SETANGKAI BUNGAKU
13
(Tien Kumalasari)
Pratiwi tertegun. Mulutnya terkunci dan tak mampu
berkata-kata. Ucapan kasar penuh caci itu terasa bagai mengiris
jantungnya.
“Gara-gara kamu, anakku celaka. Awas ya, kalau sampai
terjadi apa-apa sama Ratih, kamu harus menanggung akibatnya,” ancamnya dengan
mata melotot, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju ke arah ruang
UGD. Ia menemui salah seorang perawat dan berbicara di sana.
Pratiwi masih terpaku di tempatnya berdiri, air
matanya merebak, yang kemudian menetes pelan. Pratiwi mengusapnya, kendati rasa
teriris masih terasa pedih, perih.
“Tiwi, aku antarkan kamu mengambil sepeda kamu ya,”
tiba-tiba Sony yang merasa iba mendekatinya.
Pratiwi menggelengkan kepalanya.
“Aku harus menunggu, bagaimana keadaan Ratih,” katanya
pelan.
“Kalau begitu ayo duduk di sana dulu,” kata Sony
sambil memegang dan menarik lengannya, tapi kemudian Pratiwi mengibaskannya.
Tanpa menjawab apapun, Pratiwi melangkah ke arah
bangku yang ditunjuk Sony, duduk diam di sana, sementara Sony duduk di
sampingnya, dengan perasaan mashgul.
“Benar-benar gadis yang sulit didekati,” kata hati
Sony, tapi dia diam, tak berusaha mengajaknya bicara, karena tahu suasana hati
Pratiwi sedang tidak nyaman. Ia juga menyesali bu Juwono yang datang-datang
memarahi Pratiwi dengan kata-kata kasar.
Di ruang UGD, bu Jowono berhasil menemui Ratih. Gadis
itu tergolek lemah, ada perban dan ceceran darah di bajunya.
Bu Juwono memeluknya sambil menangis.
“Kenapa kamu melakukannya? Jangan sampai ibu kehilangan
kamu juga, Ratih.,” isaknya.
Ratih mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Ratih tidak apa-apa Bu.”
“Kata dokter kamu gegar otak. Itu tidak apa-apa?”
protes ibunya.
“Ratih akan baik-baik saja, ibu jangan sedih.”
“Tentu saja ibu sedih. Belum lama ini ibu kehilangan
kakak kamu, lalu kamu sekarang kecelakaan juga. Gara-gara gadis miskin itu,”
omel bu Juwono.
“Siapa yang ibu maksud?”
“Siapa lagi kalau bukan dia? Gadis yang memboncengkan
kamu dengan sepedanya?”
“Ini bukan salah dia. Sepeda motor menabrak Ratih.”
“Ya, tapi kalau kamu tidak membonceng sepeda dia, tidak
bakalan ada yang bisa menabrak kamu. Apa-apaan sih kamu, di rumah banyak mobil,
tinggal bawa mana yang kamu suka, kenapa mau diboncengin dia? Kebangetan anak
itu. Tidak tahu diri.”
“Ibu jangan marah sama dia, bukan dia yang menyuruh
Ratih membonceng, tapi Ratih yang mau.”
“Kenapa juga kamu minta dibocengin sama dia? Apa kamu
tidak punya uang untuk membayar taksi? Lagian, bukankah tadi kamu diantar sama
Sony?”
“Mas Sony hanya mengantar. Ibu jangan marah-marah di
sini, kepala Ratih pusing.”
Ketika bu Juwono akhirnya keluar dari ruangan itu,
karena perawat yang minta, dilihatnya Pratiwi tak ada lagi di sana. Dia sudah
mendapat keterangan dari salah seorang perawat yang ditanyainya, bahwa Ratih
baik-baik saja, hanya gegar otak ringan, tapi harus di rawat selama beberapa
hari. Itu sebabnya dia kemudian pergi dari sana, karena hari mulai sore.
Ketika melangkah itulah Sony selalu mengikutinya, dan
memaksa ingin mengantarnya.
“Tidak usah Mas, biar saya ambil sendiri sepeda saya.”
“Tiwi, hari mulai sore, tempat itu jauh dari sini,
nanti kamu kemalaman di jalan. Biar aku antar ke tempat kamu menitipkan sepeda
itu saja, setelah itu kamu boleh pulang sendiri. Dari sana kan kamu bisa pulang
lebih cepat, karena rumah kamu kan dekat?”
Akhirnya Pratiwi menurut, dengan pertimbangan bahwa
ibunya pasti cemas menunggu.
***
Ketika sampai di rumah, dilihatnya yu Kasnah sedang
duduk di depan rumah, ditemani Nano. Pratiwi tahu, ibunya pasti cemas menunggu,
karena hari sudah sore dan dirinya belum kembali.
“Itu Mbak Tiwi datang,” teriak Nano begitu melihat
kakaknya mengayuh sepedanya, memasuki halaman.
Pratiwi turun dari sepeda di dekat ibunya, lalu menghampiri
ibunya setelah menyandarkan sepedanya di sebuah pohon.
“Ibu ….”
“Tiwi, kamu ke mana saja? Sore hari baru pulang?”
tanya ibunya yang merasa lega melihat Pratiwi sudah pulang.
“Pasti mengantarkan mbak Ratih ke rumah, ya kan?” sela
Nano.
“Katanya, rumah nak Ratih jauh, kenapa kamu
mengantarkannya sih Wi?” tegur sang ibu.
“Tidak Bu, sebenarnya Ratih mengalami kecelakaan,”
tutur Pratiwi sambil duduk di samping ibunya.
“Apa? Kecelakaan apa? Bukankah dia bersama kamu? Kamu
seperti tak apa-apa?” tanya yu Kasnah sambil meraba-raba tangan anaknya.
“Ketika di sebuah perempatan, karena lampu merah, kami
berhenti, dan Ratih turun dari boncengan. Tiba-tiba sepeda motor ngebut
menerjang dari sebelah kiri, membuat Ratih terpelanting dan pingsan.”
“Ya Tuhan, lalu
bagaimana?”
“Untung ada temannya Ratih yang melihat, kemudian
membawanya ke rumah sakit dengan mobilnya.”
“Keadaannya bagaimana?”
“Ada luka di kepalanya, dan gegar otak, jadi harus
dirawat.”
“Tapi dia sadar?”
“Sadar, tapi Tiwi tidak sempat bertemu. Setelah
mendengar keterangan dari perawat bahwa Ratih tak apa-apa, lalu Tiwi pulang,
karena takut kemalaman.”
“Yang ngebut itu apa tidak ditangkap polisi sih?”
tanya Nano.
“Nggak tahu aku, tadi kelihatannya juga ada yang
mengejarnya. Aku hanya perhatian pada keadaan Ratih. Besok setelah selesai
berjualan, aku mau menjenguknya di rumah sakit.”
“Jauhkah rumah sakitnya?” tanya yu Kasnah.
“Agak jauh Bu, tapi kan masih siang, jadi tidak
terburu-buru.”
“Kalau begitu biar Nano menemani kamu. Besok kan hari
Minggu?”
“Nanti ibu sendirian? Bagaimana kalau lama?”
“Tidak apa-apa, kalau di rumah kan ibu sudah hafal
jalan-jalannya.”
“Iya Mbak, daripada Mbak sendiri, nanti aku saja yang
mboncengin.”
“Ih, nggak mau ah, masa anak kecil mboncengin. Ya
sudah nggak apa-apa, kan masih besok. Ayo Bu, masuk, sudah hampir gelap nih,”
ajak Pratiwi sambil membantu ibunya berdiri.
***
Sony kembali ke rumah sakit setelah mengantarkan
Pratiwi mengambil sepeda. Saat itu Ratih sudah berada di ruang rawat. Pak
Juwono juga sudah ada di sana. Pastilah
mereka sangat khawatir, apalagi setelah kejadian meninggalnya Aira.
“Lain kali kamu tidak boleh sembrono. Naik sepeda itu
tidak nyaman dan tidak aman. Buktinya, kamu menemui kejadian seperti ini,
membuat bapak sama ibu khawatir.”
“Nah, tadi sudah mau Sony antar, tapi Ratih tidak mau,”
kata Sony yang sudah ada diantara mereka.
“Nah, Sony sudah mau mengantarkan tuh,” tegur ayahnya.
“Itu gara-gara temannya Aira, yang namanya Pratiwi itu
lho Pak, mana dia hanya punya sepeda, jadi mengajak Ratih jalan, juga naik
sepeda,” sambung ibunya.
“Ibu jangan menyalahkan Mbak Tiwi terus. Itu bukan
kesalahan dia. Yang ngajakin jalan juga Ratih, bukan dia.”
“Kamu kan punya mobil, kalau ingin mengajak teman kamu
jalan, kan bisa naik mobil?” kata ayahnya.
“Memang Ratih pengin naik sepeda. Nanti kalau Ratih
sudah boleh pulang, Bapak belikan Ratih sepeda ya?”
“Apa?” teriak ayah dan ibunya. Sony hanya tersenyum
melihat pak Juwono dan istrinya berteriak.
“Ratih ingin jalan-jalan bersepeda, Pak,” kata Ratih
nekad.
“Kamu lupa, baru saja kamu hampir celaka karena
bersepeda?” kata ibunya dengan wajah kesal.
“Itu kan karena kecelakaan. Dan bukan salah Ratih,
juga bukan kesalahan Mbak Tiwi. Naik sepeda itu asyik.”
“Mintalah mobil, akan bapak belikan. Sepeda? No … no …
no!”
Ratih cemberut. Ia menatap Sony, minta dukungan, tapi
Sony hanya tertawa saja sambil menatapnya lucu.
***
Roy sudah pulang dari luar kota, dan sibuk dengan
urusan di kantornya. Baru malam harinya dia berbincang dengan Ardian, dan yang
pertama-tama ditanyakannya adalah Pratiwi.
“Ah ya, Pratiwi. Kemarin hampir saja dia celaka.”
“Kenapa?”
Lalu Ardian menceritakan, bagaimana ketika sepulang dari
rumahnya, Pratiwi dikejar oleh seorang laki-laki yang ingin mencari yu Kasnah.
Ardian juga mengatakan bagaimana dia sempat menghajar laki-laki itu.
“Kamu bisa mengatasinya kan?”
“Aku dikeroyok dua, rupanya laki-laki bernama Sony itu
bukan orang sembarangan. Dia punya pengawal. Orangnya tinggi besar.”
“Satu lawan dua? Hebat kamu Ar.”
“Ardian …” kata Ardian sambil menepuk dadanya.
“Siapa sebenarnya dia?”
“Kemarin malamnya, yu Kasnah memijit laki-laki bernama
Sony itu di hotel, Pratiwi mengantarnya.”
“Waduh, di hotel? Bahaya itu bagi Pratiwi, apalagi
kalau lelakinya hidung belang.”
“Untungnya ketika di hotel, kata Pratiwi, dia bersikap
baik. Tapi kelihatan dong orang baik yang sungguh baik, atau bukan? Nah besok malamnya, Sony mencari
lagi yu Kasnah untuk kembali disuruhnya memijit, tapi Pratiwi melarangnya. Ya
itulah, kejadiannya, karena Pratiwi menolak, lalu lari, dia mengejar, untungnya
aku keluar dan melihat dia sedang mendekap Pratiwi.”
“Kurangajar, pakai mendekap segala?”
“Katanya karena Pratiwi mau lari.”
“Alasan buaya itu,” geram Roy.
“Aku sudah berhasil menghajar keduanya.”
“Lalu dia lari?”
“Aku mengancam mau melapor ke polisi, dia memilih
minta maaf, lalu pergi.”
“Jadi kemungkinannya, meminta yu Kasnah memijit lagi
tuh karena dia suka sama Pratiwi?”
“Pastinya begitu.”
“Besok aku mau ke rumah dia. Kan besok hari Minggu.
Siapa tahu dia mau aku ajak jalan-jalan.”
“Nekad!” sergah Ardian.
“Harus nekad dong, aku masih penasaran, susah banget mendekati
dia.”
“Aku doakan kamu deh,” kata Ardian sambil tersenyum.
“Nah, gitu dong, sama adiknya harus mendoakan.”
“Aku doakan supaya nggak berhasil!” kata Ardian sambil
berdiri, tapi Roy sudah berhasil melempar Ardian dengan bantal sofa yang sebelumnya
mereka duduki. Ardian terbahak sambil melempar kembali bantal itu, lalu
bergegas masuk ke kamarnya.
“Ada apa sih ini, baru saja bisa kumpul, ramainya
bukan main,” tegur Ratna yang baru keluar dari dapur, diikuti Sasmi sambil
membawa emping yang baru saja digorengnya.
“Ardian tuh, bikin kesel.”
“Biasanya kompak, kok kali ini lempar-lemparan bantal?”
tegur Sasmi sambil meletakkan toples berisi emping di atas meja.
“Bapaaak, ada emping nih!” teriak Roy.
“Nggak mau, nanti asam uratku kumat,” teriak pak
Luminto dari arah depan, yang disambut tertawa oleh kedua istri dan anaknya.
“Ada emping nih? Mau dong,” kata Ardian yang tiba-tiba
muncul, tapi dengan sigap Roy meraih toples itu dan mendekapnya di dada.
“Tuh, jahatnya,” pekik Ardian yang berusaha merebutnya,
membuat Ratna dan Sasmi berteriak-teriak.
“Aduuh, nanti malah tumpah, nggak jadi makan semua.”
Barulah Roy meletakkan empingnya, yang kemudian
langsung diserbu bersama.
***
Siang hari itu setelah selesai berjualan, Pratiwi
bersiap pergi membezoek Ratih di rumah sakit. Ia mengesampingkan rasa sakit
hatinya karena sikap kasar bu Juwono, karena dia ingin melihat keadaan Ratih
yang sejak kecelakaan itu ia belum sempat melihatnya.
Nano sudah mengeluarkan sepeda dari samping rumah, dan
Pratiwi sudah berpamit pada ibunya. Tiba-tiba seseorang berjalan memasuki
halaman, membuat Pratiwi terkejut.
“Tiwi mau ke mana?”
“Kok sendirian Mas, Mas Ardian mana?”
“Adanya aku, kok yang ditanyakan Ardian sih?”
“Biasanya kan berdua,” kata Pratiwi sambil tersenyum.
“Dia memilih tidur tuh. Kamu mau kemana?”
“Mau ke rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Ratih. Kemarin kecelakaan.”
“Ratih? Kecelakaan di mana?”
“Sedang berboncengan sama aku, ketika di lampu merah
sedang berhenti, ditabrak pengendara sepeda motor ngebut.”
“Waduh, sekarang dirawat? Ayo sama aku saja, aku juga
ingin membezoeknya.”
“Tapi, aku mau sama Nano, boncengan saja.”
“Nggak apa-apa sama Nano, masukkan sepedanya No, naik
mobil saja, aku ambil sebentar.”
“Aku nggak usah ikut saja kalau sudah sama mas Roy,”
kata Nano.
“Lhoh, kok nggak usah?”
“Aku menemani ibu di rumah, kan Mbak Tiwi sudah ada
yang menemani?”
Pratiwi ingin menolak, tapi Roy sudah bergegas pergi
untuk mengambil mobil di rumahnya.
“Kok masih di sini? Sudah pamit belum berangkat juga?”
tegur yu Kasnah dari depan pintu, yang berusaha keluar mendengar anak-anaknya
masih berbincang di depan.
“Mbak Tiwi mau diantar mas Roy, Bu. “
“Mas Roy ke sini?”
“Iya, dia juga mau membezoek Ratih," jawab Pratiwi.
“Oh, ya sudah, kebetulan, kamu tidak usah mengayuh
sepeda.”
***
Ketika sampai di ruang rawat Ratih, kebetulan pak
Juwono dan istrinya masih di sama, dan tampaknya bersiap mau pulang. Pratiwi
melangkah mendekat dengan dada berdebar, menata hati kalau sampai disemprot lagi
oleh bu Juwono.
“Mbak Tiwi!” teriak Ratih, membuat pak Juwono dan bu
Juwono menoleh.
“Lhoh, ini kan Roy?” seru pak Juwono.
Roy mengangguk, kemudian mencium tangan pak Juwono dan
istrinya. Pratiwi pun maju, berniat mengikuti langkah Roy, dengan tangan
sedikit gemetar. Tapi ternyata pak Juwono dan istrinya menangkap tangan Pratiwi
sambil tersenyum. Rupanya Ratih sudah wanti-wanti agar ayah ibunya tidak
menyalahkan Pratiwi, karena semua itu adalah kemauannya.
“Saya minta maaf,” kata Pratiwi yang agak lega karena
orang tua Ratih mau menerima uluran tangannya.
“Tidak, kamu tidak bersalah. Ratih memang bandel,”
kata bu Juwono kemudian.
“Kebetulan kalian datang, kami mau pulang dulu karena
sejak semalam menginap di sini,” kata pak Juwono yang kemudian mengajak
istrinya untuk keluar.
“Ratih, bagaimana keadaan kamu?”
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing,” kata Ratih
sambil memegang kepalanya.
“Aku minta maaf.”
“Kenapa meminta maaf? Mbak Tiwi tidak bersalah. Aku
bahkan akan memaksa bapak agar membelikan aku sepeda. Nanti kita jalan-jalan
bersepeda berdua,” kata Ratih sambil tersenyum.
Roy yang belum berbicara apapun, sesungguhnya sedang
menatap Ratih dengan tatapan aneh. Wajah Ratih mirip sekali dengan Aira. Dulu
ia tak tertarik pada Aira, tapi Ratih sangat berbeda. Roy heran pada dirinya,
karena perasaan ini tak pernah dirasakannya.
Ia baru akan menyapa, ketika tiba-tiba sebuah suara
mengagetkannya.
“Tiwi? Kamu di sini?”
Tiwi terkejut, ada Sony tiba-tiba datang.
***
Besok lagi ya.
Mtrnw
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tienku sayang
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Terimakasih bunda Tien ,Setangkai Bunga ku 13 sudah hadir ,semoga bunda sehat selalu ,terus berkarya ,salam kangen dari Jakarta
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 13 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien ...
Salam sehat selalu...
Matur nuwun mbak Tien-ku,Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteTrimakasih Bu Tien ... Salam sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdullilah..terima ksih bunda SB nya sdh tayang..slm mlm dan slmt istrht..salam seroja dri skbmi..tetap Aduhai bunda🙏🥰😘❤️🌹
ReplyDeleteAlhamdulilah , terima kasih bu tien ..salam sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteEsbe 13 sdh datang
Matur nuwun bu
Alhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteRoy tertarik kepada Ratihkah, terus Tiwi bagaimana... Apa mungkin Sony berubah jadi orang baik?
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Ayo pak Latief.. Tebak siapa yg dpt Pratiwi?
DeleteSiapa yg dpt Ratih? 🤭🤭👍
Wah masih jauh mbak Hermina, rambu"nya masih gelap.
DeleteAlhamdulillah dah tayang makasih bunda
ReplyDeleteAlhmdllh... terima kasih....
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-13 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Terima kasih Bu Tien...
ReplyDeleteSalam Aduhai...
Ceritanya selalu menginspirasi...
Sehat selalu Bu...
Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇
Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .
ReplyDeleteAlhamdulillah. Suwun ibu
ReplyDeleteMugi bu Tien tansah pinaringan sehat njih
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteWow Roy oper perseneling masuk gigi berapa nich; maju donk, tadi mantap lajunya, berarti nurunin gigi rendahkan, iya, cukup lama seeh mengamati Ratih mau maju apa mundur nich.
ReplyDeleteWah kalau gini Ardian yang nggak tega pasti, Roy kan nggak tahu tampang si buaya; di kebun binatang ada tuh.
Asyik
bakalan runyem nich; Ratih kalau disuruh milih, pilih Ardian, adeknya malah ingat masa lalunya, wajah Aira nempel di muka Ratih; adeknya ya miriplah.
Padahal Ardian diem diem ada hati sama Pratiwi, lha ini Sony maunya nyosor aja ke Pratiwi, maunya.
Namanya juga maen hati, paling saling manas manasin biasalah anak muda, tinggal siapa nanti yang jadi.
Tapi babe Luminto kan maunya suruh cari istri, bukan pacar, paling Roy kelamaan mikir, padahal dia yang getol pedekate Pratiwi.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke- tiga belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Makasih mba Tien.
ReplyDeleteSalam hangat selalu. Aduhai
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah terima kasih bu Tien,
ReplyDeleteSepertinya Roy suka dengan Ratih alaihi lanjuuuut bu.
Salam sehat selalu bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~13 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulillah, natur nuwun bu Tien 🤗🥰
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua bu Tien
Semakin aduhaaai nih,,,Sony ,tiwi
Roy - Ratih. ,trs Ardian dg siapa 🤣🤭
Mantab deh bu Tien
Alhamdulillah, natur nuwun bu Tien 🤗🥰
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat semua bu Tien
Terimakasoh bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang
ReplyDeleteSemoga bunda sehat" selalu..
Salam aduhaii dr Sukabumi.. 🙏🙏🌹❤️