Thursday, August 28, 2025

MAWAR HITAM 52

 MAWAR HITAM  52

(Tien Kumalasari)

 

Perawat itu, sepakat dengan kawan-kawannya, beranggapan bahwa pasien pesakitan bernama Sinah adalah orang yang sulit. Kesakitan tapi bisa bicara dengan berteriak. Bicara seenaknya, dan semuanya menunjukkan bahwa Sinah memang orang yang tidak benar.

“Terserah ibu mau membukanya atau tidak, tapi laki-laki yang ibu katakan sebagai suami ibu itu  ternyata bukan suami ibu. Dia tidak mau menandatangani apapun,” kata perawat itu sambil meletakkan surat hasil DNA ke atas meja disampingnya.

“Laki-laki memang begitu. Tidak apa-apa, aku mau diapakan, biar aku tanda tangan sendiri. Tapi aku minta agar anakku ini digugurkan.”

“Nanti ibu bicara kepada yang menangani saja, saya hanya bertugas memberikan surat itu, dan mengatakan bahwa laki-laki yang Ibu maksud bukan suami itu,” katanya sambil berlalu, tak mempedulikan lagi Sinah yang berteriak-teriak marah.

Sinah meraih kertas hasil DNA itu, membukanya perlahan. Antara yakin dan tidak, dia berharap bayi dalam kandungannya adalah anak Andra.

Ia membukanya perlahan, kemudian meremasnya dan membuangnya di lantai.

“Dasar gila, dasar laki-laki pengecut … kurangajar! Aku tahu ini bukan anakmu, tapi aku mau kamu menjadi ayahnya. Aku mau menjadi perempuan terhormat. Aku tidak mau menjadi gembel, menjadi perempuan tanpa derajat. Aku adalah Mawar, yang cantik dan mempesona,” katanya dengan berteriak keras, sehingga membuat polisi penjaga kesal.

“Kamu bisa diam tidak? Apa kamu mau aku sumpal mulutmu agar bisa diam?” hardiknya.

“Memangnya kenapa? Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan. Enak saja kamu bicara. Dengar, aku ini wanita terhormat, aku mau dihargai.”

“Diam! Perempuan penjahat masih mau disebut wanita terhormat.”

”Dasar orang gemblung. Siapa yang penjahat. Pacarku direbut, masa aku tidak boleh marah?”

“Sudah, jangan diladenin lagi, orang dia yang gemblung, nanti kamu ikutan gemblung,” kata temannya yang kemudian menarik tangannya agar menjauh.

“Ya ampuuun, aku tidak mau beginiiii! Bunuh saja anak iniiiii! Aku hanya mau anak Andra, bukan anak orang lain,” teriaknya tanpa henti.

Barangkali karena tertekan, dan kesakitan, Sinah bersikap tak terkendali dia mencopot jarum infus yang menacap di lengannya, lalu berteriak teriak lagi,

“Daraaah… ada daraaah…. daraaahhh,” matanya terbelalak melihat darah mengucur dari bekas tusukan jarum.

Polisi penjaga bergegas memberi tahu perawat. Tapi ketika didekati Sinah malah mengamuk. Ia meluncur turun dari tempat tidur, dan ambruk di lantai.

Perawat berteriak minta tolong temannya karena tak mampu mengangkat tubuh Sinah, yang walau agak lemah tapi mampu meronta.

Sinah digotong kembali ke tempat tidur, tapi darah yang mengucur bukan hanya dari lengannya.

Sinah dilarikan ke ICU untuk penanganan selanjutnya, tapi kaki tangannya di ikat erat dengan pegangan tempat tidur, sehingga dia tak lagi mampu meronta. Walau begitu mulutnya terus saja mengoceh, bahkan mencaci maki entah siapa saja yang mendekat.

***

Sinah tidak mencatatkan dirinya tentang keluarga, karenanya hal-hal yang menyangkut keadaannya dilaporkannya kepada Andra, yang dikiranya masih menjabat di perusahaan sebagai direktur utama dan yang diakuinya sebagai suami, walaupun Andra sudah menolaknya. Namun hari itu pak Sunu tidak ke kantor, jadi yang menerima adalah Tatik, yang kemudian menyampaikannya kepada Satria.

“Ada telpon dari rumah sakit, bahwa ibu Sinah perdarahan, dan keadaannya sangat lemah.”

“Mengapa menelpon kemari?” tanya Satria.

“Mereka mencari pak Andra, tapi pak Sunu tidak ke kantor hari ini.”

“Baiklah, tampaknya dia memang selalu mengatakan bahwa pak Andra adalah keluarganya. Aku tahu harus menghubungi siapa. Terima kasih Tatik.”

“Terima kasih kembali, Pak.”

Satria segera mengabari Dewi, karena ia tahu simboknya Sinah berada di rumah Dewi. Bagaimanapun kesalnya kepada Sinah, tapi ini menyangkut keselamatannya, dan keluarganya pasti harus tahu.

“Aku sedang ada kelas, ada apa?” sahut Dewi yang kemudian minta ijin untuk keluar, karena telpon dari Satria di saat siang adalah hal yang tak biasa.

“Ada berita dari kepolisian, Sinah perdarahan dan keadaannya sangat lemah.”

“Mereka menelpon kamu?”

“Menelpon pak Andra, tapi kan pak Andra tidak ada di kantor?”

“Aku mengabari ke rumah dulu, kasihan mbok Manis.”

***

Saraswati memanggil mbok Randu, karena ragu-ragu untuk mengabarkan berita tentang Sinah yang dberikan Dewi.

“Ada apa Den Ayu?”

“Ada berita, Sinah perdarahan lagi, katanya keadaannya sangat lemah.”

“Waduh, bagaimana mengabarkannya kepada yu Manis ya?”

“Itulah, aku juga bingung. Tapi bagaimanapun Sinah adalah anaknya.”

“Baiklah Den Ayu, saya akan bicara pelan-pelan.”

“Ya Mbok, harus pelan-pelan dan hati-hati. Dia sedang sakit karena Sinah juga.”

Mbok Randu bergegas menuju ke kamar mbok Manis. Dilihatnya mbok Manis sedang terbaring, sambil memejamkan mata. Barangkali dia sedang tidur. Mbok Randu merasa sayang untuk membangunkannya karena mbok Manis sangat susah tidur akhir-akhir ini, jadi dia hanya duduk disampingnya sambil terus menatap iba. Ingin ia segera membangunkannya, agar berita tentang Sinah segera didengarnya. Tapi mbok Randu ragu, tentang bagaimana nanti sikap mbok Manis setelah mendengarnya. Dia sudah menderita sejak menjenguk ketika Sinah baru saja dibawa ke rumah sakit, dan tidak mendapat tanggapan yang menyenangkan. Bagaimana nanti kalau diusir lagi? Tapi kabarnya Sinah keadaannya lemah, apakah dia masih tidak akan mengerti bagaimana menghadapi orang tua?

“Yu  … “ tiba-tiba mbok Manis membuka matanya.

“Eh, sudah bangun Yu?”

“Aku tidak tidur.”

“Tidak tidur?”

“Aku tahu sejak kamu masuk kemari lalu duduk di sampingku. Jangan manawari aku makan, aku sudah kenyang.”

“Tadi hanya bubur dua sendok, masa sudah kenyang?”

“Makanan apapun tidak bisa masuk, jangan paksa aku lagi.”

Mbok Randu diam. Tapi tampaknya mbok Manis menangkap sesuatu dari sikap mbok Randu.

“Apa kamu ingin mengatakan sesuatu Yu?”

“Ada … ada … berita tentang … Sinah.”

“Berita apa lagi?”

“Anakmu … baru saja … den ayu mendapat kabar, anakmu perdarahan lagi, keadaannya lemah,” kata mbok Randu hati-hati.

Mbok Manis seperti tak bereaksi, ia sudah melihat keadaan Sinah, ia tampak tidak sehat, hanya anehnya dia masih bisa bersuara lantang, bahkan mengusirnya dengan kasar.

“Yu, sampeyan tidak apa-apa?”

“Menurutmu aku harus bagaimana lagi?”

“Apa sampeyan tidak ingin melihat keadaannya? Barangkali kedatangan sampeyan bisa menjadikan obat, menumbuhkan kekuatannya.”

“Hubunganku dengan anakku bukan seperti hubungan orang tua dan anak. Aku sendiri tidak tahu. Sinah seperti tidak menganggap aku simboknya. Barangkali ketika lahir dia tidak melihat wajahku sebagai embok yang melahirkannya, sehingga ketika dewasa dia menyepelekan aku,” gumam mbok Manis.

“Yu, masalah sikap Sinah tidak usah dibahas lagi saja, karena justru akan menyakiti hati sampeyan. Sekarang tinggal sampeyan ingin melihat Sinah, atau tidak. Masalah nanti dia masih bisa mengusir, kita pikirkan nanti. Yang penting sebagai orang tua, sampeyan sudah melakukan hal yang terbaik.”

“Jadi menurutmu aku tetap harus ke sana?”

“Sinah tidak punya siapa-siapa.”

“Dia juga tidak butuh siapa-siapa.”

“Tidak Yu, di saat dia didera sakit, dia pasti membutuhkan orang tua.”

“Bagaimana kalau kita ke sana, tapi kamu saja yang menemuinya?”

“Aku?”

“Kamu lihat bagaimana dia, bagaimana sikapnya, bagaimana keadaannya. Aku menunggu kamu di luar, katakan atau tanyakan padanya, apa dia membutuhkan simboknya. Kalau kamu mau, ayo kita berangkat,” kata mbok Manis sambil bangkit perlahan. Sesungguhnya diapun merasa lemah.

***

Andira sedang menemani Andra membuka-buka ponsel. Disampingnya terbentang surat kabar terbaru. Mereka sedang mencari info tentang sebuah pekerjaan yang mungkin bisa mereka jalani.

Hari sudah malam ketika itu.

“Temanku juga belum mengabari ya? Katanya besok akan mengajak kita omong-omong, dia pengusaha di bidang properti, siapa tahu kita bisa menjadi penyedia kebutuhannya," kata Andira.

“Semoga hal baik yang dia bawa. Oh ya, tadi Satria menelpon.”

“Oh ya, ada berita apa lagi?”

“Dari kepolisian menelpon ke kantor, yang menerima Tatik, lalu dia bilang kepada Satria.

“Tentang apa?”

“Mengatakan kalau Sinah perdarahan dan keadaannya lemah.”

Andira menatap suaminya, dengan wajah muram.

“Mengapa mereka menelpon Mas? Ke kantor pula? Tampaknya Sinah tetap menganggap bahwa Mas adalah suaminya.”

“Aku sudah mengatakan bahwa aku bukan suaminya. Hasil test DNA juga tidak mengatakan bahwa bayi itu anakku. Mungkin satu-satunya yang dihubungi adalah kantor, karena Sinah tidak memberi informasi yang lain.”

“Benar juga. Tapi harusnya orang tuanya dikabari kan?”

“Satria sudah mengabari Dewi. Ibunya Sinah kan mengabdi di rumah Dewi.”

“Syukurlah kalau keluarganya sudah tahu.”

Andra tampak menguap.

“Aku kok ngantuk ya.”

“Sama, aku juga ngantuk. Ini sudah malam, besok kita bicara lagi setelah mendapat informasi dari teman yang tadi aku hubungi,” kata Andira.

“Semoga usaha kita adalah sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita. Ayo tidur dulu.”

***

Dirumah Andira, bu Sunu menegur suaminya karena tak pernah absen ke kantor.

“Ibu kan tahu Andra tidak mau lagi kembali bekerja di kantor.”

“Bapak mengatakan, bahwa manager keuangan bisa menjalankan semua tugas yang seharusnya diemban Andra.”

“Benar, tapi dia itu tadinya tidak mau. Susah banget anak itu. Diberi kedudukan menolak. Jadi aku kan harus mendampingi dia terus. Maunya dia begitu. Bukan main dia. Kalau semua orang mengejar kedudukan, dia malah menolaknya.”

“Jadi Bapak akan terus menunggui di sini?”

“Ya tidak, tadi juga kan aku di rumah terus, menemani Ibu.”

“Itu karena aku mengomel terus,” gerutu bu Sunu.

Pak Sunu hanya tertawa melihat sang istri cemberut.

“Aku sudah bilang pada Satria, bahwa aku hanya akan menghabiskan bulan ini, lalu kembali ke Jakarta. Selanjutnya dia yang mewakili aku.”

"Bagaimana keadaan Andra dan Andira?”

"Mereka mengontrak rumah sederhana, aku sudah melihatnya. Biarkan saja, kita akan melihat apakah mereka berhasil meraih apa yang mereka inginkan. Berusaha terlepas dari kebesaran perusahaan milik orang tuanya. Semoga mereka berhasil.”

“Kelak, usaha yang bapak geluti ini bakal menjadi milik mereka juga kan? Susah amat mengatur anak-anak yang keras kepala.”

“Biarkan saja,  memang benar usaha kita itu kelak juga akan kita wariskan pada mereka, tapi mereka ingin bangkit sendiri, dari nol. Kita lihat saja nanti.”

“Semoga mereka berhasil.”

***

Pagi itu Andira merasa malas untuk bangun, berhari-hari memilih usaha apa yang sebaiknya mereka jalankan, belum ketemu juga. Teman Andira bekerja di  bidang properti, hari itu mereka akan ketemu tentang kerja sama yang akan mereka jalankan. Mungkin Andra diminta untuk menjadi penyedia barang, entahlah. Baru nanti mereka ketemu.

Andra masuk ke kamar dan melihat Andira masih meringkuk.

“Andira, kok belum bangun sih, kamu janjian sama teman kamu jam berapa?”

“Pagi …”

“Ini sudah pagi, habis subuh tidur lagi nggak bagus lho, kamu bisa kehilangan pahala.”

“Nggak tahu kenapa, aku ngantuk sekali.”

Tapi Andira memaksa bangun. Ketika dia selesai mandi, Andra sudah menyiapkan teh panas di meja. Andira tersenyum.

“Maaf ya Mas, terpaksa kamu yang buat minum.”

“Jam berapa teman kamu akan datang?”

“Kita tunggu saja, katanya pagi sih. Aku menelpon tapi ponselnya tidak aktif."

Mereka melanjutkan ngeteh dan menyantap cemilan pisang goreng, yang dibeli Andra dari warung seberang.

Tapi sampai siang sang teman tidak juga datang.

“Andira, mana sih, ini sudah siang.”

Entah mengapa, hari itu Andira merasa kesal karena Andra menanyakan temannya terus.

“Ya sabar dong Mas.”

“Kamu telpon dia dong, maunya kerja sama atau apa?”

“Mas kok nggak dengar sih, apa yang tadi aku bilang? Aku sudah menghubungi, tapi dia mematikan ponselnya.”

“Nggak suka aku kerja sama dengan orang yang tidak menepati janji. Batalin saja.”

“Mas kok enak sekali ngomong begitu. Mungkin dia sedang apa, atau ada perlu apa, ditunggu saja kenapa sih.”

“Kelamaan.”

Wajah Andira langsung gelap. Ia berdiri dan langsung keluar dari rumah, menuju ke arah jalan.

“Andira!” teriak Andra memanggil, tapi Andira tak mau berhenti.

Andra masuk ke kamar untuk memakai celana panjang, ia ingin mengejar, tapi sungkan keluar dengan memakai celana pendek.

Setengah berlari dia keluar, mencari ke arah mana sang istri pergi.

“Andira kok aneh sih, tiba-tiba marah, aku kan hanya menanyakan kapan temannya datang? Sejak kapan dia menjadi pemarah?” gumam Andra sambil bergegas keluar rumah.

Ia menoleh kekiri dan ke kanan, mencari ke mana istrinya pergi.

Lalu Andra terbelalak, sebelum perempatan ia melihat istrinya duduk di kursi plastik, dan didepannya, seorang tukang rujak sedang mengulurkan sepiring rujak.

***

Besok lagi ya

 

 

 

25 comments:

  1. Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 52" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  2. πŸ„πŸ₯€πŸ„πŸ₯€πŸ„πŸ₯€πŸ„πŸ₯€
    Alhamdulillah πŸ™πŸ’πŸ¦‹
    Cerbung eMHa_52
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin🀲. Salam seroja😍
    πŸ„πŸ₯€πŸ„πŸ₯€πŸ„πŸ₯€πŸ„πŸ₯€

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 52 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan Aduhay fari mBantul

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, Salam sehat dan Aduhay fari mBantul

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah MAWAR HITAM~52 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete
  7. Sinah oh Sinah dari awal cerita udah ngeselin deh

    Sptnya Andira hamil deh
    “Syukurlah bunda bikin org penasaran ajah"
    Kita tunggu bsk deh yg pntg ttp sehat selalu bunda
    Mksh udah bikin kita penasaran dan ttp ADUHAI

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 52 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete

  10. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *MAWAR HITAM 52* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah,semoga tokoh2nya akhir bahagia, Sinah yg selalu jahat mndpt penderitaan, maturnuwun Bu Tien πŸ™

    ReplyDelete
  12. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat....

    ReplyDelete
  13. Slmt mlm bunda..terima ksih MH nya..slm sehat dan smg bunda bersm bpk sll dlm lindungan dan keselatan Allah SWT..Aamiin yraπŸ€²πŸ™πŸ‘πŸŒΉ

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillaah dah di baca
    Sepertinya Andira hamil pagi" membeli rujak. Makasih bunda salam aduhai

    ReplyDelete
  15. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  16. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 52..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin

    Sinah sutris nya dapat berkepanjangan klu tdk mengakui Simbok nya.

    Biasanya klu orang lagi ngidam suka makanan yang pedas, benarkah Andira hamil. Jawabanya hrs nunggu bsk malam nih..😁😁

    ReplyDelete
  17. Selamat Malam... terima kasih Mawar hitam sudah hadir....salam sehat Bunda ..sehat juga Bapak Tom

    ReplyDelete
  18. Walaah...pingin nebak akhir cerita ah...Sinah sakit jiwa, Andira hamil, Dewi wisuda...bakalan lebih panjang dong.πŸ˜€

    Terima kasih, ibu Tien...salam sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸŒΉ

    ReplyDelete
  19. Ini baru bagus. Ceritanya tidak muter2. Trmksh bu tin

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 52

  MAWAR HITAM  52 (Tien Kumalasari)   Perawat itu, sepakat dengan kawan-kawannya, beranggapan bahwa pasien pesakitan bernama Sinah adalah or...