Wednesday, February 8, 2023

SETANGKAI BUNGAKU 14

 

SETANGKAI BUNGAKU  14

(Tien Kumalasari)

 

Roy menoleh ke arah datangnya suara, dan melihat seorang laki-laki gagah dan tampan, sedang tersenyum sambil menatap Pratiwi. Ia sedang menduga-duga, siapa laki-laki itu, ketika terdengar Ratih menyapanya.

“Mas Sony! Ngapain datang kemari!”

“O, ini yang namanya Sony? Laki-laki yang pernah dihajar kakakku? Kok kenal sama Ratih sih?” kata batin Roy yang segera menahan kekesalannya, ketika Sony masih tetap menatap Pratiwi, sementara Pratiwi sudah mengalihkan pandangannya ke arah lain.

“Mas! Katanya kamu pulang hari ini?”

“Oh, iya … ini aku mau pulang, maksudnya pamitan sama kamu. Dan kebetulan ada Pratiwi juga di sini. Apa kabar Pratiwi?”

“Nggak penting juga kamu pamitan sama aku, harusnya ke rumah, ketemu sama bapak, barangkali ada pesan untuk kamu.”

“Aku sudah ke rumah, tapi rumah kosong. Kata pembantu, bapak sama ibu ada di rumah sakit. Ternyata nggak ada.”

“Bapak sama ibu baru saja pulang.”

“Sayang sekali, kalau begitu nanti pamitkan saja, kalau ada pesan boleh menelpon.”

“Pratiwi, aku pamit ya,” kata Sony tanpa mempedulikan Roy yang berdiri di samping Pratiwi.

“Mas Roy, ini namanya mas Sony, temannya Ratih,” kata Pratiwi yang justru mengajak bicara Roy dengan mengenalkannya pada Sony.

“Oh ya, maaf, aku kurang memperhatikan, saya Sony, teman dekatnya Pratiwi juga,” kata Sony sombong, padahal bohong.

Lalu ia mengulurkan tangannya pada Roy, yang dibalas menyalami tapi dengan wajah kurang senang.

“Ya sudah Mas, cepat berangkat, nanti kamu ketinggalan pesawat.”

“Aku tidak naik pesawat, kamu lupa ya? Aku lebih suka naik mobil. Kamu suka banget sih, mengusir aku,” gerutu Sony.

“Aku sedang ingin berbincang dengan teman-teman aku. Mas Roy ini juga sahabatnya mbak Aira, jadi juga sahabat aku,” kata Ratih.

“Baiklah, nanti sampai di Jakarta aku akan menelpon kamu, ada hal penting yang ingin aku katakan sama kamu. Sebenarnya sih sekarang, tapi nggak enak juga karena ada tamu di sini.”

“Ya sudah, telpon saja nanti.”

“Tiwi, aku pamit ya,” katanya sambil membalikkan tubuhnya, tapi Pratiwi hanya mengangguk, kemudian mendekati Ratih.

“Dia menyebalkan bukan?” kata Ratih sambil cemberut.

“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Pratiwi.

“Masih pusing sih, tapi aku senang Mbak datang.”

“Aku minta maaf, karena aku, kamu jadi begini.”

“Tidak, mengapa minta maaf? Mbak kan tidak bersalah? Mas Roy, kok bisa datang bersama mbak Tiwi?” katanya kemudian pada Roy.

“Aku kebetulan sedang main ke rumah Pratiwi. Saat itu dia mau membezoek kamu. Kaget juga mendengar kamu sakit.”

“Tidak apa-apa. Hanya terserempet sepeda motor orang ngebut itu. Tidak apa-apa kok, aku justru ingin memiliki sepeda supaya bisa bersepeda bareng mbak Tiwi.”

Roy suka Ratih ternyata ngadis yang memiliki semangat. Pengalaman terserempet sepeda motor itu tak membuatnya takut. Ia kemudian membandingkannya dengan Aira, gadis yang manja dan selalu merengek setiap meminta sesuatu, suka memaksakan kehendak dan gampang sekali mengeluh. Ia dekat dengan Aira, tapi tak membuatnya tertarik walau Aira selalu ingin mendekati dirinya dalam arti yang lebih mendalam. Aira bukan seleranya. Tapi Ratih sangat berbeda. Ada semangat di matanya, ada kekuatan di sana, yang memancar dari sepasang bintang yang membuatnya kagum.

“Mas Roy, kok menatap aku seperti itu sih? Aku jelek ya, dengan perban yang berbercak darah ini?” kata Ratih sambil tersenyum.

Tuh, dalam sakit dan tak berdaya, senyuman Ratih masih penuh kekuatan dan semangat.

“Kamu cantik. Tetap cantik.”

“Benarkah?” senyuman Ratih melebar.

“Benarkah Mbak?” tanyanya kemudian kepada Pratiwi.

“Kamu memang cantik, dalam keadaan apapun kamu selalu cantik,” kata Pratiwi sambil menggenggam tangannya.

“Terima kasih atas semua pujiannya. Dengan begitu, aku akan segera pulih. Eh, nggak nyambung ya?” kata Ratih kemayu.

“Ratih, kamu sakit, tapi seperti tidak merasakan sakit,” kata Pratiwi sambil menepuk-nepuk tangannya.

“Memangnya rasa sakit itu harus dinikmati? Tidak kan? Kalau es kelapa muda sama rujak yang kemarin itu, pantas lah dinikmati, tapi tidak dengan rasa sakit ini,” kata Ratih.

“Mas Roy, mas Ardian mana?”

Roy menampakkan mulut cemberut, pura-pura marah.

“Kok semua orang menanyakan Ardian sih? Tadi, Tiwi juga menanyakan dia, sekarang kamu.”

Ratih tertawa.

“Kalian itu biasannya selalu berdua," kata Ratih.

“Mulai sekarang enggak lah. Buktinya sekarang aku sendiri.”

“Mas Ardian juga sedang pergi sendiri?” tanya Ratih lagi.

“Nggak, dia lagi molor di rumah.”

“Oh iya, pasti capek, memilih istirahat, kan ini hari Minggu. Sayang ya, aku terbaring di sini dan tidak boleh banyak bergerak. Kalau tidak pasti aku mengajak mbak Tiwi jalan-jalan lagi.”

“Besok kalau kamu sudah sembuh Tih, tapi jangan naik sepeda lagi.”

“Aku penginnya naik sepeda. Bener lhoh, aku akan memaksa bapak supaya membelikan aku sepeda.”

“Nanti aku yang kena marah.”

“Oh, apa kemarin ibuku marah sama Mbak?”

“Tidak … tidak, maksudnya aku yang dikira mengajak kamu bersepeda,” kata Pratiwi berbohong, tak ingin mengatakan bagaimana sikap ibunya kemarin.

“Pokoknya aku ingin, mas Roy mau ikut? Ajak mas Ardian juga yuk,” ajak Ratih bersemangat.

“Kok Ardian lagi sih?”

“Biar rame, bersepeda berempat.”

“Boleh … boleh … atur aja,” kata Roy sambil tertawa.

Dan mereka berbincang akrab. Entah kenapa Roy betah sekali di sana. Entah karena ada Pratiwi, atau karena ada rasa aneh yang menggelitik jiwanya ketika mengenal Ratih lebih dekat.

***

Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Sony lebih banyak melamun. Ia merasa kecewa karena pertemuannya dengan Pratiwi masih belum membuatnya merasa puas. Pratiwi masih menujukkan sikap acuh terhadapnya, dan itu membuatnya penasaran. Marsam yang menyetir mobil juga lama-lama akan merasa mengantuk kalau majikannya mendiamkannya.

“Tuan, nanti kita makan di mana?” tanyanya membuka percakapan ketika sepi benar-benar membuatnya mengantuk.

“Apa? Kamu bicara tentang makan?”

“Saya memikirkan tuan, sejak berangkat tadi tuan belum makan,” kata Marsam yang agak merasa lega karena tuan nya ternyata masih bisa bicara.

“Sebenarnya aku sedang kesal. Lihat wajahku Sam, lihatlah, hei … kamu tidak mendengarnya? Lihat wajahku.”

“Sebentar tuan, ini kan di jalan raya, ramai pula, kalau saya melihat tuan, lalu menabrak kendaraan di depan, bagaimana?”

Sony terdiam, memang lalu lintas sedang ramai. Mereka tiba di kota entah di mana, Sony tak begitu memperhatikan.

“Maksudku, kamu harus meyakinkan aku, bahwa wajahku masih baik-baik saja. Tampan, gagah, dan dikagumi banyak perempuan, ya kan?”

“Ya tuan, tentu saja.”

“Tapi mengapa si penjual sayur itu begitu sombong dan sama sekali tak peduli sama aku? Apa kurangnya aku ini Sam?”

“Mungkin masalah selera, tuan.”

“Apa maksudmu Sam? Memangnya aku ini makanan?”

“Bukan makanan, tapi wajah tuan tidak masuk dalam kriteria orang yang disukainya.”

“Busyeeet !” Sony mengumpat.

“Mengapa tuan tidak segera mengalihkan perhatian tuan kepada perempuan lain? Hanya dia saja yang tuan pikirkan?”

“Aku merasa disepelekan. Kamu tahu, tadi dia di rumah sakit bersama seorang laki-laki bernama Roy. Apa aku pernah mengenal nama itu ya?”

“Sepertinya tuan tidak pernah berbicara tentang seseorang bernama Roy.”

“Dia sepertinya sangat dekat dengan laki-laki itu.”

“Mungkin dia itu pacarnya, tuan?”

“Bukan. Mereka tidak seperti sedang pacaran. Ratih memperkenalkannya sebagai teman dekat Aira.”

“Mungkin juga dia pacar Pratiwi.”

“Tidak Sam, aku yakin tidak. Sekarang tolong beri tahu aku, bagaimana caranya agar aku bisa dekat dengan dia.”

“Ya ampun tuan, saya saja sampai sekarang belum punya pasangan, dan itu pertanda bahwa saya tidak begitu tahu tentang bagaimana cara menundukkan hati perempuan. Bagaimana tuan bertanya kepada saya tentang hal itu?”

“Masa sih sedikitpun kamu tidak punya cara?”

“Cara yang gampang adalah menyekapnya, memperkosanya lalu_”

“Stoppp! Aku tidak pernah memikirkan untuk memperkosa seorang wanita. Bukankah semuanya menyerahkan diri dengan suka rela? Tidak, aku tidak suka itu. Kasar kamu itu Sam!”

“Kalau begitu hentikan tuan memikirkan dia. Nanti pekerjaan tuan akan terganggu. Saya juga terganggu.”

“Kamu terganggu? Maksud kamu apa?”

“Kalau tuan uring-uringan terus, maka saya tidak akan merasa tenang.”

Sony mendesah kasar.

“Sebaiknya kita berhenti dulu, tuan makanlah sambil berbincang, sepertinya saya menemukan ide yang baik.”

“Kamu? Menemukan ide?”

“Tidak enak bicara sambil berkendara, tuan. Saya khawatir tuan sakit karena belum makan.”

“Katakan saja bahwa kamu lapar,” gerutu Sony.

“Tuan, ini hampir sore.”

“Baiklah, berhenti di rumah makan terdekat, aku ingin mendengar apa yang kamu pikirkan. Semoga ide yang baik dan tidak konyol seperti biasanya,

***

“Menurut kamu, Ratih sama Aira itu berbeda. Ya kan, Tiwi?” tanya Roy ketika dalam perjalanan pulang.

“Tentu saja berbeda Mas, Ratih adalah Ratih, Aira adalah Aira,” jawab Pratiwi.

“Bukan itu maksudku. Perilakunya yang berbeda. Ratih itu begitu bersemangat, kalau Aira sangat manja dan selalu merengek setiap menginginkan sesuatu.”

“Apa itu buruk?”

“Terkadang kurang baik. Dia selalu memaksakan kehendak, tidak peduli bagaimana perasaan orang lain.”

“Mereka anak orang berada, pastinya dimanja.”

“Tapi aku suka sifat Ratih.”

“Semoga cocok.”

“Eh, apa maksudmu?”

“Katanya suka.”

“Aku suka wanita sepertimu, bersemangat dan tak kenal menyerah. Bukankah Ratih juga begitu?”

“Saya begitu, karena dituntut keadaan.”

“Ratih bisa bermanja-manja, tapi dia tidak melakukannya. Ketika dia minta sepeda, tidak tampak merengek-rengek seperti anak manja.”

“Iya benar.”

“Tantangannya menarik. Di rumah ada sepeda, nanti aku temani kalian bersepeda.”

***

Yu Kasnah sedang duduk bersama Nano, setelah Nano keluar sebentar untuk meminjam buku kepada temannya.

“Dapat bukunya No?”

“Dapat bu, nanti aku minta sama mbak Tiwi agar memfoto copykan lagi,” jawab Nano.

“Iya, itu lebih murah dari pada membeli bukan?”

“Benar Bu. Sebenarnya kalau tadi Nano pergi bersama mbak Tiwi, Nano bisa mengajaknya mampir ke rumah teman, lalu sekalian memfoto copy kan bukunya.”

“Ya nggak apa-apa, lebih baik ada nak Roy sehingga kakakmu bisa ikut bersama, tanpa harus mengayuh sepeda saat udara panas begini.”

“Iya Bu, tapi kok lama ya perginya Mbak Tiwi.”

“Mereka kan dekat, seperti juga kedekatannya dengan nak Aira. Jadi masih suka berlama-lama.”

“Tadi waktu Nano ke rumah teman, lewat rumah bu Margono.”

“Memangnya kenapa kalau lewat rumahnya?”

“Kata mbak Tiwi, ketika bu Margono meminta uang sewa, ia minta lebih, karena akan memperbaiki rumah. Tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda dia memperbaiki rumah tuh.”

“Belum, barangkali,” kata ibunya.

“Sepertinya, dia itu ingin membuat kita susah saja.”

“Kamu jangan suka berprasangka buruk kepada orang lain. Apapun yang orang lakukan, baik atau buruk, adalah sesuatu yang bukan menjadi urusan kita. Kalau ada orang baik kepada kita, bersyukurlah, kalau ada orang jahat kepada kita, bersabarlah, maka Allah akan selalu menolong kita.”

“Iya Bu.”

“Ya sudah, tungguin kakakmu di depan sana, ibu mau istirahat sebentar.”

“Baiklah, Nano tungguin di depan ya Bu.”

“Ya. Paling sebentar lagi dia pulang. Jam berapa sih ini?”

“Sudah jam dua lewat.”

“Sebentar lagi pasti pulang.”

***

Sudah seminggu Ratih pulang ke rumah, tapi keinginan untuk memiliki sepeda masih terus menggayutinya. Ketika ayahnya pulang dari kantor, Ratih mencegatnya, sambil membawakan segelas kopi pahit kesukaannya, lalu mengajaknya duduk di teras.

“Eh, apa-apaan ini? Tumben begitu masuk ke rumah, sudah ada kopi pahit yang dibawa gadis cantikku,” kata pak Juwono.

“Minumlah Pak, biar seger, lalu hilang capeknya.”

“Ibumu mana?”

“Belum pulang, perginya juga belum lama, tadi bilang sudah mengabari Bapak tuh.”

“Ah, paling kirim pesan saja, bapak belum membukanya,” kata pak Juwono sambil menyeruput kopi pahit nya.

“Besok kan, Bapak libur?”

“Iya, kenapa? Pengin ngajakin bapak jalan-jalan?”

“Iya. Ke toko sepeda ya?”

“Apa? Kamu masih ingat itu terus.”

“Bapak harus tahu, bersepeda itu juga olah raga. Suatu hari Bapak pasti menyukainya. Untuk berputar-putar komplek, atau jalan ke mana, gitu.”

“Bapak mau mandi dulu,” kata pak Juwono sambil berdiri.

“Besok bangun pagi, lalu jalan-jalan sama Ratih, nanti Bapak akan melihat, betapa banyak orang bersepeda pagi. Yang anak muda, yang tua, yang seperti Bapak juga banyak."

“Kita lihat saja nanti.”

“Horeeee,” Ratih berteriak senang, padahal ayahnya belum mengatakan ‘iya’.

Tiba-tiba ponsel Ratih berdering. Dari Sony. Apakah ide dari Marsam yang akan dijalaninya? 

***

Besok lagi ya.

 

37 comments:

  1. Alhamdulillah udah tayang

    SETANGKAI BUNGA KU
    Episode 14

    Yuuuk mojok msh damai klrg ganda moga ttp abadi

    Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
    Ttp semangat bunda menghibur kita2 smw

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .

    ReplyDelete
  3. ๐ŸŒธ๐ŸŒฟ๐ŸŒธ๐Ÿฆ‹๐ŸŒธ๐ŸŒฟ๐ŸŒธ
    Alhamdulillah SB 14 telah
    hadir. Matur nuwun Bunda
    Tien. Semoga sehat selalu
    dan tetap smangaaats...
    Salam Aduhai...
    ๐ŸŒธ๐ŸŒฟ๐ŸŒธ๐Ÿฆ‹๐ŸŒธ๐ŸŒฟ๐ŸŒธ

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.

    ReplyDelete
  5. Terima kasih, bu Tien...tayang lebih awal nih...asyiikk...๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    ReplyDelete
  6. slmt mlm bunda .terimakasih SB nya..slm sehat sll dan aduhaai dri skbmi๐Ÿ™๐Ÿ˜˜๐ŸŒน

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 14 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  8. Alhamdulila dah tayang ..suwun bunda Tien

    ReplyDelete

  9. Alhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~14 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  10. Suwun bu Tien SB 14 sudah tayang
    salam aduhai

    ReplyDelete
  11. Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
    Wignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
    Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto, Wirosobokemislegi, Trie Cahyo Wibowo,

    ReplyDelete
  12. Hallow..
    Yustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
    Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
    . Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah, salam sehat mbakyu ๐ŸŒน๐Ÿง•

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat

    ReplyDelete
  15. Kan Ratih justru nggak mau kalau Sony deketan sama Pratiwi, apa rencana Sony bisa jalan; paling kalau keceplosan tiap hari libur bersepeda rame rame, bareng bareng, jadi tahu kalau tiap liburan mereka ber-goes ria.
    Ber empat kata Ratih, Ardian jadi ikutan donk, paling maknya Ratih yang getol melarang Ratih ikutan ber-goes ria, takut kehilangan aja.
    Namanya juga anak muda, ada aja kalau bikin acara, biar dekat sama teman temannya.
    Tapi Roy kan sudah tahu kalau Sony itu orangnya, yang ngebet ingin deketan sama Pratiwi.
    Nah lho Pratiwi tahu sekarang, Roy ada hati sama Ratih.
    ADUHAI

    Terimakasih Bu Tien
    Setangkai bungaku yang ke-empat belas sudah tayang
    Sehat sehat selalu doaku
    Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    ๐Ÿ™

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien, salam sehat tuwin salam taklim saking kilรจn..

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah SB-14 sdh hadir
    Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bshagia selalu.
    Aamiin

    ReplyDelete
  18. Trims Bu Tien...semoga selalu sehat

    ReplyDelete
  19. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tienku ๐Ÿค—๐Ÿฅฐ
    Sehat wal'afiat semua ya

    Wah Pratiwi jd primadona ,,blm lg adrian & Bondan kl serious suka. Aduhaaai ๐Ÿคญ

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tienku ๐Ÿค—๐Ÿฅฐ
    Salam sehat wal'afiat semua ya

    ReplyDelete
  21. Tks bunda Tien..
    Tambah serruu...
    Semoga Pratiwi bs mendptkan pria terbaiknya..
    Salam sehat selalu utk bunda..
    Yg tetap palung aduhaaiii... ๐Ÿ™๐Ÿ™๐ŸŒน๐Ÿฅฐ

    ReplyDelete
  22. Matur nuwun bunda Tien....๐Ÿ™

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 45

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  45 (Tien Kumalasari)   Beberapa saat lamanya semuanya terdiam. Semuanya serba tak terduga. Bahkan Adisoma ...