SETANGKAI BUNGAKU
12
(Tien Kumalasari)
Ratih tertegun, melihat Sony juga ikut turun. Padahal
dia ingin berlama-lama di rumah Pratiwi.
“Kamu nggak usah mengantar aku sampai harus menunggu.
Tinggalkan saja aku, nanti aku pulang sendiri,” katanya.
“Aku akan ikut kamu.”
“Kamu jangan main-main Mas, karena aku bilang bahwa
temanku itu cantik, lalu kamu ingin mengganggunya kan? Tidak boleh. Pulang saja
sana,” kata Ratih dengan mulut cemberut.
“Ya ampun, kamu berprasangka buruk sama aku ya, cuma
mau nganterin saja kok dikira macam-macam.”
“Nggak mungkin kamu hanya sekedar nganterin aku,
bukankah pekerjaan kamu banyak?”
“Tidak juga, aku sudah selesai, bukankah aku sudah
bilang kalau besok aku sudah kembali ke Jakarta?”
“Tapi aku akan lama di sini, kamu mengganggu saja.”
“Aku tidak akan mengganggu, hanya ingin ikut saja,
kenapa sih?”
Ratih kehilangan alasan untuk menolak Sony, akhirnya
dia membiarkan Sony mengikutinya.
“Tapi awas ya, jangan sekali-sekali kamu mengganggu
teman aku. Aku tahu siapa Sony Partadewa, seorang pengusaha muda yang mata
keranjang,” omel Ratih sambil melangkah memasuki halaman.
“Kamu termakan issue miring itu. Jangan percaya. Berita
itu disebarkan oleh lawan bisnis aku, untuk menjatuhkan namaku,” kata Sony
sambil tertawa.
Ratih sudah sampai di depan teras, pintunya terbuka,
berarti Pratiwi ada di dalam rumah.
“Mbak Tiwiii !”
Bukannya mengetuk pintu, Ratih malah berteriak
memanggil. Dan hanya sekali panggilan, tiba-tiba Pratiwi sudah muncul di depan
pintu. Wajahnya berseri ketika melihat Ratih, tapi kemudian tertegun melihat
siapa yang bersamanya. Ya, Pratiwi ingat, kemarin ia melihat Ratih bersama
Sony. Pacarnya kah? Kasihan Ratih kalau memang dia pacarnya. Laki-laki seperti
Sony sangat diragukan ketulusan hatinya. Ia juga ingat ketika semalam Sony
memperlakukannya tak wajar. Pakai peluk-peluk segala, dengan alasan yang
kebetulan tepat, ingin agar dirinya tidak lari menjahuinya.
“Mbak Tiwi, kaget ya, aku datang bersama dia. Dia ini
mas Sony, tadi mengantar aku, ketika aku bilang mau main kemari,” terang Ratih.
“Oh, silakan duduk,” kata Pratiwi sambil mempersilakan
kedua tamunya duduk di teras.
“Tempat duduknya hanya seperti ini. Kursi-kursi tua
peninggalan almarhum ayahku,” katanya menerangkan.
“Ini aku sudah tahu, Mana ibu? Sedang tidur kah?”
“Ibu sedang istirahat di kamar.”
“Ternyata Pratiwi, teman kamu?”
“Mas Sony sudah kenal sebelumnya?”
“Ibunya pernah memijit aku, saat aku di hotel.”
“Ouw, begitu,” kata Ratih sambil mengangguk.
“Yang jualan sayur itu siapa?” tanya Sony.
“Saya,” jawab Pratiwi.
“Kamu? Bukan main.”
“Bukan main apa maksudnya?” tanya Ratih.
“Begitu bersemangat, sampai jualan sayur juga
dijalani. Salut untuk Pratiwi."
Pratiwi tersenyum tipis. Ia tahu Sony sedang berusaha
menarik simpatinya. Ah, hanya seorang penjual sayur, pasti itu yang
dipikirkannya, tapi ia berusaha membuat hatinya senang.
“Demi membantu orang tua, saya melakukan apapun.”
“Mbak Tiwi ini dulu pintar di sekolahnya, sampai
almarhumah mbak Aira sering belajar sama dia,” puji Ratih.
“Wauww, kelihatan kok.”
“Apanya yang kelihatan?” tanya Ratih.
“Dari wajahnya sudah kelihatan kalau dia ini pintar.
Tanpa diberitahu juga aku sudah tahu kok.”
“Eh, Mas … kamu pulang sana deh, aku mau ngajakin mbak
Tiwi jalan.”
“Bagus, aku antar saja,” kata Sony bersemangat.
“Nggak mau, aku mau berdua saja sama Mbak Tiwi.," kata
Ratih.
“Belum aku buatkan minuman,” kata Pratiwi.
“Nggak usah, dia juga nggak haus kok. Sudah Mas,
pulang saja, kami nggak mau diganggu. Nggak enak.”
“Ya ampun, susah-susah dianterin, ujung-ujungnya aku
diusir nih?”
Pratiwi menahan senyumnya.
“Sudaah, pulang sana.”
“Aku antar, kemana kalian mau jalan.”
“Nggak mau. Aku mau boncengan sepeda sama Mbak Tiwi.”
“Apa? Boncengan Sepeda motor?”
“Sepeda kayuh, nggak asyik sepeda motor.”
“Ya ampun.”
“Sudah, mau aku ambilkan sapu supaya aku bisa mengusir
lebih cepat?”
“Nggak lucu ah, yang punya rumah saja nggak ngusir.”
“Dia mau ngusir juga, tapi sungkan. Ya kan Mbak?”
Pratiwi tersenyum lebar, tapi sedikitpun dia tak
memandang ke arah Sony, membuat Sony semakin penasaran.
“Pulang nggak?” ancam Ratih lagi.
“Ya sudah, baiklah, aku pulang dulu Tiwi, sampaikan
salam untuk bu Kasnah ya,” kata Sony kepada Pratiwi, sambil tersenyum manis.
Senyuman paling manis yang pernah dimilikinya, tapi Pratiwi hanya menatap
sekilas, kemudian mengangguk.
Sony melangkah pergi, Ratih menatap punggungnya sambil
tersenyum.
“Nggak apa-apa kan, aku usir dia, Mbak?”
“Nggak apa-apa, memangnya kenapa?”
“Dia terkadang nyebelin, ayo, antar aku ketemu ibu
dulu,” kata Ratih yang langsung berdiri dan melangkah masuk ke rumah.
Yu Kasnah ternyata tidak tidur, dia duduk di kursi,
entah memikirkan apa.
“Bu Kasnah,” sapa Ratih sambil duduk di samping yu
Kasnah.
‘Ini siapa? Baunya wangi banget,” tanya bu Kasnah
sambil tangannya meraba pangkuan orang yang ada disampingnya.
“Coba tebak, aku siapa?” kata Ratih sambil tertawa.
“Kalau bau begini ini, aku jadi ingat sama nak Aira.”
“Ah Ibu, membuat aku jadi teringat kakak aku saja,”
Ratih merajuk.
“Oh, aku tahu, ini nak Ratih, bukan?”
“Iya, bu Kasnah pinter.”
“Siang-siang sudah main kesini, pulang kuliah ya?”
“Nggak Bu, Ratih dari rumah. Ratih mau ngajakin mbak
Pratiwi jalan-jalan ya?”
“Siang-siang mau jalan ke mana?”
“Ke mana saja Bu, tapi aku mau diboncengin mbak Tiwi.”
“Boncengan? Tiwi punya nya cuma sepeda tuh.”
“Emang kenapa kalau sepeda?”
“Kan panas, nanti kulit kamu hitam.”
“Biarkan kulitnya hitam, asal hatinya putih,” kata
Ratih sambil merangkul bahu yu Kasnah.
“Anak pinter. Bagus kalau begitu, tapi hati-hati ya.”
“Ini minum kamu Tih,” kata Pratiwi sambil membawa
nampan berisi segelas teh manis.
“Kok repot-repot.”
“Nggak repot kok, ayo diminum. Tapi adanya teh hangat,
nggak punya yang bikin dingin-dingin sih,” kata Pratiwi sambil meletakkan gelasnya.
“Nggak papa, hangat juga enak. Nih aku minum, kamu
ganti baju dulu, aku sudah bilang sama ibu kalau mau ngajakin kamu jalan, tapi
aku diboncengin ya.”
“Iya, nggak apa-apa, tunggu sebentar ya.”
***
Hari itu Ratih senang sekali, bisa jalan-jalan santai
dengan membonceng sepeda Pratiwi. Hal yang belum pernah dilakukannya
seumur-umur, karena sejak masih kecil, kemana-mana selalu diantar mobil, lalu
setelah dewasa bisa setir sendiri.
“Asyik ya, boceng sepeda.”
“Enakan naik mobil dong Tih.”
“Itu sudah biasa. Kali ini aku merasa bahwa bersepeda
itu menyenangkan. Nanti aku mau minta sama bapak, agar dibelikan sepeda. Nanti
kita bisa bersepeda berdua,” kata Ratih riang.
“Emang kamu bisa naik sepeda?”
“Bisa lah, belajar dong. Orang lain bisa, masa aku
nggak bisa.”
“Baiklah, senang bisa sepedaan bersama.”
“Tapi aku haus, cari warung yuk, es kelapa muda,
barangkali segar.”
“Di depan itu ada. Ayuk ke sana.”
***
Keduanya masuk ke warung es yang menjual
bermacam-macam minuman. Ratih memesan es kelapa muda, Pratiwi memesan es buah.
“Ada juga rujak ya, aku mau rujak,” kata Ratih.
“Aku juga mau,” sambung Pratiwi.
Keduanya menikmati kesegaran es dan rujak, yang
rasanya pedas-pedas sedap. Sambil menikmati pesanan mereka, Ratih berbincang
tentang banyak hal. Tentang keluarganya yang sibuk, dan dirinya yang kesepian.
“Kepergian mbak Aira, membuat aku seperti tak punya
pegangan. Aku merasa sendiri dan kesepian,” keluh Ratih.
“Kamu seperti tidak mengikhlaskan kepergian kakak
kamu, itu tidak baik. Memang benar, kita semua kehilangan, tapi kamu tidak
boleh kehilangan pegangan. Hidup akan terus berjalan, dan harus kamu nikmati
dengan rasa syukur. Jangan berhenti melangkah, karena masih banyak yang bisa
kamu capai dalam hidup ini.”
“Iya, aku tahu.”
“Kembalilah kuliah. Akan banyak teman-teman yang bisa
membuatmu terhibur. Kalau kamu terus mengurung diri, maka kamu akan merasakan
betapa sepinya hidup kamu. Dan lagi, bukankah ada ibu dirumah?”
“Tidak selalu ada. Ibu banyak bepergian, karena ibu
aktif di banyak organisasi wanita. Sedangkan aku merasa terpuruk di rumah.”
“Kalau begitu kamu harus kembali kuliah. Sayang kalau
kamu biarkan terbengkalai.”
“Apa Mbak Tiwi ingin kuliah?”
“Jangan bertanya soal itu. Keinginan itu ada, tapi aku
ini kan seperti pungguk merindukan bulan. Tanganku tak akan sampai untuk
menggapainya.”
“Apa Mbak mau, seandainya ada yang membiayai kuliah
Mbak?”
“Tidak, sudahlah. Aku tak mau membebani siapapun. Ini
adalah hidupku. Suka ataupun tidak, aku harus menjalaninya. Aku satu-satunya
tulang punggung keluarga. Jangankan memikirkan kuliah, memikirkan sekolah adik
aku saja terkadang terasa berat. Belum kalau nanti dia akan masuk SMP, yang
biayanya pasti lebih besar, Tapi tak apa, jangan memikirkan aku, dan jangan
tanyakan apapun tentang keinginanku.”
“Aku ikut prihatin, dan ingin membantu.”
“Tidak, jangan membuat kami berhutang. Tetaplah kita
berteman, dan saling menemani.”
Keduanya kemudian terdiam. Mulut mereka menikmati segarnya
es dan rujak yang mereka pesan, tapi pikiran mereka terbang kemana-mana.
“Kamu punya pacar, Mbak?” tanya Ratih tiba-tiba.
“Apa?” pertanyaan itu membuat Pratiwi kemudian
tersedak-sedak.
“Ya ampun Mbak, pelan-pelan dong.”
“Pertanyaan kamu membuat aku terkejut, mana mungkin
aku memikirkan pacar? Dan siapa mau sama gadis miskin seperti aku?”
“Kamu itu cantik lho Mbak.”
“Cantik yang redup, baik wajah maupun kehidupannya.
Lupakan saja.”
“Mas Sony kelihatannya tertarik sama Mbak.”
“Apa? Dia?”
“Tapi jangan hiraukan. Dia itu playboy. Suka bermain
wanita, dan itu sudah terkenal.”
“Ya aku tahu dari cara dia bersikap. Tampak
berlebihan. Tapi aku bukan gadis yang bisa dipermainkan. Biarpun aku miskin,
tapi aku punya harga diri.”
“Aku suka sikap Mbak Tiwi.”
“Aku pernah melihat kamu memasuki sebuah toko bersama
dia. Aku kira dia pacar kamu.”
“Bukan lah, aku nggak suka dia. Aku kan sudah
mengatakan tentang dia? Lagi pula dia tak akan berani bermain-main sama aku.
Ayahnya sahabat ayahku.”
“Syukurlah.”
Keduanya pulang ketika hari menjelang sore.
“Hari kampir sore, kamu pasti membuat ibu kamu cemas.”
“Ya enggak, memangnya aku anak kecil?”
“Aku antar pulang ya?”
“Tidak, kita ke rumah kamu dulu, nanti aku naik taksi.
Mana mungkin aku biarkan Mbak mengantar aku. Rumahku jauh dari rumah Mbak. Tapi
apa Mbak tidak capek memboncengkan aku terus? Aku belum berani sih.”
“Tidak, biasa saja. Ayo cepat naik.”
Lalu Pratiwi mengayuh sepedanya pelan. Matahari mulai
condong ke arah barat, sehingga suasana udara panas sudah mulai berkurang.
Tapi ketika mereka berhenti di sebuah trafic light,
tiba-tiba sebuah sepeda motor ngebut dan mengejar rambu-rambu, dan karena
menyalip lewat pinggir kiri, maka sepeda motor itu menyerempet tubuh Ratih,
membuatnya terpental.
Pratiwi menjerit, melihat Ratih tergeletak tak
bergerak.
“Oh, tolong … tolonglah,” pekiknya ketakutan. Beberapa
kendaraan mencoba mengejar pengendara yang terus mengebut itu, tapi Pratiwi
fokus pada keadaan Ratih yang diam tak bergerak. Sebuah mobil tiba-tiba
mendekat, dan berhenti di dekat kecelakaan itu.
Rupanya Sony terus mengikuti kepergian dua gadis itu,
sejak mereka berangkat, sampai ketika mereka berhenti di warung es, lalu ketika
mereka beranjak pulang. Ia melompat turun dan menghampiri Ratih yang diam tak bergerak.
“Ada apa?”
“Sebuah sepeda motor menyerempet dia,” jawab Pratiwi
dengan wajah pucat.
Sony segera mengangkat tubuh Ratih, dimasukkannya ke
dalam mobil.
“Titipkan sepeda kamu di toko sebelah itu, ikutlah ke
rumah sakit,” kata Sony kepada Pratiwi. Pratiwi mengangguk. Tak ada waktu untuk
merasakan apakah dia harus menghindari Sony. Yang dipikirkannya hanya
keselamatan Ratih.
Ia menitipkan sepedanya di toko terdekat, lalu lari
menghampiri mobil Sony, ia duduk di sebelah Ratih yang diam tergeletak di jok
belakang.
Sony melarikannya ke rumah sakit.
“Ratih, bangun Ratih, tolong sadarlah,” ratap Pratiwi
berkali-kali.
Ketika hampir sampai di rumah sakit, tiba-tiba Ratih
bergerak. Pratiwi mendekapnya. Ada darah di kepalanya.
“Ratih …”
“Kepalaku, sakit ….” Rintihnya.
“Kamu tenang dan harus kuat ya, ini sedang menuju
rumah sakit.”
Di jalan, Sony menelpon bu Juwono. Sehingga begitu
sampai di rumah sakit, sesaat ketika Ratih di dorong ke ruang UGD, bu Jowono
langsung datang dan menghampiri Sony.
“Ada apa lagi anakku? Bukankah tadi bersama kamu?” tegurnya
marah sambil menuding ke arah wajah Sony.
“Tidak Bu, Ratih sedang jalan-jalan dengan sepeda
bersama Pratiwi,” jawab Sony sambil menatap ke arah Pratiwi.
“Apa? Naik sepeda? Bersama kamu? Mengapa naik sepeda,
sedang kan banyak mobil di rumah? Kamu orang miskin akan membuat anakku tewas?”
hardik bu Jowono sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Pratiwi, sangat
dekat, sehingga Pratiwi setapak mundur ke belakang.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDelete
ReplyDeletemtnuwun mb Tien 🙏🙏
Mtrnwn
ReplyDeleteAlhamdulillah Maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeletematur Nuwun Bu Tien....
ReplyDeleteMatur nuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteSBk 12 sudah tayang....
Maturnuwun bu Tien, salam sehat selalu...
Suwun
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien...
ReplyDelete🙏🙏
Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 12 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Suwun
ReplyDeleteHatur nuwun mbakyu Tienkumalasari sayang salam aduhaai dari Lampung inggih
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien sugeng ndalu
ReplyDeleteLama nggak komen, pak Djuniarto
DeleteMatur nuwun mbak Tien-ku,SB12 tayang.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSdh datang
Matur nuwun bu
Alhamdulillah,terimakasih bu tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehag
ReplyDeletealhamdulillah .....maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-12 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat selalu.
Aamiin
ReplyDeleteMakin rumit saja, akan kemana arah si Tiwi yang anak miskin ini.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Alhamdulilah , terima kasih bu tien.... nampaknya ini perbuatan orang suruhan sony yg membuat celaka. Salam sehat bu tien
ReplyDeleteWohwoh menyakitkan sekali omongannya Bu Juwono....sabar Tiwi...trims Bu tien
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih cerbungnya bunda Tien
Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat wal'afiat aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~12 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
Alhamdulilah
ReplyDeleteHallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti,
Terima kasih, bu Tien...sedikit masukan, sepertinya lebih baik Ratih menyebut Pratiwi dalam percakapan "Mbak" terus deh, bukannya kadang2 "kamu", krn Tiwi adalah teman Aira.
ReplyDeleteKe Sony juga awalnya "Mas Sony", kadang "kamu". Apa memang begitu gaya khas penulis supaya kesannya akrab...
DeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDeleteTerima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteGentian Pratiwi di unyel² perasaan né sama maknya, jauh lagi dari rumah, yaudah nasi sudah jadi bubur.
ReplyDeleteSemoga Ratih nggak konslet jadi pusing pusing kepala, ini kesempatan Sony mau bikin gara gara, lagian saksinya cuman dia dengan mudah menghilangkan barang bukti, kelihatan banget lepas tangan mau ikutan ngrunyem.
Semoga ada yang membantu menguatkan keterpurukan, biasanya kan memang tau sudah beda kelas, malah pengumuman, jian maknya, kejam banget tuh; panik kale, tau kondisi anaknya gitu.
Terus gimana, dituntut sama maknya gitu ngomongnya, coba bertahan nunggu juga bikin tambah mumet.
Bisa tuh maknya malah suruh Sony yang nungguin, kan maknya orang sibuk.
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke-duabelas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Maknya Ratih nyalahin Pratiwi ya pak..
Deletekasian dia udh cape boncagin Ratih..
pdhl yg nyerempet motor org..
Wah wah Sony otak buaya...blm juga kapok ..Terima kasih ya bubTien
ReplyDeleteSemoga aja niatnya baik ya bunda Yanti.. hehe..kita tunggu lanjutannya bun.. 🥰🌹👍
DeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSalem(Boston 6 February 2023), jam 2:49 sore yang freezing! Terima kasih bunda Tien untuk tayangannya yang ke 12! Hari ini kebetulan saya habis mengerjakan sesuatu harus pakai laptop jd saya bisa buka Kejora Pagi! Selamat pagi bunda Tien dan bunda2 & yahanda2 PCTK dimanapun berada di seluruh Indonesia! Selamat beraktifitas Tuhan menyertai dan memberkati!
ReplyDeleteSalam sehat selalu bunda Willa..
DeleteSemoga bunda Willa selalu hadir di blog Bunda Tien Kumalasari..
Serasa lbh berwarna nih.. ada anggota Pctk dari Amrik..
Sampai jumpa bsk ya bunda.. 🌹🌹🥰👍
Makasih mba Tien
ReplyDeleteMatursuwun bu Tien, salam sehat selalu... Alhamdulillah
ReplyDeleteBundaaaaa .terima ksih SB nya🙏semoga bunda sht yerus dan berkarya..slmseroja dri skbmi🙏🥰🌹
ReplyDeleteTks bunda Tien.. Pratiwi sdh tayang
ReplyDeleteSemga bunda sehat" dan berbahagia selalu dg kelg tersayang
Salam Aduhaii... 🌹🌹🥰❤️
Menunggu sambil ngantuk
ReplyDelete