ADA CINTA DI BALIK RASA 10
(Tien Kumalasari)
Estiana tegak di depan pintu, menatap suaminya dengan pandangan marah. Kemudian ia mendekat, dan duduk dengan kasar di antara mereka.
Anjani ingin segera berdiri untuk bersiap-siap, tapi sang ibu menahannya.
“Duduk dulu. Aku mau bicara,” katanya dengan wajah gelap.
Anjani tak berani membantah apa kata ibunya. Tapi rupanya sang ibu tidak ingin bicara dengan dirinya, barangkali hanya ingin agar dirinya mendengar apa yang dikatakannya. Soalnya sang ibu menatap suaminya dengan pandangan tajam.
“Pak, bagaimana mungkin Bapak bisa bicara seperti itu pada Anjani?”
“Aku bicara apa sih?”
“Bahwa Bapak sebenarnya tidak suka memiliki menantu nak Usman. Apa Bapak lupa, bahwa nak Usman itu sudah berbuat begitu banyak untuk Bapak? Kalau Bapak bicara seperti itu, berarti Bapak itu tidak menghargai semua kebaikan yang telah dilakukannya.”
“Aku kan tidak meminta membatalkan perjodohan itu. Aku hanya mengutarakan perasaanku saja,” bantah Marjono tanpa menatap istrinya.
“Justru perasaan Bapak itu yang membuat aku kecewa. Seakan-akan Bapak tidak menghargai nak Usman yang sudah begitu baik. Coba ingat-ingat Pak, nak Usman itu ….”
“Sudah … sudah, hentikan , aku sudah tahu apa yang akan kamu katakan, jadi tidak usah mengatakannya lagi.”
Kemudian Marjono menoleh kepada Anjani.
“Bukankah kau sudah siap berangkat? Berangkatlah sebelum terlambat,”
Anjani tersenyum manis, lalu beranjak pergi.
“Hei jangan pergi dulu. Katakan apa kamu menyukai nak Usman?”
“Ya, saya suka. Bapak tidak perlu khawatir,” katanya sambil berlalu dan masuk ke kamarnya untuk mengambil tas yang sudah disiapkannya.
“Bapak dengar tidak? Anjani anak baik, yang mengerti tentang arti terima kasih. Dia akan menjalaninya dengan suka cita. Apa yang Bapak ragukan?”
“Bisakah kamu berhenti bicara? Dadaku sakit mendengar kamu mengoceh seperti beo,” kata Marjono sambil berdiri, kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Estiana membanting-banting kakinya karena gemas.
Sementara itu, Anjani sudah bersiap dengan pakaian rapi. Ketika melihat ayahnya tak ada lagi di ruang tengah, di mana mereka tadi duduk, dia segera masuk ke dalam kamar, dan melihat sang ayah sedang berbaring di ranjang, sambil menggosokkan minyak angin ke dadanya.
“Bapak kenapa?”
“Tiba-tiba dada bapak terasa sesak,” keluhnya.
“Mari, biar Anjani gosok dada Bapak,” katanya sambil meraih minyak gosok dari tangan ayahnya.
“Biar bapak sendiri saja. Nanti kamu terlambat.”
“Masih ada waktu,” katanya sambil menggosok dada ayahnya.
“Sudah, sudah cukup. Kamu segera berangkat saja.”
“Bapak jangan terlalu banyak pikiran. Bukankah begitu juga pesan dokter setiap kali Bapak diperiksa?”
“Bapak hanya ingin kamu baik-baik saja. Jangan melakukan sesuatu karena terpaksa.”
“Mengapa Bapak berpikir begitu? Anjani tidak terpaksa melakukannya. Bapak harus percaya pada Anjani.”
“Ya sudah, segera berangkat sana. Hati-hati ya.”
“Apa Bapak tidak apa-apa?”
“Tidak, kalau sudah digosok begini, sesaknya berkurang.”
“Tadi sudah minum obat kan?”
“Sudah, tenang saja.”
“Meskipun sudah minum, obat yang paling manjur untuk penyakit bapak, adalah suasana hati. Bapak tidak boleh sedih, tidak boleh marah, pokoknya harus tenang, seneng,” kata Anjani sambil mencium tangan ayahnya.
Marjono mengelus rambut Anjani lembut. Entah perasaan apa yang berkecamuk di hatinya, tapi ada kekhawatiran tentang anak gadisnya itu, entah apa.
“Anjani berangkat ya Pak.”
“Semoga ada berita baik yang bisa bapak dengar nanti.”
Anjani tersenyum, Sambil mengucapkan ‘aamiin’, dia mencium pipi ayahnya yang mulai keriput.
Marjono menatap punggung anaknya, yang kemudian menghilang di balik pintu.
“Tidak boleh sedih … tidak boleh marah … “ gumam Marjono dengan mengingat pesan anak gadisnya.
“Semoga keadaan di sekitarku mendukung.”
Kemudian Marjono meraih minyak gosok yang diletakkan Anjani di samping nakas, lalu membuka tutupnya dan menghisap aroma segar dari minyak gosok itu.
Di luar pintu, Estiana sedang menunggunya.
“Anjani, dengar dulu.”
“Bu, saya akan terlambat.”
“Sebentar saja. Ibu hanya ingin mengingatkan, bahwa kamu tidak boleh terpengaruh kata-kata ayahmu yang tidak menyukai nak Usman. Ayahmu itu seperti tidak bisa mengenal kebaikan orang saja.”
“Ya Bu, saya mengerti.”
“Ibu tahu bahwa kamu tidak suka pada nak Usman. Tapi kamu harus tahu bahwa nak Usman itu laki-laki baik yang tak ada duanya di dunia ini.”
“Iya. Saya berangkat dulu ya Bu, ini sudah lewat.”
“Jangan terlalu senang seandainya kamu bisa mendapatkan pekerjaan, karena setelah menikah nanti kamu tidak harus terus bekerja. Suami kaya raya, apa tidak memalukan kalau istrinya bekerja?”
Anjani meraih tangan ibunya, kemudian berlalu dengan langkah tergesa-gesa.
“Awas saja kalau sampai pernikahan itu tidak terjadi gara-gara kamu menentangnya,” omelnya yang sempat didengar pula oleh Anjani. Sambil menghela napas kesal, Anjani memacu sepeda motornya.
***
Di kantor, Nilam sedang sibuk dengan laptopnya, sedangkan Wijan yang sedang menghadapi laptop juga, sebentar-sebentar melirik ke arah jam tangannya.
“Jam berapa ini, Nilam?”
“Jam sembilan kurang lima menit. Memangnya kenapa?”
“Bukankah gadis itu akan datang pada jam delapan?” kata Wijan sambil menutupkan map berisi lamaran Anjani yang sudah dibacanya sejak beberapa saat lalu.
“O, iya. Maksudnya Anjani? Aku sampai lupa kalau dia harus wawancara. Rupanya mas Wijan terus mengingatnya ya?” tanya Nilam curiga.
Belum sempat Wijan menjawabnya, suara ketukan terdengar, kemudian pintu terbuka ketika Wijan sudah memerintahkannya masuk.
Seorang gadis melangkah masuk dengan ragu-ragu, setelah sekretaris di luar mengatakan bahwa Anjani sudah ditunggu.
“Selamat … pagi,” katanya pelan.
Nilam mengangkat wajahnya, melihat seorang gadis cantik berdiri di depan pintu dengan sikap santun.
“Kamu Anjani?” tanya Nilam.
“Ya, saya menerima pesan bahwa hari ini saya harus datang untuk wawancara pada jam delapan pagi,” jawabnya masih dengan suara pelan.
“Dan ini sudah jam sembilan pagi?” tanya Nilam dengan terus menatapnya tak berkedip. Terutama pada matanya. Kalau benar dia Anjani yang dicari Jatmiko, benarkah mata gadis itu mirip dirinya? Mata bulat bening yang berhias bulu mata lentik itu sungguh menakjubkan dan memikat. Nilam ingin mengambil kaca untuk menatap dirinya sendiri. Benarkah matanya seindah mata gadis itu? Tapi bukankah gadis itu belum tentu Anjani sahabat masa kecil Jatmiko? Lamunan Nilam terhenti ketika mendengar suara Wijan mempersilakan Anjani agar duduk.
“Saya … mohon maaf, karena terlambat.”
“Jalanan macet?” tanya Wijan sambil menatap ke arah gadis di depannya. Entah mengapa Wijan
berdebar ketika menatapnya. Ada pesona yang tak bisa dihindarinya. Pesona yang membuatnya sejenak terpana. Kemarin sudah bertemu, tapi hanya sekilas. Baru sekarang dia bisa bertatap muka.
“Tidak, sebetulnya,” jawab Anjani ketakutan. Kalau dirinya dinilai kurang disiplin karena tidak menghargai waktu, maka pasti ia akan gagal diterima. Mengingat hal itu, Anjani menjadi sangat gugup.
“Tidak macet, mengapa terlambat? Oh ya, apa kamu sakit? Aku mencium bau minyak angin,” kata Wijan tiba-tiba, membuat Anjani terkejut.
"Ini … ini … karena saya sebelum berangkat, menggosok ayah saya dengan minyak angin,” katanya dengan debar yang semakin tidak menentu.
“Ayah kamu sakit?”
“Ya.”
“Sakit beneran, atau hanya masuk angin?”
“Ayah saya … sakit jantung, sudah beberapa tahun ini,” katanya sedih.
“Ceritakan tentang diri kamu,” kata Wijan.
Anjani menundukkan kepalanya.
“Saya anak tunggal dari sebuah keluarga kecil. Ketika saya berumur lima belasan tahun, ibu saya meninggal karena suatu penyakit.”
Anjani berhenti bicara untuk meredakan perasaan sedihnya ketika harus mengingat almarhumah ibunya.
Wijan diam menunggu sambil terus menatap Anjani tak berkedip. Nilam menatap kakaknya, dan kurang senang melihat bagaimana cara sang kakak menatap gadis di depannya.
“Tak lama kemudian, ayah saya menikah lagi.”
Wijan menangkap kesedihan pada wajah Anjani ketika menceritakan keadaan keluarganya. Ia menghentikannya, lalu bertanya tentang pengalaman kerja yang pernah dijalaninya.
Nilam menatap tak sabar. Ia ingin segera mendengar Wijan menanyakan tentang gelang mote itu.
Nilam memberi kode kepada Wijan, dan Wijan sudah mengerti.
“Anjani, saya sudah membaca CV kamu dan semua berkas lamaran kamu. Tapi ada pertanyaan saya lagi. Apakah kamu kehilangan sesuatu?”
“Kehilangan sesuatu? Saya sudah mengatakannya, saya kehilangan ibu, dan tentu saja kehilangan kasih sayangnya.”
“Maksudku bukan itu. Sebuah benda.”
“Kehilangan … sebuah benda?”
Gemetar Anjani mendengarnya. Kehilangan sebuah benda? Apakah itu gelangnya? Tapi dari mana bos muda ini tahu bahwa saya kehilangan gelang? Benarkah yang dimaksud adalah gelang motenya yang hilang?
“Apakah .. maksud Bapak … adalah sebuah gelang?”
“Ya, itulah. Sebuah gelang mote.”
Anjani memegang pegangan kursi erat-erat.
“Ba … bagaimana Bapak tahu bahwa saya kehilangan sebuah gelang mote?”
“Jadi benar, kamu kehilangan gelang itu?”
“Dari mana Bapak tahu? Apakah Bapak menemukan sebuah gelang mote?”
“Berwarna hitam?”
“Ya, berwarna hitam. Bapak menemukannya? Dan bagaimana Bapak tahu bahwa sayalah pemilik gelang itu?”
Wijan menoleh kepada Nilam yang menatapnya sejak tadi.
“Temuilah ibu Nilam, dia adalah wakilku.”
Anjani menoleh kepada Nilam, yang kemudian mengajaknya duduk di sofa yang ada di ruangan itu.
“Namaku Nilamsari.”
“Saya, Anjani, bu Nilam.”
“Pasti kamu penasaran kenapa kami bisa mengetahui tentang gelang itu, dan kemudian tahu bahwa gelang itu milik kamu. Yah, sebenarnya tadinya belum yakin sih, tapi dari jawaban kamu tadi ketika pak Wijan bertanya, kemudian kami yakin bahwa benda itu adalah milik kamu.”
“Tapi … bagaimana ….”
“Akan aku ceritakan semuanya. Bahkan tentang Jatmiko, sahabat masa kecil kamu.”
“Jatmiko? Ibu pernah bertemu Jatmiko? Ibu mengenalnya?”
Lalu Nilam menceritakan bagaimana dia bisa bertemu Jatmiko dan mengetahui tentang gelang mote berwarna hitam itu, dan secara kebetulan menemukannya.
Berlinang air mata Anjani ketika mendengar semuanya. Akhirnya ia bisa menemukan sahabat masa kecilnya. Ia juga bahagia ketika Nilam memberikan nomor kontak Jatmiko.
“Saya sangat berterima kasih untuk semua ini,” katanya dengan suara bergetar.
“Telpon dia, karena gelang itu sudah aku berikan padanya.”
***
Anjani melangkah keluar dari kamar setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada Wijan maupun Nilam. Ia melupakan lamarannya. Ia ingin segera menelpon Jatmiko dan harus bisa bertemu hari itu juga.
Tidak menunggu sampai di rumah, masih di area parkiran kantor ia sudah menghubungi Jatmiko.
Lama sekali tidak diangkat. Barangkali Jatmiko merasa tidak mengenal nomor kontak yang menghubunginya.
Karena kesal, Anjani menulis pesan singkat untuk Jatmiko. Benar-benar singkat, karena yakin bahwa Jatmiko tidak mau menerimanya karena tidak mengenal nomor kontaknya. Maka sebelum nomornya diblokir segera dikirimkannya pesan singkat itu.
{“Aku Anjani”}
Lalu dia menstarter sepeda motornya, keluar dari halaman kantor itu, pelan-pelan, sambil memperhatikan ponselnya, barangkali ada panggilan masuk.
Dan sepuluh menit kemudian, barulah terdengar panggilan telpon. Anjani meminggirkan sepeda motornya, mencari tempat yang teduh dan jauh dari orang-orang serta penjual kaki lima yang berderet di sana.
“Hallo, kamu Miko?”
“Anjani, benar kamu Anjani? Aku melihat photo profil kamu, kamu cantik sekali. Kamu di mana?”
“Nggak enak bicara di jalan, bagaimana kalau kita bertemu?”
“Kamu di mana?”
“Beri aku alamat sebuah warung atau tempat apa, supaya kita bisa bertemu dan bicara lebih enak.”
“Di rumah kamu?”
“Jangan. Di tempat lain saja.”
“Baiklah. Ya ampuun … banyak yang akan aku ceritakan sama kamu. Sekarang aku akan mengirimkan alamat yang bisa kamu datangi agar kita bisa bertemu.”
Anjani dengan riang membaca alamat yang dikirimkan Jatmiko. Anjani terkejut.
“Ini sebuah rumah makan besar. Rupanya Jatmiko sudah menjadi orang yang berkecukupan,” gumamnya pelan, sambil menstarter sepeda motornya dan mengendarainya menuju alamat yang dikirimkan Jatmiko.
***
Anjani berhenti di depan rumah makan itu, tapi tak melihat bayangan Jatmiko. Ia masih menunggu di depan sambil melihat ke sana kemari dengan perasaan yang sulit dilukiskannya. Bertemu sahabat masa kecil? Bayangan demi bayangan saat mereka masih sering bertemu, melintas di benaknya. Begitu manis. Berbagi sepotong roti, mengunyahnya dengan nikmat di bawah pohon rindang, bercanda tentang banyak hal yang mereka anggap lucu. Anjani tersenyum mengingatnya. Dan sekarang ia akan merasakan lagi suasana manis itu ketika nanti bertemu dengannya. Ia mencoba menelpon lagi, tapi tidak ada jawaban. Barangkali Jatmiko sedang ada dijalan ramai, sehingga tak sempat mengangkat ponselnya. Anjani seperti tak sabar menunggu. Ia berjalan ke arah jalan, setelah memarkir sepeda motornya.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depannya. Terlonjak Anjani karena mobil itu nyaris menabraknya. Mobil siapa? Tiba-tiba Anjani merasa cemas. Usman melihatnya? Ya Tuhan, Anjani ketakutan. Ia membalikkan tubuhnya menuju ke arah sepeda motornya. Tapi ia bingung akan melakukan apa. Bagaimana kalau Usman menyeretnya dan mengajaknya pulang?
***
Besok lagi ya.
🌷🌹🦋🌷🌹🦋🌷🌹🦋
ReplyDeleteAlhamdulillah....
ACeDeeR_10 sdg dihadirkan bunda Tien yang baik hati..... Dalam kesibukannya hari ini sd Kamis nanti, masih juga menyempatkan menulis buat para penggemar nya, walau "soca kiwa" belum normal kembali.
Matur nuwun bunda, tetap sehat dan ADUHAI......
🌷🌹🦋🌷🌹🦋🌷🌹🦋
Koreksi.....
DeleteACeDeeR_10 sudah dihadirkan...
Matur nuwun mas Kakek
Delete🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🌸🦋
ACeDeeR_10 sdh hadir.
Matur nuwun Bu Tien
cantiq & baik hati.
Semoga sehat2 & tetap
smangaaats. Aamiin. 🤲
Salam hangat & aduhai.
🌹🌼🌹🌼🌹🌼🌹🌼
Hehe...comentnya hampir sama dengan yg diatas lho Jeng Sari..😀
DeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Waduuuuh ketemu Usman di Resto tempat ketemuan dgn Jatmiko...bikin deg2an aja...Semoga Usman gak liat Anjani, dan pertemuan dgn Jatmiko nantinya sebagai penyelamat Anjani dari cengkraman Usman...hehe maunya pembaca deh...🤭😁
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku acdr tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteSugeng ndalu Bunda Tien.
ReplyDeleteHamdallah cerbung Ada Cinta di Balik Rasa..10 telah tayang. Matur nuwun
Alhamdullilah
Semoga ALLAH memberi kesembuhan ..kesehatan yang sempurna kagem Bunda Tien....tercinta🤲❤
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih ibu Nuning
DeleteAlhamduliCerbusemoga selalu sehat wal afiat tetap semangat,Maturnuwun Cerbungipun
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah Maturnuwun Bunda
ReplyDeleteADUHAI jeng In
ReplyDeleteAlhamdulillah ADA CINTA DIBALIK RASA~10 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat & bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Matur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteSami2 pak Djuniarto
DeleteAlhamdulillah .... trimakasih bu Tien semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endang
maturnuwun bunda
ReplyDeletesemoga selalu sehat
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Matur nuwun, bu Tien. Salam aduhai
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteSalam aduhai juga deh
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun sudah membaca, ibu Atiekr
DeleteAlhamdulillah , Terima kasih bunda Tien , Semoga sehat walafiat
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Semoga ibu Tien cepat kembali pemulihan kesehatan. Trima kasih sdh menerbitkan Ada Cinta Dibalik Rasa yg ke10.
ReplyDeleteAllah selalu menyertai ibu Tien.
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Rosie
Aljamdulillah.
ReplyDeleteYa Alloh ...masih harus sabar menanti kelanjutannya esok in Syaa Alloh...
Syukron nggih Mbak Tien .
Sehat sehat sehat Bismillah Biidznillah Aamiin.🌹🌹🌹🌹🌹
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Susi
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunfa Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillah Ada Cinta Dibalik Rasa - 10 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga semakin sehat dan pulih kembali
Aamiin Yaa Robbal' Aalamiin🤲
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
ReplyDeleteAlhamdullilah
Ada Cinta Dibalik Rasa 10 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Alhamdulillah Terimakasih ACDR nya, sehat2 nggih😘😘
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ana
Alhamdulillah tayang, kasian Anjani mau ketemuan sama Jatmiko ada penghalang
ReplyDeleteTerima kasih ibu Engkas
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteAlhamdulilah acdr 10 sdh tayang , terima kasih bun, semoga bunda Tien selalu sehat dan bahagia ..salam hangat dan aduhai bun ..
ReplyDeleteWaduuuh ibu tiri anjani sewot amat ..semoga bukan pak usman yg datang
Aamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillahi rabbil'alamiin
ReplyDeleteTerima kasih bu tien
Semoga bu tien sehat2 n selalu dlm lindungan n bimbingan Allah SWT .... aamiin yaa rabbal'alamiin
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Arif
Pak Marjono kumat lagi? Semoga tidak apa " dan sehat kembali.
ReplyDeleteKalau Anjani segera ketemu Miko rasanya terlalu cepat. Apa bertemu 'nak Usman' dulu saja ya...
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Horee...Anjani sudah terhubung dengan Jatmiko. Tapi kok ada si biang kerok Usman gaek ya, jangan sampai dia mengganggu suasana.😁
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien. Salam sehat.🙏
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien, semoga sehat dan happy selalu.
Salam dari mBantul
Alhamdullilah, sehat terus bundaku Tien Kumalasari, Aamiin
ReplyDeleteIni mau diapakan lagi gadis manis bermata jeli, cukup mendebarkan hati Wijan.
ReplyDeleteNilam yang manyun mencemburui Wijan seolah tak akan melepaskan tatapanya pada Anjani.
Gelang monte yang membuyarkan Anjani.
Melupakan wawancara hari itu; berniat cari penghasilan untuk mengganti doku Usman yang ternyata berjaminan untuk sebuah akad didepan pengulu, ibu tiri nya lagi yang menjaminkan.
Harapan ketemuan dengan Jatmiko terjadikah?
Apakah Jatmiko tau, kesengajaan yang dibuat Usman, apakah Usman bos nya Jatmiko, ataukah Jatmiko minder/ragu melindungi Anjani.
Bertemu juga belum, mereka hanya mau reunian ; sambil makan makan berselfi ria, mengenang masa ceria dikala bocah.
Butuh teman bicara, pengurang beban keadaan yang menjerat.
Harapan itu masih adakah, atau luntur, Jatmiko justru tertarik pada Nilamsari.
Anjuran perjodohan itu; Sponsornya sama sama ibu tiri.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Ada cinta dibalik rasa yang ke sepuluh sudah tayang
Sehat sehat selalu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun bunda Tien...🙏
ReplyDeleteSemoga bunda tetap sehat selalu..🤲🤲
Wijan terpana melihat Anjani, Nilam jadi kurang suka, kenapa ya?
ReplyDeleteAnjani sdh menggebu ingin bertemu Miko, tapi terhalang krn ketahuan nak Usman, melas timen ya 😁
Salam sehat selalu dari Cip Muara - Jatinegara, nggeh Bunda Tien.
Cemburu
DeleteNilam kan senang dengan Wijan
Ya takut diambil...
Matur nuwun Bu Tien. Semakin sehat nggih Bu....aamiin..
ReplyDeleteDeg2 an....Maturnuwun bunda Tienn
ReplyDeleteBukan Usman tapi Miko...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Terimakasih Bu Tien cerbungnya, sehat2 selalu ya Bu 🙏🌹😍
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteSemoga tetap sehat wal afiat... salam aduhai
Wah bgm ini ,,,,, kok ada pak Usman jd seru nih ceritanya,,, blm bisa ketemu donk Anjani & Jatmiko ,,,, penasaran...🤩🤩🤩.
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bu Tien
Salam sehat wal'afiat selalu 🤗🥰
Aduhaiii 😍
10
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dan aduhai
ReplyDeleteSalam sehat selalu utk bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun Bunda Tien
ReplyDelete