Tuesday, February 7, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 13

 

SETANGKAI BUNGAKU  13

(Tien Kumalasari)

 

Pratiwi tertegun. Mulutnya terkunci dan tak mampu berkata-kata. Ucapan kasar penuh caci itu terasa bagai mengiris jantungnya.

“Gara-gara kamu, anakku celaka. Awas ya, kalau sampai terjadi apa-apa sama Ratih, kamu harus menanggung akibatnya,” ancamnya dengan mata melotot, kemudian membalikkan tubuhnya dan melangkah menuju ke arah ruang UGD. Ia menemui salah seorang perawat dan berbicara di sana.

Pratiwi masih terpaku di tempatnya berdiri, air matanya merebak, yang kemudian menetes pelan. Pratiwi mengusapnya, kendati rasa teriris masih terasa pedih, perih.

“Tiwi, aku antarkan kamu mengambil sepeda kamu ya,” tiba-tiba Sony yang merasa iba mendekatinya.

Pratiwi menggelengkan kepalanya.

“Aku harus menunggu, bagaimana keadaan Ratih,” katanya pelan.

“Kalau begitu ayo duduk di sana dulu,” kata Sony sambil memegang dan menarik lengannya, tapi kemudian Pratiwi mengibaskannya.

Tanpa menjawab apapun, Pratiwi melangkah ke arah bangku yang ditunjuk Sony, duduk diam di sana, sementara Sony duduk di sampingnya, dengan perasaan mashgul.

“Benar-benar gadis yang sulit didekati,” kata hati Sony, tapi dia diam, tak berusaha mengajaknya bicara, karena tahu suasana hati Pratiwi sedang tidak nyaman. Ia juga menyesali bu Juwono yang datang-datang memarahi Pratiwi dengan kata-kata kasar.

Di ruang UGD, bu Jowono berhasil menemui Ratih. Gadis itu tergolek lemah, ada perban dan ceceran darah di bajunya.

Bu Juwono memeluknya sambil menangis.

“Kenapa kamu melakukannya? Jangan sampai ibu kehilangan kamu juga, Ratih.,” isaknya.

Ratih mengerjap-ngerjapkan matanya.

“Ratih tidak apa-apa Bu.”

“Kata dokter kamu gegar otak. Itu tidak apa-apa?” protes ibunya.

“Ratih akan baik-baik saja, ibu jangan sedih.”

“Tentu saja ibu sedih. Belum lama ini ibu kehilangan kakak kamu, lalu kamu sekarang kecelakaan juga. Gara-gara gadis miskin itu,” omel bu Juwono.

“Siapa yang ibu maksud?”

“Siapa lagi kalau bukan dia? Gadis yang memboncengkan kamu dengan sepedanya?”

“Ini bukan salah dia. Sepeda motor menabrak Ratih.”

“Ya, tapi kalau kamu tidak membonceng sepeda dia, tidak bakalan ada yang bisa menabrak kamu. Apa-apaan sih kamu, di rumah banyak mobil, tinggal bawa mana yang kamu suka, kenapa mau diboncengin dia? Kebangetan anak itu. Tidak tahu diri.”

“Ibu jangan marah sama dia, bukan dia yang menyuruh Ratih membonceng, tapi Ratih yang mau.”

“Kenapa juga kamu minta dibocengin sama dia? Apa kamu tidak punya uang untuk membayar taksi? Lagian, bukankah tadi kamu diantar sama Sony?”

“Mas Sony hanya mengantar. Ibu jangan marah-marah di sini, kepala Ratih pusing.”

Ketika bu Juwono akhirnya keluar dari ruangan itu, karena perawat yang minta, dilihatnya Pratiwi tak ada lagi di sana. Dia sudah mendapat keterangan dari salah seorang perawat yang ditanyainya, bahwa Ratih baik-baik saja, hanya gegar otak ringan, tapi harus di rawat selama beberapa hari. Itu sebabnya dia kemudian pergi dari sana, karena hari mulai sore.

Ketika melangkah itulah Sony selalu mengikutinya, dan memaksa ingin mengantarnya.

“Tidak usah Mas, biar saya ambil sendiri sepeda saya.”

“Tiwi, hari mulai sore, tempat itu jauh dari sini, nanti kamu kemalaman di jalan. Biar aku antar ke tempat kamu menitipkan sepeda itu saja, setelah itu kamu boleh pulang sendiri. Dari sana kan kamu bisa pulang lebih cepat, karena rumah kamu kan dekat?”

Akhirnya Pratiwi menurut, dengan pertimbangan bahwa ibunya pasti cemas menunggu.

***

Ketika sampai di rumah, dilihatnya yu Kasnah sedang duduk di depan rumah, ditemani Nano. Pratiwi tahu, ibunya pasti cemas menunggu, karena hari sudah sore dan dirinya belum kembali.

“Itu Mbak Tiwi datang,” teriak Nano begitu melihat kakaknya mengayuh sepedanya, memasuki halaman.

Pratiwi turun dari sepeda di dekat ibunya, lalu menghampiri ibunya setelah menyandarkan sepedanya di sebuah pohon.

“Ibu ….”

“Tiwi, kamu ke mana saja? Sore hari baru pulang?” tanya ibunya yang merasa lega melihat Pratiwi sudah pulang.

“Pasti mengantarkan mbak Ratih ke rumah, ya kan?” sela Nano.

“Katanya, rumah nak Ratih jauh, kenapa kamu mengantarkannya sih Wi?” tegur sang ibu.

“Tidak Bu, sebenarnya Ratih mengalami kecelakaan,” tutur Pratiwi sambil duduk di samping ibunya.

“Apa? Kecelakaan apa? Bukankah dia bersama kamu? Kamu seperti tak apa-apa?” tanya yu Kasnah sambil meraba-raba tangan anaknya.

“Ketika di sebuah perempatan, karena lampu merah, kami berhenti, dan Ratih turun dari boncengan. Tiba-tiba sepeda motor ngebut menerjang dari sebelah kiri, membuat Ratih terpelanting dan pingsan.”

 “Ya Tuhan, lalu bagaimana?”

“Untung ada temannya Ratih yang melihat, kemudian membawanya ke rumah sakit dengan mobilnya.”

“Keadaannya bagaimana?”

“Ada luka di kepalanya, dan gegar otak, jadi harus dirawat.”

“Tapi dia sadar?”

“Sadar, tapi Tiwi tidak sempat bertemu. Setelah mendengar keterangan dari perawat bahwa Ratih tak apa-apa, lalu Tiwi pulang, karena takut kemalaman.”

“Yang ngebut itu apa tidak ditangkap polisi sih?” tanya Nano.

“Nggak tahu aku, tadi kelihatannya juga ada yang mengejarnya. Aku hanya perhatian pada keadaan Ratih. Besok setelah selesai berjualan, aku mau menjenguknya di rumah sakit.”

“Jauhkah rumah sakitnya?” tanya yu Kasnah.

“Agak jauh Bu, tapi kan masih siang, jadi tidak terburu-buru.”

“Kalau begitu biar Nano menemani kamu. Besok kan hari Minggu?”

“Nanti ibu sendirian? Bagaimana kalau lama?”

“Tidak apa-apa, kalau di rumah kan ibu sudah hafal jalan-jalannya.”

“Iya Mbak, daripada Mbak sendiri, nanti aku saja yang mboncengin.”

“Ih, nggak mau ah, masa anak kecil mboncengin. Ya sudah nggak apa-apa, kan masih besok. Ayo Bu, masuk, sudah hampir gelap nih,” ajak Pratiwi sambil membantu ibunya berdiri.

***

Sony kembali ke rumah sakit setelah mengantarkan Pratiwi mengambil sepeda. Saat itu Ratih sudah berada di ruang rawat. Pak Juwono juga sudah ada di  sana. Pastilah mereka sangat khawatir, apalagi setelah kejadian meninggalnya Aira.

“Lain kali kamu tidak boleh sembrono. Naik sepeda itu tidak nyaman dan tidak aman. Buktinya, kamu menemui kejadian seperti ini, membuat bapak sama ibu khawatir.”

“Nah, tadi sudah mau Sony antar, tapi Ratih tidak mau,” kata Sony yang sudah ada diantara mereka.

“Nah, Sony sudah mau mengantarkan tuh,” tegur ayahnya.

“Itu gara-gara temannya Aira, yang namanya Pratiwi itu lho Pak, mana dia hanya punya sepeda, jadi mengajak Ratih jalan, juga naik sepeda,” sambung ibunya.

“Ibu jangan menyalahkan Mbak Tiwi terus. Itu bukan kesalahan dia. Yang ngajakin jalan juga Ratih, bukan dia.”

“Kamu kan punya mobil, kalau ingin mengajak teman kamu jalan, kan bisa naik mobil?” kata ayahnya.

“Memang Ratih pengin naik sepeda. Nanti kalau Ratih sudah boleh pulang, Bapak belikan Ratih sepeda ya?”

“Apa?” teriak ayah dan ibunya. Sony hanya tersenyum melihat pak Juwono dan istrinya berteriak.

“Ratih ingin jalan-jalan bersepeda, Pak,” kata Ratih nekad.

“Kamu lupa, baru saja kamu hampir celaka karena bersepeda?” kata ibunya dengan wajah kesal.

“Itu kan karena kecelakaan. Dan bukan salah Ratih, juga bukan kesalahan Mbak Tiwi. Naik sepeda itu asyik.”

“Mintalah mobil, akan bapak belikan. Sepeda? No … no … no!”

Ratih cemberut. Ia menatap Sony, minta dukungan, tapi Sony hanya tertawa saja sambil menatapnya lucu.

***

Roy sudah pulang dari luar kota, dan sibuk dengan urusan di kantornya. Baru malam harinya dia berbincang dengan Ardian, dan yang pertama-tama ditanyakannya adalah Pratiwi.

“Ah ya, Pratiwi. Kemarin hampir saja dia celaka.”

“Kenapa?”

Lalu Ardian menceritakan, bagaimana ketika sepulang dari rumahnya, Pratiwi dikejar oleh seorang laki-laki yang ingin mencari yu Kasnah. Ardian juga mengatakan bagaimana dia sempat menghajar laki-laki itu.

“Kamu bisa mengatasinya kan?”

“Aku dikeroyok dua, rupanya laki-laki bernama Sony itu bukan orang sembarangan. Dia punya pengawal. Orangnya tinggi besar.”

“Satu lawan dua? Hebat kamu Ar.”

“Ardian …” kata Ardian sambil menepuk dadanya.

“Siapa sebenarnya dia?”

“Kemarin malamnya, yu Kasnah memijit laki-laki bernama Sony itu di hotel, Pratiwi mengantarnya.”

“Waduh, di hotel? Bahaya itu bagi Pratiwi, apalagi kalau lelakinya hidung belang.”

“Untungnya ketika di hotel, kata Pratiwi, dia bersikap baik. Tapi kelihatan dong orang baik yang sungguh baik, atau bukan? Nah besok malamnya, Sony mencari lagi yu Kasnah untuk kembali disuruhnya memijit, tapi Pratiwi melarangnya. Ya itulah, kejadiannya, karena Pratiwi menolak, lalu lari, dia mengejar,  untungnya aku keluar dan melihat dia sedang mendekap Pratiwi.”

“Kurangajar, pakai mendekap segala?”

“Katanya karena Pratiwi mau lari.”

“Alasan buaya itu,” geram Roy.

“Aku sudah berhasil menghajar keduanya.”

“Lalu dia lari?”

“Aku mengancam mau melapor ke polisi, dia memilih minta maaf, lalu pergi.”

“Jadi kemungkinannya, meminta yu Kasnah memijit lagi tuh karena dia suka sama Pratiwi?”

“Pastinya begitu.”

“Besok aku mau ke rumah dia. Kan besok hari Minggu. Siapa tahu dia mau aku ajak jalan-jalan.”

“Nekad!” sergah Ardian.

“Harus nekad dong, aku masih penasaran, susah banget mendekati dia.”

“Aku doakan kamu deh,” kata Ardian sambil tersenyum.

“Nah, gitu dong, sama adiknya harus mendoakan.”

“Aku doakan supaya nggak berhasil!” kata Ardian sambil berdiri, tapi Roy sudah berhasil melempar Ardian dengan bantal sofa yang sebelumnya mereka duduki. Ardian terbahak sambil melempar kembali bantal itu, lalu bergegas masuk ke kamarnya.

“Ada apa sih ini, baru saja bisa kumpul, ramainya bukan main,” tegur Ratna yang baru keluar dari dapur, diikuti Sasmi sambil membawa emping yang baru saja digorengnya.

“Ardian tuh, bikin kesel.”

“Biasanya kompak, kok kali ini lempar-lemparan bantal?” tegur Sasmi sambil meletakkan toples berisi emping di atas meja.

“Bapaaak, ada emping nih!” teriak Roy.

“Nggak mau, nanti asam uratku kumat,” teriak pak Luminto dari arah depan, yang disambut tertawa oleh kedua istri dan anaknya.

“Ada emping nih? Mau dong,” kata Ardian yang tiba-tiba muncul, tapi dengan sigap Roy meraih toples itu dan mendekapnya di dada.

“Tuh, jahatnya,” pekik Ardian yang berusaha merebutnya, membuat Ratna dan Sasmi berteriak-teriak.

“Aduuh, nanti malah tumpah, nggak jadi makan semua.”

Barulah Roy meletakkan empingnya, yang kemudian langsung diserbu bersama.

***

Siang hari itu setelah selesai berjualan, Pratiwi bersiap pergi membezoek Ratih di rumah sakit. Ia mengesampingkan rasa sakit hatinya karena sikap kasar bu Juwono, karena dia ingin melihat keadaan Ratih yang sejak kecelakaan itu ia belum sempat melihatnya.

Nano sudah mengeluarkan sepeda dari samping rumah, dan Pratiwi sudah berpamit pada ibunya. Tiba-tiba seseorang berjalan memasuki halaman, membuat Pratiwi terkejut.

“Tiwi mau ke mana?”

“Kok sendirian Mas, Mas Ardian mana?”

“Adanya aku, kok yang ditanyakan Ardian sih?”

“Biasanya kan berdua,” kata Pratiwi sambil tersenyum.

“Dia memilih tidur tuh. Kamu mau kemana?”

“Mau ke rumah sakit.”

“Siapa yang sakit?”

“Ratih. Kemarin kecelakaan.”

“Ratih? Kecelakaan di mana?”

“Sedang berboncengan sama aku, ketika di lampu merah sedang berhenti, ditabrak pengendara sepeda motor ngebut.”

“Waduh, sekarang dirawat? Ayo sama aku saja, aku juga ingin membezoeknya.”

“Tapi, aku mau sama Nano, boncengan saja.”

“Nggak apa-apa sama Nano, masukkan sepedanya No, naik mobil saja, aku ambil sebentar.”

“Aku nggak usah ikut saja kalau sudah sama mas Roy,” kata Nano.

“Lhoh, kok nggak usah?”

“Aku menemani ibu di rumah, kan Mbak Tiwi sudah ada yang menemani?”

Pratiwi ingin menolak, tapi Roy sudah bergegas pergi untuk mengambil mobil di rumahnya.

“Kok masih di sini? Sudah pamit belum berangkat juga?” tegur yu Kasnah dari depan pintu, yang berusaha keluar mendengar anak-anaknya masih berbincang di depan.

“Mbak Tiwi mau diantar mas Roy, Bu. “

“Mas Roy ke sini?”

“Iya, dia juga mau membezoek Ratih," jawab Pratiwi.

“Oh, ya sudah, kebetulan, kamu tidak usah mengayuh sepeda.”

***

Ketika sampai di ruang rawat Ratih, kebetulan pak Juwono dan istrinya masih di sama, dan tampaknya bersiap mau pulang. Pratiwi melangkah mendekat dengan dada berdebar, menata hati kalau sampai disemprot lagi oleh bu Juwono.

“Mbak Tiwi!” teriak Ratih, membuat pak Juwono dan bu Juwono menoleh.

“Lhoh, ini kan Roy?” seru pak Juwono.

Roy mengangguk, kemudian mencium tangan pak Juwono dan istrinya. Pratiwi pun maju, berniat mengikuti langkah Roy, dengan tangan sedikit gemetar. Tapi ternyata pak Juwono dan istrinya menangkap tangan Pratiwi sambil tersenyum. Rupanya Ratih sudah wanti-wanti agar ayah ibunya tidak menyalahkan Pratiwi, karena semua itu adalah kemauannya.

“Saya minta maaf,” kata Pratiwi yang agak lega karena orang tua Ratih mau menerima uluran tangannya.

“Tidak, kamu tidak bersalah. Ratih memang bandel,” kata bu Juwono kemudian.

“Kebetulan kalian datang, kami mau pulang dulu karena sejak semalam menginap di sini,” kata pak Juwono yang kemudian mengajak istrinya untuk keluar.

“Ratih, bagaimana keadaan kamu?”

“Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing,” kata Ratih sambil memegang kepalanya.

“Aku minta maaf.”

“Kenapa meminta maaf? Mbak Tiwi tidak bersalah. Aku bahkan akan memaksa bapak agar membelikan aku sepeda. Nanti kita jalan-jalan bersepeda berdua,” kata Ratih sambil tersenyum.

Roy yang belum berbicara apapun, sesungguhnya sedang menatap Ratih dengan tatapan aneh. Wajah Ratih mirip sekali dengan Aira. Dulu ia tak tertarik pada Aira, tapi Ratih sangat berbeda. Roy heran pada dirinya, karena perasaan ini tak pernah dirasakannya.

Ia baru akan menyapa, ketika tiba-tiba sebuah suara mengagetkannya.

“Tiwi? Kamu di sini?”

Tiwi terkejut, ada Sony tiba-tiba datang.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

 

37 comments:

  1. Alhamdulillah , Terima kasih bunda Tien

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, matur nuwun bunda Tien.

    ReplyDelete
  3. Terimakasih bunda Tien ,Setangkai Bunga ku 13 sudah hadir ,semoga bunda sehat selalu ,terus berkarya ,salam kangen dari Jakarta

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 13 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah...
    Maturnuwun Bu Tien ...
    Salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun mbak Tien-ku,Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  7. Trimakasih Bu Tien ... Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Alhamdullilah..terima ksih bunda SB nya sdh tayang..slm mlm dan slmt istrht..salam seroja dri skbmi..tetap Aduhai bunda🙏🥰😘❤️🌹

    ReplyDelete
  9. Alhamdulilah , terima kasih bu tien ..salam sehat

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Esbe 13 sdh datang
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  11. Roy tertarik kepada Ratihkah, terus Tiwi bagaimana... Apa mungkin Sony berubah jadi orang baik?
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo pak Latief.. Tebak siapa yg dpt Pratiwi?
      Siapa yg dpt Ratih? 🤭🤭👍

      Delete
    2. Wah masih jauh mbak Hermina, rambu"nya masih gelap.

      Delete
  12. Alhamdulillah dah tayang makasih bunda

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah SB-13 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  14. Terima kasih Bu Tien...
    Salam Aduhai...
    Ceritanya selalu menginspirasi...
    Sehat selalu Bu...
    Berkah Dalem Gusti 🙏🛐😇

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien . .

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah. Suwun ibu
    Mugi bu Tien tansah pinaringan sehat njih

    ReplyDelete
  17. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,

    ReplyDelete
  18. Wow Roy oper perseneling masuk gigi berapa nich; maju donk, tadi mantap lajunya, berarti nurunin gigi rendahkan, iya, cukup lama seeh mengamati Ratih mau maju apa mundur nich.
    Wah kalau gini Ardian yang nggak tega pasti, Roy kan nggak tahu tampang si buaya; di kebun binatang ada tuh.
    Asyik
    bakalan runyem nich; Ratih kalau disuruh milih, pilih Ardian, adeknya malah ingat masa lalunya, wajah Aira nempel di muka Ratih; adeknya ya miriplah.
    Padahal Ardian diem diem ada hati sama Pratiwi, lha ini Sony maunya nyosor aja ke Pratiwi, maunya.
    Namanya juga maen hati, paling saling manas manasin biasalah anak muda, tinggal siapa nanti yang jadi.
    Tapi babe Luminto kan maunya suruh cari istri, bukan pacar, paling Roy kelamaan mikir, padahal dia yang getol pedekate Pratiwi.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke- tiga belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  19. Makasih mba Tien.
    Salam hangat selalu. Aduhai

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah terima kasih bu Tien,
    Sepertinya Roy suka dengan Ratih alaihi lanjuuuut bu.
    Salam sehat selalu bu Tien

    ReplyDelete

  21. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~13 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  22. Alhamdulillah, natur nuwun bu Tien 🤗🥰
    Sehat wal'afiat semua bu Tien

    Semakin aduhaaai nih,,,Sony ,tiwi
    Roy - Ratih. ,trs Ardian dg siapa 🤣🤭
    Mantab deh bu Tien

    ReplyDelete
  23. Alhamdulillah, natur nuwun bu Tien 🤗🥰
    Salam sehat wal'afiat semua bu Tien

    ReplyDelete
  24. Terimakasoh bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang
    Semoga bunda sehat" selalu..
    Salam aduhaii dr Sukabumi.. 🙏🙏🌹❤️

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 45

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  45 (Tien Kumalasari)   Beberapa saat lamanya semuanya terdiam. Semuanya serba tak terduga. Bahkan Adisoma ...