Tuesday, July 19, 2022

KEMBANG CANTIKKU 25

 

KEMBANG CANTIKKU  25

(Tien Kumalasari)

 

Heru berhenti, menatap layar dengan tampilan wajah cantik menggoda. Namun terasa sebal mengingat perempuan itu telah mengganggu ayahnya.

“Beruntung kamu menelpon bukan saat aku ada di dekat ibu,” gumamnya kesal. Ia ingin kembali dan tak usah memberikan ponsel itu kepada ayahnya, tapi seperti kata ibunya tadi, bagaimana kalau ada pesan-pesan dari ibunya yang ingin disampaikan saat ada di apotek.

Ia segera merejeck panggilan itu, lalu terus melangkah mengejar ayahnya yang sudah naik ke dalam mobil.

Ia melambaikan tangannya.

“Bapaaak!” teriaknya.

Purnomo menghentikan mobilnya yang sudah mulai berjalan pelan. Ia membuka kaca mobilnya, dan Heru mengulurkan ponselnya yang ketinggalan.

“Oh, iya, ketinggalan. Terima kasih Heru.”

Heru tak menjawab, langsung kembali ke arah rumah sakit, dengan wajah masam.

Purnomo kembali menjalankan mobilnya, keluar dari halaman rumah sakit.

Tapi baru saja keluar, sebuah panggilan terdengar. Ia harus mengangkatnya, karena dari Qila.

“Qila,” sapanya lembut.

“Gimana sih Mas, kenapa tadi di rejeck?” kesalnya.

“Tadi? Kamu tadi menelpon?”

“Iya lah, tapi Mas merejecknya.”

“Ponselku tadi ketinggalan, baru saja Heru mengantarkannya saat aku sudah menaiki mobil.”

“Berarti Heru tuh yang tadi merejeck panggilan aku.”

“Pastinya. Kamu jangan sembrono Qila, di situ ada istri aku juga. Bisa kacau kalau dia mendengarnya.”

“Ini Mas di mana? Sedang tidak bersama istri kan? Oh, sudah mau kembali kemari? Aduuh, senengnya, cepatlah Mas, aku tak tahan lagi sendirian,” rengeknya.

“Maaf Qila, ini aku sedang dalam perjalanan ke apotek, untuk membeli obat.”

“Huuh, sampai berapa lama Mas? Aku nangis nih,” Qila masih saja merengek.

“Sabarlah sayang, sebelum larut aku pasti sudah sampai di tempat kamu.”

“Sebelum larut? Apa maksudnya? Pasti sangat malam bukan?”

“Aku usahakan, Qila. Sabar ya. Kamu harus mengerti, ini masalah orang tua yang sedang sakit.”

“Aku juga sedang sakit Mas.”

“Kamu sakit apa? Kamu sehat bukan?”

“Sakit rindu, tahu!”

Purnomo terbahak. Keinginan untuk segera kembali menemui Qila memenuhi dadanya. Baginya Qila sangat menarik dan susah dihilangkan dari angan-angannya.

“Sabar ya sayang, ini aku sudah sampai di apotek, aku beli obat dulu.”

“Setelah itu cepat kemari ya.”

“Iya, aku usahakan.”

Purnomo menutup ponselnya, dan mulai berpikir bagaimana caranya agar bisa meninggalkan dulu rumah sakit itu walau untuk semalam saja.

*** 

“Aku heran sama ayahmu,” keluh Hartati ketika duduk ditemani anak laki-lakinya.

“Heran kenapa Bu?”

“Dari tadi seperti gelisah saja. Memang sih, pekerjaan itu penting, tapi adakah yang lebih penting dari keluarga?” keluh Hartati.

Heru tak menjawab, karena dia tahu apa sebabnya ayahnya bersikap begitu. Sesama laki-laki harus tahu kan? Itu kata ayahnya. Ia juga mengerti, ayahnya sedang tergoda. Ia hanya bisa berharap, godaan itu hanya sementara. Ada saat dimana nanti ayahnya akan kembali kepada ibunya dan melupakan wanita itu. Heru memeluk ibunya dari samping, tanpa mengucapkan apapun. Tapi bagi Hartati, itu sudah cukup. Cukup dirasakan sebagai perhatian seorang anak kepada ibunya. Bahkan sejak kedatangannya, Purnomo tak melakukan seperti yang dilakukan Heru. Seperti merangkulnya, menepuk-nepuk pundaknya agar dirinya bisa lebih tenang menghadapi sakitnya sang ibu.

“Banyak yang harus dipikirkan bapak,” kata Heru menutupi aib ayahnya, sebagai laki-laki, bukan sebagai anah Hartati.

“Ya, akan aku coba untuk mengerti,” jawabnya lirih.

“Ibu istirahat ya, tadi Heru sudah pesan kamar buat nenek. Ibu bisa istirahat di sana dulu.”

“Baiklah, kepala ibu juga sangat pusing.”

“Mari Heru antar ke kamar dulu Bu.”

***

Purnomo sudah menyerahkan obatnya ke perawat jaga setelah menemui dokternya, dan belum mendapatkan jawaban seperti diharapkannya.

“Belum ada kemajuan yang signifikan Pak. Tapi kami akan berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan ibu anda, tapi dorongan doa dari keluarga tetap dibutuhkan, bukan?”

Purnomo mengangguk mengerti, kemudian keluar dan menemui Heru yang masih duduk terkantuk-kantuk di kursi tunggu.

“Apa kata dokter?

“Masih sama. Teruslah berdoa,” kata Purnomo.

“Itu juga yang tadi dikatakan dokter.”

“Ibumu kemana?”

“Heru minta agar beristirahat. Saya memesan kamar yang nantinya akan nenek pergunakan setelah keluar dari ICU. Ibu beristirahat di sana. Kalau Bapak mau menemui ibu, mari Heru antarkan,” kata Heru.

Purnomo mengangguk, kemudian berjalan mengikuti anaknya.

Ketika masuk, dilihatnya Hartati sedang terbaring. Matanya tampak sembab, sepertinya dia menangis lagi saat ada di dalam kamar itu.

“Aku sudah bicara sama dokter tadi,” kata Purnomo.

“Apa katanya?”

"Belum ada kemajuan, tapi dokter akan terus berusaha untuk menyelamatkan ibu.”

“Mas dapatkan obatnya?”

“Sudah aku serahkan ke perawatnya. Kamu jangan menangis terus. Lebih baik berdoa demi kesembuhan ibu.”

“Dia ibuku, bagaimana aku tidak boleh menangis? Aku bukan kamu yang sepertinya tidak peduli,” kata Hartati gusar.

“Mengapa kamu berkata begitu? Aku meninggalkan pekerjaanku untuk datang kemari, masa aku tidak peduli?”

Hartati diam.

“Istirahatlah, kalau kamu terlalu banyak pikiran, nanti jatuh sakit juga,” kata Purnomo sambil menepuk tangan istrinya, kemudian keluar dari ruangan itu.

“Nanti malam bapak harus kembali,” katanya kepada Heru.

“Menemui wanita itu?”

“Kamu harus mengerti, dia sendirian di rumah itu. Besok pagi-pagi sekali aku sudah akan tiba lagi di sini.”

Heru tak menjawab apapun. Selalu mencoba mengerti, sebagai sesama laki-laki. Lalu tiba-tiba Heru menyesal menjadi laki-laki yang harus menutupi sebuah kebusukan dalam rumah tangga orang tuanya sendiri.

***

Sore itu Nano sudah kembali ke rumah sakit. Dilihatnya Wahyudi masih terbaring dengan perban baru di kepalanya. Rupanya perawat baru saja menggantinya.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Lebih baik. Perawat baru saja mengganti verband di kepalaku."

"Syukurlah. Semoga segera membaik."

"Bagaimana kalau aku pulang saja?"

"Apa maksudmu? Mana mungkin pulang semaunya? Ini rumah sakit. Yang pulang adalah yang sudah sembuh. Apa kamu sudah sembuh?"

"Tapi biaya rumah sakit sangat mahal. Berapa harga kamarnya, berapa harga obat-obatnya, dan lain-lain, dan lain-lain.. ?"

"Semua ini atas permintaan pak Wisnu, kamu tidak usah memikirkannya."

Wahyudi menghela napas.

"Karena dia merasa bersalah telah memukulku?"

"Dia sangat menyesal. Ijinkan dia menebus kesalahannya dengan apapun yang dilakukannya."

"Kamu sudah mencari keterangan tentang Qila?"

"Oh ya, aku sudah mampir ke klinik anak dan mencari keterangan tentang pasien bernama Qila."

"Lalu .. ?"

"Menyesal sekali. Tidak ada."

Wahyudi tampak kecewa.

"Tapi kamu tidak usah khawatir. Mungkin yang sakit bukan Qila. Besok aku akan bertanya ke semua klinik. Mungkin Retno yang sakit."

"Retno sakit apa?"

"Aku tidak tahu, mungkin dia, mungkin laki-laki bernama Sapto."

Wahyudi diam.

"Akan aku cari di pendaftaran saja. Barangkali aku bisa menemukan sesuatu. Bukankah semua pasien harus selalu melewati kantor pendaftaran?"

“Bisakah malam-malam begini mencari keterangan disana?”

“Lebih baik besok pagi saja. Namanya Retno siapa ya? Atau Sapto siapa?”

Wahyudi mengerutkan keningnya.

“Tidak ingat? Atau alamatnya?”

Tak ada jawaban, dan Nano sudah tahu bahwa Wahyudi tidak bisa menjawabnya.

“Susah ya, tanpa nama jelas begitu?”

“Mungkin juga susah, tapi semuanya harus dicoba. Kamu belum ingat yang namanya Wuri?”

Wahyudi menggelengkan kepalanya.

“Yang aku ingat, dia cerewet, tapi aku lupa wajahnya, apalagi rumahnya.”

“Kamu masih sangat mencintai Retno?”

“Cinta?”

“Kamu pernah bilang bahwa kamu sangat mencintainya dulu. Masihkan cinta itu tersisa di hati kamu?”

“Sepertinya dia sudah aku lupakan. Cinta itu sudah lama hilang. Tapi ….”

“Kamu mengingat sesuatu?”

“Bukankah mas Sapto itu suaminya?”

“Nah, ketemu lagi satu pasal. Mas Sapto suami Retno, gadis yang pernah kamu cintai. Kamu bermusuhan sama dia dong.”

“Tidak.”

“Tidak? Lalu apakah Qila itu anak mereka?”

“Nah, itu benar. Qila kan anaknya Retno? Tapi mengapa aku bermimpi tentang wanita berrambut riap-riapan itu terus, lalu aku merebut Qila dari tangannya.”

“Ya sudah, pelan-pelan saja. Sekarang istirahatlah.”

“Apa kabarnya bapak? Apa dia tidak menanyakan aku?”

“Menanyakan kamu terus. Tapi tentang pemukulan itu tidak diceritakan pada bapak. Takut mempengaruhi kesehatannya.”

“Benar. Lebih baik bapak tidak mendengar tentang pemukulan itu.”

“Tadi bapak minta agar aku membantunya belajar berjalan.”

“Benarkah? Itu bagus. Aku pernah punya pemikiran seperti itu, tapi tak berani mengutarakannya.”

“Bapak kelihatan sangat bersemangat. Aku tahu sebabnya.”

“Kenapa?”

“Bapak sebenarnya punya rasa khawatir, kalau kamu mengingat semuanya, kemudian kamu kembali pada keluarga kamu. Walaupun sebenarnya bapak senang mendengar kamu mengingat sedikit demi sedikit masa lalumu.”

“Lalu, apa hubungannya dengan berlatih berjalan itu?”

“Bapak tidak ingin mencari orang untuk mendampinginya. Bapak ingin segera bisa melakukan semuanya sendiri tanpa bantuan siapapun.”

“Senang mendengarnya.”

“Apa kamu akan meninggalkan keluarga Kartiko setelah kamu pulih?”

“Aku tidak tahu. Aku harus tahu siapa diriku. Aku ingin pulang. Tapi aku tidak akan melupakan keluarga Kartiko yang telah memberiku banyak perhatian.”

“Apa kamu ingat Murni?” tiba-tiba Nano mengingatkannya pada seorang gadis kecil yang selalu menganggapnya laki-laki ‘tua’.

Wahyudi tersenyum.

“Aku tidak pernah melupakannya. Pada suatu hari nanti, ajaklah aku kesana lagi.”

“Kamu senang walau dikatakan laki-laki tua?”

“Ya Tuhan, itu sama dengan Wuri.”

“Sama dengan Wuri? Apanya?”

“Dia selalu mengatakan aku laki-laki tua.”

Lalu Wahyudi tertawa.

“Wuri itu lucu. Dia tidak mau menjadi pacar aku, karena katanya aku terlalu tua untuknya.”

“Kamu pernah suka sama dia?”

“Tidak … tidak … aku suka menggodanya bukan?”

“Berarti Wuri bukan adik kamu, dan bukan kakak kamu.”

“Bukan. Dia terkadang galak, tapi sangat baik. Mengapa kelakuannya sama? Murni juga begitu kan?”

“Aku tetap berharap, kamu bisa jadian sama Murni.”

Wahyudi tertawa, tapi tak ada penolakan dari sikapnya.

“Kapan kita ke sana lagi?”

“Sebenarnya sebelum peristiwa pemukulan itu, kita mau ke sana bukan? Nanti setelah kamu sembuh, kita kesana lagi.”

Wahyudi mengangguk. Wajahnya tampak berseri.

***

Malam itu Heru menunggu sendirian diluar ruang ICU. Ia tak ingin mengganggu ibunya yang sedang istirahat. Ayahnya baru saja pergi. Nekat pergi dengan janji keesokan paginya, pagi-pagi sekali dia sudah akan ada di rumah sakit kembali.

Heru mengeluh perlahan. Dia belum pernah tertarik kepada wanita cantik. Teman kuliahnya banyak, tidak sedikit yang wajahnya cantik tapi tak satupun menarik baginya. Tapi saat ia melihat Qila dalam keadaan terlelap dan dengan posisi tidur seperti menggoda, memang benar-benar membuatnya terganggu. Ia baru mengerti bahwa ada segi menarik dalam diri seorang wanita. Bukan hanya wajah cantik, tapi juga perilaku menggoda.

“Ia membuat mataku ternoda,” bisiknya pelan.

“Pantas saja bapak sangat tergila-gila. Tapi aku tidak mau ibuku terluka. Bagaimana ya caranya agar bapak bisa melupakan wanita itu?”

Heru memutar otaknya untuk berpikir. Rumah tangga yang semula manis dan harmonis, tidak boleh terkoyak oleh adanya wanita penggoda. Ia harus melakukan sesuatu.

Malam mulai kelam, dan sepi di sekelilingnya. Hanya terkadang terdengar langkah-langkah perawat berlalu, entah untuk kepentingan apa, Heru tak mau memikirkannya. Kantuk mulai menyergapnya, lalu ia menaikkan kakinya, di selonjorkan pada bangku panjang yang semula didudukinya. Ia melipat jacketnya, dipergunakannya untuk alas kepalanya, kemudian ia mulai memejamkan mata dan tidur.

***

Kedatangan Purnomo di kamar Qila, disambut dengan pelukan erat yang seakan tak ingin dilepaskannya.

“Terima kasih Mas, kamu sangat baik untukku. Walau malam hampir larut, dan hampir membuatku putus asa, akhirnya kamu datang juga untukku.”

“Mana bisa aku membuatmu sedih dan kesepian, Qila? Kamu wanitaku yang sangat istimewa. Kamu tidak ada duanya bagiku.”

“Benarkah?” katanya sambil bergelayut manja.

“Biarkan aku mengganti pakaian aku dulu, lalu mandi, baru kita tidur. Aku lelah sekali.”

“Baiklah, aku siapkan makan malam untuk kamu ya, sisa makan siang tadi masih ada, aku akan menghangatkannya.”

“Baiklah. Aku memang lapar juga sebenarnya.”

“Mandilah biar wangi, aku ke dapur dulu.”

Purnomo tertawa kecil, lalu beranjak ke kamar mandi, setelah menyiapkan baju tidur yang akan dipakainya setelah mandi nanti.

Qila memanaskan sayur di dapur, lalu membawanya ke kamar. Hanya beberapa menit setelah Qila selesai meletakkan makanan di meja sofa, dia mendengar ponsel Purnomo berdering.

Qila mendekatinya, dan melihat wajah ganteng Heru terpampang di layar ponsel itu. Ada keinginan Qila untuk mengganggunya, tapi ia khawatir kalau itu sebuah panggilan untuk Purnomo agar segera kembali ke rumah sakit. Qila tak ingin hal itu terjadi, karenanya ia kemudian mematikan ponsel Purnomo, lalu duduk menyilangkan kaki di sofa, sambil menunggu kekasihnya selesai mandi.

***

Besok lagi ya.

36 comments:

  1. Replies
    1. Selamat jeng Nani Sragen, di KaCe eps 25 ini Juara 1 komen tercepat.

      Terima kasih bu Tien salam SEROJA dan tetap ADUHAI

      Delete
  2. Siip, terimakasih mbak Tien bacaannya yang semakin aduhai.
    Sehat selalu doaku.🙏👍

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah sudah tayamg KC 25
    Terimakasih bunda Tien cerbungnya Semoga bunda Tien sekeluarga selalu sehat walafiat dan bahagia bersama keluarga tercinta aamiin

    ReplyDelete
  4. Terimakasih,bunda Tien KC 25 sudah hadir. Moga sehat selalu dan terus berkarya

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbakyu Tienkumalasari sdhctayang episode 25 nya salam hangat n aduhaai dari Cibubur

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah tayang, matur nueun bunda Tien.

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun bu Tien... salam aduhai dan smg sehat selalu

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 25 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah
    Matur nuwun bu Tiem
    Soga Sehat Selalu

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~25 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah yang selalu ditunggu sudah tayang terima kasih bunda Tien salam sehat dan aduhai ☺️☺️

    ReplyDelete
  13. Puji Tuhan ibu Tien tetap sehat, semangat dan produktip sehingga KC 25 hadir bagi kami para penggandrungnya.

    Semoga Wahyudi maupun bpk Kartiko cepat pulih kesehatannya,

    Tetap penasaran. Monggo dilanjut, matur nuwun, Berkah Dalem.

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.... terima kasih...
    Seht² trs Mbu Tien

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah deh semoga..bu Tien sehat selalu

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah, matursuwun bu Tien. Semoga sehat selalu. Aamiin

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah KC 25 sudah hadir.. matur nuwun & salam sehat kagem mbak Tien

    ReplyDelete
  18. Terimakasih bu Tien semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  19. Terimakasih Bunda TIen KC 25 nya,
    senang Wahyudi mulai mengingat lg...
    semoga segera pulih....
    Sehat2 selalu Bunda Tien, salam aduhaaiiiii

    ReplyDelete
  20. Gimana caranya biar penggoda itu tidak mengganggu ketentraman hidup kedua orang tua, kaya kepingin mithês² så yå, kan sudah saling mithês hapé sewaktu ada panggilan masuk kan.
    Lha bapakmu lagi ter Qila² sama seorang Qila yang mabok tampang cowok cakep sangat berharap banyak, berangan indah bak putri kayangan, lama tak terima sanjungan.
    Merasa dijadikan manekin di kantor Wisnu, ,walau distatuskan sekretaris perusahaan.
    Under cover,
    yå undar undêr mung ngundhêr waé nang kantor, yèn ora njaluk plesir ora klakon.
    Tiap hari disibukan, kejenuhan yang menumpuk, jadi iseng mengakali cari cara menjauh dari semua rutinitas monoton, disana terlihat bagi mata usil disitulah seorang yang iseng masuk jadi tukang tadah sampah kejenuhan ingin memberi peluk kekuatan agar lepas dari bosan selama ini.
    Datanglah pembawa ceria yang laen, yang selama ini tidak dijumpai menyapa.
    Wèh kåyå lagu ndangdut; terlena, karêpé sing duwé duit yå; bayar bèrès.
    iki bukan uang, iya wong sangga uang yå èntuké kåyå mblayang tok, mung nang pengangen angen.
    Kadang kepingin kaya baca majalah buka lembar demi lembar halaman; ada yang bagus di cermati, iklan pun ada yang menarik, sejenak cermati, lewati, buka lagi lembaran berikut sampai habis lembaran² halaman itu, dapatnya kesimpulan paling, tindak lanjut; lha njih månggå badé tindak pundi, sak kêrså.
    Wahyudi lagi mencari jejak, berjanji mau selalu ingat keluarga pak Kartiko yang tulus menerimanya, bahkan dijanjikan pekerjaan oleh bu Kartiko, membanvtu pekerjaan suaminya yang kena stroke.
    Nunggu Marno cari alamat ortunya Qita si kecil berkuncir dua


    Terimakasih Bu Tien,
    Kembang cantikku yang ke dua puluh lima sudah tayang.
    Sehat-sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  21. Alhamdulillah, Kembang Cantik sudah hadir.
    Terimakasih mbak Tien Kumalasari, semoga kita semua tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal 'Alaamiin.

    ReplyDelete
  22. Salem( Boston) July 21, 2022 Terima kasih bunda Tien untuk tayangan KCnya, sangat menghibur saya yang jauh dr tanah air, Puji Tuhan Alhamdulilah saya sudah tiba lg di rumah kecilku di Salem Massachusetts hr Senin sore setelah menepuh penerbangan panjaaaang dari Jakarta ke Doha 8 jam, ssdh layover 2 jam lanjut Doha- Boston 13 jam akhirnya saya jumpa suami dan anak yang sudah menunggu selama 2 bulan Terima kasih ya Allah untuk segala anugerahMu slm 2 bulan sampai saya juga dipertemukan dengan ibu2,dan bapak2 PCTK di Bandung, di Jakarta, di Jogja(meski tidak semua bertemu tp itu merupakan suatu kebahagiaan dan kehormatan bagi saya, semoga semua kebaikan bapak2 dan ibu2 dibalas Tuhan! Sampai berjumpa lagi ya saudara2ku semoga tahun depan kita diijinkan bertemu lagi Salam hangat, salam sehat dan bahagia, Willa

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 25

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  25 (Tien Kumalasari)   Saraswati menatap abdi setianya dengan pandangan aneh. Tangannya yang masih memegan...