ADA CINTA DI BALIK RASA 14
(Tien Kumalasari)
Estiana duduk di depan suaminya, memandangnya tak percaya. Tapi Marjono seperti sudah bertekad untuk melakukannya. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melepaskan belenggu yang membuat Anjani tak berdaya.
“Bapak serius, mau menjual rumah ini?”
“Kenapa tidak?”
“Kalau rumah ini dijual, lalu kita akan tinggal di mana? Di bawah jembatan? Di emperan toko?”
“Di manapun, memangnya kenapa?”
“Bapak jangan keterlaluan. Hal yang seharusnya bisa tidak kita lakukan, tapi Bapak nekad melakukannya.”
“Apakah senang hidup membebani orang lain? Kalau aku tahu sejak awal aku sakit, bahwa pengobatan untuk aku harus ditebus dengan hidup anak gadisku, lebih baik aku mati,” tandas Marjono.
“Mengapa Bapak berkata begitu? Kalau kematian bisa ditangguhkan, kenapa kita tidak melakukannya? Kalau Bapak meninggal, apa tidak kasihan pada Anjani?”
“Lebih kasihan lagi kalau Anjani harus dikorbankan.”
“Anjani tidak akan dikorbankan. Dia akan hidup senang dan berkecukupan.”
“Apakah kamu menghitungnya dengan harta yang dimilikinya?”
“Kalau hidup tidak punya uang, sama saja dengan hidup sengsara.”
“Itu pemikiran kamu. Pemikiran yang sempit. Kamu hanya berpikir tentang uang, tapi tidak pernah berpikir tentang perasaan.”
“Bukankah kalau tidak mempunyai uang maka Bapak akan tetap sakit-sakitan, bahkan bisa lebih parah?”
“Bahkan aku bisa mati, bukan? Manusia itu tidak bisa menolak takdir. Perjalanan yang kita lalui adalah sesuatu yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Bersembunyi di manapun kalau kita harusnya mati, ya matilah kita. Kalau kita diperkenankan masih bisa selamat, dengan apapun pasti ada jalannya juga.”
“Dan Bapak lupa bahwa jalannya adalah nak Usman, bukan?”
“Jalan yang benar adalah jalan yang tidak disertai pamrih. Itu bukan kebaikan yang didasari hati yang bersih, tapi kebaikan dengan pamrih. Seperti halnya orang jual beli. Itu sebabnya, mengapa aku akan menggantinya sebanyak berapa yang telah dikeluarkan untuk pengobatanku. Dengan demikian jual beli itu sudah terbayarkan.”
“Bapak keterlaluan. Kita sudah berjanji menjadikannya menantu.”
“Bukan kita, tapi kamu yang berjanji. Kamu hanya memberi tahu tentang hubungan itu, dengan mengatakan bahwa Anjani juga menyukainya. Apa itu benar? Tidak bukan?”
“Tapi Anjani menyukainya.”
Marjono tidak menjawab. Lelah berdebat dengan sang istri, yang akibatnya adalah hanya akan membuat dadanya sakit dan sesak. Ia berdiri dan bermaksud masuk ke kamarnya.
“Jadi Bapak tetap ingin menjual rumah ini? Lalu kita akan tinggal di mana?”
“Kita beli rumah kecil-kecilan saja, yang sederhana,” katanya sambil beranjak masuk kembali ke dalam kamar.
Estiana membanting-banting kakinya dengan kesal. Ia harus bisa menghalangi maksud suaminya untuk menjual rumahnya. Kalau benar suaminya bisa mengembalikan uang Usman, maka ia tidak akan bisa lagi berkecimpung dengan uang yang banyak, karena dengan dikembalikannya uang itu, Marjono pasti melarang anaknya berhubungan lagi dengan Usman. Bayangan hidup sengsara melintas, membuatnya ngeri.
“Aku harus berbuat sesuatu. Aku tak ingin hidup melarat,” gumamnya geram.
***
Pagi hari itu Anjani sudah berada di kantor Raharjo Sentosa. Ia menandatangani kontrak kerja selama setahun, yang dengan tersenyum Wijan mengatakannya bahwa ini hanya formalitas. Selanjutnya ia akan tetap memperkerjakan Anjani di perusahannya.
Anjani mengucapkan terima kasih sambil tersipu. Cara Wijan memandangnya membuat wajahnya merah. Wajah atasan barunya yang tampan, dan senyumnya yang menawan, membuatnya sangat terkesan.
“Kalau sudah selesai, aku akan segera menunjukkan ruangan di mana Anjani harus bekerja,” kata Nilam tiba-tiba.
Ada rasa tak suka ketika melihat cara Wijan menatap Anjani. Apakah Wijan jatuh cinta pada si cantik lembut ini? Nilam harus menanyakannya pada sang kakak, nanti.
“Ya, sudah selesai, silakan kamu tunjukkan ruangannya.”
Anjani mengangguk, kemudian berdiri, lalu mengikuti Nilam keluar dari ruangan.
Nilam hanya mengantarkan ke ruang marketing dan memperkenalkannya kepada stafnya, kemudian mengajak Anjani berjalan-jalan mengitari kantor.
Di sebuah taman yang ada di tengah-tengah halaman kantor, Nilam mengajaknya duduk di tepi kolam. Udara sangat cerah, dan angin yang bertiup lembut ikut menyejukkan suasana.
“Kapan kamu akan mulai bekerja?”
"Mungkin setelah ayah saya operasi.”
“Kapan ayah kamu operasi?”
“Minggu depan, eh … kira-kira masih sepuluh harian lagi. Apakah saya harus segera bekerja, Bu?”
“Tidak. Kapan kamu siap saja. Begitu perintah dari pak Wijan.”
“Oo, barangkali karena saya sudah pernah mengatakan bahwa ayah saya akan segera dioperasi.”
“Sebaiknya kamu jangan memanggil saya bu Nilam ketika tidak sedang bekerja.”
“Lalu saya harus memanggil apa?”
“Kita seumuran, panggil saja Nilam.”
“Masa begitu sih?”
“Aku serius. Masa sih, aku dipanggil ibu. Kelihatan tua dong.”
“Bagaimana karyawan lain, bawahan bu Nilam memanggil ibu?”
“Ya sama sih, kalau di tempat kerja, tapi diluar, aku mau kamu memanggil aku Nilam saja.”
“Akan saya panggil mbak Nilam.”
“Baiklah, terserah kamu saja, pokoknya jangan ‘bu’.
“Kemarin saya sudah ketemu Jatmiko.”
“Oh ya, itu sebenarnya yang ingin aku tanyakan. Bagaimana? Seru bukan, ketemu sahabat masa kecil?”
“Saya ketemu siang setelah dari sini, kemudian sorenya kami jalan, sampai malam.”
“Kenapa tidak sekalian siang sampai sore?”
“Dia kan harus bekerja. Jadi saya tidak ingin mengganggu pekerjaannya.”
“Owh, begitu. Tapi sepertinya kalian adalah pasangan serasi.”
“Mengapa begitu?”
“Kamu cantik, dia tampan. Bukankah itu serasi?”
Anjani tertawa lirih, tapi perih dalam hati. Kalau saja dia bisa mencintai dan dicintai ….
“Mengapa wajahmu tidak kelihatan bahagia? Kamu tidak suka pada Jatmiko?”
“Bukan begitu ….”
“Jatmiko tidak suka sama kamu?”
“Entahlah, tapi semuanya tak mungkin terjadi.”
“Tak mungkin? Bukankah kalian sudah lama mendambakan pertemuan itu, dan pastilah setelah bertemu, kemudian ada keinginan untuk bersatu?”
Anjani menggeleng sedih.
“Kamu sudah punya pacar?”
Anjani menggeleng.
“Lalu kenapa tidak mungkin pacaran sama Jatmiko?”
“Saya sudah dijodohkan,” katanya sedih.
Tiba-tiba Nilam teringat pada apa yang pernah dikatakan ayahnya. Ia bertemu Usman yang memperkenalkan seorang gadis cantik sebagai calon istri. Apakah Usman laki-laki yang dijodohkan sama Anjani?
“Anjani, kamu kenal yang namanya pak Usman?”
Anjani terkejut. Nilam kenal dengan Usman? Apakah dia juga tahu tentang hubungannya dengan dirinya?
“Kenal? Jangan-jangan dia itu yang dijodohkan sama kamu,” kata Nilam berterus terang. Nilam memang suka berterus terang. Dia selalu mengatakan apa yang ingin ia katakan. Dan apa yang dikatakannya itu membuat wajah Anjani pucat.
“Kenapa diam? Memang iya?”
Anjani mengangguk lemah, ada genangan telaga bening di mata bulatnya.
“Bagaimana mbak Nilam tahu tentang Usman?”
“Bapak pernah bertemu kalian saat makan malam.”
“Oh … itu, iya benar, saya ingat. Waktu itu saya belum pernah mengenal pak Raharjo. Saya benci ketika Usman memperkenalkan saya sebagai calon istrinya.”
“Kalau kamu tidak suka, mengapa kamu mau melakukannya?”
“Karena hutang budi,” lalu genangan telaga bening itu tumpah, membasahi pipinya.
“Maaf Anjani, aku tidak ingin membuatmu sedih.”
“Tidak apa-apa, memang begitu kenyataannya. Ini sudah nasib saya.”
“Hutang budi seperti apa sehingga kamu rela mengorbankan hidup kamu?”
Lalu Anjani mengatakan apa yang terjadi pada keluarganya, dan Usman yang membiayai semua pengobatan ayahnya, sudah sejak bertahun-tahun yang lalu.
Nilam menatap Anjani dengan iba. Gadis cantik yang rela berkorban demi ayahnya.
“Apakah ayah kamu tahu bahwa kamu bersedia melakukannya karena hutang budi itu?”
“Saya berusaha menutupinya dari bapak. Saya selalu bilang bahwa saya memang menyukainya, setiap kali bapak bertanya."
"Perjodohan itu sebenarnya ide siapa?"
"Ibu tiri saya."
“Apa tidak ada jalan lain untuk membalas apa yang dia lakukan, sehingga kamu yang harus dikorbankan?”
Anjani mengangkat bahunya, tak bisa menjawab, karena ia memang tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Nilam juga tak ingin mendesaknya. Barangkali memang ada sesuatu yang membuat Anjani harus melakukannya, dan tampaknya Anjani enggan mengatakannya.
***
Ketika ia melewati ruang kerja ayahnya, Nilam masuk ke dalamnya, dan ternyata Wijan juga ada di sana.
“Bagaimana, dia sudah pulang?” tanya Wijan.
“Sudah. Aku kasihan sama dia.”
“Memangnya kenapa?”
“Benar apa yang Bapak ketahui saat makan malam itu. Gadis itu memang Anjani.” kata Nilam sambil duduk di samping Wijan.
“Dia?” kata Raharjo dan Wijan hampir bersamaan.
“Jadi Anjani itu calon istri pak Usman? Ketika itu wajahnya tampak tidak suka. Apa dia melakukannya dengan terpaksa?”
“Tampaknya begitu. Dia hampir menangis ketika mengatakannya.”
“Kok tega, orang tuanya menjodohkan anak gadisnya dengan orang setua pak Usman. Karena dia kaya?” tanya Raharjo.
“Kelihatannya tentang hutang budi.”
“Hutang budi?”
“Pak Usman membiayai pengobatan ayahnya yang sedang sakit. Itulah yang dinamakan hutang budi.”
“Keterlaluan orang tuanya. Masa membalas budi dengan menyerahkan anaknya kepada orang setua pak Usman,” geram Wijan.
“Itulah mengapa aku mengatakan kasihan sama dia.”
“Yah, kita bisa apa, itu urusan keluarga mereka bukan?”
Ketika itu tiba-tiba ponsel Raharjo berdering.
“Ya, pak Wongso? Saya belum melihatnya sih, tapi kalau pak Wongso bilang itu bagus, saya setuju saja. Apalagi untuk membantu orang yang sedang membutuhkan. Benar, sangat murah. Saya setuju. Besok saja pak Wongso datang kemari, agar kita bisa melihatnya bersama. Iya, tentu saja. Baiklah, terima kasih, pak Wongso. Kabari saya besok kalau pak Wongo sudah ada waktu untuk melihatnya.”
Raharjo menutup ponselnya.
“Bapak menelpon siapa?”
“Pak Wongso. Dia menawarkan rumah bagus yang akan dijual murah.”
“Bapak mau beli rumah?”
“Iya. Untuk kamu, kalau kamu sudah menikah,” kata Raharjo sambil tersenyum.
"Bapak ada-ada saja. Wijan belum memikirkannya."
“Tidak apa-apa. Akhirnya kamu juga pasti akan mendapatkan rumah juga. Bapak ingin melihatnya. Tapi kalau kamu tidak suka, bapak berikan saja pada Nilam.”
“Nah, Nilam saja. Wijan akan menemani Bapak di rumah. Mengapa saya harus ada di rumah yang lain? Nilam akan menikah lebih dulu, jadi lebih baik rumah itu untuk Nilam saja.”
“Kenapa aku? Siapa yang akan menikah lebih dulu?” Kata Nilam sambil mencubit lengan kakaknya.
“Adduh, kamu itu ya, dari dulu suka sekali menyakiti aku,” keluh Wijan.
“Biarin. Mas Wijan suka bicara seenaknya.”
Raharjo tertawa.
“Baiklah, tidak usah bicara tentang siapa yang lebih dulu menikah, atau siapa yang mau menempati rumah itu. Yang jelas bapak mau beli rumah itu, karena katanya pemiliknya sangat membutuhkan uang. Itu sebabnya rumahnya dijual murah.”
“Rumahnya bagus?” tanya Wijan.
“Katanya sih bagus, tapi yang terpenting adalah membantu orang yang membutuhkan. Besok bapak mau melihatnya bersama pak Wongso.”
“Boleh ikut Pak?” tanya Nilam.
“Eh, tidak bisa, besok pekerjaan kita banyak. Baru saja bapak memberikan intruksi untuk menggarapnya.”
Nilam mengerucutkan bibirnya, tapi tidak menjawab.
Wijan mengacak rambut Nilam sambil berdiri, lalu menarik tangan Nilam agar mengikutinya.
***
Tapi sesampai di ruangannya, Wijan tampak termenung. Ia sedang memikirkan Anjani. Barangkali ia merasa kasihan mendengar penuturan Nilam, tapi barangkali juga dia memang suka. Wijan sedang bertanya kepada hatinya. Selama ini dia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia juga belum pernah merasakan debaran jantungnya yang berpacu keras setiap kali menatap wajah Anjani.
“Perasaan apa ini?” gumamnya pelan, tanpa sadar bahwa Nilam yang akan mulai bekerja mendengar gumam itu.
“Mas bilang apa?”
“Apa? Aku ngomong apa sih?”
“Wah, kacau nih. Mas bilang perasaan … perasaan … begitu … Perasaan apa sebenarnya?”
“O, itu … perasaan aku sudah memeriksa file ini, kok aku membacanya lagi sih?” jawab Wijan sekenanya.
“Kayaknya bukan itu deh.”
Tapi sebelum Nilam melanjutkan perkataannya, ponselnya berdering.
“Lhah, dia lagi?” cemberut Nilam ketika mengangkat ponselnya.
“Ini jam kerja, kenapa sih nelpon?” sengitnya ketika melihat yang menelpon adalah Jatmiko.
“Eh, belum-belum galaknya sudah dipasang. Maaf, aku hanya mau bilang sebentar. Nanti makan siang aku samperin ya, temani aku dong.”
“Apa? Nggak bisa, aku sibuk.”
“Kan jam istirahat.”
“Tapi aku tetap sibuk. Kenapa kamu tidak mengajak Anjani saja untuk menemani kamu. Dia kan belum mulai bekerja, jadi masih punya banyak waktu. Dia baru saja pulang, telpon saja dia.”
“Inginnya makan sama kamu. Aku ingin mengatakan sesuatu.”
“Katakan saja lewat telpon, kenapa harus bertemu?”
“Nggak enak, bukannya kamu sedang sibuk?”
“Baiklah, aduh … kamu ini orang nekad ya, kalau tidak bilang ‘iya’, pasti kamu akan merengek terus.”
Lalu Nilam menutup ponselnya begitu saja. Dari sudut ruangan, Wijan terbatuk-batuk. Batuk yang dibuat-buat. Membuat Nilam bertambah merengut.
***
Besok lagi ya.
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSmg sehat sll
DeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 Yangtie
Alhamdulillah sdh tayang......
ReplyDeleteNuwun, mas Kakek
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Indrastuti
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah ACeDeR 14 tayang
ReplyDeleteMksh bunda Tien udah sehat kmbli dan makin clink selalu doaku
Salam sayang dari Jogja
🐞🌼🐞🌼🐞🌼🐞🌼
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🌸🦋
ACeDeeR_14 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tien
cantiq & baik hati.
Semoga sehat2 & tetap
smangaaats. Aamiin. 🤲
Salam hangat & aduhai.
🐞🌼🐞🌼🐞🌼🐞🌼
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Sari
Terima kasih jeng In
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda... sehat2 sllu njih
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Wiwik
Whuaooo
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🌸🦋
ReplyDeleteACeDeeR_14 sdh hadir.
Matursuwun Bu Tien
Semoga sehat2 & tetap
semangaaats. Aamiin. 🤲
Salam hangat & aduhai.
🐞🌼🐞🌼🐞🌼🐞🌼
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat . Maturnuwun "semogasumber masalah Estiana tetap dipertahankan .biar seru 🌹🌹🌹🙏
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Herry
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda.... semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Tutus
Terima kasih, bu Tien cantiik.... sehat selalu, yaa💕
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih jeng Mita
Matur nuwun Bu Tien, penasaran siapa jodoh Wijan dan Nilam. Salam sehat bahagia dari Yk Bu....
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam aduhai deh
ReplyDeleteAlhamdullilah
Ada Cinta Dibalik Rasa 14 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Akhirnya terkuak bahwa Esti mengukur kebahagiaan itu dengan harta.
ReplyDeleteSemoga pak Raharjo dan Wijan lebih perhatian lagi kepada Anjani. Mungkin dengan membeli rumah dengan harga lebih dari yang diminta.
Hallo Miko, mulai tertarik kepada Nilam??
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Matur nuwun pak Latief
DeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteSami2 ibi Sri
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda selalu sehat wal'afiat
Alhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~14 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Matur nuwun bunda Tien.....🙏🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah. Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah ,sdh tayang
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat,semangat menghibur km
Dalam dr Bjm
alhamdulillah maturnuwun bunda
ReplyDeletesemoga bunda selalu sehat
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah...terima kasih Bu Tien smoga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien ACIDIRA 14 sdh ditayangkan
Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yra
Terimakasih... Bunda Tien sehat selalu. Terimakasih juga diterima dg tangan terbuka saat berkunjung ke rumah Bunda Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteHehe...nampaknya rumah pak Marjono yang akan dibeli pak Raharjo ya? Pasti Wijan kaget kalau rumah Anjani yang akan jadi miliknya.😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🙏🙏
Alhamdulillah, Matur nuwun Bu Tien
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Jangan galak2 Nilam ,ntr bucin kamu dg Jatmiko, g bisa tdr loh ....🤩🤩🤩
Makasih mbak Tien
ReplyDelete