Wednesday, January 17, 2024

BUNGA UNTUK IBU 44

 BUNGA UNTUK IBUKU  44

(Tien Kumalasari)

 

Suri heran melihat sikap ketiga tamunya ketika mendengar nama Hasti disebutnya. Ada apa dengan wanita itu? Raharjo bahkan menampakkan wajah masam, tampak tak senang.

“Nilam, kamu kenal dengan wanita itu?”

“Kalau benar dia bernama Hasti, sedang hamil, kemungkinan besar kami mengenalnya. Dia kakak kandung aku.”

Suri terkejut.

“Kamu pernah menceritakan bahwa kamu punya kakak kandung, jadi dia? Pantas saja ketika dia melihat foto kamu yang ibu pasang di ruang tengah, dia terus memandanginya, tapi kenapa ya, dia tak mau mengatakan bahwa kamu adalah adiknya?”

“Ketika mengantarkan bapak ke rumah sakit, Nilam melihatnya. Tapi ketika Nilam memanggil namanya, dia lari menjauh, lalu menghilang entah ke mana. Tampaknya dia tak mau bertemu Nilam,” sesal Nilam.

“Wanita itu sepertinya tidak sehat. Badannya kurus, wajahnya pucat. Padahal sebenarnya dia cantik. Itu sebabnya ibu kasihan dan mau menerimanya bekerja di sini, katanya dia hanya butuh makan. Alangkah susahnya kalau seseorang tidak bisa makan, apalagi dia sedang mengandung. Kalau ibunya tidak sehat, bayi yang dikandungnya juga pasti tidak sehat.”

“Dia mengatakan di mana rumahnya?”

“Mengatakan sih, di mana ya, ibu malah mengatakan kalau rumahnya jauh dari sini. Dasar orang tua, begitu saja lupa. Eh … jalan Mawar atau apa … gitu. Tapi persisnya di mana, ibu kok ya tidak menanyakannya. Bukankah itu di daerah Manahan … atau mana ya. Kurang paham ibu.”

“Nilam, apa kamu ingin mencari kakakmu?” tanya Raharjo tiba-tiba.

“Maaf Pak, bagaimanapun, dia kakak Nilam. Kelihatannya memang dia tidak sehat. Barangkali hidupnya menderita, dan tampaknya tidak punya suami. Apakah Bapak tidak suka kalau Nilam mencarinya?” tanya Nilam yang sebenarnya tahu, bahwa ayah tirinya tidak suka pada kakaknya karena kelakuannya.

“Tidak, Bapak bukannya suka atau tidak suka, tapi menolong orang itu tindakan mulia. Jadi bapak mengijinkan kamu menemukannya. Lihatlah bagaimana keadaannya. Kalau perlu pertolongan, tolonglah, tapi maaf, bapak tidak mengijinkan dia kembali ke rumah. Carikan rumah yang baik untuk dia, bapak akan membantu,” kata Raharjo yang tidak keberatan untuk menolong, tapi tak ingin serumah lagi dengannya. Dia sudah mendengar dari bibik, bagaimana kelakuan istri dan anak tirinya tersebut.

“Ya Pak, mohon maafkanlah dia, besok sepulang sekolah Nilam akan mencoba mencarinya,” kata Nilam sedih.

“Jangan mencari sendiri, biar kakakmu Wijan  mengantarkannya.”

“Tidak usah Pak, mas Wijan kan juga harus mengurus kuliahnya.”

“Nanti biar sama ibu saja, sekalian ibu belanja,” kata Suri.

“Nah, biar Nilam sama ibu Suri saja," sahut Nilam.

“Iya Pak, Nilam sudah seperti anak saya. Dia baik dan sangat pintar. Karena dia pintar, gurunya sendiri yang minta agar dia mencoba mengikuti percepatan pelajaran, sehingga dia bisa mengikuti ujian akhir bersama kakak kelasnya, dan lulus dengan nilai bagus. Nilam sangat membanggakan. Dia benar-benar membantu saya karena saya jadi lebih irit mengeluarkan biaya sekolahnya,” kata Suri sambil mengelus kepala anak angkatnya.

Raharjo mengangguk, ia belum menanyakan tentang perjalanan pendidikan Nilam sehingga sudah begitu cepat masuk SMA, dan Suri sudah mengatakannya.

“Apa kamu juga begitu, Wijan?” tanya Raharjo kepada Wijan.

“Iya Pak, Wijan kan belum bertemu Bapak, jadi Wijan harus bisa segera menyelesaikan pelajaran dengan memohon bisa melakukan percepatan dalam pelajaran, dan Wijan juga berhasil.”

“Anak-anak bapak memang sangat membanggakan. Baiklah, lanjutkan pendidikan kalian, karena kelak kalian akan menjadi penerus bagi usaha bapak. Baik Wijan, maupun Nilam.”

“Tapi ijinkan Nilam tetap bersama saya, ya Pak,” kata Suri memelas, khawatir Raharjo tak mengijinkan Nilam bersamanya.

“Tentu saja Bu, Nilam sendiri juga bermaksud begitu. Tidak apa-apa, saya senang, Nilam mendapatkan ibu yang sangat baik.”

“Terima kasih Pak,” kata Suri sambil berlinang air mata bahagia.

“Tapi Nilam akan sering mengunjungi Bapak kok. Oh ya, aku janji sama bibik, akan memasak ayam panggang. Tapi karena bapak langsung mengajak kemari, jadinya batal deh. Besok kalau libur saja ya Bik?”

“Iya Mbak Nilam, tidak apa-apa,” jawab bibik yang sedari tadi diam saja.

Karena sudah lama berbincang, Raharjo kemudian mengajak Wijan dan bibik untuk pulang. Tapi sebelum pulang, Raharjo kembali mengutarakan keinginannya membantu kepada Suri.

“Bu Suri jangan lupa, saya akan segera menyuruh orang untuk mengurus warung baru untuk bu Suri nanti, dan harus dicarikan tempat yang lebih strategis.”

“Tapi Pak …” Suri ingin tetap menolak.

“Ingat bu Suri, dengan warung yang nantinya menjadi besar, bu Suri bisa mengurangi pengangguran. Itu perbuatan mulia lhoh,” kata Raharjo sambil masuk ke dalam mobil.

Suri mengangguk sungkan, tapi Nilam menepuk tangan ibu angkatnya untuk memberinya semangat.

***

 Beberapa hari kemudian, Wijan sudah kembali ke Jogya untuk mengurus kuliahnya, Raharjo juga sudah datang ke kantor untuk melihat keadaan perusahaannya selama ditinggalkannya.

Pak Rangga sedang menghadap di ruangannya, untuk melaporkan semuanya. Tapi sebelumnya dia juga mengatakan akan mengirimkan tambahan bukti di persidangan Rusmi dan Baskoro, berupa dompet yang ditemukan simbok dan sepatu yang ditemukan di pinggir kali.

“Barang-barang itu sudah aku siapkan. Semoga semuanya berjalan lancar.”

“Karena Barno bersedia menjadi saksi di persidangan nanti yang mudah-mudahan bisa meringankan hukumannya. Kasihan, dia sangat menderita karena penyesalan. Sakitnya agak berat, tapi saya sudah minta agar diberikan perawatan yang baik, semoga dokter berhasil menyembuhkannya, dibantu dengan penyemangat dari orang-orang disekitarnya.”

“Syukurlah. Semoga bisa segera pulih. Kalau senggang aku juga ingin membezoeknya.”

“Nanti saya akan mengantarkan Bapak,” kata pak Rangga.

Pak Rangga kemudian melaporkan semua perkembangan perusahaan selama ditinggalkan Raharjo. Raharjo tampak puas, karena tidak ada yang mengecewakan. Beruntung sebelum kecelakaan itu, Raharjo sudah membuat surat kepemilikan perusahaannya yang diatas namakan Wijan, sehingga kekacauan ketika dulu Rusmi ingin menguasai perusahaan tidak terjadi.

Lalu Raharjo mengutarakan keinginannya untuk memperbaiki makam simbok, juga merenovasi gubugnya.

“Saya akan memerintahkan staf saya untuk mengurusnya.”

“Besok, sambil melihat kantor cabang, saya akan menunjukkan tempatnya, sekaligus membawa ahli bangunan untuk melihat keadaannya. Tampaknya sebaiknya lebih dulu memperbaiki makamnya, agar kalau musim hujan, tanah yang melingkupinya tidak longsor sehingga tidak terlihat ujudnya.”

“Tapi bukankah gubug itu tidak ada lagi pemiliknya?”

“Akan kita lihat, apakah ada kerabat simbok yang mau menempatinya, sekaligus merawat kebunnya. Kalau tidak ada, kita serahkan saja kepada pemerintah. Mungkin bisa dibangun mushala atau apa, tampaknya itu penting, karena kelihatannya belum ada tempat ibadah di kampung itu. Saya minta pak Rangga untuk memerintahkan seseorang untuk mengurusnya.”

“Baik Pak, segera akan saya urus semuanya. Sekarang saya akan mengambil barang-barang yang akan dijadikan bukti, dan menyerahkannya kepada yang berwenang.”

Raharjo mengangguk setuju.

***

Hari itu pak Raharjo mengumpulkan para karyawan, untuk bersama-sama mengucapkan puji syukur atas pertolonganNya, sehingga dia bisa selamat dari maut, dan keadaannya sekarang sehat tak kurang suatu apa.

Begitu pertemuan itu selesai, Raharjo mengajak pak Rangga untuk melihat keadaan Barno yang masih ada di rumah sakit.

Atas permintaan pak Rangga, Barno memang ditempatkan di kamar yang lebih baik. Walaupun bukan kamar VIP tapi kelas satu adalah kamar yang nyaman. Kecuali itu Barno juga kelihatan lebih baik. Wajahnya tidak sepucat dulu ketika pak Rangga membezoeknya. Masih ada dua polisi menjaga di luar ruangan Barno, karena Barno masih berstatus tahanan.

Begitu melihat Raharjo datang, Barno langsung bangkit dari tempat tidurnya, lalu menangis mengguguk sambil memegangi tangan Raharjo yang menyalaminya.

“Saya pantas mati Pak … dosa saya pada Bapak sangat besar, saya pantas mati, saya pantas mati …”

“Sssst, tidak baik menginginkan kematian. Karena mati dan hidup itu bukan kita yang menentukannya.”

“Dosa saya teramat besar pada Bapak. Saya telah kerasukan setan waktu itu, ampun Bapak, ampuni saya. Karena uang, tapi saya menyesalinya. Saya tak pernah menyentuh uang itu. Istri saya sudah menyerahkannya kepada pak Rangga, masih utuh dalam bungkusan seperti ketika mereka memberikannya. Mereka, orang-orang jahat yang ingin menguasai perusahaan milik Bapak. Maafkan Bapak, saya sungguh menyesal.”

“Barno, aku sudah memaafkan kamu. Tenanglah.”

“Saya pantas dihukum, saya tidak pantas didekati Bapak, saya hina, kotor, jahat, saya seperti iblis karena melakukannya. Saya menyesalinya sepanjang hidup saya. Saya pantas dihukum.”

“Tenanglah Barno. Sudah, sekarang kamu harus sehat. Kamu harus tahu, penyesalan itu adalah hukuman, karena rasa sesal itu menyebabkan sakit. Bukankah begitu? Bukankah orang menyesal itu merasa sakit?”

“Benar Pak.”

“Kalau begitu sekarang lupakanlah. Buktinya aku masih hidup, dan berarti Allah masih memberikan kesempatan bagi kamu untuk meminta maaf, dan aku sudah memaafkannya.”

Raharjo mengulurkan selembar tissue, Barno mengusap wajahnya dengan tissue itu. Tangis itu sudah mereda, ketika melihat senyuman sang majikan yang terlihat tulus. Tapi kata-kata ‘saya menyesal’ itu terus terucap dari bibirnya.

“Barno, sekarang bagaimana keadaanmu? Mana yang terasa sakit?”

“Sudah lebih baik Pak. Sudah doyan makan, dan perut rasanya lega, sebelumnya seperti terasa sesak, kadang mual.”

“Syukurlah kalau lebih baik. Berarti tidak lama lagi kamu akan sembuh.”

“Aamiin. Terima kasih atas perhatian pak Rangga, yang memberikan saya kamar yang lebih nyaman.”

“Kewajiban manusia adalah menolong sesama. Aku, tidak ingin kamu terlalu menderita, biarpun kamu telah melakukan kesalahan yang fatal. Beruntung Allah masih melindungi bapak kita, dan kemudian beliau bisa kembali bersama kita,” kata pak Rangga lembut.

Air mata Barno kembali menetes.

“Saya bersyukur Bapak selamat dan sehat.”

“Tapi setelah sembuh, kamu harus kembali ke rumah tahanan, menunggu sidang pengadilan yang akan segera digelar. Benarkah kamu mau bersaksi atas semua yang telah terjadi? Karena sejauh ini Baskoro dan Rusmi menyangkal melakukan kejahatan itu.

“Saya akan bersaksi, mengatakan semuanya dengan sejujur-jujurnya.”

“Aku akan mencarikan pengacara terbaik untuk kamu.”

“Terima kasih Pak.”

***

Hari itu Nilam pulang agak pagi. Ia ingin langsung pergi ke jalan Mawar yang nomornya entah dia tidak tahu, tapi Nilam akan bertanya-tanya. Nilam sudah sampai di jalan itu, dan menyelusuri sepanjang jalan sambil melihat barangkali ada rumah kontrakan, dimana kakaknya tinggal. Agak sulit, karena tidak tahu nomor dan ancar-ancarnya. Nilam mengabaikan pesan ibu Suri yang akan menemani mencarinya, karena dia pulang lebih awal, dan warung sang ibu pastinya belum saatnya tutup.

Tiba-tiba ketika ia ingin bertanya kepada seorang penjual rokok yang mangkal diujung jalan kecil, ia melihat sebuah becak keluar dari dalam gang di depannya. Dan dengan mata terbelalak ia melihat Hasti berada di dalam becak itu. Kapalanya bersandar ke samping, matanya terpejam. Kelihatan sekali dia kesakitan. Nilam berteriak.

“Mbak Hasti !”

Mata Hasti terbuka sebentar, tapi kemudian dengan lemah dia memerintahkan kepada pengemudi becak agar memacu becaknya.

“Mbak Hastiiii!”

Nilam mengejarnya sambil berlari. Tapi mana mungkin dia bisa mengejar becak yang dipacu kencang. Nilam menoleh ke kiri dan ke kanan, barangkali ada becak yang bisa ditumpangi untuk mengejar kakaknya. Tapi tak satupun becak mangkal di sekitar tempat itu.

Nilam kebingungan, lalu dia memanggil taksi. Tapi taksi itu datang agak lama.

Nilam membanting-banting kakinya. Ia bingung karena tak tahu Hasti akan pergi ke mana. Tapi kemudian dia teringat, tadi wajah Hasti tampak pucat dan seperti menahan sakit, berarti tujuannya adalah rumah sakit.

“Aduuh, kenapa taksinya lama sekali sih?”

Nilam berjalan ke sana kemari, kesal kepada tukang taksi. Atau barangkali karena dia ingin segera menyusul kakaknya, sehingga kedatangan si taksi terasa sangat lama. Ia kemudian menelpon ibunya. Dia minta sang ibu menyusulnya ke rumah sakit, setelah mengatakan sekilas tentang ketika dirinya melihat  Hasti yang naik becak dalam kondisi pucat.

Begitu taksi datang. Nilam langsung memerintahkannya menuju ke rumah sakit.

Nilam gelisah di sepanjang perjalanan. Ketika ia turun dari taksi di halaman rumah sakit, ia melihat Hasti sudah dibawa masuk dengan brankar. Nilam mengejarnya. Miris rasanya melihat darah berceceran di sekitar itu.

“Mbak Hasti … mbak Hasti …”

“Mbak, tolong minggir dulu, ibunya ini mau melahirkan, sudah mengeluarkan banyak darah.”

Nilam berhenti mengejar, tapi masih mengikutinya pelan. Brankar itu langsung menuju kamar bersalin.

Nilam duduk menunggu. Beribu pertanyaan kembali mengusik benaknya. Siapa suami kakaknya? Kemarin bu Suri mengatakan bahwa Hasti ditinggalkan suaminya yang berselingkuh. Kapan kakaknya menikah? Aduh, kepala Nilam terasa pening. Ia segera menelpon ibunya, bahwa dia menunggu di depan kamar bersalin.

Tiba-tiba Suri datang dengan tergesa-gesa.

“Nilam, ada apa? Kamu menemukan kakak kamu? Kenapa kamu tidak memberitahu ibu kalau kamu sedang mencarinya?”

“Warung ibu belum tutup, jadi Nilam berangkat sendiri.”

Nilam segera menceritakan awal dia melihat Hasti yang sedang naik becak, lalu dia menyusulnya dengan taksi. Ia tahu kalau Hasti ke rumah sakit, karena dia melihat Hasti seperti orang kesakitan.

Agak lama mereka duduk menunggu, sampai kemudian terdengar suara tangisan bayi. Nilam berdiri, tapi pintu ruang bersalin itu belum terbuka.

“Nilam, di sini dulu. Duduklah,” kata Suri.

Satu jam kira-kira Nilam menunggu dengan gelisah, lalu ia melihat perawat membawa bayi, Nilam dan Suri memburunya.

“Ini anak bu Hasti?”

“Oh, Mbak saudaranya? Dia bilang ketika datang, katanya dia sendirian.”

“Saya adiknya, dan ini … ibunya,” kata Nilam sekenanya, sambil melongok ke arah sang bayi. Suri memandangnya, dan dadanya berdebar kencang. Ia melihat bayangan Baskoro pada bayi itu.

***

Besok lagi ya.

 

82 comments:

  1. 🌹❤️🌷🌹❤️🌷🌹❤️🌷

    Alhamdulillah BeUI_44 sudah tayang... Makin seru...
    Barno siap jadi saksi dlm persidangan,
    Hasti melahirkan, Nilam dan Suri ada juga di Rumah Sakit....

    Matur nuwun bu Tien.
    Salam sehat tetap semangat menghibur kita semua......

    ❤️🌹🌷❤️🌹🌷❤️🌹🌷

    ReplyDelete
  2. Matur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sami2 pak Latief. Besok ikut ke Solo?

      Delete
    2. Insyaallah Bun, mudah mudahan tidak ada halangan.

      Delete
  3. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah.
    Bunga Untuk Ibuku 44 sudah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda tetap Semangat, selalu Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
    Aamiin

    Mantab.. pak Raharjo msh mempunyai budi pekerti yang luhur serta Dermawan...

    Selamat malam Bunda Tien, semoga Allah selalu memberi kebahagiaan dan berkah yang melimpah kagem Bunda. Aamiin

    ReplyDelete
  5. Terima kasih, bu Tien cantik... semoga sehat terus dan penuh semangat

    ReplyDelete
  6. 🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃
    Alhamdulillah 🙏🦋
    BeUI_44 sdh hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien &
    keluarga sehat selalu
    dan bahagia. Aamiin.
    Salam hangat & aduhai.
    🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~44 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
    ‌Aamiin yra..🤲

    ReplyDelete

  8. Alhamdullilah
    Bunga untuk ibuku 44 telah hadir
    Matur nuwun bu Tien
    Semoga sehat bahagia bersama keluarga
    Aamiin...

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.... terimakasih Bunda, semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat aamiin

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah.... matur nuwun bunda Tien, sehat2 sllu bwt bunda

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah .... maturnuwun bu Tien

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, matur nuwun Bu Tien. Salam sehat selalu dari Yk Bu...

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.semoga Bunda selalu sehat wal afiat . Maturnuwun sanget🌹🌹🌹🙏 kisah yang mengharukan

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Mbu tien... perjalanan masih berlanjut, semua hayalan nya kandas dg kehebatan mbu Tien.... kereen..

    Sehat sllu bersma keluarga trcnta

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah...
    Syukron nggih Mbak Tien... kelihatannya dah mendekati tamat ya ..🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  17. Hasti memetik buah yg ditanam.
    Gimana perasaan ibu Suri?. Aduh kasihan dia.
    Trima kasih ibu Tien episode 44 sdh diudara. Saya tunggu episode yg selanjutnya dg hati degdeg an, tapi senang.
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun bu Tien. Bunga untuk ibuku 44 sudah hadir. Semakin seru karena pak Raharjo sudah kembali ke kantor, Barno akan menjadi saksi sehingga Rusmi dan Baskoro bisa dihukum sesuai perbuatannya. Akhirnya judul bunga untuk ibuku mulai terjawab siapa yang dimaksud dengan ibuku....Salam sehat selalu bu Tien, semangatterus untuk menciptakan karya yang menarik

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah... mantaff berlanjut terus sampai satu persatu tokoh diceritakan.... matur nuwun bu Tien.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillaah... Hah bakal ketauan anak Hasti siapa ayahnya... Apakah suri mau menerima??? Akhh bunda yg punya cerita, salam sehat bunda

    ReplyDelete
  21. Salam sehat dan aduhai, ibu Engkas

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah tayang gasik...sehat selalu bunda Tien

    ReplyDelete
  23. Lah, Hasti kan ngontrak di jalan Nangka, kok Nilam nyarinya di jalan Mawar? Mestinya ya jauh jaraknya, kan beda kelompok nama buah dan bunga? Hehe...saya jadi ingat penamaan jalan di kota Malang dan Madiun. Solo sama nhgak ya?🤔

    Btw, terima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏😀

    ReplyDelete
  24. Alhamdulillah , maturnuwun bu Tien semoga sehat walafiat

    ReplyDelete
  25. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien . .
    Semoga selalu sehat wal'afiat dan bahagia . .

    ReplyDelete
  26. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Sami2 ibu Erni

    ReplyDelete
  27. Terimakasih... Bu Tien, Sehat2 selaluv

    ReplyDelete
  28. Makasih mba Tien.
    Salam sehat dan selalu bahagia.
    Aduhai

    ReplyDelete
  29. Iya kan jadi terguncang begitu lihat penampakan wajah bayi Hasti.
    Untung kemaren pak Raharjo suruh Nilam cari tempat tinggal yang baik buat Hasti.
    Lumayan tidak seatap sama Bu Suri, Nilam juga pasti ingin juga bermain dengan keponakannya.
    Gimana Sur, pura pura nggak ngerti aja ya, biar mereka saja yang cari tau, nah Nilam lagi yang tahu duluan, kalau Hasti cerita dari mana bibit itu berasal.
    Iya tuh kan maen dokter dokteran.
    Dulu kan Suri dapatnya Baskoro karena mertuanya yang suka Suri, pandai memasak;
    kan Suri keibuan, rasa sayang dan rasa ingin melindungi bayi itu ada. Jadi nenek?
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Bunga untuk ibuku yang ke empat puluh empat sudah tayang
    Sehat sehat selalu ya Bu
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin Ya Robbal Alamiin
      Sami2 pak Nanang
      Tak enteni ket mau

      Delete
    2. Wau..
      Tuh men temen; kaum crigizer.. dinanti crigiz(koment) kalian semua..
      hé hé hé hé
      🙏

      Delete
  30. Makasih bu Tien, salam sehat dan aduhai selalu.

    ReplyDelete
  31. Bagaimanakah kondisi Hesti setelah melahirkan? Selamatkah? jika tidak..akan babynya akan dirawat oleh ibu Suri ?
    Sabar menanti esok...😍

    Matur nuwun bunda Tien..🙏
    Sehat selalu kagem bunda Tien..

    ReplyDelete
  32. Aamiin Ya Robbal Alamiin
    Sami2 ibu Padmasari

    ReplyDelete
  33. Beruntung Nilam, mencari alamat di jalan Mawar, tahu tahu yang dari jalan Nangka meluncur dan ketemu di jalan. Walau ngawur ke rumah sakit, akhirnya ketemu juga. Semoga Hasti juga sehat seperti bayinya.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  34. Alhamdulillah BUI 44 dah tayang makasih Bunda Tien ,semoga tetap sehat selalu

    ReplyDelete
  35. Akhirnya ketahuan siapa bapak dari anaknya Hasti, meski masih bayi sudah bisa ditebak wajahnya mirip Baskoro. Terimakasih bunda, salam sehat, semangat dan aduhai selalu.

    ReplyDelete
  36. Waduh,,,,bgm ini ,bikin Bu Suri bingung,,antara benci tp kasihan dg Hasti,,,,

    Alhamdulillah,matur nuwun bu Tien, tambah sehat wal'afiat ya ,,,,🤗🥰
    Salam Aduhaiiii

    ReplyDelete
  37. Kisah luar biasa...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  38. Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien semoga sehat selalu... Salam ADUHAI

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 42

CINTAKU JAUH Di PULAU SEBERANG  42 (Tien Kumalasari)   Arum terkejut, sekaligus tersipu. Ia melihat Listyo turun dari mobil dan menghampirin...