BUNGA UNTUK IBUKU 43
(Tien Kumalasari)
Nilam cemberut ketika kakaknya memelototinya. Bukannya berhenti, ia melanjutkan pertanyaannya kepada sang ayah.
“Benarkah Bapak jatuh cinta?”
Raharjo tertawa.
“Mengapa kamu mengira demikian?”
“Bapak mau mampir ke toko bunga, ingin memberikannya kepada seseorang bukan? Dan seseorang itu pasti sangat berarti bagi Bapak. Ya kan? Hayoo, ngaku.”
Raharjo tertawa semakin keras.
“Memang dia itu sangat berarti bagi Bapak.”
“Aduhai …. pasti dia sangat cantik. Nilam senang punya ibu lagi,” kata Nilam seenaknya.
Tak tahan menahan kesal, Wijan mencubit lengan adiknya, membuat Nilam menjerit keras sekali.
“Mas Wijan tuh … sakit, tahu!”
“Kamu bicara ngawur.”
Ada rasa tidak senang ketika Nilam mengatakan punya ibu lagi. Bayangan tentang ibu tiri membuatnya teringat perlakuan ibu tiri yang menindasnya sehingga hidupnya terasa penuh derita.
“Memangnya Bapak nggak boleh ya, jatuh cinta lagi? Kasihan kan, kalau Bapak sendirian,” kata Nilam yang sok menjadi orang dewasa.
Raharjo tertawa menanggapi perkataan Nilam yang seenaknya.
“Bapak sudah tua. Hidup bersama kalian sudah membuat bapak merasa cukup. Tidak ada kekurangannya. Kalau bicara tentang cinta, kalian itulah orang-orang yang bapak cintai.”
“Tuh, dengar,” kata Wijan sambil mengacak rambut adiknya.
“Lalu untuk siapa Bapak membeli bunga? Siapa orang berarti yang akan Bapak bawakan bunga?” Nilam masih terus mendesak.
“Kamu bisa tahu nanti. Ayo kita berangkat.”
“Kita hanya bertiga? Bapak tidak minta tolong pak Supri untuk membawa mobilnya?” tanya Wijan ketika melihat ayahnya tidak sedang menunggu.
“Tidak usah. Ini hari libur, biarlah Supri berlibur, bapak sendiri yang akan membawa mobilnya.”
“Baiklah.”
“Eh, tunggu, bibik juga harus ikut,” kata Raharjo lagi. Nilam segera berlari ke belakang, menyuruh bibik untuk bersiap.
“Sebenarnya bibik mau masak.”
“Tidak usah Bik, bapak minta agar bibik ikut, jadi ikutlah, soal masak, gampang, nanti kalau pulang Nilam bantuin.”
“Memangnya mbak Nilam bisa memasak?”
“Bisa dong, ibu Suri mengajari aku memasak. Aku juga bisa masak ayam panggang sendiri. Nanti aku masak deh, bibik punya ayamnya?”
“Punya dong Mbak, di kulkas ada banyak, bibik tadi habis belanja ke pasar.”
“Ya sudah, itu nanti saja. Bibik dandan yang cantik. Ikut ketempat seseorang yang disayang bapak.”
“Apa?” tanya bibik heran.
“Nanti Bibik akan tahu, cepat bersiap, jangan sampai bapak kelamaan menunggu.” katanya sambil lari ke arah depan.
Bibik hanya tertawa, tapi kata-kata seseorang yang disayang bapak kemudian dipikirkannya. Akan ada lagi ibu tiri di rumah ini?
Nilam memang selalu bikin gara-gara.
***
Mereka mengikuti Raharjo, entah kemana dia akan membawanya. Di sebuah toko bunga, Raharjo berhenti, lalu memilih seikat mawar berwarna warni yang sangat indah. Ketika ia membawanya masuk ke mobil, aroma harum segar memenuhi ruangan.
“Indah sekali. Pasti dia orang yang sangat berarti bagi Bapak,” Nilam masih saja mengoceh tentang orang yang akan mereka kunjungi.
“Bapak kan sudah bilang, memang dia sangat berarti?”
“Pengin segera tahu orangnya. Apakah dia cantik?”
“Cantik sekali.”
“Wouwww, dan Bapak mengatakan bahwa Bapak tidak jatuh cinta sama dia?”
Raharjo tertawa. Beruntung Wijan duduk di depan. Kalau dia ada di dekat Nilam, pasti gadis kecil itu sudah habis dijewer oleh kakak angkatnya.
“Siapa nama gadis itu?”
“Rahasia,” kata Raharjo sambil tersenyum.
Bibik hanya geleng-geleng kepala mendengar Nilam mengoceh. Sungguh sebenarnya bibik sangat merasa kesepian ketika Nilam tak ada di dekatnya. Nilam selalu menyenangkan. Dia baik, berbeda dengan ibu dan kakaknya. Sekarang bibik merasa, bahwa inilah yang dinamakan bahagia. Hidup bersama orang-orang yang saling menyayangi. Tak ada bias-bias kemarahan, kata-kata kasar dan caci maki. Mereka orang-orang yang penuh cinta kasih. Bibik berterima kasih kepada Allah yang telah mengembalikan kebahagiaan mereka yang sesungguhnya. Mengelompokkan orang-orang baik, menyingkirkan perilaku iblis yang berujud manusia.
“Kok kita ke luar kota? Memangnya dia gadis desa, ya Pak?” Nilam mengoceh lagi.
“Memangnya mengapa kalau dia gadis desa?”
“Tidak apa-apa sih.”
“Menjadi orang desa itu bukan hal yang hina. Yang hina adalah pemilik-pemilik jiwa kotor dan tidak terpuji. Ia bisa orang desa, tapi lebih banyak justru orang kota. Jadi jangan menilai orang dengan dari mana dia berasal.”
“Iya Pak.” sekarang Nilam terdiam. Ia sudah sering ayahnya berkata seperti itu, dan dia tak pernah bosan mendengarnya.
“Nilam tidak membedakannya kok. Bibik ini juga orang dari desa, tapi Nilam menyayanginya,” kata Nilam sambil memeluk bibik.
“Itu bagus. Bapak senang mendengarnya.”
Perjalanan itu memakan waktu lama. Hampir tengah hari mereka sampai di suatu tempat, lalu Raharjo menghentikan mobilnya.
Bibik dan Wijan saling pandang, karena mengenali tempat itu dengan baik. Raharjo mengajak mereka menyeberangi jembatan yang terbentang diatas sebuah sungai. Sungai yang tidak begitu besar, tapi kalau musim hujan air bisa meluap sampai ke daratan.
“Kita ke mana Pak? Rumahnya di antara kebun-kebun itu?” tanya Nilam tak sabar.
Raharjo menggandeng tangan Nilam, tanpa menjawab pertanyaannya. Mereka terus melangkah. Untunglah saat itu bukan musim penghujan, sehingga jalan setapak ke arah yang dituju tidak berlumpur.
Untung pula tangan Nilam dipegang erat oleh Raharjo, sehingga dia bisa melangkah dengan lancar.
Lalu mereka melihat sebuah gubug beratapkan rumbai berdinding bambu yang sudah reyot.
“Ya ampun, kasihan banget, siapa yang tinggal di rumah itu?” pekik Nilam tiba-tiba.
Raharjo terus mendekati rumah itu, lalu mengajak mereka duduk di balai-balai bambu yang ada di depan rumah.
“Ini rumah siapa? Mana gadis itu?” Nilam melihat ke sekeliling halaman yang ditumbuhi rumput dan pohon-pohon perdu, yang dia tak tahu pohon apa saja itu.
“Ini rumah Bejo.”
“Bejo?” Nilam berteriak sambil menatap ayahnya.
“Ya, dulu Bejo tinggal di sini.”
“Bejo itu Bapak kan?”
Raharjo mengangguk. Lalu dia membuka pintunya, yang mengeluarkan suara berderit ketika dibuka. Aroma pengap segera tercium, tapi mereka mengikuti masuk.
“Ini kamarnya simbok,” kata Raharjo sambil membuka bilik yang berpintu anyaman bambu juga. Sebuah balai-balai beralaskan tikar tampak di sana, dan sebuah almari, yang lagi-lagi terbuat dari bambu tampak di sudut ruangan.
Raharjo membuka almari itu pelan, dan Wijan melihat air mata di pelupuknya. Tampaknya sebuah ikatan diantara ayahnya dan rumah ini sangat erat, apalagi dengan pemiliknya.
“Berbulan-bulan aku tinggal di sini, sebagai Bejo. Simbok amat mengasihi aku.”
“Mengapa bapak diberi nama Bejo?”
“Bejo adalah anak simbok. Sesungguhnya anak simbok itu sudah meninggal terseret banjir. Ketika Bejo dikuburkan, simbok tidak percaya. Dia selalu menganggap Bejo masih hidup. Keyakinan itu bertambah ketika simbok menemukan aku yang dianggapnya Bejo, anaknya yang dikira hanyut. Matanya yang rabun tidak melihat siapa sebenarnya aku, sementara aku menderita hilang ingatan, jadi aku menurut saja dipanggil Bejo dan merasa bahwa aku anaknya simbok.”
Raharjo masih ingat, ketika simbok dimakamkan, orang-orang kampung mengatakannya begitu. Tapi waktu itu dia tak peduli. Menurutnya dia tetaplah Bejo, karena simbok mengatakannya begitu. Sekarang, ketika kesadarannya pulih, ia bisa mengerti bagaimana kejadiannya, sehingga dia dulu bisa menjadi anak simbok. Kejadian itu tidak bisa dilupakannya, dan Raharjo menganggap bahwa simbok adalah penyelamat hidupnya.
Ketika melihat ke kebun belakang, mereka melihat kebun sayuran yang sangat subur. Ada kacang panjang, ada sawi dan bayam yang siap dipanen.
“Bik, ambillah sayuran itu untuk dibawa pulang,” perintah Raharjo.
Bibik dengan bersemangat memetik sayuran itu, ditempatkan ke dalam tenggok, sebuah tempat dari anyaman bambu yang biasa dipakai Bejo untuk memanen sayuran untuk dijual. Nilam membantunya dengan gembira.
“Dulu, aku dan simbok makan sesuap nasi dari sayuran itu,” kata Raharjo penuh haru. Seperti mimpi rasanya ketika menyadari bahwa dia pernah menjalani kehidupan yang begitu memprihatinkan.
Ketika sudah selesai memetik sayuran, Raharjo mengajak mereka menyusuri jalan dari samping rumah, menuju ke sebuah tanah pekuburan.
Raharjo mendekati sebuah gundukan tanah. Tak ada tulisan apapun di pusara itu, kecuali sebuah tonggak kayu di bagian atas dan bawah gundukan itu. tapi Raharjo yakin itu adalah makam simbok.
Raharjo meletakkan seikat mawar disandarkan pada tonggak kayu, lalu ia berjongkok, mulutnya komat-kamit memanjatkan doa.
“Simbok, Bejo datang untuk menjengukmu. Ciumlah aroma wangi dari bunga yang aku bawa, seperti simbok mencium kasih sayang Bejo semasa simbok masih hidup. Bejo sudah kembali menjadi Raharjo, yang simbok selamatkan dari maut, tapi Raharjo tetap menjadi Bejo bagi simbok, yang simbok sayangi sepenuh hati, yang simbok jaga dan simbok bekali dengan petuah-petuah luhur, yang akan Bejo simpan sebagai tambahan bekal dalam menjalani kehidupan. Mbok, istirahatlah dalam ketenangan, Bejo sayang simbok,” dan setetes air mata Raharjo membasahi tanah basah yang membisu menyaksikan haru yang menyesak diantara yang ada di sana, Wijan, Nilam, bahkan bibik, tak tahan untuk tidak meneteskan air mata.
Mereka baru tahu, simbok adalah orang yang berarti dalam hidupnya, dan bunga itu adalah bukti perhatiannya kepada orang yang telah menyelamatkannya.
***
Ketika pulang, Raharjo langsung pergi mengantarkan Nilam kembali ke rumah Suri, karena begitulah yang diminta Nilam.
“Nilam tidak tega meninggalkan ibu Suri. Dia juga penyelamat dalam hidup Nilam, yang mengasihi Nilam bagai anak kandung sendiri.”
“Iya, Bapak mengerti. Bapak harus mengucapkan terima kasih karena dia telah merawat kamu dengan baik, bahkan menyekolahkan kamu, sehingga pendidikan kamu tidak terhenti.Tapi sebenarnya bapak belum bertanya tentang sekolah kalian. Nilam maupun Wijan. Bagaimana kalian bisa begitu cepat lulus dari sekolah asal kalian, sehingga Wijan sudah mulai masuk kuliah, sedangkan Nilam sudah masuk SMA?"
"Nanti kami akan ceritakan semuanya, kalau Bapak sudah benar-benar beristirahat. Tapi satu yang harus Bapak catat lebih dulu ialah, bahwa putra putri bapak ini memang pintar," kata Nilam sambil bersikap kemayu membuat Wijan kembali ingin menjitak kepalanya.
"Baiklah, setelah ini kalian harus cerita, ya, sekarang kembali ke ibu Suri kamu itu."
“Ibu Suri itu berjuang, berjualan, ia banyak menabung hanya demi menyekolahkan Nilam. Kelak Nilam harus bisa membalasnya dengan seluruh kebaikan yang ada.”
“Apakah warung ibu Suri ada di pinggir jalan besar?”
“Tidak Pak, di dalam kampung. Dan itu rumah yang disewa ibu Suri. Karena dagangan yang semula dijajakan itu laris, lalu ibu membuka warung di rumah. Lumayan laris lho Pak. Ibu pintar memasak. Bukankah kemarin Bapak sudah mencicipi ayam panggang yang dibawa mas Wijan?”
“Itu enak bukan main. Benar, bu Suri pintar memasak. Nanti bapak akan menyuruh orang kantor untuk mencarikan tempat yang bagus dan strategis untuk berjualan, sekaligus bisa untuk tempat tinggal.”
“Untuk ibu Suri?”
“Ya, tentu saja.”
“Horeeee, ibu pasti senang sekali.”
“Dan ini, untuk kamu,” kata Raharjo sambil memberikan sebuah bungkusan ke arah belakang, dimana Nilam duduk.
“Apa nih Pak?”
“Dulu kan bapak berjanji, kalau kamu sudah SMA, akan bapak berikan ponsel.”
“Ya ampuun, ini bagus sekali. Mas Wijan, tolong isikan nomor-nomor kontak yang penting untuk Nilam hubungi,” kata Nilam kepada Wijan yang duduk di depan, di samping sang ayah,
Banyak yang harus dibenahi Raharjo atas beban yang ditanggungnya. Memperbaiki makam simbok, membangun rumah simbok, memberikan tempat bagi bu Suri untuk berjualan, sebelum kemudian dia kembali aktif di kantornya.
***
Malam hari itu Raharjo sudah bertemu Suri dan mengucapkan terima kasih atas apa yang dilakukannya untuk Nilam. Tapi ketika Raharjo mengatakan keinginannya untuk mencarikan tempat yang lebih bagus untuk berjualan, Suri merasa sungkan.
"Jangan Pak, biar saja begini. Ini cukup bagi saya."
"Setiap usaha harus disertai pemikiran untuk memajukan usahanya. Saya mengusulkan tempat yang lebih baik, saya harap Ibu tidak menolaknya."
"Ibu jangan menolak, ya. Maksud bapak itu baik. Supaya usaha ibu lebih maju."
"Nanti kalau usaha ibu lebih maju, ibu bisa mencari karyawan. Itu bagus bukan, Bu? Dengan begitu ibu bisa berbuat baik dengan mengurangi pengangguran. Ya kan?"
Tiba-tiba Suri teringat pada Hasti yang ingin bekerja untuk membantunya di warung. Tapi hari ini dia belum datang.
"Oh iya, saya jadi ingat, kemarin ada wanita hamil ingin bekerja di sini, kok belum datang hari ini ya."
"Ada yang melamar, Bu? Ibu terima?"
"Iya, ibu suruh datang saja kapan dia mau mulai. Tapi kok belum datang."
"Orang sini Bu?"
"Bukan, rumahnya jauh, tapi kalau mau, ibu suruh tidur di sini saja. Kasihan. Dia ditinggal selingkuh suaminya."
"Di mana rumahnya Bu, kok jauh."
"Ibu lupa, pokoknya jauh, tapi kasihan, orang lagi hamil, perutnya kelihatan kecil, tapi ibu yakin dia sudah hamil tua. Aduh, jangan2 keburu melahirkan. Wanita itu kelihatan ringkih, begitu. Nggak sehat, namanya Hasti."
"Apaa?"
Lagi hamil namanya Hasti. Nilam teringat ketika melihat kakaknya di R.S. tapi melarikan diri darinya.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteADUHAI DEH
DeleteTrmksh mb Tien
ReplyDeleteSami2 Yangtie
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bunga Untuk Ibuku tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah
ReplyDelete🌹❤️🌹❤️🌹❤️🌹❤️🌹❤️
ReplyDeleteAlhamdulillah BeUI_43 sdh tayang, makin seru.
Terimakasih bu Tien..
Salam ADUHAI....
🌹❤️🌹❤️🌹❤️🌹❤️🌹❤️
Sami2 mas Kakek
DeleteAduhai deh
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletealhamdulillah
ReplyDeletematurnuwun bunda
semoga selalu sehat
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Nanik
Alhamdulillah .....
ReplyDeleteTerima kasih ibu Endang
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
Semoga bunda Tien selalu sehat aamiin
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Salamah
Bunga Untuk Ibuku 🌹🌹🌹syahdu sekali Bejo eh Raharjo mempersembahkan Bunga di Makam untuk Simbok ku.Alhamdulillah Bunda jangan the end heppi dulu nggih.Maturnuwun sanget 👍🙏
ReplyDeleteSami2 pak Herry
DeleteHehee...
💐🌷💐🌷💐🌷💐🌷
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🦋
BeUI_43 sdh hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien &
keluarga sehat selalu
dan bahagia. Aamiin.
Salam hangat & aduhai.
💐🌷💐🌷💐🌷💐🌷
Akhirnya kumpul sudah kelg Raharjo. Orang2 baik telah bersatu kembali...Ikut seneng deh... Alhamdulillah 🤲
DeleteTerima kasih, bu Tien cantiik.... sehat2 terus, yaa....
ReplyDeleteAamiin
DeleteTerima kasih jeng Mita
Terimakasih Bu Tien Wijan sudah hadir .semoga Bu Tien selalu sehat
ReplyDeleteSalam Aduhai
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 jeng Werdi
Aduhai deh
ReplyDeleteAlhamdullilah
Bunga untuk ibuku 43 telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Semoga sehat selalu bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Wedeye
Akhirnyaa...yg ditunggu2 muncul. Terima kasih, bu Tien...masih panjang kisahnya kan?😀🙏
ReplyDeleteSami2 ibu Nana
DeleteHehee.. seberapa ya panjangnya
Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien , semoga sehat walafiat
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 ibu Endah
Matur nuwun, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin
DeleteSami2 ibu Anik
Suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteAlhamdulillah BUNGA UNTUK IBUKU~43 sudah hadir, terimakasih bu Tien, semoga sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin yra..🤲
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteSami2 pak Djodhi
Alhamdulillah BUI sampun tayang,matur nuwun mugj Bunda Tien tansah kaparingan kasarasan.
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Isti
Alhamdulillah terima kasih Mbu Tien. Semoga bsok hesti ketemu yg sdh menyesali semua perbuatan nya.... dan kmbali ke jln yg benar... sehat sllu mbu tien bersama keluarga trcnta, tak sabar nunggu part berikutnya....
ReplyDeleteAamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteTerima kasih pak Zimi
Nah, cerita juga bu Supi tentang Hasti. Tapi mereka pasti kesulitan mencari Hasti karena dia tidak kembali ke rumah bu Supi.
ReplyDeleteOrang orang baik pasti akan memaafkan kesalahan Hasti.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Bukan bu supi pak latif tapi bu suri ..bu supi ibunya bejo 😁😁
DeleteAlhamdulillah belum TAMAT .
ReplyDeletesmg semua Tokoh Happy End Aamiin.
Syukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulilah maturnuwun bu Tien BUI 43 sdh tayang ... semoga bu Tien sll sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta...
ReplyDeleteSelamat utk pak Raharjo, wijan, nilam, bibik dan bu Suri .. keluarga bahagia dan sejahtera orang baik pasti disayang Allah
Aamiin Ya Robbal Alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun ibu Tien
Sami2 ibu Indrastuti
DeleteTerima kasih bunda Tien ...
ReplyDeleteSalam Aduhai...salam sehat selalu
Matur nuwun bunda Tien..🙏
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda..
Aamiin
DeleteSami2 ibu Padmasari
Alhamdulillah, mtr nuwun bu Tien, salam sehat dari mBantul
ReplyDeleteSami2 pak Bam's
ReplyDeleteSalam sehat dari Solo
Penasaran dng Hasti, Bu Rusmi & Baskoro, gmn ya nasibnya.
ReplyDeleteMtr nwn Bu Tien, sehat sll.
Sami2 ibu Endah. Tungguin
DeleteMatur nuwun bu Tien.
ReplyDeleteSemoga masih ada crita² sepasang pelakor...bu Rusmi sang Ibu yg bukan biyung.
Matur nuwun ugi ibu Ratna
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteBunga Untuk Ibuku 43 sudah tayang. Matur nuwun Bunda Tien, semoga Bunda tetap Semangat, selalu Sehat wal Afiat bersama Keluarga di Sala.
Aamiin
Nah benar kan, ternyata pak Raharjo dan anak anak nya Napak Tilas, ziarah ke tempat Simbok nya Bejo.
Ada rasa haru, sendu, rindu ingin bertemu Simbok nya Bejo, tapi Simbok telah tiada.
Bagai dlm mimpi, berbulan bulan lama nya Bejo Raharjo di asuh oleh Simbok, dengan kasih sayang yang penuh.
Salam Hangat nan Aduhai nggeh Bunda Tien
Matur nuwun Bu Tien, tetap sehat njih Bu....salam aduhai dari Yk.
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, mereka bahagia ,,jd bunga untuk ibuku blm terpecahkan ,,??? ,
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien , tambah sehat wal'afiat ya , mungkin kecapean ya
Tetep semangat & aduhaiii
Lanjut besok ,,🤗🥰👍
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ika
Sudah kan?
Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien..
ReplyDeleteSelalu sehat wal'afiat dan bahagia bersama keluarga . .
Aamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ermi
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSemoga sehat dan selalu bahagia.
Aduhai
Aamiin
DeleteSami2 ibu Sul
Terimakasih Bu Tien... Semoga sehat jasmani rohani ekonomi
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun ibu Nanik
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSami2 KP Lover
ReplyDeleteMatur nuwun pak Munthoni
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai dari Solo
Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDeleteSami2 ibu Ting