SETANGKAI BUNGAKU
14
(Tien Kumalasari)
Roy menoleh ke arah datangnya suara, dan melihat
seorang laki-laki gagah dan tampan, sedang tersenyum sambil menatap Pratiwi. Ia
sedang menduga-duga, siapa laki-laki itu, ketika terdengar Ratih menyapanya.
“Mas Sony! Ngapain datang kemari!”
“O, ini yang namanya Sony? Laki-laki yang pernah
dihajar kakakku? Kok kenal sama Ratih sih?” kata batin Roy yang segera menahan
kekesalannya, ketika Sony masih tetap menatap Pratiwi, sementara Pratiwi sudah
mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Mas! Katanya kamu pulang hari ini?”
“Oh, iya … ini aku mau pulang, maksudnya pamitan sama
kamu. Dan kebetulan ada Pratiwi juga di sini. Apa kabar Pratiwi?”
“Nggak penting juga kamu pamitan sama aku, harusnya ke
rumah, ketemu sama bapak, barangkali ada pesan untuk kamu.”
“Aku sudah ke rumah, tapi rumah kosong. Kata pembantu,
bapak sama ibu ada di rumah sakit. Ternyata nggak ada.”
“Bapak sama ibu baru saja pulang.”
“Sayang sekali, kalau begitu nanti pamitkan saja,
kalau ada pesan boleh menelpon.”
“Pratiwi, aku pamit ya,” kata Sony tanpa mempedulikan
Roy yang berdiri di samping Pratiwi.
“Mas Roy, ini namanya mas Sony, temannya Ratih,” kata
Pratiwi yang justru mengajak bicara Roy dengan mengenalkannya pada Sony.
“Oh ya, maaf, aku kurang memperhatikan, saya Sony,
teman dekatnya Pratiwi juga,” kata Sony sombong, padahal bohong.
Lalu ia mengulurkan tangannya pada Roy, yang
dibalas menyalami tapi dengan wajah kurang senang.
“Ya sudah Mas, cepat berangkat, nanti kamu ketinggalan
pesawat.”
“Aku tidak naik pesawat, kamu lupa ya? Aku lebih suka
naik mobil. Kamu suka banget sih, mengusir aku,” gerutu Sony.
“Aku sedang ingin berbincang dengan teman-teman aku.
Mas Roy ini juga sahabatnya mbak Aira, jadi juga sahabat aku,” kata Ratih.
“Baiklah, nanti sampai di Jakarta aku akan menelpon
kamu, ada hal penting yang ingin aku katakan sama kamu. Sebenarnya sih
sekarang, tapi nggak enak juga karena ada tamu di sini.”
“Ya sudah, telpon saja nanti.”
“Tiwi, aku pamit ya,” katanya sambil membalikkan
tubuhnya, tapi Pratiwi hanya mengangguk, kemudian mendekati Ratih.
“Dia menyebalkan bukan?” kata Ratih sambil cemberut.
“Bagaimana keadaan kamu?” tanya Pratiwi.
“Masih pusing sih, tapi aku senang Mbak datang.”
“Aku minta maaf, karena aku, kamu jadi begini.”
“Tidak, mengapa minta maaf? Mbak kan tidak bersalah? Mas
Roy, kok bisa datang bersama mbak Tiwi?” katanya kemudian pada Roy.
“Aku kebetulan sedang main ke rumah Pratiwi. Saat itu
dia mau membezoek kamu. Kaget juga mendengar kamu sakit.”
“Tidak apa-apa. Hanya terserempet sepeda motor orang
ngebut itu. Tidak apa-apa kok, aku justru ingin memiliki sepeda supaya bisa
bersepeda bareng mbak Tiwi.”
Roy suka Ratih ternyata ngadis yang memiliki semangat.
Pengalaman terserempet sepeda motor itu tak membuatnya takut. Ia kemudian membandingkannya
dengan Aira, gadis yang manja dan selalu merengek setiap meminta sesuatu, suka
memaksakan kehendak dan gampang sekali mengeluh. Ia dekat dengan Aira, tapi tak
membuatnya tertarik walau Aira selalu ingin mendekati dirinya dalam arti yang
lebih mendalam. Aira bukan seleranya. Tapi Ratih sangat berbeda. Ada semangat
di matanya, ada kekuatan di sana, yang memancar dari sepasang bintang yang
membuatnya kagum.
“Mas Roy, kok menatap aku seperti itu sih? Aku jelek
ya, dengan perban yang berbercak darah ini?” kata Ratih sambil tersenyum.
Tuh, dalam sakit dan tak berdaya, senyuman Ratih masih
penuh kekuatan dan semangat.
“Kamu cantik. Tetap cantik.”
“Benarkah?” senyuman Ratih melebar.
“Benarkah Mbak?” tanyanya kemudian kepada Pratiwi.
“Kamu memang cantik, dalam keadaan apapun kamu selalu
cantik,” kata Pratiwi sambil menggenggam tangannya.
“Terima kasih atas semua pujiannya. Dengan begitu, aku
akan segera pulih. Eh, nggak nyambung ya?” kata Ratih kemayu.
“Ratih, kamu sakit, tapi seperti tidak merasakan
sakit,” kata Pratiwi sambil menepuk-nepuk tangannya.
“Memangnya rasa sakit itu harus dinikmati? Tidak kan?
Kalau es kelapa muda sama rujak yang kemarin itu, pantas lah dinikmati, tapi
tidak dengan rasa sakit ini,” kata Ratih.
“Mas Roy, mas Ardian mana?”
Roy menampakkan mulut cemberut, pura-pura marah.
“Kok semua orang menanyakan Ardian sih? Tadi, Tiwi
juga menanyakan dia, sekarang kamu.”
Ratih tertawa.
“Kalian itu biasannya selalu berdua," kata Ratih.
“Mulai sekarang enggak lah. Buktinya sekarang aku
sendiri.”
“Mas Ardian juga sedang pergi sendiri?” tanya Ratih
lagi.
“Nggak, dia lagi molor di rumah.”
“Oh iya, pasti capek, memilih istirahat, kan ini hari
Minggu. Sayang ya, aku terbaring di sini dan tidak boleh banyak bergerak. Kalau
tidak pasti aku mengajak mbak Tiwi jalan-jalan lagi.”
“Besok kalau kamu sudah sembuh Tih, tapi jangan naik
sepeda lagi.”
“Aku penginnya naik sepeda. Bener lhoh, aku akan
memaksa bapak supaya membelikan aku sepeda.”
“Nanti aku yang kena marah.”
“Oh, apa kemarin ibuku marah sama Mbak?”
“Tidak … tidak, maksudnya aku yang dikira mengajak kamu
bersepeda,” kata Pratiwi berbohong, tak ingin mengatakan bagaimana sikap ibunya
kemarin.
“Pokoknya aku ingin, mas Roy mau ikut? Ajak mas Ardian
juga yuk,” ajak Ratih bersemangat.
“Kok Ardian lagi sih?”
“Biar rame, bersepeda berempat.”
“Boleh … boleh … atur aja,” kata Roy sambil tertawa.
Dan mereka berbincang akrab. Entah kenapa Roy betah
sekali di sana. Entah karena ada Pratiwi, atau karena ada rasa aneh yang
menggelitik jiwanya ketika mengenal Ratih lebih dekat.
***
Dalam perjalanan pulang ke Jakarta, Sony lebih banyak
melamun. Ia merasa kecewa karena pertemuannya dengan Pratiwi masih belum
membuatnya merasa puas. Pratiwi masih menujukkan sikap acuh terhadapnya, dan
itu membuatnya penasaran. Marsam yang menyetir mobil juga lama-lama akan merasa
mengantuk kalau majikannya mendiamkannya.
“Tuan, nanti kita makan di mana?” tanyanya membuka
percakapan ketika sepi benar-benar membuatnya mengantuk.
“Apa? Kamu bicara tentang makan?”
“Saya memikirkan tuan, sejak berangkat tadi tuan belum
makan,” kata Marsam yang agak merasa lega karena tuan nya ternyata masih bisa
bicara.
“Sebenarnya aku sedang kesal. Lihat wajahku Sam,
lihatlah, hei … kamu tidak mendengarnya? Lihat wajahku.”
“Sebentar tuan, ini kan di jalan raya, ramai pula,
kalau saya melihat tuan, lalu menabrak kendaraan di depan, bagaimana?”
Sony terdiam, memang lalu lintas sedang ramai. Mereka
tiba di kota entah di mana, Sony tak begitu memperhatikan.
“Maksudku, kamu harus meyakinkan aku, bahwa wajahku
masih baik-baik saja. Tampan, gagah, dan dikagumi banyak perempuan, ya kan?”
“Ya tuan, tentu saja.”
“Tapi mengapa si penjual sayur itu begitu sombong dan
sama sekali tak peduli sama aku? Apa kurangnya aku ini Sam?”
“Mungkin masalah selera, tuan.”
“Apa maksudmu Sam? Memangnya aku ini makanan?”
“Bukan makanan, tapi wajah tuan tidak masuk dalam
kriteria orang yang disukainya.”
“Busyeeet !” Sony mengumpat.
“Mengapa tuan tidak segera mengalihkan perhatian tuan
kepada perempuan lain? Hanya dia saja yang tuan pikirkan?”
“Aku merasa disepelekan. Kamu tahu, tadi dia di rumah
sakit bersama seorang laki-laki bernama Roy. Apa aku pernah mengenal nama itu
ya?”
“Sepertinya tuan tidak pernah berbicara tentang
seseorang bernama Roy.”
“Dia sepertinya sangat dekat dengan laki-laki itu.”
“Mungkin dia itu pacarnya, tuan?”
“Bukan. Mereka tidak seperti sedang pacaran. Ratih
memperkenalkannya sebagai teman dekat Aira.”
“Mungkin juga dia pacar Pratiwi.”
“Tidak Sam, aku yakin tidak. Sekarang tolong beri tahu
aku, bagaimana caranya agar aku bisa dekat dengan dia.”
“Ya ampun tuan, saya saja sampai sekarang belum punya
pasangan, dan itu pertanda bahwa saya tidak begitu tahu tentang bagaimana cara
menundukkan hati perempuan. Bagaimana tuan bertanya kepada saya tentang hal
itu?”
“Masa sih sedikitpun kamu tidak punya cara?”
“Cara yang gampang adalah menyekapnya, memperkosanya
lalu_”
“Stoppp! Aku tidak pernah memikirkan untuk memperkosa
seorang wanita. Bukankah semuanya menyerahkan diri dengan suka rela? Tidak, aku
tidak suka itu. Kasar kamu itu Sam!”
“Kalau begitu hentikan tuan memikirkan dia. Nanti
pekerjaan tuan akan terganggu. Saya juga terganggu.”
“Kamu terganggu? Maksud kamu apa?”
“Kalau tuan uring-uringan terus, maka saya tidak akan
merasa tenang.”
Sony mendesah kasar.
“Sebaiknya kita berhenti dulu, tuan makanlah sambil
berbincang, sepertinya saya menemukan ide yang baik.”
“Kamu? Menemukan ide?”
“Tidak enak bicara sambil berkendara, tuan. Saya
khawatir tuan sakit karena belum makan.”
“Katakan saja bahwa kamu lapar,” gerutu Sony.
“Tuan, ini hampir sore.”
“Baiklah, berhenti di rumah makan terdekat, aku ingin
mendengar apa yang kamu pikirkan. Semoga ide yang baik dan tidak konyol seperti
biasanya,
***
“Menurut kamu, Ratih sama Aira itu berbeda. Ya kan, Tiwi?” tanya Roy ketika dalam perjalanan pulang.
“Tentu saja berbeda Mas, Ratih adalah Ratih, Aira
adalah Aira,” jawab Pratiwi.
“Bukan itu maksudku. Perilakunya yang berbeda. Ratih
itu begitu bersemangat, kalau Aira sangat manja dan selalu merengek setiap
menginginkan sesuatu.”
“Apa itu buruk?”
“Terkadang kurang baik. Dia selalu memaksakan
kehendak, tidak peduli bagaimana perasaan orang lain.”
“Mereka anak orang berada, pastinya dimanja.”
“Tapi aku suka sifat Ratih.”
“Semoga cocok.”
“Eh, apa maksudmu?”
“Katanya suka.”
“Aku suka wanita sepertimu, bersemangat dan tak kenal
menyerah. Bukankah Ratih juga begitu?”
“Saya begitu, karena dituntut keadaan.”
“Ratih bisa bermanja-manja, tapi dia tidak
melakukannya. Ketika dia minta sepeda, tidak tampak merengek-rengek seperti
anak manja.”
“Iya benar.”
“Tantangannya menarik. Di rumah ada sepeda, nanti aku
temani kalian bersepeda.”
***
Yu Kasnah sedang duduk bersama Nano, setelah Nano
keluar sebentar untuk meminjam buku kepada temannya.
“Dapat bukunya No?”
“Dapat bu, nanti aku minta sama mbak Tiwi agar
memfoto copykan lagi,” jawab Nano.
“Iya, itu lebih murah dari pada membeli bukan?”
“Benar Bu. Sebenarnya kalau tadi Nano pergi bersama
mbak Tiwi, Nano bisa mengajaknya mampir ke rumah teman, lalu sekalian memfoto
copy kan bukunya.”
“Ya nggak apa-apa, lebih baik ada nak Roy sehingga
kakakmu bisa ikut bersama, tanpa harus mengayuh sepeda saat udara panas begini.”
“Iya Bu, tapi kok lama ya perginya Mbak Tiwi.”
“Mereka kan dekat, seperti juga kedekatannya dengan nak Aira. Jadi masih suka berlama-lama.”
“Tadi waktu Nano ke rumah teman, lewat rumah bu
Margono.”
“Memangnya kenapa kalau lewat rumahnya?”
“Kata mbak Tiwi, ketika bu Margono meminta uang sewa,
ia minta lebih, karena akan memperbaiki rumah. Tapi sepertinya tidak ada
tanda-tanda dia memperbaiki rumah tuh.”
“Belum, barangkali,” kata ibunya.
“Sepertinya, dia itu ingin membuat kita susah saja.”
“Kamu jangan suka berprasangka buruk kepada orang
lain. Apapun yang orang lakukan, baik atau buruk, adalah sesuatu yang bukan
menjadi urusan kita. Kalau ada orang baik kepada kita, bersyukurlah, kalau ada
orang jahat kepada kita, bersabarlah, maka Allah akan selalu menolong kita.”
“Iya Bu.”
“Ya sudah, tungguin kakakmu di depan sana, ibu mau
istirahat sebentar.”
“Baiklah, Nano tungguin di depan ya Bu.”
“Ya. Paling sebentar lagi dia pulang. Jam berapa sih
ini?”
“Sudah jam dua lewat.”
“Sebentar lagi pasti pulang.”
***
Sudah seminggu Ratih pulang ke rumah, tapi keinginan
untuk memiliki sepeda masih terus menggayutinya. Ketika ayahnya pulang dari
kantor, Ratih mencegatnya, sambil membawakan segelas kopi pahit kesukaannya,
lalu mengajaknya duduk di teras.
“Eh, apa-apaan ini? Tumben begitu masuk ke rumah,
sudah ada kopi pahit yang dibawa gadis cantikku,” kata pak Juwono.
“Minumlah Pak, biar seger, lalu hilang capeknya.”
“Ibumu mana?”
“Belum pulang, perginya juga belum lama, tadi bilang
sudah mengabari Bapak tuh.”
“Ah, paling kirim pesan saja, bapak belum membukanya,”
kata pak Juwono sambil menyeruput kopi pahit nya.
“Besok kan, Bapak libur?”
“Iya, kenapa? Pengin ngajakin bapak jalan-jalan?”
“Iya. Ke toko sepeda ya?”
“Apa? Kamu masih ingat itu terus.”
“Bapak harus tahu, bersepeda itu juga olah raga. Suatu
hari Bapak pasti menyukainya. Untuk berputar-putar komplek, atau jalan ke mana,
gitu.”
“Bapak mau mandi dulu,” kata pak Juwono sambil berdiri.
“Besok bangun pagi, lalu jalan-jalan sama Ratih, nanti Bapak akan melihat, betapa banyak orang bersepeda pagi. Yang anak muda, yang tua, yang seperti Bapak juga banyak."
“Kita lihat saja nanti.”
“Horeeee,” Ratih berteriak senang, padahal ayahnya belum mengatakan ‘iya’.
Tiba-tiba ponsel Ratih berdering. Dari Sony. Apakah ide dari Marsam yang akan dijalaninya?
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah udah tayang
ReplyDeleteSETANGKAI BUNGA KU
Episode 14
Yuuuk mojok msh damai klrg ganda moga ttp abadi
Mksh bunda Tien sehat selalu doaku
Ttp semangat bunda menghibur kita2 smw
Mtrnwn
ReplyDeletealhamdulilla..maturnuwun
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun, sehat dan bahagia selalu Bunda Tien . .
ReplyDelete๐ธ๐ฟ๐ธ๐ฆ๐ธ๐ฟ๐ธ
ReplyDeleteAlhamdulillah SB 14 telah
hadir. Matur nuwun Bunda
Tien. Semoga sehat selalu
dan tetap smangaaats...
Salam Aduhai...
๐ธ๐ฟ๐ธ๐ฆ๐ธ๐ฟ๐ธ
Matur nuwun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Tiwi sudah hadir.
ReplyDeleteMatur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien...tayang lebih awal nih...asyiikk...๐๐
ReplyDeleteslmt mlm bunda .terimakasih SB nya..slm sehat sll dan aduhaai dri skbmi๐๐๐น
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteAlhamdulillah, SETANGKAI BUNGAKU (SB) 14 telah tayang ,terima kasih bu Tien salam sehat, sejahtera dan bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulila dah tayang ..suwun bunda Tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdulillah SETANGKAI BUNGAKU~14 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien ๐
Terima kasih Bunda
ReplyDeleteSuwun bu Tien SB 14 sudah tayang
ReplyDeletesalam aduhai
Trimakasih Bu Tien... sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah mksh Bu Tien
ReplyDeleteHallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo, Bam's, Mbah Wi, Tjoekherisubiyandono, Apip Mardin, Suprawoto, Beny Irwanto, Wirosobokemislegi, Trie Cahyo Wibowo,
Alhamdulillah
DeleteMatur nuwun bu
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagida family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen Rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Suprilina, Endang Mashuri, Rin, Amethys, Adelina, Sari Usman, Caecilia RA, Mimiet, Sofi, Mamacuss, Manggar Ch., Indrastuti, Yustina Maria Nunuk Sulastri,
Alhamdulillah, salam sehat mbakyu ๐น๐ง
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nwn bu Tien, salam sehat
ReplyDeleteKan Ratih justru nggak mau kalau Sony deketan sama Pratiwi, apa rencana Sony bisa jalan; paling kalau keceplosan tiap hari libur bersepeda rame rame, bareng bareng, jadi tahu kalau tiap liburan mereka ber-goes ria.
ReplyDeleteBer empat kata Ratih, Ardian jadi ikutan donk, paling maknya Ratih yang getol melarang Ratih ikutan ber-goes ria, takut kehilangan aja.
Namanya juga anak muda, ada aja kalau bikin acara, biar dekat sama teman temannya.
Tapi Roy kan sudah tahu kalau Sony itu orangnya, yang ngebet ingin deketan sama Pratiwi.
Nah lho Pratiwi tahu sekarang, Roy ada hati sama Ratih.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Setangkai bungaku yang ke-empat belas sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
๐
Alhamdulillah, matur nuwun mbak Tien, salam sehat tuwin salam taklim saking kilรจn..
ReplyDeleteAlhamdulillah.terima kasih
ReplyDeleteAlhamdulillah SB-14 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bshagia selalu.
Aamiin
Makasih mba Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien
Terima kasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTrims Bu Tien...semoga selalu sehat
ReplyDeleteAlhamdulillah, matur nuwun bu Tienku ๐ค๐ฅฐ
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua ya
Wah Pratiwi jd primadona ,,blm lg adrian & Bondan kl serious suka. Aduhaaai ๐คญ
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tienku ๐ค๐ฅฐ
ReplyDeleteSalam sehat wal'afiat semua ya
Tks bunda Tien..
ReplyDeleteTambah serruu...
Semoga Pratiwi bs mendptkan pria terbaiknya..
Salam sehat selalu utk bunda..
Yg tetap palung aduhaaiii... ๐๐๐น๐ฅฐ
Matur nuwun bunda Tien....๐
ReplyDelete