Monday, February 6, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 12

 

SETANGKAI BUNGAKU  12

(Tien Kumalasari)

 

Ratih tertegun, melihat Sony juga ikut turun. Padahal dia ingin berlama-lama di rumah Pratiwi.

“Kamu nggak usah mengantar aku sampai harus menunggu. Tinggalkan saja aku, nanti aku pulang sendiri,” katanya.

“Aku akan ikut kamu.”

“Kamu jangan main-main Mas, karena aku bilang bahwa temanku itu cantik, lalu kamu ingin mengganggunya kan? Tidak boleh. Pulang saja sana,” kata Ratih dengan mulut cemberut.

“Ya ampun, kamu berprasangka buruk sama aku ya, cuma mau nganterin saja kok dikira macam-macam.”

“Nggak mungkin kamu hanya sekedar nganterin aku, bukankah pekerjaan kamu banyak?”

“Tidak juga, aku sudah selesai, bukankah aku sudah bilang kalau besok aku sudah kembali ke Jakarta?”

 

“Tapi aku akan lama di sini, kamu mengganggu saja.”

“Aku tidak akan mengganggu, hanya ingin ikut saja, kenapa sih?”

Ratih kehilangan alasan untuk menolak Sony, akhirnya dia membiarkan Sony mengikutinya.

“Tapi awas ya, jangan sekali-sekali kamu mengganggu teman aku. Aku tahu siapa Sony Partadewa, seorang pengusaha muda yang mata keranjang,” omel Ratih sambil melangkah memasuki halaman.

“Kamu termakan issue miring itu. Jangan percaya. Berita itu disebarkan oleh lawan bisnis aku, untuk menjatuhkan namaku,” kata Sony sambil tertawa.

Ratih sudah sampai di depan teras, pintunya terbuka, berarti Pratiwi ada di dalam rumah.

“Mbak Tiwiii !”

Bukannya mengetuk pintu, Ratih malah berteriak memanggil. Dan hanya sekali panggilan, tiba-tiba Pratiwi sudah muncul di depan pintu. Wajahnya berseri ketika melihat Ratih, tapi kemudian tertegun melihat siapa yang bersamanya. Ya, Pratiwi ingat, kemarin ia melihat Ratih bersama Sony. Pacarnya kah? Kasihan Ratih kalau memang dia pacarnya. Laki-laki seperti Sony sangat diragukan ketulusan hatinya. Ia juga ingat ketika semalam Sony memperlakukannya tak wajar. Pakai peluk-peluk segala, dengan alasan yang kebetulan tepat, ingin agar dirinya tidak lari menjahuinya.

“Mbak Tiwi, kaget ya, aku datang bersama dia. Dia ini mas Sony, tadi mengantar aku, ketika aku bilang mau main kemari,” terang Ratih.

“Oh, silakan duduk,” kata Pratiwi sambil mempersilakan kedua tamunya duduk di teras.

“Tempat duduknya hanya seperti ini. Kursi-kursi tua peninggalan almarhum ayahku,” katanya menerangkan.

“Ini aku sudah tahu, Mana ibu? Sedang tidur kah?”

“Ibu sedang istirahat di kamar.”

“Ternyata Pratiwi, teman kamu?”

“Mas Sony sudah kenal sebelumnya?”

“Ibunya pernah memijit aku, saat aku di hotel.”

“Ouw, begitu,” kata Ratih sambil mengangguk.

“Yang jualan sayur itu siapa?” tanya Sony.

“Saya,” jawab Pratiwi.

“Kamu? Bukan main.”

“Bukan main apa maksudnya?” tanya Ratih.

“Begitu bersemangat, sampai jualan sayur juga dijalani. Salut untuk Pratiwi."

Pratiwi tersenyum tipis. Ia tahu Sony sedang berusaha menarik simpatinya. Ah, hanya seorang penjual sayur, pasti itu yang dipikirkannya, tapi ia berusaha membuat hatinya senang.

“Demi membantu orang tua, saya melakukan apapun.”

“Mbak Tiwi ini dulu pintar di sekolahnya, sampai almarhumah mbak Aira sering belajar sama dia,” puji Ratih.

“Wauww, kelihatan kok.”

“Apanya yang kelihatan?” tanya Ratih.

“Dari wajahnya sudah kelihatan kalau dia ini pintar. Tanpa diberitahu juga aku sudah tahu kok.”

“Eh, Mas … kamu pulang sana deh, aku mau ngajakin mbak Tiwi  jalan.”

“Bagus, aku antar saja,” kata Sony bersemangat.

“Nggak mau, aku mau berdua saja sama Mbak Tiwi.," kata Ratih.

“Belum aku buatkan minuman,” kata Pratiwi.

“Nggak usah, dia juga nggak haus kok. Sudah Mas, pulang saja, kami nggak mau diganggu. Nggak enak.”

“Ya ampun, susah-susah dianterin, ujung-ujungnya aku diusir nih?”

Pratiwi menahan senyumnya.

“Sudaah, pulang sana.”

“Aku antar, kemana kalian mau jalan.”

“Nggak mau. Aku mau boncengan sepeda sama Mbak Tiwi.”

“Apa? Boncengan Sepeda motor?”

“Sepeda kayuh, nggak asyik sepeda motor.”

“Ya ampun.”

“Sudah, mau aku ambilkan sapu supaya aku bisa mengusir lebih cepat?”

“Nggak lucu ah, yang punya rumah saja nggak ngusir.”

“Dia mau ngusir juga, tapi sungkan. Ya kan Mbak?”

Pratiwi tersenyum lebar, tapi sedikitpun dia tak memandang ke arah Sony, membuat Sony semakin penasaran.

“Pulang nggak?” ancam Ratih lagi.

“Ya sudah, baiklah, aku pulang dulu Tiwi, sampaikan salam untuk bu Kasnah ya,” kata Sony kepada Pratiwi, sambil tersenyum manis. Senyuman paling manis yang pernah dimilikinya, tapi Pratiwi hanya menatap sekilas, kemudian mengangguk.

Sony melangkah pergi, Ratih menatap punggungnya sambil tersenyum.

“Nggak apa-apa kan, aku usir dia, Mbak?”

“Nggak apa-apa, memangnya kenapa?”

“Dia terkadang nyebelin, ayo, antar aku ketemu ibu dulu,” kata Ratih yang langsung berdiri dan melangkah masuk ke rumah.

Yu Kasnah ternyata tidak tidur, dia duduk di kursi, entah memikirkan apa.

“Bu Kasnah,” sapa Ratih sambil duduk di samping yu Kasnah.

‘Ini siapa? Baunya wangi banget,” tanya bu Kasnah sambil tangannya meraba pangkuan orang yang ada disampingnya.

“Coba tebak, aku siapa?” kata Ratih sambil tertawa.

“Kalau bau begini ini, aku jadi ingat sama nak Aira.”

“Ah Ibu, membuat aku jadi teringat kakak aku saja,” Ratih merajuk.

“Oh, aku tahu, ini nak Ratih, bukan?”

“Iya, bu Kasnah pinter.”

“Siang-siang sudah main kesini, pulang kuliah ya?”

“Nggak Bu, Ratih dari rumah. Ratih mau ngajakin mbak Pratiwi jalan-jalan ya?”

“Siang-siang mau jalan ke mana?”

“Ke mana saja Bu, tapi aku mau diboncengin mbak Tiwi.”

“Boncengan? Tiwi punya nya cuma sepeda tuh.”

“Emang kenapa kalau sepeda?”

“Kan panas, nanti kulit kamu hitam.”

“Biarkan kulitnya hitam, asal hatinya putih,” kata Ratih sambil merangkul bahu yu Kasnah.

“Anak pinter. Bagus kalau begitu, tapi hati-hati ya.”

“Ini minum kamu Tih,” kata Pratiwi sambil membawa nampan berisi segelas teh manis.

“Kok repot-repot.”

“Nggak repot kok, ayo diminum. Tapi adanya teh hangat, nggak punya yang bikin dingin-dingin sih,” kata Pratiwi sambil meletakkan  gelasnya.

“Nggak papa, hangat juga enak. Nih aku minum, kamu ganti baju dulu, aku sudah bilang sama ibu kalau mau ngajakin kamu jalan, tapi aku diboncengin ya.”

“Iya, nggak apa-apa, tunggu sebentar ya.”

***

Hari itu Ratih senang sekali, bisa jalan-jalan santai dengan membonceng sepeda Pratiwi. Hal yang belum pernah dilakukannya seumur-umur, karena sejak masih kecil, kemana-mana selalu diantar mobil, lalu setelah dewasa bisa setir sendiri.

“Asyik ya, boceng sepeda.”

“Enakan naik mobil dong Tih.”

“Itu sudah biasa. Kali ini aku merasa bahwa bersepeda itu menyenangkan. Nanti aku mau minta sama bapak, agar dibelikan sepeda. Nanti kita bisa bersepeda berdua,” kata Ratih riang.

“Emang kamu bisa naik sepeda?”

“Bisa lah, belajar dong. Orang lain bisa, masa aku nggak bisa.”

“Baiklah, senang bisa sepedaan bersama.”

“Tapi aku haus, cari warung yuk, es kelapa muda, barangkali segar.”

“Di depan itu ada. Ayuk ke sana.”

***

Keduanya masuk ke warung es yang menjual bermacam-macam minuman. Ratih memesan es kelapa muda, Pratiwi memesan es buah.

“Ada juga rujak ya, aku mau rujak,” kata Ratih.

“Aku juga mau,” sambung Pratiwi.

Keduanya menikmati kesegaran es dan rujak, yang rasanya pedas-pedas sedap. Sambil menikmati pesanan mereka, Ratih berbincang tentang banyak hal. Tentang keluarganya yang sibuk, dan dirinya yang kesepian.

“Kepergian mbak Aira, membuat aku seperti tak punya pegangan. Aku merasa sendiri dan kesepian,” keluh Ratih.

“Kamu seperti tidak mengikhlaskan kepergian kakak kamu, itu tidak baik. Memang benar, kita semua kehilangan, tapi kamu tidak boleh kehilangan pegangan. Hidup akan terus berjalan, dan harus kamu nikmati dengan rasa syukur. Jangan berhenti melangkah, karena masih banyak yang bisa kamu capai dalam hidup ini.”

“Iya, aku tahu.”

“Kembalilah kuliah. Akan banyak teman-teman yang bisa membuatmu terhibur. Kalau kamu terus mengurung diri, maka kamu akan merasakan betapa sepinya hidup kamu. Dan lagi, bukankah ada ibu dirumah?”

“Tidak selalu ada. Ibu banyak bepergian, karena ibu aktif di banyak organisasi wanita. Sedangkan aku merasa terpuruk di rumah.”

“Kalau begitu kamu harus kembali kuliah. Sayang kalau kamu biarkan terbengkalai.”

“Apa Mbak Tiwi ingin kuliah?”

“Jangan bertanya soal itu. Keinginan itu ada, tapi aku ini kan seperti pungguk merindukan bulan. Tanganku tak akan sampai untuk menggapainya.”

“Apa Mbak mau, seandainya ada yang membiayai kuliah Mbak?”

“Tidak, sudahlah. Aku tak mau membebani siapapun. Ini adalah hidupku. Suka ataupun tidak, aku harus menjalaninya. Aku satu-satunya tulang punggung keluarga. Jangankan memikirkan kuliah, memikirkan sekolah adik aku saja terkadang terasa berat. Belum kalau nanti dia akan masuk SMP, yang biayanya pasti lebih besar, Tapi tak apa, jangan memikirkan aku, dan jangan tanyakan apapun tentang keinginanku.”

“Aku ikut prihatin, dan ingin membantu.”

“Tidak, jangan membuat kami berhutang. Tetaplah kita berteman, dan saling menemani.”

Keduanya kemudian terdiam. Mulut mereka menikmati segarnya es dan rujak yang mereka pesan, tapi pikiran mereka terbang kemana-mana.

“Kamu punya pacar, Mbak?” tanya Ratih tiba-tiba.

“Apa?” pertanyaan itu membuat Pratiwi kemudian tersedak-sedak.

“Ya ampun Mbak, pelan-pelan dong.”

“Pertanyaan kamu membuat aku terkejut, mana mungkin aku memikirkan pacar? Dan siapa mau sama gadis miskin seperti aku?”

“Kamu itu cantik lho Mbak.”

“Cantik yang redup, baik wajah maupun kehidupannya. Lupakan saja.”

“Mas Sony kelihatannya tertarik sama Mbak.”

“Apa? Dia?”

“Tapi jangan hiraukan. Dia itu playboy. Suka bermain wanita, dan itu sudah terkenal.”

“Ya aku tahu dari cara dia bersikap. Tampak berlebihan. Tapi aku bukan gadis yang bisa dipermainkan. Biarpun aku miskin, tapi aku punya harga diri.”

“Aku suka sikap Mbak Tiwi.”

“Aku pernah melihat kamu memasuki sebuah toko bersama dia. Aku kira dia pacar kamu.”

“Bukan lah, aku nggak suka dia. Aku kan sudah mengatakan tentang dia? Lagi pula dia tak akan berani bermain-main sama aku. Ayahnya sahabat ayahku.”

“Syukurlah.”

Keduanya pulang ketika hari menjelang sore.

“Hari kampir sore, kamu pasti membuat ibu kamu cemas.”

“Ya enggak, memangnya aku anak kecil?”

“Aku antar pulang ya?”

“Tidak, kita ke rumah kamu dulu, nanti aku naik taksi. Mana mungkin aku biarkan Mbak mengantar aku. Rumahku jauh dari rumah Mbak. Tapi apa Mbak tidak capek memboncengkan aku terus? Aku belum berani sih.”

“Tidak, biasa saja. Ayo cepat naik.”

Lalu Pratiwi mengayuh sepedanya pelan. Matahari mulai condong ke arah barat, sehingga suasana udara panas sudah mulai berkurang.

Tapi ketika mereka berhenti di sebuah trafic light, tiba-tiba sebuah sepeda motor ngebut dan mengejar rambu-rambu, dan karena menyalip lewat pinggir kiri, maka sepeda motor itu menyerempet tubuh Ratih, membuatnya terpental.

Pratiwi menjerit, melihat Ratih tergeletak tak bergerak.

“Oh, tolong … tolonglah,” pekiknya ketakutan. Beberapa kendaraan mencoba mengejar pengendara yang terus mengebut itu, tapi Pratiwi fokus pada keadaan Ratih yang diam tak bergerak. Sebuah mobil tiba-tiba mendekat, dan berhenti di dekat kecelakaan itu.

Rupanya Sony terus mengikuti kepergian dua gadis itu, sejak mereka berangkat, sampai ketika mereka berhenti di warung es, lalu ketika mereka beranjak pulang. Ia melompat turun dan menghampiri Ratih yang  diam tak bergerak.

“Ada apa?”

“Sebuah sepeda motor menyerempet dia,” jawab Pratiwi dengan wajah pucat.

Sony segera mengangkat tubuh Ratih, dimasukkannya ke dalam mobil.

“Titipkan sepeda kamu di toko sebelah itu, ikutlah ke rumah sakit,” kata Sony kepada Pratiwi. Pratiwi mengangguk. Tak ada waktu untuk merasakan apakah dia harus menghindari Sony. Yang dipikirkannya hanya keselamatan Ratih.

Ia menitipkan sepedanya di toko terdekat, lalu lari menghampiri mobil Sony, ia duduk di sebelah Ratih yang diam tergeletak di jok belakang.

Sony melarikannya ke rumah sakit.

“Ratih, bangun Ratih, tolong sadarlah,” ratap Pratiwi berkali-kali.

Ketika hampir sampai di rumah sakit, tiba-tiba Ratih bergerak. Pratiwi mendekapnya. Ada darah di kepalanya.

“Ratih …”

“Kepalaku, sakit ….” Rintihnya.

“Kamu tenang dan harus kuat ya, ini sedang menuju rumah sakit.”

Di jalan, Sony menelpon bu Juwono. Sehingga begitu sampai di rumah sakit, sesaat ketika Ratih di dorong ke ruang UGD, bu Jowono langsung datang dan menghampiri Sony.

“Ada apa lagi anakku? Bukankah tadi bersama kamu?” tegurnya marah sambil menuding ke arah wajah Sony.

“Tidak Bu, Ratih sedang jalan-jalan dengan sepeda bersama Pratiwi,” jawab Sony sambil menatap ke arah Pratiwi.

“Apa? Naik sepeda? Bersama kamu? Mengapa naik sepeda, sedang kan banyak mobil di rumah? Kamu orang miskin akan membuat anakku tewas?” hardik bu Jowono sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Pratiwi, sangat dekat, sehingga Pratiwi setapak mundur ke belakang.

***

Besok lagi ya.

 

45 comments:

  1. Alhamdulillah...
    SBk 12 sudah tayang....
    Maturnuwun bu Tien, salam sehat selalu...

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 12 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  3. Hatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang salam aduhaai dari Lampung inggih

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku,SB12 tayang.

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah
    Sdh datang
    Matur nuwun bu

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah,terimakasih bu tien

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehag

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah SB-12 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete

  9. Makin rumit saja, akan kemana arah si Tiwi yang anak miskin ini.
    Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulilah , terima kasih bu tien.... nampaknya ini perbuatan orang suruhan sony yg membuat celaka. Salam sehat bu tien

    ReplyDelete
  11. Wohwoh menyakitkan sekali omongannya Bu Juwono....sabar Tiwi...trims Bu tien

    ReplyDelete
  12. Alhamdulilah
    Terimakasih cerbungnya bunda Tien
    Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin

    ReplyDelete

  13. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~12 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  14. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,

    ReplyDelete
  15. Terima kasih, bu Tien...sedikit masukan, sepertinya lebih baik Ratih menyebut Pratiwi dalam percakapan "Mbak" terus deh, bukannya kadang2 "kamu", krn Tiwi adalah teman Aira.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ke Sony juga awalnya "Mas Sony", kadang "kamu". Apa memang begitu gaya khas penulis supaya kesannya akrab...

      Delete
  16. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  17. Gentian Pratiwi di unyel² perasaan né sama maknya, jauh lagi dari rumah, yaudah nasi sudah jadi bubur.
    Semoga Ratih nggak konslet jadi pusing pusing kepala, ini kesempatan Sony mau bikin gara gara, lagian saksinya cuman dia dengan mudah menghilangkan barang bukti, kelihatan banget lepas tangan mau ikutan ngrunyem.
    Semoga ada yang membantu menguatkan keterpurukan, biasanya kan memang tau sudah beda kelas, malah pengumuman, jian maknya, kejam banget tuh; panik kale, tau kondisi anaknya gitu.
    Terus gimana, dituntut sama maknya gitu ngomongnya, coba bertahan nunggu juga bikin tambah mumet.
    Bisa tuh maknya malah suruh Sony yang nungguin, kan maknya orang sibuk.

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke-duabelas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
    Replies
    1. Maknya Ratih nyalahin Pratiwi ya pak..
      kasian dia udh cape boncagin Ratih..
      pdhl yg nyerempet motor org..

      Delete
  18. Wah wah Sony otak buaya...blm juga kapok ..Terima kasih ya bubTien

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga aja niatnya baik ya bunda Yanti.. hehe..kita tunggu lanjutannya bun.. 🥰🌹👍

      Delete
  19. Salem(Boston 6 February 2023), jam 2:49 sore yang freezing! Terima kasih bunda Tien untuk tayangannya yang ke 12! Hari ini kebetulan saya habis mengerjakan sesuatu harus pakai laptop jd saya bisa buka Kejora Pagi! Selamat pagi bunda Tien dan bunda2 & yahanda2 PCTK dimanapun berada di seluruh Indonesia! Selamat beraktifitas Tuhan menyertai dan memberkati!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam sehat selalu bunda Willa..
      Semoga bunda Willa selalu hadir di blog Bunda Tien Kumalasari..
      Serasa lbh berwarna nih.. ada anggota Pctk dari Amrik..
      Sampai jumpa bsk ya bunda.. 🌹🌹🥰👍

      Delete
  20. Matursuwun bu Tien, salam sehat selalu... Alhamdulillah

    ReplyDelete
  21. Bundaaaaa .terima ksih SB nya🙏semoga bunda sht yerus dan berkarya..slmseroja dri skbmi🙏🥰🌹

    ReplyDelete
  22. Tks bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang
    Semga bunda sehat" dan berbahagia selalu dg kelg tersayang
    Salam Aduhaii... 🌹🌹🥰❤️

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 45

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  45 (Tien Kumalasari)   Beberapa saat lamanya semuanya terdiam. Semuanya serba tak terduga. Bahkan Adisoma ...