Saturday, February 10, 2024

ADA CINTA DI BALIK RASA 15

 ADA CINTA DI BALIK RASA  15

(Tien Kumalasari)

 

Nilam gemas sekali menerima godaan kakaknya. Ia segera mendekat dan ingin mencubit lengannya. Hal biasa yang dilakukan setiap merasa kesal pada kakaknya.

“Eiittt, ada apa?” Wijan berdiri menghindar. Tapi Nilam mengejarnya. Seperti anak kecil, keduanya berkejaran di ruangan. Nilam yang memakai sepatu hak tinggi akhirnya terpeleset karena salah satu kakinya tersandung kaki meja. Tak ayal Nilam terhuyung dan jatuh tersungkur. Hampir saja kepalanya beradu dengan lantai, kalau Wijan tidak segera meraih tubuhnya yang kemudian membuat mereka seperti berpelukan.

Wijan yang sadar bahwa pemandangan itu tak pantas, segera mendorong tubuh Nilam pelan.

“Maaf, aku hanya menahan tubuhmu agar tidak jatuh,” katanya pelan. Tapi Nilam enggan melepaskan pelukan itu.

“Kenapa minta maaf? Sesekali aku ingin juga dipeluk oleh mas Wijan,” katanya lembut, membuat Wijan terkejut.

“Nilam, apa maksudmu?” katanya sambil berusaha mendorong lagi tubuh adik tirinya.

“Mengapa mas Wijan begitu bodoh?” Nilam tetap tak mau melepaskannya, membuat Wijan gelagapan.

“Bodoh bagaimana? Tolong, lepaskan dulu.”

Sebelah tangannya terlepas, tapi sebelahnya lagi masih bergayut di lengan Wijan.

“Mas Wijan, apa mas Wijan tidak tahu bahwa aku mencintai mas Wijan, bahkan sejak kita masih belia?”

Wijan terbelalak.

“Jangan Nilam, aku adalah kakakmu. Aku mencintai kamu sebagai seorang kakak kepada adiknya,” kata Wijan lembut.

Tanpa disuruh Nilam melepaskan pegangan tangannya. Mata bulat bening itu menatap kakaknya dengan pandangan sendu.

“Tapi aku mencintai mas Wijan, seperti cinta seorang wanita kepada pria kekasihnya,” katanya pilu.

“Nilam, jangan begitu.”

“Mas Wijan tidak cinta sama aku?” sekarang suara itu bergetar mengandung tangis. Wijan luluh dalam rasa iba yang mencengkeram dadanya. Tapi apa yang bisa dilakukannya ketika rasa bicara beda?

“Aku cinta sejak kita masih kanak-kanak, Nilam. Tapi aku ini kakakmu, dan kamu adalah adikku.”

“Kita bukan kakak adik yang sebenarnya. Salahkah kalau kita saling mencintai?”

Wijan mengajak Nilam duduk di sofa. Mereka berhadapan, dan saling menatap dengan rasa yang berbeda. Cinta sama cinta, tapi berbeda dalam rasa.

“Cinta tidak pernah salah, Nilam. Yang salah adalah apabila kita tidak tepat menempatkannya di hati kita.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kamu pasti mengerti. Kamu boleh cinta, seperti juga aku juga mencintaimu. Tapi cinta kita adalah cinta saudara.”

“Tidak. Tidak Mas, aku mencintai mas Wijan seperti cinta seorang gadis kepada kekasihnya. Tolong jangan ingkar Mas, Nilam tahu mas Wijan juga sayang sama aku.”

“Kamu benar, aku sayang sama kamu. Tapi sayang seorang kakak kepada adiknya.”

Tiba-tiba Nilam terisak.

“Nilam, jangan begitu.”

“Apa karena mas Wijan mencintai gadis lain?” katanya diantara tangis.

Wijan tak menjawab. Ia menatap Nilam dengan iba. Ingin sekali ia menghapus air mata yang membasahi pipinya, tapi khawatir Nilam akan lebih salah mengerti terhadap perasaannya.

“Aku juga tidak tahu bagaimana perasaanku terhadap dia. Memang dia berbeda,” kata Wijan berterus terang, seperti Nilam mengatakan terus terang juga bagaimana perasaannya.

“Dia Anjani?” tebak Nilam.

“Nilam, jangan menanyakan perasaanku dulu, aku juga belum tahu. Tapi dia berbeda. Aku belum pernah merasakan ini sebelumnya. Apa kamu akan memarahi aku karena aku mengatakan ini?”

Nilam menghapus air matanya. Ia sudah menduga ketika ia melihat bagaimana Wijan menatap Anjani. Ia kesal ketika itu, barangkali karena merasa cemburu. Tapi setelah Wijan mengatakannya meskipun belum sepenuhnya jelas mengakui, ia tak ingin marah. Cintanya kepada Wijan adalah cinta sejati, dan kebahagiaan Wijan akan menjadi kebahagiaannya juga. Hati Nilam sungguh mulia. Sekali lagi dia mengusap air matanya yang masih saja merembes keluar, lalu mengulaskan sebuah senyuman yang sangat manis, walaupun terlukis dari bibirnya yang kepucatan.

“Anjani gadis yang baik. Kalau mas Wijan mencintai dia, tampaknya harus ada perjuangan keras,” kata Nilam pelan, sambil berusaha mengendapkan perasaannya yang hancur akibat cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

“Karena dia sudah dijodohkan?”

“Saingan mas Wijan lumayan berat. Karena pembalasan sebuah budi tidak sebanding dengan segerobag uang.”

“Benarkah?”

Ketika itu sekretaris datang dan memberitahukan kalau ada tamu ingin bertemu Nilam.

“Siapa? Tanya Nilam sambil meraih lagi selembar tissue.

“Suruh dia masuk,” tiba-tiba Wijan memerintahkan tamu Nilam agar masuk ke dalam. Wijan rupanya bisa membaca, bahwa tamu Nilam adalah laki-laki yang menelponnya beberapa saat lalu.

Sekretaris mengangguk, lalu seorang pemuda masuk. Pemuda tampan itu mengangguk hormat kepada Wijan, lalu melirik kepada Nilam yang diam tak mengacuhkannya.

Wijan tersenyum.

“Silakan duduk,” sapanya kemudian.

Laki-laki itu tentu saja adalah Jatmiko, yang memintanya untuk menemani makan siang. Ia duduk dan tangannya terulur ke arah Nilam, yang disambutnya dengan mulut mengerucut. Ia mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri.

“Saya Jatmiko.”

“Oh ya, saya Wijanarko, kakaknya Nilam,” jawab Wijan sambil tersenyum.

“Maaf saya mengganggu.”

“Tidak, ini waktu istirahat, silakan kalau mau mengajak Nilam.”

“Mengapa kamu kemari?”

“Bukankah tadi kamu sudah berjanji akan menemani aku?”

Wijan berdiri, tak enak rasanya masih duduk di situ, dan mengganggu pertemuan mereka. Ia merasa lucu melihat sikap Nilam yang kekanak-kanakan di hadapan Jatmiko. Sambil tersenyum dia menepuk bahu adiknya.

“Hormati tamu kamu,” katanya, kemudian melangkah keluar pintu. Tapi sebelum membuka pintu, ia menoleh lagi ke arah mereka.

“Nikmati makan siang kalian.”

Lalu Wijan menutup pintunya.

“Kakakmu sangat baik, kenapa adiknya begini galak?”

“Aku tidak mengerti, mengapa kamu datang kemari, minta aku menemani kamu makan, sementara ada Anjani yang sudah lama menunggu saat bertemu denganmu.”

“Kami sudah bertemu kemarin.”

“Apakah karena sudah bertemu kemarin, maka tidak boleh bertemu lagi sekarang?”

“Kenapa kamu tidak bisa bersikap manis di hadapan aku?”

“Kamu juga bikin aku kesal.”

“Baiklah, sekarang jadi mau menemani aku atau enggak, kalau enggak, aku pamit saja,” kata Jatmiko sambil berdiri.

Melihat hal itu, Nilam kemudian ikut berdiri, meraih tas kecil yang ada di meja, kemudian mengikuti Jatmiko yang sudah lebih dulu melangkah keluar.

Sebenarnya Nilam tidak sejahat itu. Ia tahu Jatmiko seorang yang baik. Tapi ia sedang tidak enak hati. Cintanya ditolak, bukankah namanya patah hati? Walau tak ingin marah, tapi luka, pasti ada. Sayangnya Wijan adalah kakak tiri yang sangat disayanginya, jadi dia tak bisa membencinya. Harapan ingin melihat sang kakak bahagia, itu tetap ada. Baiklah, bukankah cinta tak harus memiliki?

Jatmiko terus melangkah. Ia pura-pura tak tahu Nilam melangkah di belakangnya. Ia langsung ketempat parkiran, dan Nilam masih ada di belakangnya. Wajahnya yang kusut, membuat orang yang melihatnya mengira mereka adalah pacar yang sedang marahan.

Jatmiko membuka pintu di samping kemudi, membiarkan Nilam berdiri tegak di pintu. Tapi melihat mulut mengerucut dengan masih berdiri, membuat Jatmiko kemudian tertawa keras. Ia melangkah mengitari mobil, dan membuka pintu mobil untuk Nilam.

“Silakan, tuan putri, mau ikut bersama aku, bukan?”

Nilam tak menjawab, langsung masuk dan duduk di samping kemudi.

“Senyum dong,” kata Jatmiko yang sudah duduk di belakang kemudi dan menjalankannya keluar dari halaman kantor.

Mobil Jatmiko berjalan pelan, menyibak keramaian jalanan di siang yang panas.

“Apakah kamu membenci aku?” tanya Jatmiko tiba-tiba.

Nilam menoleh ke arah Jatmiko. Membencinya? Tentu saja tidak. Jatmiko selalu baik dan santun, seperti kata Suri, ibu angkatnya yang begitu getol ingin menjodohkannya dengan dirinya.

“Mengapa aku harus membencimu?”

“Barangkali saja. Buktinya sikap kamu kelihatan kalau kamu tidak suka padaku.”

“Bukan berarti aku membenci kamu kan? Kalau aku benci, aku tak akan mau menemani kamu makan.”

“Barangkali terpaksa, atau karena kasihan sama aku.”

“Oh ya? Apakah kamu seperti orang yang harus dikasihani?”

“Kamu ngomong yang enggak-enggak. Aku bukan minta dikasihani kok.”

“Ya, aku tahu. Yang aku tidak tahu, mengapa kamu tidak mengajak Anjani saja? Bukankah Anjani belum mulai bekerja, dan masih banyak waktu luang untuk diajak jalan?"

“Anjani sibuk merawat ayahnya, kalau siang aku tidak banyak waktu, sementara rumah Anjani jauh dari kantor. Tapi kalau dia ada waktu di sore hari, aku pasti akan mengajak dia.”

“Hmm, begitu rupanya. Tapi aku melihat, kalian pasangan yang sangat serasi.”

“Bicara tentang serasi, kamu melihatnya dari mana?”

“Dia cantik, kamu cakep, bukankah itu serasi?”

“Baiklah, terlepas dari aku setuju atau tidak atas pendapat kamu, tapi aku senang kamu memuji aku cakep.”

Nilam tertawa kecil.

“Cakep itu kan ganteng, tampan, menarik, ya kan? Terima kasih, sayang.”

“Hei, kamu memanggil aku apa? Sayang? Dari mana kamu menemukan kata sayang itu?”

“Dari sini,” kata Jatmiko sambil memegang dadanya dengan sebelah tangan.

Nilam terkekeh. Terkadang Jatmiko menyenangkan juga. Baiklah, tak apa, hitung-hitung bisa menjadi obat sakit patah hatinya.

***

Dan ketika makan siang itu mereka ternyata bisa berbincang akrab serta menyenangkan. Bahkan Nilam bisa sedikit mengurangi luka hatinya karena patah hati. Hanya saja dia akan mengkhawatirkan kakaknya itu. Anjani bukan hanya sudah punya calon suami, tapi juga ada pria lain yang pastinya akan mengharapkan bisa memilikinya. Siapa yang akan berhasil memiliki Anjani? Bagaimanapun sakitnya, Nilam tetap berharap kakaknyalah yang akan bisa memilikinya, tapi bagaimana mengurai benang kusut yang melibat Anjani dengan persoalan hutang budi?

“Hei, makan jangan sambil melamun, nanti sendokmu bisa masuk ke hidung lhoh,” canda Jatmiko.

“Aku sedang memikirkan Anjani,” kata Nilam terus terang.

“Bukankah kamu juga ingin memilikinya sementara dia sudah dijodohkan dengan laki-laki lain?”

“Aku ingin membantunya, tapi bukan berarti aku ingin memilikinya.”

“Apa maksudmu?”

“Untuk bisa menjadi pasangan, dibutuhkan perasaan saling mencintai.”

“Apa kamu tidak mencintai dia?”

“Aku sudah mengatakannya. Aku ingin membantunya, tapi aku tidak ingin memilikinya.”

“Karena apa? Apa kekurangan Anjani? Dia cantik, pintar, lembut, bukan seperti aku yang galak seperti ayam sedang mengerami telurnya.”

Jatmiko terbahak. Istilah ayam sedang mengerami telur itu membuatnya geli. Memang sih, Nilam terkadang galak, tapi galak yang manis kok.

“Bukankah itu benar?”

“Salah, kamu itu galak, seperti duri-duri pada setangkai mawar.”

“Bagaimana sih?”

“Mawar itu berduri, tapi dia cantik, wangi, menawan, ya kan? Nah itulah kamu.”

Nilam tersenyum manis sekali, membuat Jatmiko kemudian terpana sampai mulutnya menganga.

“Hei, mingkem! Kalau ada lalat masuk ke mulut bagaimana?” pekik Nilam.

Jatmiko menutup mulutnya dan tertawa pelan.

“Habis, aku terpesona melihat kamu.”

“Ada-ada saja kamu nih. Tapi kamu tadi ngomong katanya ada yang ingin kamu katakan bukan? Mau ngomong apa? Buruan, waktu istirahat hampir habis nih.”

“Oh iya, kamu benar. Tapi aku sudah lupa mau mengatakan apa. Maaf, aku bohong. Hanya supaya kamu mau menemani aku.”

“Dasar pembohong.”

“Eh, tidak, jangan begitu dong, sekali itu saja kok, karena sangat ingin bisa berdua sama kamu.”

Nilam heran, Jatmiko tidak suka sama Anjani?

“Miko, kembali ke soal Anjani, apa benar kamu tidak suka pada dia?”

“Tentu saja aku suka. Dia sahabat aku. Dia bidadari penolongku. Tapi cinta seperti sebuah hubungan pria dan wanita, tidak. Cinta itu kan semau dia datangnya, tapi dia tidak datang padaku untuk Anjani.”

“Apa kurangnya?”

“Cinta bukan masalah wajah atau perangai seseorang. Cinta adalah rasa yang terkadang kita heran ketika dia menguasai kita. Dia cantik, lembut, baik, tapi cinta kepada dia itu tidak ada. Aku mencintai dia sebagai sahabat.”

Nilam tersenyum tipis, ada sendu menghentak ketika mendengar perkataan Jatmiko. Itu seperti apa yang dikatakan Wijan kepadanya. (Aku mencintai kamu, tapi cinta sebagai saudara) kira-kira itulah ucapan Wijan yang mirip dengan apa yang dikatakan Jatmiko tentang Anjani.

Sampai kemudian Jatmiko mengantarkannya kembali ke kantor, Nilam masih merasa patah hati.

***

Estiana sedang duduk di teras sendirian. Suaminya sedang tidur, dan Anjani sedang disuruhnya belanja. Ia berharap Usman akan datang nyamperin Anjani untuk diajaknya makan siang, seperti sering dilakukannya. Tapi ternyata Usman tidak datang. Estiana sedang memikirkan sebuah cara, bagaimana supaya Anjani tidak bisa lepas dari Usman. Cara itu pasti ada, dan Estiana sedang memikirkannya, 

Estiana baru meraih ponsel untuk menelponnya, ketika dilihatnya mobil memasuki halaman. Mobil Usmankah? Tapi kok beda? Estiana berdiri untuk menyambut, dan dua orang laki-laki turun dari mobil dan mendekat ke arah rumah. “Selamat siang Bu. Pak Marjono ada?”

“Oh, suami saya sedang tidur. Ada yang bisa dibantu?”

“Begini, nama saya Wongso. Saya mengantarkan pak Raharjo ini, yang tampaknya tertarik untuk membeli rumah yang ditawarkan pak Marjono.”

Estiana tidak tampak terkejut karena ia sudah tahu bahwa suaminya akan menjual rumahnya. Ia menekan rasa geram di hatinya, tapi mengulaskan senyuman di bibirnya.

“Oh, iya. Suami saya memang menawarkan rumah ini. Soalnya rumah ini sebenarnya penuh dengan hantu,” katanya ringan.

“Hantu?” seru pak Wongso dan Raharjo, bersamaan.

“Suami saya pasti takut berterus terang, khawatir tidak ada yang mau. Tapi keluarga kami sudah ada yang meninggal karena ketakutan di rumah ini.”

***

Besok lagi ya.

 

 

67 comments:

  1. Replies
    1. 🥰❤️😘🌹👩‍❤️‍👨🌹😘❤️🥰
      🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋

      *ALHAMDULILLAH ADA CINTA DIBALIK RASA*
      #Episode_15 Sudah hadir.
      Matur nuwun bu Tien.......
      Estiana berulah ..... agar rumah gak laku dijual.
      Bu Tien memang OYE...... Tetap berkreasi menghibur
      para penggemarnya. SALAM ADUHAI, DHE.......🥰🥰

      🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋🦋
      🥰❤️😘🌹👩‍❤️‍👨🌹😘❤️🥰

      Delete
    2. Matur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu.

      Delete
    3. Matur nuwun pak Munthoni, mas Kakek..

      Delete
  2. 🐉⛩️🐉⛩️🐉⛩️🐉⛩️
    Alhamdulillah 🙏🌸🦋
    Matur nuwun nggih
    Bu Tienkuuh...
    ACeDeeR_15 sdh tayang.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat2 selalu. Aamiin. 🤲
    Salam aduhai dr Jatibening.
    🐉⛩️🐉⛩️🐉⛩️🐉⛩️

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang

    ReplyDelete
  4. Terima kasih, bu Tien cantiik... semoga sehat2, ya Bu💕

    ReplyDelete
  5. Matur suwun Bu Tien
    Salam sehat selalu🙏❤️

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Ada Cinta Dibalik Rasa 15 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  7. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Sami2 pakWedeye

    ReplyDelete
  8. Waah...beda rasa nih Nilam...semoga terobati oleh Jatmiko nantinya ya...😀

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillaah dah tayang makasih bunda

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah terimakasih Bude udah Tayang, sehat2 selalu 😘
    Gemess bgtt Ama Bu Esti🙈

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat nggeh

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah...
    Maturnuwun mbak Tien
    Mugiya mbak dalah kaluarga tansah pinaringan sehat wal afiat...
    Aamiin Yaa Rabb...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Sami2, matur nuwun pak Suprawoto Sutedjo

      Delete
  13. Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~15 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete
  14. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang sudah tayang episode ke 14, salam sehat dan tetep semangat ya, dari Tanggamus, Lampung

    ReplyDelete
  15. Hari gini ditakuti hantu... panggil pawang hantu, usir tu hantunya. Pasti si hantu lari ngibrit.
    Nah mulai PDKT ya Jatmiko dengan Nilam. Orang tua hanya dapat merestui saja.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat .Hantunya. Estianana sendiri ,hehehe Maturnuwun 🌹🌹🌹🙏

    ReplyDelete
  17. Ada Cinta dibalik rasa ,,,,saudara & sahabat , tp blm menemukan ... ada ❤️ dibalik Rasa teramat sayang,,,, antara Anjani & Wijanarko , Nilam & Jatmiko ,, so sweet sekali

    Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien
    Salam sehat wal'afiat selalu , mantab, 👍 & Aduhaiii 🤗🥰

    ReplyDelete
  18. Alhamdulilah terima kasih bu Tien atas tayangan ACDR semoga ibuku selalu sehat, bahagia dan sll dalam lindungan Allah SWT salam hangat dan aduhai bun ... tetap berkarya ya bun makin seru dan jadi penasaran..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Sami2 ibu Sri, matur nuwun

      Delete
  19. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda selalu sehat

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat dari mBantul

    ReplyDelete
  21. Sami2 pak Bam's
    Salam sehat dari Solo

    ReplyDelete
  22. Terima kasih Mbu Tien... semoga pak Marjono atau anjani datang.... sehat sllu Mhu Tien bersma keluarga trcnta

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah... terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhai selalu...

    ReplyDelete
  24. Matur nuwun Bu Tien. Selamat ber-week end bersama keluarga. Salam sehat dan bahagia dari Yk....

    ReplyDelete
  25. Lhadalah...Estiana kok lancang kebangeten ya...ugh.
    Coba, pak Raharjo kira2 percaya nggak ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehee.. jeng Iyeng tuh. Enaknya percaya nggak yaa

      Delete
  26. Alhamdulillah
    Terima kasih bu tien
    Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra

    ReplyDelete
  27. Weleh...Estiana eneng² wae lho....hemt.....smg Wijan dan Jatmiko yg membantu melepas belenggu Anjani....

    ReplyDelete
  28. Terdengar setelahnya, perbincangan yang membagongkan.
    Rumah berhantu?

    Celakanya sang pemilik rumah pas keluar; itu hantu nya.
    Wis ranggenah, meracuni calon pembeli, kalau Rahardjo tahu dia itu ibu sambung, malah jadi ingat Rusmi yang menjahati anaknya.
    Terasa anèh mengapa mau jual rumah malah di jelek jelekin, tentu saja pasti berujung susah jual, tapi melihat alasan sang pemilik menjual buat biaya kesembuhan pasti di persilahkan dipakai saja rumah itu, walau dana sudah keluar, memang niatnya menolong sesama, itu bisa saja terjadi; Rahardjo awalnya niatnya begitu.
    Tinggal ketahuan nya kapan, kalau yang mengeluarkan dana dari hasil jual rumah yang masih diperbolehkan menempati.
    Siapa tahu Anjani disapa

    ReplyDelete
  29. Terdengar setelahnya, perbincangan yang membagongkan.
    Rumah berhantu?

    Celakanya sang pemilik rumah pas keluar; itu hantu nya.
    Wis ranggenah, meracuni calon pembeli, kalau Rahardjo tahu dia itu ibu sambung, malah jadi ingat Rusmi yang menjahati anaknya.
    Terasa anèh mengapa mau jual rumah malah di jelek jelekin, tentu saja pasti berujung susah jual, tapi melihat alasan sang pemilik menjual buat biaya kesembuhan pasti di persilahkan dipakai saja rumah itu, walau dana sudah keluar, memang niatnya menolong sesama, itu bisa saja terjadi; Rahardjo awalnya niatnya begitu.
    Tinggal ketahuan nya kapan, kalau yang mengeluarkan dana dari hasil jual rumah yang masih diperbolehkan menempati.
    Siapa tahu Anjani disapaTerdengar setelahnya, perbincangan yang membagongkan.
    Rumah berhantu?

    Celakanya sang pemilik rumah pas keluar; itu hantu nya.
    Wis ranggenah, meracuni calon pembeli, kalau Rahardjo tahu dia itu ibu sambung, malah jadi ingat Rusmi yang menjahati anaknya.
    Terasa anèh mengapa mau jual rumah malah di jelek jelekin, tentu saja pasti berujung susah jual, tapi melihat alasan sang pemilik menjual buat biaya kesembuhan pasti di persilahkan dipakai saja rumah itu, walau dana sudah keluar, memang niatnya menolong sesama, itu bisa saja terjadi; Rahardjo awalnya niatnya begitu.
    Tinggal ketahuan nya kapan, kalau yang mengeluarkan dana dari hasil jual rumah yang masih diperbolehkan menempati.
    Siapa tahu Anjani disapaTerdengar setelahnya, perbincangan yang membagongkan.
    Rumah berhantu?

    Celakanya sang pemilik rumah pas keluar; itu hantu nya.
    Wis ranggenah, meracuni calon pembeli, kalau Rahardjo tahu dia itu ibu sambung, malah jadi ingat Rusmi yang menjahati anaknya.
    Terasa anèh mengapa mau jual rumah malah di jelek jelekin, tentu saja pasti berujung susah jual, tapi melihat alasan sang pemilik menjual buat biaya kesembuhan pasti di persilahkan dipakai saja rumah itu, walau dana sudah keluar, memang niatnya menolong sesama, itu bisa saja terjadi; Rahardjo awalnya niatnya begitu.
    Tinggal ketahuan nya kapan, kalau yang mengeluarkan dana dari hasil jual rumah yang masih diperbolehkan menempati.
    Siapa tahu Anjani disapaTerdengar setelahnya, perbincangan yang membagongkan.
    Rumah berhantu?

    Celakanya sang pemilik rumah pas keluar; itu hantu nya.
    Wis ranggenah, meracuni calon pembeli, kalau Rahardjo tahu dia itu ibu sambung, malah jadi ingat Rusmi yang menjahati anaknya.
    Terasa anèh mengapa mau jual rumah malah di jelek jelekin, tentu saja pasti berujung susah jual, tapi melihat alasan sang pemilik menjual buat biaya kesembuhan pasti di persilahkan dipakai saja rumah itu, walau dana sudah keluar, memang niatnya menolong sesama, itu bisa saja terjadi; Rahardjo awalnya niatnya begitu.
    Tinggal ketahuan nya kapan, kalau yang mengeluarkan dana dari hasil jual rumah yang masih diperbolehkan menempati.
    Siapa tahu dijalan Anjani disapa sewaktu pulang belanja dipasar tradisional terdekat, tercekat karena niat bapaknya menjual rumah buat biaya operasi bapaknya.
    Ini budi saling balas membalas.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Ada cinta dibalik rasa yang ke lima belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Weleh... pencrigisanmu kok kedobel dobel, pak Nanang

      Delete
  30. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  31. Alhamdulillah... Salam sehat n tetap semangat....

    ReplyDelete
  32. Alhamdulillah... matursuwun bu Tien ACeDeeR,salam sehat selalu dan aduhai selalu.

    ReplyDelete
  33. Matur suwun Bu Tien eps 15 datang lebih awal, sehat selalu njih Bu

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 15

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  15 (Tien Kumalasari)   Wanita itu memperce[at langkahnya. Ia mengenal suara itu, tentu saja. Tapi gerimis ...