kantor mereka sudah tutup, jadi Rizki hanya diberi kertas biasa yang ditulisi tanda terima itu.”

“Ini aneh. Urusan uang banyak, mengapa tanda terimanya seperti ini?” kata Dewi.

“Iya, bagaimana sih kamu Rizki. Kamu itu anak sekolahan. Mahasiswa hampir jadi sarjana, mengapa mau diberi tanda terima seperti ini?” tegur pak Hasbi.

“Baiklah, baiklah … besok ini semua akan Rizki kembalikan, dan minta tanda terima resmi.”

“Bekerja tidak becus kamu ini,” omel pak Hasbi.

“Kan Rizki sudah bilang, mungkin karena tadi kantor mereka sudah tutup lalu Rizki diberi tanda terima seadanya.”

“Tidak bisa begini.” tegur Dewi dengan wajah kesal.

“Bagaimana kamu percaya begitu saja kepada orang yang menerima? Masa enam panti dan yayasan semua kompak memberi tanda terima tidak resmi?” kata pak Hasbi.

“Karena aku mengenal bahwa penerimanya juga pegawai di sana. Bajunya pakai seragam kok.”

“Rizki, pokoknya kamu harus kembali besok dan meminta tanda terima yang asli.” kata Pak Hasbi tandas, sambil memberikan kertas-kertas itu. Rizki berlalu dengan wajah masam.

Dewi saling pandang dengan suaminya.

“Kakek tidak usah memikirkannya, besok Rizki akan mengurusnya. Kalau tidak beres juga, biar Dewi membantunya,” kata Dewi.

“Ya sudah, sekarang kalian pulanglah, aku juga merasa mengantuk. Kelihatannya obat yang diberikan efeknya ngantuk.”

“Iya Kek, supaya Kakek bisa beristirahat.”

***

Di perjalanan pulang, Satria baru bisa mengatakan kepada Dewi, bahwa Andira, istri Andra tadi melihat pak Misdi di suatu tempat. Sebelum nyamperin pak Hasbi, Satria sudah berusaha melacaknya, tapi tak berhasil.

“Bu Andira sudah kenal pak Misdi?”

“Sebelumnya tidak. Dia hanya kasihan pada seorang laki-laki tua yang kelelahan di pinggir jalan, kemudian diberinya makan. Ternyata bu Andira pernah melihatnya di sebuah sekolah, ketika pak Misdi mengantarkan Misnah. Bu Andira mengenalnya dari dekat, karena pak Misdi waktu itu mengambilkan dompetnya yang jatuh ketika turun dari mobil.”

“Dari mana dia tahu kalau itu pak Misdi?”

“Pada awalnya dia tidak tahu namanya. Tapi karena waktu itu pak Misdi menyebut nama Misnah.  Ketika disuruh makan nasinya, dia bilang kalau akan dimakan kalau nanti bersama Misnah.”

“Bu Andira langsung tahu kalau dia orang yang kita cari?”

“Tidak. Aku terkejut ketika bu Andira bercerita tentang orang yang diberinya makan, lalu tampaknya sedang mencari anaknya yang bernama Misnah. Itu sebabnya kemudian aku bertanya, di mana dia melihat laki-laki itu.”

“Sayang sekali kamu tidak berhasil menemukannya. Tampaknya pak Misdi yang kehilangan Misnah lalu mencarinya ke mana-mana. Kasihan sekali.”

Ketika itu ponsel Dewi berdering. Dari Listyo.

“Ya Mas, ada berita apa?” tanya Dewi.

“Berita bagus. Polisi sudah menemukan Misnah, bahkan bersama ayahnya.”

“Benarkah?” Dewi berteriak.

“Aku tuliskan alamat rumah sakitnya, aku juga sedang dalam perjalanan ke sana.”

“Baik, aku juga mau ke sana,” kata Dewi riang.

“Ada apa?” tanya Satria.

“Misnah dan ayahnya ditemukan. Sekarang mereka dirawat di sebuah rumah sakit. Ini alamatnya, kita langsung ya Sat?”

***

Pak Misdi dan Misnah dirawat di kamar yang sama. Kalau pak Misdi sudah sepenuhnya sadar, tidak demikian dengan Misnah. Ia sesungguhnya memang sedang sakit. Terluka dan gegar otak. Lalu dibawa paksa keluar dari rumah sakit, dibawa ke satu tempat, dipindah ke tempat lain, lalu terlantar di jalanan, yang oleh karena kebesaran Allah kemudian dipertemukan dengan ayahnya. Barangkali karena jeritan pak Misdi yang membubung menembus langit, maka Allah mengabulkannya. Berkali-kali air matanya menitik, manakala melihat keadaan sang anak yang lemah tak berdaya. Misnah belum bisa berkata banyak, ia hanya ingat namanya, dan ayahnya yang ketemu di jalan. Ia ingat ketika dompetnya dicopet, lalu diserempet mobil, tapi tak ingat kejadian selanjutnya.

Walau begitu pak Misdi sudah merasa lega, bisa bertemu anak perempuan yang dikasihi dan mengasihinya.

Pak Misdi juga senang ketika melihat Dewi mengunjunginya malam itu.

“Bagaimana non Dewi bisa tahu kalau saya ada di sini?”

“Banyak kejadian menimpa Misnah. Apa Misnah belum menceritakan semuanya?”

“Misnah hanya ingat bahwa saya adalah ayahnya. Ia hanya bercerita kalau dompetnya dicopet orang, lalu dia keserempet mobil. Dia masih lemah, belum bisa bercerita banyak, dokter juga melarang saya memaksa bertanya.”

“Benar pak Misdi. Jangan memaksa Misnah untuk mengingat ingat. Dengan berjalannya waktu maka dia pasti bisa mengatakan semuanya.”

“Mengapa Non Dewi datang kemari? Saya dianggap pencuri oleh tuan Hasbi, sehingga diusir dari rumahnya,” katanya sendu.

“Sebenarnya apa yang terjadi?”

“Saya dan Misnah hanya kambing hitam. Seumur-umur saya tidak pernah mencuri atau berbohong. Entah mengapa saya bisa mendapatkan musibah ini. Tiba-tiba ada uang bertumpuk di almari saya. Saya tidak mengerti. Uang apa dan siapa pemiliknya, saya tidak tahu menahu. Tiba-tiba saya dituduh mencuri. Ya Allah, tega sekali orang yang memfitnah saya.”

“Pak Misdi sabar ya. Percayalah bahwa yang baik dan yang buruk akan terkuak semuanya.”

“Gara-gara semua itu, anak saya menjadi korban, sampai sekarang masih terbaring lemah. Apa salah dan dosanya, coba?” air mata pak Misdipun meleleh.

“Sekarang semuanya sudah ditangani yang berwajib.”

“Saya tidak punya uang, uang dibawa Misnah semuanya dan dicopet orang jahat. Ini nanti bagaimana bayar rumah sakitnya?”

“Pak Misdi tidak usah memikirkannya. Semuanya akan baik-baik saja. Banyak yang bersimpati pada pak Misdi serta Misnah. Pak Misdi beristirahat dulu di sini sampai sembuh, sudah ada yang mengurusnya.”

“Terima kasih banyak Non.”

“Pak Misdi, apakah pak Misdi mencurigai sesuatu?”

“Maksud Non apa?”

“Pak Misdi kan tidak merasa melakukan pencurian itu?”

“Tentu saja Non, jangan sampai saya melakukannya. Biar miskin saya tidak pernah punya niat untuk melakukan itu.”

“Pasti pak Misdi mencurigai, ada seseorang yang memfitnah. Ya kan?”

Pak Misdi diam. Ia merasa ragu, akan mengatakannya ataukah tidak.

“Pak, saya di sini akan membantu menguak kejadian yang sebenarnya terjadi. Jadi pak Misdi jangan takut mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran pak Misdi.”

“Saya tidak berani mengatakannya.”

“Jangan takut. Saya dan suami saya ini, juga ini … saudara saya, akan membantu bahkan melindungi pak Misdi.”

“Sebenarnya Misnah yang mencurigai sesuatu.”

“Misnah pernah melihat sesuatu yang mencurigakan?”

“Dia mengatakannya kepada saya. Dia ingin membuka semuanya kepada tuan Hasbi, tapi saya melarangnya. Saya tidak ingin melihat orang celaka.”

“Apa yang dilihat Misnah?”

“Katakan saja pak Misdi, kami di sini akan membantu membuka semuanya.”

“Saya sudah merasa hidup nyaman dengan keseharian saya. Saya tidak ingin … karena mengatakan ini, lalu dianggap ingin kembali kepada tuan Hasbi.”

“Bukan karena itu, tapi yang baik harus dibela, yang jahat harus dihukum, ya kan?”

Agak lama pak Misdi terdiam, sampai pada akhirnya dia mau mengatakannya.

“Misnah pernah melihat mas Rizki membuka almari penyimpan uang tuan Hasbi.”

“Dia diam saja?”

“Mana Misnah berani? Dia hanya mengatakannya kepada saya, dan saya menyuruhnya diam saja, jangan ikut campur.”

“Baiklah, ada yang lain?”

“Entahlah, tapi sejak saat itu kelihatan sekali mas Rizki tidak suka pada kami.”

Dewi mencatatnya dalam hati.

***

Pagi hari itu Satria mengantarkan istrinya ke rumah pak Hasbi. Ia tahu Dewi akan pergi ke panti dan yayasan yang biasanya mendapat sumbangan dari pak Hasbi.

“Kamu nanti naik mobil saja, atau aku antar?”

“Kendaraanku kan masih ada di rumah kakek, jadi aku nanti naik motor saja.”

“Tidak apa-apa, naik motor muter-muter ke mana-mana?”

“Ya tidak apa-apa, cuma motoran dalam kota saja, kamu kok kelihatan khawatir sekali?”

“Asalkan kamu hati-hati. Tapi bagaimana kalau nanti ternyata Rizki sudah ke sana dan minta tanda terima aslinya?”

“Mana mungkin? Sudah kelihatan dia bohong, mana ada sebuah yayasan memberi tanda terima diatas kertas biasa? Aku hanya akan membuktikannya secara nyata. Supaya dia tidak bisa berkelit.”

Tapi ketika sampai di rumah pak Hasbi, simbok menyambut kedatangannya dengan panik.

“Non … Non, tuan Non.”

“Ada apa?”

“Setelah minum obat tadi pagi, tuan tidak bangun sama sekali.”

***

Besok lagi ya.

45 comments:

  1. Yessssss
    Matur nuwun mbak Tien.....
    Sugeng dalu....

    ReplyDelete
  2. 🌸🍃🌸🍃🌸🍃🌸🍃
    Alhamdulillah 🙏😍
    Cerbung eLTe'eLKa_26
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai 💐🦋
    🌸🍃🌸🍃🌸🍃🌸🍃

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sari
      Aduhai

      Delete
  3. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~26 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🤲

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Djodhi

      Delete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 26 " sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun 🤲🙏🩷🩷

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Sri
      Aduhai aduhai

      Delete
  6. Alhamdulillah, matur nuwun mbakyu Tien sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖🌿🌸
    Salam dari Cibubur,, JakTim

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Endah
      Aduhai hai hai

      Delete
  8. Matur nuwun Bu Tien...
    Duh Kakek Hasbi kenapa...
    Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  9. Terima ksih bunda cerbungnya..slmt mlm dan slm sht sll unk bunda sekeluarga🙏🥰💪🌹

    ReplyDelete
  10. Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Yulian

      Delete
  11. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM ~ 26 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Herry

      Delete
  12. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 26 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  13. Waduh..... Ini ulah Rizki lagi, ya Dhe?
    Dibikin over dosis atau ada rencana jahat Rizki?
    Becik ketitik ala ketara.....

    Bu Dhe, bikin penasaran pembacanya... Ihirrrr ... deg-deg plas....
    Lanjutkan ....!!!
    Besok.lagi ya..... 😊🥰🌹

    ReplyDelete
  14. Apa perbuatan Rizki ya... Kejam sekali. Bahkan kepada orang yang mengangkat dari lembah penderitaan menuju ke kemuliaan.
    Dewi harus ekstra waspada menghadapi penjahat yang sudah gelap mata.
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun pak Latief

      Delete
  15. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien 🙏
    Sehat dan bahagia selalu nggih Bu Tien 💖

    ReplyDelete
  16. Semoga pak Hasbi sehat2 saja, maturnuwun Bu Tien dah tayang dngn bagus dan menarik,semoga tetap sehat semangat berkarya menulis cerbung untuk pembaca yg setia, sehat dan bahagia sll kagem Bu Tien sekel.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Tatik

      Delete
  17. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
    2. Aamiin Yaa Robbal'alamiin
      Matur nuwun ibu Salamah

      Delete
  18. Waduh! Jangan -jangan kecolongan nih, apa Rizki nekat mencelakai pak Hasbi ya? Mana si Misnah amnesia sebagian lagi...hedeh!🤦🏻‍♀️

    Terima kasih, ibu Tien. Salam sehat, bahagia.🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  19. Jangan jangan obatnya pak Hasbi ditukar sama Rizki untuk membunuh pak Hasbi agar warisan untuk Rizki semua, yang sudah diadopsi... Maaf Bu Tien, sebagai istri, ningrat lagi, Dewi memanggil Satria sebagai suaminya kok hanya Sat saja, tanpa panggilan hormat untuk suami... Hanya Listyo yang dipanggil 'mas' oleh Dewi...

    ReplyDelete
  20. Mbak Tien memang luar biasa. Kok bisa membuat membuat cerita bagus seperti ini? Apakah beliau meniru Pak Misdi dengan cara berdo'a membubung langit? Entahlah...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 26

  LANGIT TAK LAGI KELAM  26 (Tien Kumalasari)   Misnah terus mengawasi punggung laki-laki yang melintas dan berjalan semakin jauh. Tapi ada ...