BUNGA UNTUK IBUKU 44
(Tien Kumalasari)
Suri heran melihat sikap ketiga tamunya ketika mendengar nama Hasti disebutnya. Ada apa dengan wanita itu? Raharjo bahkan menampakkan wajah masam, tampak tak senang.
“Nilam, kamu kenal dengan wanita itu?”
“Kalau benar dia bernama Hasti, sedang hamil, kemungkinan besar kami mengenalnya. Dia kakak kandung aku.”
Suri terkejut.
“Kamu pernah menceritakan bahwa kamu punya kakak kandung, jadi dia? Pantas saja ketika dia melihat foto kamu yang ibu pasang di ruang tengah, dia terus memandanginya, tapi kenapa ya, dia tak mau mengatakan bahwa kamu adalah adiknya?”
“Ketika mengantarkan bapak ke rumah sakit, Nilam melihatnya. Tapi ketika Nilam memanggil namanya, dia lari menjauh, lalu menghilang entah ke mana. Tampaknya dia tak mau bertemu Nilam,” sesal Nilam.
“Wanita itu sepertinya tidak sehat. Badannya kurus, wajahnya pucat. Padahal sebenarnya dia cantik. Itu sebabnya ibu kasihan dan mau menerimanya bekerja di sini, katanya dia hanya butuh makan. Alangkah susahnya kalau seseorang tidak bisa makan, apalagi dia sedang mengandung. Kalau ibunya tidak sehat, bayi yang dikandungnya juga pasti tidak sehat.”
“Dia mengatakan di mana rumahnya?”
“Mengatakan sih, di mana ya, ibu malah mengatakan kalau rumahnya jauh dari sini. Dasar orang tua, begitu saja lupa. Eh … jalan Mawar atau apa … gitu. Tapi persisnya di mana, ibu kok ya tidak menanyakannya. Bukankah itu di daerah Manahan … atau mana ya. Kurang paham ibu.”
“Nilam, apa kamu ingin mencari kakakmu?” tanya Raharjo tiba-tiba.
“Maaf Pak, bagaimanapun, dia kakak Nilam. Kelihatannya memang dia tidak sehat. Barangkali hidupnya menderita, dan tampaknya tidak punya suami. Apakah Bapak tidak suka kalau Nilam mencarinya?” tanya Nilam yang sebenarnya tahu, bahwa ayah tirinya tidak suka pada kakaknya karena kelakuannya.
“Tidak, Bapak bukannya suka atau tidak suka, tapi menolong orang itu tindakan mulia. Jadi bapak mengijinkan kamu menemukannya. Lihatlah bagaimana keadaannya. Kalau perlu pertolongan, tolonglah, tapi maaf, bapak tidak mengijinkan dia kembali ke rumah. Carikan rumah yang baik untuk dia, bapak akan membantu,” kata Raharjo yang tidak keberatan untuk menolong, tapi tak ingin serumah lagi dengannya. Dia sudah mendengar dari bibik, bagaimana kelakuan istri dan anak tirinya tersebut.
“Ya Pak, mohon maafkanlah dia, besok sepulang sekolah Nilam akan mencoba mencarinya,” kata Nilam sedih.
“Jangan mencari sendiri, biar kakakmu Wijan mengantarkannya.”
“Tidak usah Pak, mas Wijan kan juga harus mengurus kuliahnya.”
“Nanti biar sama ibu saja, sekalian ibu belanja,” kata Suri.
“Nah, biar Nilam sama ibu Suri saja," sahut Nilam.
“Iya Pak, Nilam sudah seperti anak saya. Dia baik dan sangat pintar. Karena dia pintar, gurunya sendiri yang minta agar dia mencoba mengikuti percepatan pelajaran, sehingga dia bisa mengikuti ujian akhir bersama kakak kelasnya, dan lulus dengan nilai bagus. Nilam sangat membanggakan. Dia benar-benar membantu saya karena saya jadi lebih irit mengeluarkan biaya sekolahnya,” kata Suri sambil mengelus kepala anak angkatnya.
Raharjo mengangguk, ia belum menanyakan tentang perjalanan pendidikan Nilam sehingga sudah begitu cepat masuk SMA, dan Suri sudah mengatakannya.
“Apa kamu juga begitu, Wijan?” tanya Raharjo kepada Wijan.
“Iya Pak, Wijan kan belum bertemu Bapak, jadi Wijan harus bisa segera menyelesaikan pelajaran dengan memohon bisa melakukan percepatan dalam pelajaran, dan Wijan juga berhasil.”
“Anak-anak bapak memang sangat membanggakan. Baiklah, lanjutkan pendidikan kalian, karena kelak kalian akan menjadi penerus bagi usaha bapak. Baik Wijan, maupun Nilam.”
“Tapi ijinkan Nilam tetap bersama saya, ya Pak,” kata Suri memelas, khawatir Raharjo tak mengijinkan Nilam bersamanya.
“Tentu saja Bu, Nilam sendiri juga bermaksud begitu. Tidak apa-apa, saya senang, Nilam mendapatkan ibu yang sangat baik.”
“Terima kasih Pak,” kata Suri sambil berlinang air mata bahagia.
“Tapi Nilam akan sering mengunjungi Bapak kok. Oh ya, aku janji sama bibik, akan memasak ayam panggang. Tapi karena bapak langsung mengajak kemari, jadinya batal deh. Besok kalau libur saja ya Bik?”
“Iya Mbak Nilam, tidak apa-apa,” jawab bibik yang sedari tadi diam saja.
Karena sudah lama berbincang, Raharjo kemudian mengajak Wijan dan bibik untuk pulang. Tapi sebelum pulang, Raharjo kembali mengutarakan keinginannya membantu kepada Suri.
“Bu Suri jangan lupa, saya akan segera menyuruh orang untuk mengurus warung baru untuk bu Suri nanti, dan harus dicarikan tempat yang lebih strategis.”
“Tapi Pak …” Suri ingin tetap menolak.
“Ingat bu Suri, dengan warung yang nantinya menjadi besar, bu Suri bisa mengurangi pengangguran. Itu perbuatan mulia lhoh,” kata Raharjo sambil masuk ke dalam mobil.
Suri mengangguk sungkan, tapi Nilam menepuk tangan ibu angkatnya untuk memberinya semangat.
***
Beberapa hari kemudian, Wijan sudah kembali ke Jogya untuk mengurus kuliahnya, Raharjo juga sudah datang ke kantor untuk melihat keadaan perusahaannya selama ditinggalkannya.
Pak Rangga sedang menghadap di ruangannya, untuk melaporkan semuanya. Tapi sebelumnya dia juga mengatakan akan mengirimkan tambahan bukti di persidangan Rusmi dan Baskoro, berupa dompet yang ditemukan simbok dan sepatu yang ditemukan di pinggir kali.
“Barang-barang itu sudah aku siapkan. Semoga semuanya berjalan lancar.”
“Karena Barno bersedia menjadi saksi di persidangan nanti yang mudah-mudahan bisa meringankan hukumannya. Kasihan, dia sangat menderita karena penyesalan. Sakitnya agak berat, tapi saya sudah minta agar diberikan perawatan yang baik, semoga dokter berhasil menyembuhkannya, dibantu dengan penyemangat dari orang-orang disekitarnya.”
“Syukurlah. Semoga bisa segera pulih. Kalau senggang aku juga ingin membezoeknya.”
“Nanti saya akan mengantarkan Bapak,” kata pak Rangga.
Pak Rangga kemudian melaporkan semua perkembangan perusahaan selama ditinggalkan Raharjo. Raharjo tampak puas, karena tidak ada yang mengecewakan. Beruntung sebelum kecelakaan itu, Raharjo sudah membuat surat kepemilikan perusahaannya yang diatas namakan Wijan, sehingga kekacauan ketika dulu Rusmi ingin menguasai perusahaan tidak terjadi.
Lalu Raharjo mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki makam simbok, juga merenovasi gubugnya.
“Saya akan memerintahkan staf saya untuk mengurusnya.”
“Besok, sambil melihat kantor cabang, saya akan menunjukkan tempatnya, sekaligus membawa ahli bangunan untuk melihat keadaannya. Tampaknya sebaiknya lebih dulu memperbaiki makamnya, agar kalau musim hujan, tanah yang melingkupinya tidak longsor sehingga tidak terlihat ujudnya.”
“Tapi bukankah gubug itu tidak ada lagi pemiliknya?”
“Akan kita lihat, apakah ada kerabat simbok yang mau menempatinya, sekaligus merawat kebunnya. Kalau tidak ada, kita serahkan saja kepada pemerintah. Mungkin bisa dibangun mushala atau apa, tampaknya itu penting, karena kelihatannya belum ada tempat ibadah di kampung itu. Saya minta pak Rangga untuk memerintahkan seseorang untuk mengurusnya.”
“Baik Pak, segera akan saya urus semuanya. Sekarang saya akan mengambil barang-barang yang akan dijadikan bukti, dan menyerahkannya kepada yang berwenang.”
Raharjo mengangguk setuju.
***
Hari itu pak Raharjo mengumpulkan para karyawan, untuk bersama-sama mengucapkan puji syukur atas pertolonganNya, sehingga dia bisa selamat dari maut, dan keadaannya sekarang sehat tak kurang suatu apa.
Begitu pertemuan itu selesai, Raharjo mengajak pak Rangga untuk melihat keadaan Barno yang masih ada di rumah sakit.
Atas permintaan pak Rangga, Barno memang ditempatkan di kamar yang lebih baik. Walaupun bukan kamar VIP tapi kelas satu adalah kamar yang nyaman. Kecuali itu Barno juga kelihatan lebih baik. Wajahnya tidak sepucat dulu ketika pak Rangga membezoeknya. Masih ada dua polisi menjaga di luar ruangan Barno, karena Barno masih berstatus tahanan.
Begitu melihat Raharjo datang, Barno langsung bangkit dari tempat tidurnya, lalu menangis mengguguk sambil memegangi tangan Raharjo yang menyalaminya.
“Saya pantas mati Pak … dosa saya pada Bapak sangat besar, saya pantas mati, saya pantas mati …”
“Sssst, tidak baik menginginkan kematian. Karena mati dan hidup itu bukan kita yang menentukannya.”
“Dosa saya teramat besar pada Bapak. Saya telah kerasukan setan waktu itu, ampun Bapak, ampuni saya. Karena uang, tapi saya menyesalinya. Saya tak pernah menyentuh uang itu. Istri saya sudah menyerahkannya kepada pak Rangga, masih utuh dalam bungkusan seperti ketika mereka memberikannya. Mereka, orang-orang jahat yang ingin menguasai perusahaan milik Bapak. Maafkan Bapak, saya sungguh menyesal.”
“Barno, aku sudah memaafkan kamu. Tenanglah.”
“Saya pantas dihukum, saya tidak pantas didekati Bapak, saya hina, kotor, jahat, saya seperti iblis karena melakukannya. Saya menyesalinya sepanjang hidup saya. Saya pantas dihukum.”
“Tenanglah Barno. Sudah, sekarang kamu harus sehat. Kamu harus tahu, penyesalan itu adalah hukuman, karena rasa sesal itu menyebabkan sakit. Bukankah begitu? Bukankah orang menyesal itu merasa sakit?”
“Benar Pak.”
“Kalau begitu sekarang lupakanlah. Buktinya aku masih hidup, dan berarti Allah masih memberikan kesempatan bagi kamu untuk meminta maaf, dan aku sudah memaafkannya.”
Raharjo mengulurkan selembar tissue, Barno mengusap wajahnya dengan tissue itu. Tangis itu sudah mereda, ketika melihat senyuman sang majikan yang terlihat tulus. Tapi kata-kata ‘saya menyesal’ itu terus terucap dari bibirnya.
“Barno, sekarang bagaimana keadaanmu? Mana yang terasa sakit?”
“Sudah lebih baik Pak. Sudah doyan makan, dan perut rasanya lega, sebelumnya seperti terasa sesak, kadang mual.”
“Syukurlah kalau lebih baik. Berarti tidak lama lagi kamu akan sembuh.”
“Aamiin. Terima kasih atas perhatian pak Rangga, yang memberikan saya kamar yang lebih nyaman.”
“Kewajiban manusia adalah menolong sesama. Aku, tidak ingin kamu terlalu menderita, biarpun kamu telah melakukan kesalahan yang fatal. Beruntung Allah masih melindungi bapak kita, dan kemudian beliau bisa kembali bersama kita,” kata pak Rangga lembut.
Air mata Barno kembali menetes.
“Saya bersyukur Bapak selamat dan sehat.”
“Tapi setelah sembuh, kamu harus kembali ke rumah tahanan, menunggu sidang pengadilan yang akan segera digelar. Benarkah kamu mau bersaksi atas semua yang telah terjadi? Karena sejauh ini Baskoro dan Rusmi menyangkal melakukan kejahatan itu.
“Saya akan bersaksi, mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.”
“Aku akan mencarikan pengacara terbaik untuk kamu.”
“Terima kasih Pak.”
***
Hari itu Nilam pulang agak pagi. Ia ingin langsung pergi ke jalan Mawar yang nomornya entah dia tidak tahu, tapi Nilam akan bertanya-tanya. Nilam sudah sampai di jalan itu, dan menyelusuri sepanjang jalan sambil melihat barangkali ada rumah kontrakan, dimana kakaknya tinggal. Agak sulit, karena tidak tahu nomor dan ancar-ancarnya. Nilam mengabaikan pesan ibu Suri yang akan menemani mencarinya, karena dia pulang lebih awal, dan warung sang ibu pastinya belum saatnya tutup.
Tiba-tiba ketika ia ingin bertanya kepada seorang penjual rokok yang mangkal diujung jalan kecil, ia melihat sebuah becak keluar dari dalam gang di depannya. Dan dengan mata terbelalak ia melihat Hasti berada di dalam becak itu. Kapalanya bersandar ke samping, matanya terpejam. Kelihatan sekali dia kesakitan. Nilam berteriak.
“Mbak Hasti !”
Mata Hasti terbuka sebentar, tapi kemudian dengan lemah dia memerintahkan kepada pengemudi becak agar memacu becaknya.
“Mbak Hastiiii!”
Nilam mengejarnya sambil berlari. Tapi mana mungkin dia bisa mengejar becak yang dipacu kencang. Nilam menoleh ke kiri dan ke kanan, barangkali ada becak yang bisa ditumpangi untuk mengejar kakaknya. Tapi tak satupun becak mangkal di sekitar tempat itu.
Nilam kebingungan, lalu dia memanggil taksi. Tapi taksi itu datang agak lama.
Nilam membanting-banting kakinya. Ia bingung karena tak tahu Hasti akan pergi ke mana. Tapi kemudian dia teringat, tadi wajah Hasti tampak pucat dan seperti menahan sakit, berarti tujuannya adalah rumah sakit.
“Aduuh, kenapa taksinya lama sekali sih?”
Nilam berjalan ke sana kemari, kesal kepada tukang taksi. Atau barangkali karena dia ingin segera menyusul kakaknya, sehingga kedatangan si taksi terasa sangat lama. Ia kemudian menelpon ibunya. Dia minta sang ibu menyusulnya ke rumah sakit, setelah mengatakan sekilas tentang ketika dirinya melihat Hasti yang naik becak dalam kondisi pucat.
Begitu taksi datang. Nilam langsung memerintahkannya menuju ke rumah sakit.
Nilam gelisah di sepanjang perjalanan. Ketika ia turun dari taksi di halaman rumah sakit, ia melihat Hasti sudah dibawa masuk dengan brankar. Nilam mengejarnya. Miris rasanya melihat darah berceceran di sekitar itu.
“Mbak Hasti … mbak Hasti …”
“Mbak, tolong minggir dulu, ibunya ini mau melahirkan, sudah mengeluarkan banyak darah.”
Nilam berhenti mengejar, tapi masih mengikutinya pelan. Brankar itu langsung menuju kamar bersalin.
Nilam duduk menunggu. Beribu pertanyaan kembali mengusik benaknya. Siapa suami kakaknya? Kemarin bu Suri mengatakan bahwa Hasti ditinggalkan suaminya yang berselingkuh. Kapan kakaknya menikah? Aduh, kepala Nilam terasa pening. Ia segera menelpon ibunya, bahwa dia menunggu di depan kamar bersalin.
Tiba-tiba Suri datang dengan tergesa-gesa.
“Nilam, ada apa? Kamu menemukan kakak kamu? Kenapa kamu tidak memberitahu ibu kalau kamu sedang mencarinya?”
“Warung ibu belum tutup, jadi Nilam berangkat sendiri.”
Nilam segera menceritakan awal dia melihat Hasti yang sedang naik becak, lalu dia menyusulnya dengan taksi. Ia tahu kalau Hasti ke rumah sakit, karena dia melihat Hasti seperti orang kesakitan.
Agak lama mereka duduk menunggu, sampai kemudian terdengar suara tangisan bayi. Nilam berdiri, tapi pintu ruang bersalin itu belum terbuka.
“Nilam, di sini dulu. Duduklah,” kata Suri.
Satu jam kira-kira Nilam menunggu dengan gelisah, lalu ia melihat perawat membawa bayi, Nilam dan Suri memburunya.
“Ini anak bu Hasti?”
“Oh, Mbak saudaranya? Dia bilang ketika datang, katanya dia sendirian.”
“Saya adiknya, dan ini … ibunya,” kata Nilam sekenanya, sambil melongok ke arah sang bayi. Suri memandangnya, dan dadanya berdebar kencang. Ia melihat bayangan Baskoro pada bayi itu.
***
Besok lagi ya.
🌹❤️🌷🌹❤️🌷🌹❤️🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah BeUI_44 sudah tayang... Makin seru...
Barno siap jadi saksi dlm persidangan,
Hasti melahirkan, Nilam dan Suri ada juga di Rumah Sakit....
Matur nuwun bu Tien.
Salam sehat tetap semangat menghibur kita semua......
❤️🌹🌷❤️🌹🌷❤️🌹🌷
Sami2 mas Kakek
DeleteWah juara nih
Trmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief. Besok ikut ke Solo?
DeleteInsyaallah Bun, mudah mudahan tidak ada halangan.
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien 🙏
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteBunga Untuk Ibuku 44 sudah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda tetap Semangat, selalu Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
Aamiin
Mantab.. pak Raharjo msh mempunyai budi pekerti yang luhur serta Dermawan...
Selamat malam Bunda Tien, semoga Allah selalu memberi kebahagiaan dan berkah yang melimpah kagem Bunda. Aamiin
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Munthoni
alhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
Sami2 ibu Nanik
DeleteTerima kasih, bu Tien cantik... semoga sehat terus dan penuh semangat
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih jeng Mita
🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
BeUI_44 sdh hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien &
keluarga sehat selalu
dan bahagia. Aamiin.
Salam hangat & aduhai.
🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Sari
Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~44 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Djodhi
Matur nuwun bunda 🙏😍
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Bunga untuk ibuku 44 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Wedeye
Alhamdulillah.... terimakasih Bunda, semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Tutus
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat aamiin
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Salamah
Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, sehat2 sllu bwt bunda
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Wiwik
Alhamdulillah .... maturnuwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Endang
DeleteAlhamdulillah, matur nuwun Bu Tien. Salam sehat selalu dari Yk Bu...
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSalam hangat dari Solo
Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat . Maturnuwun sanget🌹🌹🌹🙏 kisah yang mengharukan
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Herry
Terima kasih Mbu tien... perjalanan masih berlanjut, semua hayalan nya kandas dg kehebatan mbu Tien.... kereen..
ReplyDeleteSehat sllu bersma keluarga trcnta
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Zimi
Alhamdulillah...
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien... kelihatannya dah mendekati tamat ya ..🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteHehee...
Hasti memetik buah yg ditanam.
ReplyDeleteGimana perasaan ibu Suri?. Aduh kasihan dia.
Trima kasih ibu Tien episode 44 sdh diudara. Saya tunggu episode yg selanjutnya dg hati degdeg an, tapi senang.
Salam sehat selalu
Sami2 ibu Rosie
DeleteSalam sehat juga
Matur nuwun bu Tien. Bunga untuk ibuku 44 sudah hadir. Semakin seru karena pak Raharjo sudah kembali ke kantor, Barno akan menjadi saksi sehingga Rusmi dan Baskoro bisa dihukum sesuai perbuatannya. Akhirnya judul bunga untuk ibuku mulai terjawab siapa yang dimaksud dengan ibuku....Salam sehat selalu bu Tien, semangatterus untuk menciptakan karya yang menarik
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Noor
Alhamdulillah... mantaff berlanjut terus sampai satu persatu tokoh diceritakan.... matur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteSami2 ibu Ratna
DeleteAlhamdulillaah... Hah bakal ketauan anak Hasti siapa ayahnya... Apakah suri mau menerima??? Akhh bunda yg punya cerita, salam sehat bunda
ReplyDeleteSalam sehat dan aduhai, ibu Engkas
ReplyDeleteAlhamdulillah tayang gasik...sehat selalu bunda Tien
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 Gagida family
Lah, Hasti kan ngontrak di jalan Nangka, kok Nilam nyarinya di jalan Mawar? Mestinya ya jauh jaraknya, kan beda kelompok nama buah dan bunga? Hehe...saya jadi ingat penamaan jalan di kota Malang dan Madiun. Solo sama nhgak ya?🤔
ReplyDeleteBtw, terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏😀
Terima kasih ibu Nana
ReplyDeleteSuri bilang jalan Mawar, agak lupa.
DeleteAlhamdulillah , maturnuwun bu Tien semoga sehat walafiat
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Endah
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien . .
ReplyDeleteSemoga selalu sehat wal'afiat dan bahagia . .
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Erni
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteTerimakasih... Bu Tien, Sehat2 selaluv
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam sehat dan selalu bahagia.
Aduhai
Sami2 ibu Sul
DeleteSalam sehat juga
Iya kan jadi terguncang begitu lihat penampakan wajah bayi Hasti.
ReplyDeleteUntung kemaren pak Raharjo suruh Nilam cari tempat tinggal yang baik buat Hasti.
Lumayan tidak seatap sama Bu Suri, Nilam juga pasti ingin juga bermain dengan keponakannya.
Gimana Sur, pura pura nggak ngerti aja ya, biar mereka saja yang cari tau, nah Nilam lagi yang tahu duluan, kalau Hasti cerita dari mana bibit itu berasal.
Iya tuh kan maen dokter dokteran.
Dulu kan Suri dapatnya Baskoro karena mertuanya yang suka Suri, pandai memasak;
kan Suri keibuan, rasa sayang dan rasa ingin melindungi bayi itu ada. Jadi nenek?
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Bunga untuk ibuku yang ke empat puluh empat sudah tayang
Sehat sehat selalu ya Bu
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Nanang
Tak enteni ket mau
Wau..
DeleteTuh men temen; kaum crigizer.. dinanti crigiz(koment) kalian semua..
hé hé hé hé
🙏
Makasih bu Tien, salam sehat dan aduhai selalu.
ReplyDeleteSami2 ibu Sul
DeleteBagaimanakah kondisi Hesti setelah melahirkan? Selamatkah? jika tidak..akan babynya akan dirawat oleh ibu Suri ?
ReplyDeleteSabar menanti esok...😍
Matur nuwun bunda Tien..🙏
Sehat selalu kagem bunda Tien..
Aamiin Ya Robbal Alamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Padmasari
Sami2 ibu Nanik
ReplyDeleteBeruntung Nilam, mencari alamat di jalan Mawar, tahu tahu yang dari jalan Nangka meluncur dan ketemu di jalan. Walau ngawur ke rumah sakit, akhirnya ketemu juga. Semoga Hasti juga sehat seperti bayinya.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Pak Latief oke deh
ReplyDeleteAlhamdulillah BUI 44 dah tayang makasih Bunda Tien ,semoga tetap sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Allahumma Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Isti
Akhirnya ketahuan siapa bapak dari anaknya Hasti, meski masih bayi sudah bisa ditebak wajahnya mirip Baskoro. Terimakasih bunda, salam sehat, semangat dan aduhai selalu.
ReplyDeleteSami2 ibu Komariah
DeleteSalam sehat dan aduhai deh
Waduh,,,,bgm ini ,bikin Bu Suri bingung,,antara benci tp kasihan dg Hasti,,,,
ReplyDeleteAlhamdulillah,matur nuwun bu Tien, tambah sehat wal'afiat ya ,,,,🤗🥰
Salam Aduhaiiii
Sami2 ibu Ika
DeleteSalam aduhai deh
Kisah luar biasa...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 KP Lover
DeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien semoga sehat selalu... Salam ADUHAI
ReplyDeleteAAMIIN YA ROBBAL ALAMIIN
DeleteSalam aduhai ibu Umi
Sedikit redup
ReplyDelete