MAWAR HITAM 51
(Tien Kumalasari)
Bukannya merasa trenyuh melihat wajah simboknya yang pucat dan layu, Sinah justru menatapnya kesal.
“Mengapa tidak segera pergi? Masih sibuk mensyukuri penderitaanku, yang katanya adalah anakmu? Karena aku bukan anak yang patuh? Kamu pasti tertawa kan Mbok? Tangismu itu pura-pura kan Mbok? Sekarang pergilah, dan tak usah menemui aku lagi, selamanya,” kata Sinah, tanpa belas.
Gemetar mbok Manis yang berdiri menjauh dari ranjang anaknya.
“Sin … naahhh … kamu tega .. tega … mengucapkan itu pada simbokmu? Kamu tahu bahwa aku datang karena merindukan kamu, karena ingin menghiburmu, menyadarkanmu, memberi kekuatan padamu?”
“Omong kosong Mbok. Kedatangan simbok tidak membawa pengaruh apa-apa bagiku, justru membuat aku semakin menderita. Pergilah, mengapa masih berdiri di situ? Dan ingat, jangan pernah menemui aku lagi. Aku bukan Sinah, aku adalah Mawar, pengusaha rumah makan terkenal, masa aku punya simbok seorang gembel seperti sampeyan? Bikin malu saja.”
Mbok Manis menjerit sakit. Ia membalikkan tubuhnya, dan hampir terjatuh kalau seorang polisi jaga tidak menangkap tubuhnya lalu menuntunnya keluar.
Diluar, mbok Randu mendekat dan merangkulnya.
“Kok hanya sebentar? Ada apa Yu? Sinah tidak apa-apa kan?”
Mbok Manis tidak menjawab. Dengan lemah ia melangkah, keluar dari sana, tanpa mengucapkan apa-apa. Tangisnya tertahan di tenggorokan, lalu pecah ketika sudah berada di dalam becak yang memang disuruh menunggu.
“Sinah kenapa? Sakit parah? Tidak sadar? Ada apa?” tanya mbok Randu bertubi-tubi, yang tak mampu dijawab oleh mbok Manis yang masih saja terguguk dalam tangis.
Mbok Randu membiarkannya, dengan harapan kalau tangisnya reda, dia akan menceritakan semuanya.
“Pak, kembali ke rumah yang tadi ya,” perintahnya kepada tukang becak yang masih menunggu arahan penumpangnya.
***
Mbok Manis terbaring di kamar, ia tak lagi menangis. Matanya menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
Mbok Randu yang selalu menungguinya sejak kepulangannya dari rumah sakit, hanya duduk termangu sambil menatap iba sahabatnya. Ia belum mendapat jawaban tentang keadaan Sinah di rumah sakit, sehingga sahabatnya itu seperti orang bingung dan hanya menangis. Parahkah sakit Sinah? Sayangnya dia tidak diperbolehkan masuk. Kalau saja diperbolehkan, pasti ia akan tahu penyebabnya.
“Terkadang dunia terasa begitu kejam,” bisik mbok Manis, sambil masih menerawang ke langit-langit.
“Mengapa Yu? Hidup itu memang beragam, penuh warna. Terkadang terasa seperti membuat kita bahagia, tapI terkadang membuat kita merasakan betapa kejamnya dunia."
“Aku tidak pernah merasakan kebahagiaan itu.”
“Jangan begitu Yu.”
“Itu benar. Ketika aku remaja, aku hidup diantara keluarga petani yang miskin. Ketika kemudian aku dinikahkan, ternyata suamiku kemudian meninggalkan aku. Ketika aku melahirkan, tak seorangpun peduli. Ketika anakku tumbuh menjadi gadis remaja, dia selalu bertingkah yang tidak membuatku senang. Segala petuah baik, dilewatkan begitu saja. Ketika ia semakin dewasa, ulahnya menggemparkan seluruh kalangan orang-orang kaya. Lalu kejahatan juga dilakukannya, dan sekarang ia harus masuk penjara. Aku adalah simboknya. Coba katakan, mana hal yang membuatku senang?”
“Ini cobaan Yu, sampeyan harus kuat. Sebenarnya bagaimana keadaan Sinah? Parahkah sakitnya? Dokter tidak bisa mengobati?” tanya mbok Randu yang mengira mbok Manis melihat keadaan sakitnya Sinah yang parah.
“Yang parah itu aku Yu.”
“Parah bagaimana? Sampeyan kudu kuat. Kok malah parah. Aku bantu berdoa, aku bantu menguatkan sampeyan, jangan sampai sampeyan sakit, lahir batin.”
“Hati orang tua mana yang tidak sakit Yu, kalau diusir anaknya dengan semena-mena.”
“Siapa yang mengusir, siapa yang diusir?”
“Yang bicara itu aku, yang merasa sakit itu aku.”
“Maksudnya … Sinah mengusir sampeyan?”
Mbok Manis mengangguk, menahan tangis.
“Sampeyan kan baru saja masuk, apa datang-datang sampeyan memarahi dia? Aku kan sudah bilang jangan sampai sampeyan marah-marah?”
“Jangankan sempat marah, bicarapun belum. Aku hanya menyapa, memanggil namanya. Waktu itu dia entah tidur atau apa, tapi matanya terpejam, tampak seperti menahan sakit. Aku panggil namanya dengan lembut. Tapi begitu matanya terbuka dan melihat aku, aku langsung disuruhnya pergi dengan kasar.”
“Sinah? Mengusir simboknya sendiri?”
“Bukan hanya itu, dia menuduh aku mensyukuri penderitaannya, aku tidak sempat mengatakan apa-apa, dia mengusirku berkali-kali dengan kasar, dan melarang jangan sampai aku menemui dia selamanya.”
“Ya ampun, Gusti Allah, kok Sinah tega berbuat begitu kepada perempuan yang telah melahirkan dan membesarkannya? Dosa besar itu Yu,” kata mbok Randu dengan wajah sedih, sambil menepuk-nepuk lengan sahabatnya.
“Aku merasa sakit. Bukan karena diusir, tapi karena memiliki anak seperti dia.”
“Yu, sebaiknya sampeyan tidak usah terlalu memikirkannya. Berdoa saja agar Allah menunjukkan jalan yang benar bagi dia, menyadarkannya dari langkah yang salah.”
“Aku sebenarnya juga kangen. Bertahun tidak ketemu, dan ingin menumpahkan rasa kangen itu, tapi dia salah terima, mengira aku mentertawakannya. Mana ada seorang ibu tertawa melihat penderitaan anaknya?”
“Sinah benar-benar tidak bisa melakukan hal baik. Tidak mengerti tata krama, tidak bisa mengerti penderitaan orang tua ketika melihat kelakuan anaknya.”
“Aku merasa hidupku tak berguna.”
“Jangan Yu, jangan merasa begitu. Sebuah perbuatan yang baik akan mendapat imbalan yang baik juga. Perjalanan masih panjang, jangan patah ditengah karena sebuah cobaan. Seberat apapun cobaan itu, kita harus bisa melaluinya. Sampeyan tidak sendiri, ada aku, ada den ayu yang selalu memperhatikan sampayen. Jadi sampeyan harus merasa nyaman berada diantara orang-orang yang mengasihi sampeyan. Biarkan anak tidak menyayangi, tapi banyak orang lain yang menyayangi lebih dari apapun. Bangkitlah Yu, jangan terus menerus menangisi kegagalan. Sampeyan tidak gagal. Sampeyan hanya kehilangan, dan yang hilang pasti akan kembali. Apa yang hilang? Yang hilang adalah rasa percaya diri, rasa gagal memiliki, rasa kecewa karena yang terjadi bukan sesuatu yang sampeyan mimpikan.”
Mbok Manis mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Ada kekuatan yang dirasakan, yaitu kebersamaan sahabatnya yang selalu seiring sejalan dalam pengabdian. Walau bayangan Sinah selalu singgah dalam benaknya, tapi mbok Manis berusaha mengusirnya.
***
Sepeninggal simboknya, Sinah merasakan sakit disekujur tubuhnya. Badannya panas, membuatnya menggigil. Ia berteriak minta tolong.
“Tolong aku … panaas … tapi aku kedinginan,” Sinah menarik selimut sampai menutupi dadanya, tapi rasa sakit semakin menggigit, dan selimut itu tak mampu mengusir rasa dingin yang menusuk tulang.
“Ada apa?” polisi jaga mendekat, dan bertanya dengan nada kesal. Sinah bukan pesakitan yang patuh.
“Tolong pak polisi, badanku sakit semua, panggilkan suamiku,” rintihnya.
“Bukankah orang yang kamu katakan bahwa dia adalah suamimu itu telah pergi? Dia menyatakan bahwa kamu bukan istrinya. Anak siapa yang kamu kandung ini? Anak setan?”
“Tolong panggilkan dokter. Mengapa kamu malah mengomeli aku?” kata Sinah kesal, sambil memukul-mukul tempat tidurnya.
“Sudah dikasih tahu jangan banyak bergerak. Sebentar lagi akan dilakukan test DNA untuk menentukan siapa ayah dari bayi itu.”
“Sudah aku bilang ayahnya adalah pengusaha besar!!”
Polisi itu keluar tanpa menanggapi.
***
Sebuah rumah kontrakan sederhana yang baru saja ditemukan Andira melalui temannya, cukup memuaskan Andra. Ia menatap istrinya sambil tersenyum. Ada rasa tidak percaya ketika mengetahui bahwa Andira bersedia ikut bersamanya dengan kehidupan yang sederhana.
Mereka menata ruangan yang perabotnya memang sudah ada. Perabotan sederhana juga, jauh bedanya dengan rumah mereka sebelumnya.
“Kamu yakin, bersedia hidup seperti ini?”
“Asalkan bersamamu, apapun aku bersedia.”
“Terima kasih Andira. Dengan begini, tanpa diet pun kamu pasti menjadi langsing,” ledek Andra ketika mereka makan dengan sayur seadanya dengan lauk tahu tempe dan kerupuk.
Andira terkekeh.
“Syukurlah. Sekarangpun badanku sudah bertambah ringan.”
“Nanti aku akan mengambil beberapa baju di rumah. Bolehkah aku membawa mobilku?” lanjutnya.
“Tidak usah. Hidup sederhana tapi punya mobil? Aneh kan?”
“Apapun kata suamiku … “ kata Andira sambil mengacungkan jempolnya.
Tiba-tiba ponsel Andira berdering. Andira segera meraihnya. Dari pak Sunu.
“Ya Pak, kami sedang makan.”
“Makan enak?”
“Enak lah Pak.”
“Test DNA sudah dilakukan?”
“Sudah, tinggal menunggu hasilnya.”
“Aku yakin bukan anak mas Andra, bukankah mas Andra mandul?”
“Bukan mandul kan, hanya lemah. Dokternya dulu kan pernah mengatakan kalau kemungkinan besar bisa kembali normal. Aku khawatir hasilnya positip untuk Andra.”
“Jangan khawatir Pak, aku mempercayainya.”
“Tapi ingat Andira, kalau sampai benar bayi itu anak Andra, mau tidak mau kamu harus bercerai,” kata pak Sunu tandas.
“Ah, Bapak.”
“Bapak serius, dan tidak bisa diganggu gugat. Camkan itu. Aku tidak mau kamu merawat anak dari si gombal itu.”
Sebelum Andira menjawabnya, pak Sunu sudah mematikan ponselnya.
Wajah Andira yang muram, memuat Andra khawatir.
“Ada apa?”
“Bapak nakutin aku.”
“Kenapa?”
“Kemungkinan anak Sinah itu darah daging Mas, bisa saja terjadi.”
“Tidak, aku sudah lama tidak bertemu dia. Lagi pula aku kan mandul.”
“Bapak selalu mengatakan bahwa Mas bukannya mandul. Kemungkinan punya anak itu ada. Bapak bilang, kalau hasilnya positip, kita harus bercerai,” kata Andira dengan mata berkaca-kaca.
“Sudah, lanjutkan makanmu, jangan memikirkan hal yang belum tentu kebenarannya.”
***
Simbok sedang melayani majikannya makan siang. Pak Hasbi sudah bisa makan sendiri, dan simbok senang karena dokter mengatakan bahwa besok pak Hasbi sudah boleh pulang.
“Syukurlah Tuan, besok Tuan sudah boleh pulang.”
Pak Hasbi diam. Ia mengulurkan piringnya yang sudah kosong ke arah simbok.
“Mengapa Tuan kelihatan tidak senang?”
“Aku suka di sini.”
“Tuan? Semua orang tidak kerasan menginap di rumah sakit, mengapa Tuan merasa suka?” tanya simbok heran.
Pak Hasbi tampak diam. Simbok mengambilkan gelas minum, yang kemudian diteguknya.
“Gadis itu ….”
“Kenapa ? Maksud Tuan, Non Dewi?”
“Kalau aku pulang, gadis itu tak akan datang lagi, bukan?”
Simbok tertawa.
“Rupanya Tuan benar-benar jatuh sayang pada Non Dewi. Dia bisa menjadi cucu Tuan yang penuh kasih, bukan?”
“Tapi dia bukan siapa-siapa aku. Dia milik orang tuanya,” katanya sendu.
“Tuan, bukankah non Dewi pernah mengatakan bahwa Tuan bisa menjadi kakeknya?”
“Tapi aku sudah sembuh, dan mau pulang.”
“Memangnya kenapa kalau Tuan sudah mau pulang?”
“Gadis itu tak akan datang lagi bukan? Dia bukan Bening. Dia anak orang lain.”
“Kakek ….”
Pak Hasbi dan simbok terkejut, sekaligus senang. Tiba-tiba Dewi muncul sambil tersenyum.
“Kakek sudah makan? Aduh, aku datang terlambat. Maaf ya, kuliah baru saja selesai, dan aku langsung ngebut kemari.”
“Besok aku sudah mau pulang, tadi dokter mengatakannya.”
“Bagus sekali, berarti Kakek sudah sehat.”
“Kita tak akan bertemu lagi bukan?”
Dewi tersenyum. Ia meraih tangan pak Hasbi dan diciumnya.
“Bukankah Kakek adalah kakekku? Aku akan selalu mengunjungi Kakek, walaupun tidak setiap hari.”
“Benarkah?”
“Tentu saja benar. Aku tetap cucu Kakek. Kakek tidak akan kesepian.”
Pak Hasbi merangkul Dewi sambil berlinang air mata.
“Aku mengira akan kehilangan kamu,” bisiknya bergetar.
***
Sinah masih terbaring lemah, walau masih bisa bersuara lantang. Walau perdarahan, dokter berusaha mempertahankan kandungannya. Sinah merasa kesal, ia selalu bilang lebih baik bayinya mati.
“Aku tidak mau anak ini, ayahnya tidak mau mengakuinya. Biar dia mati, mengapa dipertahankan?” katanya sambil memukul-mukulkan tangannya.
“Bu, saya sudah membawa hasil test DNA yang pastinya ibu menantikannya."
“Tidak, aku tidak mau membacanya, hanya aku yang tahu kebenarannya. Mana suami aku?” Sinah masih sanggup berteriak.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Salamah
DeleteHoree
ReplyDeleteHoreee
DeleteAlhamdulillah MAWAR HITAM~51 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
πΊπͺ΄πΊπͺ΄πΊπͺ΄πΊπͺ΄
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eMHa_51
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ππ¦
πΊπͺ΄πΊπͺ΄πΊπͺ΄πΊπͺ΄
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 51" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·π©·
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Si
Aduhai aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda
Mawar Hitam sudah tayang
Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 51* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 51 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah, Dewi sdh dihadirkan di sini.
ReplyDeleteSemoga Bu Tien selalu diberkahi kesehatan yang prima lahir batin, awet membersamai AMANCU, wabil khusus belahan jiwa Pak Tom Widayat.
Baarakallahu fiikum. ♥️πΉπ₯π₯°
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur nuwun ibu Tien ku....
ReplyDeleteSami2 pak Apip
DeleteAlhamdulillaah mawar hitam dah dibaca, dikira tes DNA dah di bacakan hasilnya, pastinya bukan darah daging Andra, mengharap.
ReplyDeleteMakasih bunda
Sami2 ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Sami2 ibu Susi
DeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteHamdallah
ReplyDeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 51 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteSami2 ibu Uchu
DeleteAlhamdulillaah "Mawar Hitam-51" sudah hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yas Robbal' Aalaamiinπ€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Matur Nuwun Mawarnya sdh tayang...
ReplyDeleteSemoga keberkahan senantiasa menyertai mbak Tien sekeluarga...
Tetap Sehat.... Semangaaat πͺπΏπͺπΏ
Salam aduhai dari Surabaya ππ❤️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Dewi
Aduhai
Terima kasih... Sehat sllu Mbu Tien bersma keluarga...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Zimi
Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 51 ..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Waduh....Sinah sutris...itu akibatnya klu berani melawan orang tua.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Besok kita bersama2 akan tahu hasil test DNA Sinah si Mawar Hitam
ReplyDeleteSehat selalu mbak Tien sayang...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anie
Alhamdulillah, maturnuwun Bu Tien, tetap sehat ,bahagia dan semangat menulis cerbung ππ
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Alhamdulillah... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dr Yk....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSam sehat juga
Alhamdulillah ibu Tien, cerbung MH sudah tayang, terima kasih. Semoga ibu dan keluarga selalu sehat senantiasa dalam lindungan Allah SWT Aamiin
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Hima
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 Mas MERa
DeleteOoh...rupanya sekarang sudah bisa tes DNA sebelum bayi lahir ya...canggih!ππ»ππ»π
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam bahagia.ππ»πΉ