Saturday, August 2, 2025

MAWAR HITAM 30

 MAWAR HITAM  30

(Tien Kumalasari)

 

Arum terkejut melihat suaminya mengacungkan sebuah tas, dan sebagian buku yang mungkin tercecer dan dipegang di tangan sebelahnya.

“Apa itu Mas? Mengapa Mas bawa? Nanti kalau dikira Mas mengambil barang milik orang lain lho,” katanya kepada Listyo yang berdiri di depan pintu mobilnya.

“Ini tas kuliah milik Dewi, dan sebagian bukunya yang tercecer di situ tadi.”

“Milik Dewi? Bagaimana milik Dewi bisa tercecer di situ?”

“Sesuatu yang buruk terjadi. Tampaknya Dewi mengalami kecelakaan. Ada ceceran darah yang masih segar di situ.”

“Masa sih Mas? Ya ampuun, benar ada darah. Apakah sudah pasti itu darah Dewi? Bukan orang lain?”

Tiba-tiba ada orang dari seberang jalan datang mendekat.

“Tadi ada kecelakaan di situ Mas, saya sedang ada di gang itu, sudah lari-lari mau menolong, tapi pengendara sepeda motor itu sudah di bawa mobil yang menyerempet.”

“Tunggu Mas, ceritanya yang jelas, maksud saya, ceritakanlah dari awal, kalau memang Mas melihat kecelakaan itu.”

“Saya sedang berada di tempat yang agak jauh, saya ini penyapu jalanan. Saya melihat seorang gadis mengendarai sepeda motor, sebelum sampai perempatan, ada mobil tiba-tiba berbelok. Saya juga tidak tahu, tadinya mobil itu berhenti di sebelah sana, kok tiba-tiba jalan, lalu berbelok, sementara sepeda motor yang berjalan kemudian minggir ke tepi, tapi tetap saja mobil itu menyerempet, membuat gadis itu terpelanting. Saya sudah lari mau menolong, tapi pengendara mobil itu keluar dan membawa gadis itu masuk ke mobilnya, mungkin ke rumah sakit, entahlah. Dan ada lagi satu laki-laki lainnya, membawa sepeda motor gadis itu,” terangnya.

“Bapak tahu tidak, penabrak itu membawa gadis itu ke mana?”

“Ke rumah sakit pastinya, wong gadis itu luka parah, lihatlah .. dia berdarah-darah.”

“Maksud saya ke rumah sakit mana?”

“Saya tidak sempat bertanya Mas, begitu sampai di sini, orang-orang itu sudah pergi. Pastinya ya ke rumah sakit terdekat.”

“Baiklah, terima kasih banyak Mas,” kata Listyo yang kemudian masuk ke mobilnya.

“Aku minta maaf, sepertinya kita tidak jadi ke Solo hari ini.”

Terdengar teriakan kecewa dari Aryo dan Sekar.

“Mbak Dewi kecelakaan. Kita harus menolongnya. Nanti kalau mbak Dewi sudah ketemu, kita bisa pergi ketemu eyang, ya?” bujuk Arum berkali-kali yang kemudian membuat kedua anaknya menurut.

Listyo pergi ke rumah sakit terdekat, untuk memastikan bahwa Dewi dirawat di sana, tapi tak ada pasien bernama Dewi, dan tak ada pasien terluka karena kecelakaan hari itu.

“Tidak ada, kita ke rumah sakit yang lain ya,” kata LIstyo yang segera pergi ke rumah sakit yang lain. Tapi tak ada satupun rumah sakit yang menerima pasien bernama Dewi.

Dengan rasa khawatir Listyo kemudian mengantarkan anak-anak dan istrinya pulang ke rumah. Ia akan mencarinya sendiri.

Setelah anak istrinya berada di rumah, Listyo segera melapor ke polisi. Tak ada bukti yang bisa ditunjukkan kecuali tas kuliah dan buku-buku yang ada di dalamnya. Listyo ingin menelpon Satria, tapi ia ragu-ragu kalau sampai mengganggu pekerjaannya.

“Tapi kalau aku tidak mengabari, pasti aku disalahkan,” gumamnya.

Kemudian ia menelpon Satria tentang kejadian itu, dan mengatakan kalau ia sudah mencarinya ke segenap rumah sakit, tapi tak menemukan Dewi. Satria tentu saja sangat panik. Ia mencurigai seseorang, tapi tanpa bukti ia tak bisa menuduhnya begitu saja.

“Bapak sudah lapor ke polisi?”

“Sudah, saat ini pastinya sudah ditangani.”

“Terima kasih Pak Listyo, saya selesaikan dulu pekerjaan saya, setelah ini saya mau ijin keluar untuk ikut mengurusnya.”

Satria menutup ponselnya dengan perasaan gelisah.

***

Pagi hari itu Andra sedang memeriksa beberapa laporan, ketika tiba-tiba Sinah muncul di ruang kerjanya.

“Mau apa kemari? Bukankah ruang kerja kamu di sana?” tegur Andra kesal.

“Mas Andra, saya cuma mau bicara tentang kehamilan saya.”

“Mengapa kamu mengatakannya kepada aku? Kalau kamu hamil, maka suruh laki-laki itu bertanggung jawab. Itu bukan urusan aku.”

“Mengapa Mas Andra begitu tega?”

“Apa maksudmu? Kamu masih tetap mengira bahwa bayi yang kamu kandung itu adalah anakku?”

“Tentu saja anakmu Mas, lalu anak siapa lagi?”

“Bukankah laki-laki pemilik sepatu itu juga naik ke ranjang kamu? Dan aku yakin itu bukan yang pertama. Lalu apa kamu tidak mendengar ketika aku mengatakan bahwa aku ini mandul? Bertahun-tahun istriku tidak pernah hamil. Kami baru akan memeriksakan ke dokter, mungkin dalam sehari atau dua hari lagi dokternya akan datang. Mertuaku yang merekomendasikan kedatangannya, mengingat istriku belum bisa pergi jauh setelah cedera."

“Oh ya? Jadi tuan Sunu nanti juga akan datang? Atau berdua dengan istrinya? Kalau begitu baiklah, sangat bagus kalau aku bisa menemuinya,” kata Sinah sambil melenggang keluar dari ruangan.

Andra terpana.

“Ini ancaman lagi? Apakah selamanya aku akan terus begini?” gumamnya.

Andra memijit-mijit kedua keningnya. Kepalanya terasa sangat pusing. Tiba-tiba ketukan pintu terdengar. Andra melepaskan tangannya yang masih memijit-mijit keningnya. Ketika ia mempersilakan masuk, maka sekretarisnya yang muncul.

“Ada apa?”

“Saya akan menyampaikan pesan pak Satria. Tadi mau menemui Bapak, tapi ada bu Mawar di dalam, jadi dia hanya berpesan kepada saya.”

“Pesan apa?”

“Karena ada sesuatu yang mendesak, maka pak Satria mohon ijin untuk keluar.”

“Oh, jadi pak Satria tidak ada di ruangannya?”

“Keluar pak, ketika di dalam masih ada bu Mawar.”

“Padahal aku baru mau bicara penting dengannya.”

“Tadi pak Satria juga berpesan, kalau ada sesuatu yang mendesak, Bapak diminta menelponnya. Tadi pergi dengan tergesa-gesa. Tampaknya ada sesuatu yang sangat mendesak.”

“Baiklah. Nanti aku akan menelponnya saja.”

Setelah mengangguk, Tati melangkah keluar ruangan.

Andra kembali memijit keningnya. Sebenarnya dia akan membicarakan sesuatu dengan Satria. Tentang Sinah, tentang ancaman yang bertubi-tubi, dan tentang cara dia berterus terang kepada istrinya.

“Bodoh kalau aku bicara lagi. Bukankah berkali-kali dia sudah mengatakan bahwa hal terbaik adalah berterus terang kepada Andira? Kalau aku bicara lagi, pasti dia juga akan mengatakan hal yang sama. Mengapa tiba-tiba aku takut kehilangan Andira? Bukan karena aku takut jatuh miskin, sungguh, aku hanya takut kehilangan Andira.”

Lalu Andra baru sadar, betapa dia sangat mencintai istrinya, dan takut kehilangannya.

“Tapi apakah karena itu aku harus membiarkan Sinah terus menerus menekan dan memerasku? Memangnya siapa dia itu sehingga bisa menguasaiku. Ya Tuhan, ketakutanku telah membuat aku terpedaya, sehingga hal-hal yang tak mungkin bisa menjadi mungkin. Sinah, gadis kampung yang tidak terdidik dengan baik, tapi berhasil menguasai hidupku, lalu aku harus membiarkannya?”

Ketika itu ponsel Andra berdering. Ternyata dari Satria.

“Ya, pak Satria, tadi Tatik sudah mengatakan pada saya.”

“Saya minta maaf, karena ketika saya mau langsung menemui pak Andra, ada Sinah di dalam.”

“Iya, aku tahu. Tampaknya ada sesuatu yang mendesak, ya Pak?”

“Iya, Dewi tampaknya diculik.”

“Lagi? Bukankah dulu pernah ada percobaan penculikan juga dan berhasil digagalkan oleh pak Listyo?”

“Dan sekarang tampaknya dia berhasil. Dia mau berangkat kuliah dengan mengendarai sepeda motor, tapi sebuah mobil menabraknya. Kejadian itu tak akan tercium kalau saja pak Listyo tidak menemukan tas kuliah Dewi di pinggir jalan bersama buku-buku kuliahnya.”

“Apa tidak mungkin kemudian si penabrak itu membawanya ke rumah sakit?”

“Pak Listyo sudah mengecek ke seluruh rumah sakit, tapi tidak menemukannya. Bahkan saya juga kemudian ikut melacaknya ke beberapa rumah sakit, tapi tidak ada yang pernah menerima pasien bernama Dewi.”

“Sudah lapor polisi?”

“Sudah.”

“Pak Satria tenang saja. Semoga segera ada titik terang untuk itu. Tidak apa-apa seandainya pak Satria tidak kembali ke kantor dulu, agar permasalahan segera teratasi. Semoga Dewi baik-baik saja.”

“Terima kasih, Pak. Nanti setelahnya saya akan bicara dengan pak Andra.”

Andra menutup ponselnya, dengan perasaan prihatin. Permasalahannya baru akan dipikirkan, kemudian ada masalah lagi yang juga menjadi pemikirannya.

***

Pak Asmat melotot ketika melihat Sinah duduk di kursi Satria dengan seenaknya. Mau didiamkan saja, tapi ia merasa risih.

“Bu Mawar, sebaiknya jangan duduk di situ, itu kan tempat duduk pak Satria,” tegurnya halus, tapi menahan rasa kesal.

“Apa tidak boleh kalau aku duduk semau saya?”

“Tidak ada seorangpun yang berani duduk di kursi manager.”

“Tidak ada seorangpun, kecuali aku kan? Aku ini istri direktur, jadi mau duduk di manapun juga, siapa yang berani melarang?”

“Oh, saya baru tahu kalau bu Mawar istri direktur. Maksudnya … pak Andra?”

“Tentu saja iya. Apa ada direktur yang lain?”

“Maaf. Kami tidak tahu. Setahu kami, istri pak Andra adalah bu Andira.”

“O, bu Andira itu yang gendut seperti gajah bengkak?”

Sinah terkekeh meremehkan.

“Pak Andra itu masih muda, mana mungkin puas dilayani perempuan segede itu?”

“Bu Mawar, ucapan Anda sudah melewati batas.”

Sinah terkekeh lagi. Ia mengambil balpoint yang tersedia di situ, lalu mengambil secarik kertas dari sebuah blocknote. Ia menuliskan sesuatu di sana.

“Bukankah pantas kalau aku menulis-nulis begini? Sudah seperti ibu direktur bukan?” katanya lirih, tak peduli tatapan tak suka dari orang di sekitarnya.

Karena tak tahan, pak Asmat berdiri, lalu keluar dari ruangan. Tak cukup sampai di situ, seluruh staf yang berjumlah sekitar enam orang, ikut keluar, mengikuti pak Asmat yang ternyata menuju ruang direksi.

Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan, pak Asmat segera masuk ke dalam.

Andra menatapnya heran, apalagi ketika ia melihat beberapa staf keuangan berdiri di luar pintu.

“Ada apa?”

“Kami semua keberatan dengan keberadaan bu Mawar.”

“Apa yang  dia lakukan?”

“Pak Satria sedang keluar, lalu dengan enaknya bu Mawar duduk di  kursi pak Satria. Ketika saya menegurnya, dia mengatakan bahwa tak ada yang bisa melarangnya karena dia adalah istri direktur.”

Wajah Andra merah padam karena marah. Ia tak mengira Sinah berbuat semaunya dan bersikap sangat menyebalkan. Dia bukan ingin menjadi karyawan, tapi ingin merusak nama baiknya dan juga menganggap bahwa dirinya berkuasa.

Ia memencet interkom ke ruangan keuangan, Sinah terkejut dan mengangkatnya.

“Ya, ada apa?”

“Sinah! Kemari kamu!” hardik Andra, yang membuat pak Asmat heran karena Mawar dipanggil Sinah. Tapi pak Asmat tidak berani  menanyakannya.

Tak lama kemudian, tampak Sinah melenggang masuk, dan tersenyum manis ke arah pak Asmat yang duduk di depan Andra.

Sinah langsung menuju sofa, dan duduk sambil menyilangkan kakinya.

“Ada apa sayang,” katanya dengan manis.

“Pak Asmat, silakan kembali ke ruangan, saya ingin bicara dengan orang ini.”

Pak Asmat mengangguk, lalu berdiri, dan keluar dari ruangan.

“Sinah, apa maksudmu sebenarnya?”

“Mas, jangan memanggilku Sinah dong, mereka mengenali aku sebagai Mawar.”

“Omong kosong! Jangan sampai kamu membuat onar dengan kelakuan kamu yang tak tahu malu itu. Ingat, kamu bukan istriku.”

Tiba-tiba pintu terbuka, dan pak Sunu muncul di tengah pintu.

***

Besok lagi ya.

Friday, August 1, 2025

MAWAR HITAM 29

 MAWAR HITAM  29

(Tien Kumalasari)

 

Andira terkekeh melihat wajah suaminya yang tiba-tiba berubah. Ia segera mengambilkan minum agar sang suami berhenti terbatuk-batuk.

“Ya ampun Mas, pelan-pelan makannya.”

“Iya, daging belum dikunyah tertelan,” jawab Andra seenaknya.

“Hati-hati lho Mas, tersedak bisa menjadikan hal yang fatal.”

“Tidak, aku tidak apa-apa."

“Mas Andra aneh. Kok tiba-tiba seperti orang kaget begitu. Memangnya Mas selingkuh? Aku tidak percaya ah. Masa  suamiku yang baik ini selingkuh?”

Andira berkata sambil tertawa menggoda suaminya. Andra hanya tersenyum. Ucapan sang istri sangat mengena. Sebenarnya kalau Andira tidak mengecualikan masalah selingkuh, Andra ingin mengatakan semuanya.

“Mengapa Mas meragukan Andira? Apapun yang terjadi, aku akan tetap mencintai Mas, dengan segenap rasa. Tapi perselingkuhan itu kan berbeda. Itu menunjukkan bahwa cinta seseorang itu tidak utuh. Terbelah-belah. Apakah harus ada toleransi untuk pasangan yang tega mengkhianati keutuhan cinta?” lanjut Andira seenaknya, tanpa sadar bahwa hal itulah yang pernah dilakukan suaminya.

“Tidak, aku tidak meragukan kamu, aku sangat dan sangat mempercayaimu.”

“Terima kasih Mas, senang mendengarnya. Tapi kenapa tiba-tiba Mas menanyakan hal itu? Kalau begitu aku dong yang gantian bertanya. Apakah Mas juga mencintai aku seperti aku mencintai Mas?”

“Aku tentu saja sangat mencintai kamu, Andira.”

“Cinta yang utuh? Tidak terbelah-belah?”

Andra mengacungkan kedua jempol tangannya, karena mulutnya sedang mengunyah makanannya. Atau barangkali tak mampu menjawabnya.

Andira merasa senang dengan jawaban sang suami, walau hanya dengan isyarat jempol.

Tapi sebenarnya hati Andra sedang sangat gelisah. Sungguh ia ingin mengatakannya, tapi entah kemana larinya keberanian itu, apalagi setelah mendengar ungkapan kata istrinya tadi.

“Kok makannya sedikit Mas? Biasanya nambah.”

“Sudah, aku sudah kenyang.”

Andira juga sudah makan sepiring buah dan sayuran yang habis dilahapnya, kemudian keduanya beranjak ke ruang tengah lagi untuk sekedar menunggu kantuk, karena hari juga sudah mulai malam.

***

Tapi Sinah yang sejak sore ingin sekali mendamprat Bagus, tidak segera bisa menghubunginya. Entah mengapa, ponsel Bagus sepertinya mati.

“Kemana orang bodoh itu sekarang? Dan kemana juga ponselnya dibawa, jangan-jangan ketinggalan entah di mana seperti ketika dia meninggalkan sepatunya,” omelnya panjang pendek.

Karena kesal Sinah kembali menghubungi Andra, tapi seperti juga ketika menghubungi Bagus, ponsel Andra juga mati. Andra memang mematikan ponselnya. Ia tahu, sepeninggalnya dari rumah Sinah, Sinah pasti ingin terus menghubunginya.

“Tidak apa-apa pak Andra, besok aku kan bisa datang ke kantor. Aku tidak terima kamu menjawab seenaknya seperti tadi. Tapi celaka benar aku, apa memang pak Andra mandul? Iya juga sih, nyatanya istri yang dinikahinya bertahun-tahun belum juga hamil. Tapi itu tidak masalah, banyak jalan untuk mengakali pengusaha bodoh itu. Aku pasti akan melakukannya.”

Malam sudah larut ketika Bagus kemudian menelpon. Sebenarnya Sinah enggan mengangkat, tapi ia ingin sekali mendampratnya sejak sore tadi.

“Mawar, sepatuku tertinggal di kamar kamu,” kalimat pertama yang diucapkan Bagus memicu kemarahan yang semakin memuncak.

“Apa maksudmu? Gara-gara sepatu bau kamu itu, aku mendapat malu,” hardiknya.

“Mendapat malu? Kamu kan tidak memakai sepatu aku, sehingga ada yang mengolok-olokmu?”

“Dasar dungu. Bodoh. Pak Andra memasuki kamar aku dan melihat sepatu bau itu, apa menurutmu yang dipikirkan olehnya? Kamu tidak bisa mengerti juga?”

“Dia melihat sepatu itu, lalu kamu jawab apa? Biasanya kamu pintar mencari alasan.”

“Dia hanya mengatakan ada sepatu didekat ranjang, lalu pergi begitu saja.”

“Dia marah?”

“Kamu tidak berhak untuk bertanya-tanya. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kamu bodoh dan  ceroboh. Bagaimana kamu bisa pergi dengan meninggalkan sepatumu?”

“Aku kan tergesa-gesa, karena kamu menyuruh aku cepat pergi?”

“Dasar orang nggak punya otak. Semestinya kalau orang berjalan kan harus memakai sandal, atau sepatu. Tapi kamu bisa pergi begitu saja. Bagaimana cara berpikir kamu?”

“Sekarang di mana sepatu itu, biar aku ambil.”

“Sudah aku buang ke tempat sampah.”

“Mawar, itu kan sepatu baru? Bagaimana kamu bisa membuangnya? Akan aku cari sekarang, itu harganya jutaan.”

“Jangan kemari malam ini, aku sedang tidak ingin diganggu.”

“Tapi sepatu itu ….”

“Cari saja besok di tempat sampah!”

Sinah menutup ponselnya lalu melemparkannya di pembaringan begitu saja. Ia tak bisa tidur, ia harus bisa mengatasi semuanya, termasuk memaksa Andra agar mau menikahinya secara resmi. Ia boleh saja disuruh-suruh oleh Satria, tapi kedudukannya sebagai nyonya Andra akan membuat semua orang menghormatinya bukan?

***

Dewi sedang makan pagi ketika itu, dan mbok Randu wanti-wanti agar jangan  tergesa-gesa, karena Dewi kan tidak harus menunggu becak, lalu jalan becaknya kan pelan-pelan. Beda kalau naik sepeda motor kan bisa lebih cepat.

“Iya Mbok, itu benar, aku bisa ke kampus lebih cepat, karena naik sepeda motor. Tapi ini juga sudah cukup siang, kalau aku makan lambat-lambat, tetap saja akan terlambat.”

“Ini baru jam tujuh Den Ajeng, biasanya juga tidak kesiangan.”

“Iya … iya Mbok, jangan khawatir, ini aku juga pelan-pelan makannya, dikunyah tigapuluh dua kali makanannya.”

Mbok Randu terkekeh mendengarnya.

“Dikunyah tigapuluh dua kali? Kalau itu apa tidak kebanyakan? Bisa berjam-jam kalau simbok yang makan.”

“Aturannya begitu Mbok, makan sehat harus mengunyah cukup, kira-kira tiga puluh dua kali.”

“Wah, kalau itu simbok, mana bisa, mulut simbok bisa terkena sakit pegel linu.”

“Lha mengapa begitu?”

“Lha simbok sudah habis giginya, makan juga sering hanya ditelan saja, kalau harus mengunyah sampai sebanyak itu ya terkena sakit pegel linu beneran.”

“Lho, ya jangan langsung ditelan Mbok, kalau memang susah mengunyah, masak nasinya yang lembek.”

“Iya, simbok sudah tahu, masalah mengunyah itu simbok baru mendengar. Lha wong simbok tidak makan sekolahan.”

“Jangan makan sekolahan Mbok, makan nasi dan lauk pauknya saja.”

“Kalau itu ya sudah. Setiap hari tiga kali, masih ditambah dan lain-lainnya.”

“Sudah Mbok, aku sudah kenyang,” kata Dewi sambil berdiri setelah mentertawakan konyolnya mbok Randu.

Mbok Randu segera membawa piring-piring kotor ke belakang, dan membersihkan meja makan, sementara Dewi menyiapkan piranti yang mau dibawa.

Tiba-tiba ponsel Dewi berdering, Dewi segera mengangkatnya, dari Listyo.

“Ya Mas, ada apa, aku mau berangkat nih.”

“Hari ini aku mau ke Solo, apa kamu mau ikut? Kebetulan, hari ini aku tidak mengajar, jadi ingin mengunjungi keluarga di Solo. Aku tidak tahu apa kamu bisa ikut atau tidak.”

“Mas LIstyo bersama anak-anak juga?”

“Iya, semuanya, karena sudah lama juga kami tidak mengunjungi keluarga di Solo. Barangkali kamu bisa, ayuk bareng sekalian.”

“Aku ada kelas pagi, tapi nanti memang pulang agak awal. Hanya saja sayang sekali aku nggak bisa ikut. Aku juga mau pulang ke Solo, tapi besok Minggu depan. Barangkali bareng sama Satria.”

“Ya sudah kalau begitu.”

“Tapi kalau Mas tidak keberatan, aku tuh punya makanan kesukaan kanjeng ibu, kalau Mas mau mampir ke rumah, biar nanti mbok Randu siapkan.”

“Nggak apa-apa, nanti aku mampir ke situ, mau berangkat pagi ini.”

“Ya sudah, biar disiapkan simbok, aku mau berangkat sekarang.”

“Baik, aku ke situ dulu.”

Setelah menutup ponselnya, Dewi segera berpesan kepada mbok Randu.

“Mbok, ada bakpia di samping meja makan, dan juga krasikan, nanti mas Listyo mau mampir kemari. Tolong simbok siapkan ya, biar dikirimkan ke kanjeng ibu oleh mas Listyo.”

“Semuanya?”

“Ya, semua saja. Aku diberi teman kuliah, kebanyakan kemarin. Kebetulan bakpia itu kan kesukaan kanjeng ibu.”

“Baiklah, segera saya siapkan.”

"Simbok tungguin saja di depan setelah ini, supaya tidak kelamaan mas Listyo menunggu, soalnya dia mau langsung pergi ke Solo.”

“Baiklah.”

“Aku mau berangkat dulu ya.”

“Hati-hati di jalan, Den Ajeng.”

“Ya Mbok.”

***

Hari itu memang ada kuliah pagi, dan Dewi mengendarai sepeda motornya lebih cepat dari biasanya.

“Gara-gara simbok melarang aku makan cepat-cepat, jadinya waktuku mepet. Ditambah telpon dari mas Listyo juga,” gumamnya sambil melajukan kendaraannya.

Tapi di sebuah perempatan kecil, sebuah mobil melaju tiba-tiba, membuat Dewi sangat terkejut. Ia berjalan lebih minggir, tapi mobil itu tetap saja menyerempet sepeda motornya, membuatnya terjatuh, dan luka parah, karena jalanan berbatu.

Jalanan itu memang agak sepi. Pengendara mobil itu turun. Ada dua orang laki-laki yang kemudian mendekat ke arah Dewi yang masih meringis menahan sakit. Bukan hanya tangannya yang terluka, tapi juga kepalanya berdarah-darah.

“Ya ampun Mbak, bagaimana sih, Mbak kurang hati-hati.”

Dalam menahan sakit itu Dewi masih bisa menjawab.

“Saya sudah berjalan minggir, Anda tetap saja menabrak saya.”

“Maaf, tapi jangan khawatir, mari saya antarkan ke rumah sakit, saya akan bertanggung jawab,” kata salah seorang dari laki-laki itu.

Dewi merasa kesakitan, ia tak mampu menolak, barangkali ke rumah sakit adalah satu-satunya pilihan. Karenanya ia menurut ketika salah seorang laki-laki itu memapahnya ke dalam mobil.

“Sepeda motor saya … “ kata Dewi lemah.

“Biar nanti saya urus,” kata yang satunya lagi.

Mobil itu melaju dikendarai oleh salah satu dari mereka, sedangkan yang satunya mengambil sepeda motor Dewi. Dewi sudah setengah pingsan, darah mengucur di kepalanya, begitu banyak.

***

Sementara itu mbok Randu sudah membungkus makanan seperti yang dipesan bendoronya, lalu diletakkannya di meja depan, lalu dia menunggu kedatangan Listyo. Dan memang tak lama kemudian Listyo sudah datang dan segera mbok Randu menyerahkan titipan Dewi kepadanya.

“Hanya ini MBok?”

“Iya, Den.”

“Dewi sudah lama perginya?”

“Tadi setelah menerima telpon, langsung berangkat dengan terburu-buru.”

“Ya sudah aku pergi dulu ya Mbok.”

“Mobilnya penuh Den?”

“Iya, anak istri semua ikut.”

“Wah, senengnya. Kalau ketemu yu Manis nitip salam ya Den.”

“Iya, nanti aku sampaikan.”

Setelah menerima bungkusan, Listyo segera pamit.

Ia mengendarai mobilnya pelan, karena jalanan di daerah situ agak kurang bagus.

“Mbak Dewi mana?” tanya Aryo.

“Tidak ikut, dia ada kuliah hari ini.”

“Sudah lama tidak ketemu mbak Dewi.”

“Nanti kalau liburan kita main ke sana.”

Tapi tiba-tiba di tepi jalan, Listyo  melihat sesuatu. Ia menghentikan mobilnya.

“Ada apa Mas?” tanya Arum.

“Sepertinya tadi ada kecelakaan. Lihat, ceceran darah di situ. Tapi tunggu dulu,” kata Listyo yang kemudian turun dari mobil. Ia melihat sebuah tas. Ia mengenalinya sebagai tas kuliah Dewi. Ada beberapa bukunya yang terserak keluar.

“Ini kan tas Dewi?” katanya sambil mengangkat tas itu. Wajahnya langsung pias. “Dewi kecelakaan?” pekiknya.

***

Besok lagi ya.

 

 

MAWAR HITAM 30

  MAWAR HITAM  30 (Tien Kumalasari)   Arum terkejut melihat suaminya mengacungkan sebuah tas, dan sebagian buku yang mungkin tercecer dan di...