KEMBANG CANTIKKU 24
(Tien Kumalasari)
Nano saling pandang dengan bu Kartiko.
“Retno?” katanya hampir bersamaan.
Wahyudi tampak menghela napas. Matanya menerawang
jauh. Ada bayangan-bayangan manis di sana, dan itu kelihatan dari senyuman yang
tersungging di bibirnya. Bu Kartiko dan Nano membiarkannya.
“Dulu aku sangat mencintainya. Sangat mencintainya …”
desisnya pelan sambil matanya terus menerawang ke arah langit-langit kamar.
“Hari-hari kami lalui dengan meronce sebuah kehidupan
bersama yang selalu menjadi impian kami berdua. Tapi kan tidak semua harapan
itu bisa menjadi kenyataan. Nasib telah mengiris dan merajang semua mimpi,,
menjadi berkeping-keping. Aku hancur saat itu … hancur bagai debu, berhamburan
kemana-mana, tak tahu apa yang harus aku lakukan.”
Lalu air mata meleleh begitu saja dari matanya.
Nano dan bu Kartiko mendengarkannya dan hanyut dalam
suasana pilu. Bahkan mata bu Kartiko mulai berkaca-kaca. Ia memegang tangan
Wahyudi, dan meremasnya lembut, berharap remasan itu akan memberikan kekuatan
bagi Wahyudi yang sedang tenggelam dalam kisah masa lalunya yang menyedihkan.
“Aku kehilangan dia, aku kehilangan semuanya, bahkan
semangat hidupku.”
“Apa yang terjadi dengan Retno?” Nano bertanya karena
ingin tahu, mengapa Wahyudi kemudian tampak sangat menderita seperti itu.
“Dia dinikahkan dengan anak seorang pengusaha kayu
yang kaya raya.”
“Ooh ….” Keluhan itu keluar dari mulut Nano dan Bu
Kartiko.
“Apa kamu juga punya fotonya Wuri?” tanya Wahyudi
tiba-tiba.
Nano
mengerutkan alisnya, merasa heran. Ada lagi sebuah nama yang tentu saja Nano
tidak bisa mengerti, dia itu siapa. Lalu dia mengingat-ingat, apakah Wahyudi pernah menyebutkan nama itu? Sepertinya pernah, tapi karena nama itu tidak
sesering disebutkan saat mengigau, lalu Nano lupa.
“Iya, sepertinya kamu pernah mengatakannya, tapi tidak
tahu dia dimana. Ah ya, ibunya berjualan?” Nano seperti mengingat sesuatu.
“Benar. Ibunya berjualan.”
“Dimana itu?”
Wahyudi mengerutkan keningnya. Rupanya dia tak
berhasil mengingatnya.
Ya sudah, jangan kamu paksa untuk mengingatnya. Bukankah
dokter juga melarangnya?”
“Kamu tidak punya fotonya?”
“Foto siapa?”
“Wuri. Aku mengenalnya sangat dekat, apa dia adikku, atau kakakku?”
“Bagaimana aku bisa memiliki fotonya? Aku belum pernah
bertemu dengan dia yang entah siapa.”
“Tapi kamu punya foto Qila kan?”
“Itu karena aku melihatnya di rumah sakit ini. Dan
kebetulan ada yang memanggil anak kecil itu dengan sebutan Qila. Lalu aku
teringat bahwa kamu pernah mengigau nama Qila, gadis kecil berkepang dua. Itu
sebabnya aku memotretnya, barangkali ada gunanya. Dan bersyukur karena memang
itu gadis kecil yang kamu maksud.”
“Iya benar. Mengapa aku selalu memimpikan itu?”
“Gadis itu bukan anakmu?”
“Bukaaan, bukaaan,” kata Wahyudi sambil mengibaskan
tangannya.
“Nano, kamu melihat anak kecil itu di rumah sakit ini,
dan kamu tahu bahwa dia namanya Qila. Kalau dia ada di sini, berarti dia sakit.
Bisakah kita bertanya di klinik apa, mungkin klinik anak, tentang seorang
pasien bernama Qila? Barangkali dari situ kita bisa tahu siapa dia, dimana
rumahnya, apa hubungannya dengan Wahyudi ….”
“Apa Qila sakit?” tanya Wahyudi.
“Entahlah. Tapi benar kata Ibu, saya bisa mencari
keterangan ke klinik anak. Barangkali ada catatan mengenai seorang pasien
bernama Qila.”
“Nah, lakukan sekarang, tunggu apa lagi? Biar aku di
sini menemani Wahyudi,” kata bu Kartiko yang sangat prihatin akan keadaan
Wahyudi.
“Tapi nanti Ibu kelamaan berada di sini, bapak
bagaimana?” tanya Nano.
“Ibu saya antar pulang dulu saja, nanti saya kembali
untuk menanyakannya.”
“Nanti Wahyudi sama siapa?”
“Akan saya titipkan pada perawat, dia akan baik-baik
saja. Bukankah begitu Yudi?” kata Nano kepada Wahyudi.
Wahyudi sedang memejamkan matanya. Ia selalu merasa
pusing setiap mengingatnya. Tapi yang kemudian diingatnya, baru di
seputar Retno yang dicintainya, dan kegagalan memilikinya. Sosok Wuri yang
kemudian diingatnya, juga baru sekedar nama dan hubungannya yang dekat sama
dia. Tapi siapa Wuri, di mana rumahnya, semuanya masih gelap.
***
“Bagaimana keadaannya?” tanya pak Kartiko begitu istrinya
datang.
“Masih harus dirawat sih Pak.”
“Kok lama sekali seperti orang yang luka parah saja.”
“Mestinya ya supaya biar tuntas semuanya.”
“Apa dia ingat, ketika kamu datang?”
“Ingat, sangat mengingat Ibu, Dia juga mengingat
beberapa orang di masa lalunya.”
“Benarkah?”
“Menurut Nano, sudah ada yang diingatnya, walau belum
jelas benar. Tapi dengan keadaan itu, berarti banyak kemajuan untuk menuju ke pulihnya ingatan itu.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Bapak tidak usah kecewa, seandainya Wahyudi sudah
pulih, kemudian harus kembali kepada keluarganya.”
“Iya, aku tahu. Semoga saja aku segera bisa berjalan.
Kapan ya, aku bisa latihan jalan?”
“Lha kalau ada Nano kan bisa Bapak suruh membantu
melatih Bapak. Sekarang Nano harus kembali ke rumah sakit dulu, nanti kalau urusannya
selesai pasti segera kembali. Bapak bisa nanti di dampingi Nano untuk latihan
berjalan.”
“Ya sudah, Nano juga orang baik. Tapi nanti
mengganggu kalau kamu butuh dia?”
“Ya tidak setiap saat ibu butuh kan Pak, sudahlah,
sekarang Bapak jangan terlalu banyak memilih. Siapapun jangan ditolak. Bapak
itu hanya untuk melayani saja kok susah amat,” keluh bu Kartiko.
“Lha wong setiap saat aku butuh dia, kalau wajahnya
nggak nyegerin gitu, aku ya nggak suka lah Bu.”
“Tapi Nano ini kan baik.””
“Iya, aku tahu.”
Tiba-tiba ponsel bu Kartiko berdering.
“Eh, dari Qila, mau apa dia ?”
“Angkat saja, siapa tahu penting,” sambung pak
Kartiko.
“Hallo …” sapa bu
Kartiko dengan wajah kurang senang.
“Ibuuuuu ….” Qila merengek.
“Ada apa?”
“Mila mana Bu …”
“Sedang tidur,” kata bu Kartiko dingin.
“Qila kangen sekali sama Mila, bolehkah Qila ke situ
Bu?”
“Tidak boleh. Kamu boleh datang kalau Wisnu ada.”
“Tapi Qila kan ibunya.”
“Mila sendiri tidak suka sama kamu. Dan sekarang
jangan lagi mengganggu, aku sedang banyak pekerjaan.” Kata bu Kartiko yang
kemudian menutup ponselnya.
“Ada apa?”
“Dia mau datang kemari. Ibu nggak mau dia datang,
nanti kalau tiba-tiba Mila dibawa, kita bisa disalahkan sama Wisnu.
"Pak, saya bantu bapak latihan jalan dulu, kembali ke rumah sakit bisa nanti, soalnya Wahyudi sudah saya titipkan ke perawat," kata Nano yang mendengar keinginan pak Kartiko, sehingga ia mengurungkan niatnya kembali ke rumah sakit.
"Ternyata kamu masih di rumah, ya sudah No, coba temani bapak jalan di taman dulu, lalu latihan pelan-pelan," kata bu Kartiko.
***
Qila sedang kesepian di kamarnya. Baru saja Purnomo
pergi, dia sudah merasa tak punya teman. Ingin ke rumah mertuanya, juga
ditolak. Sebenarnya dia hanya butuh teman.
Tiba-tiba terbesit keinginannya untuk bertemu Wahyudi.
Ia belum sepenuhnya melupakan Wahyudi. Ia terhibur karena Purnomo selalu
memberinya kehangatan. Ketika sepi menyeruak, dia kembali mengingat Wahyudi.
“Tapi dulu itu dia luka parah. Apakah sekarang dia masih
ada di rumah sakit? Di rumah sakit sama siapa ya, kalau sama mas Wisnu ya nggak
mungkin, kan mas Wisnu marah sekali sama dia. Paling-paling sama Nano. Atau aku
mencoba mencarinya ke rumah sakit ya, tapi rumah sakit mana? Ah, bingung. Aku
tidur saja kalau begitu. Nanti sore kalau mas Purnomo belum datang juga, aku
akan menelponnya. Aku nggak mau tidur sendirian saat malam hari.
Tapi seperti mendengar keluhan Qila, tiba-tiba Punomo menelpon.
Qila mengangkatnya dengan bersemangat.
“Hallo Mas, sudah mau pulang kan?”
“Sebentar sayang. Mertua saya ada di ICU. Istriku
menangis terus.”
“Ya ampun Mas, kalau aku Mas biarkan sendirian, aku
juga akan menangis dong.”
“Qila, mengertilah, yang sakit adalah mertuaku, ibunya
istriku.”
“Iya aku mengerti, tapi aku tidak mau malam nanti
tidur sendirian.”
“Bagaimana kalau aku menyuruh orang menemani kamu?”
“Orang siapa? Ogah. Aku hanya mau Mas Purnomo yang
menemani aku.”
“Qila ….”
“Pokoknya aku nggak mau, titik. Kalau Mas tidak pulang
sore nanti, aku akan menyusul Mas,” ancamnya tandas.
“Qila, jangan begitu.”
“Aku nggak mau tidur sendirian.”
Lalu Qila menutup ponselnya dengan wajah cemberut.
“Benar lhoh, kalau dia nggak datang sore nanti, aku
akan menyusulnya. Mm, atau paling tidak aku akan mengingatkannya melalui telpon,”
kesalnya sambil kembali membaringkan tubuhnya.
***
Kedaan mertua Purnomo memang tidak begitu bagus.
Dokter yang menangani juga tidak memberikan harapan yang menggembirakan. Ia
hanya menyuruh keluarganya agar terus berdoa. Itu sebabnya istri Purnomo, Hartati,
selalu menangis.
“Berhentilah menangis.. Ibu sudah ditangani dokter,”
kata Purnomo menghibur istrinya.
“Ibu tidak pernah mengeluh sakit. Tiba-tiba saja sesak
napas, lalu pembantu melarikannya ke rumah sakit. Ketika aku datang, ibu sudah
ada di ruang ICU,” isaknya.
“Berarti ibu sudah ditangani dengan cepat. Semoga
keadannya membaik.”
Lalu Purnomo menyandarkan tubuhnya di kursi. Ia sedang
mencari akal, bagaimana bisa meninggalkan rumah sakit walau semalam saja,
supaya Qila tidak marah-marah. Baginya, saat ini Qila adalah yang terpenting.
Ia baru saja menemukan apa yang pernah diimpikannya, jadi alangkah sayang kalau
tiba-tiba impian itu kembali hanya menjadi impian.
“Mas, dokter bilang akan memberikan lagi obat yang
harus kita beli di luar, karena di rumah sakit ini tidak ada.”
“Iya, nanti aku belikan kalau sudah ada resepnya.
“Mas kok seperti sedang melamun, memikirkan apa?”
“Ya memikirkan ibu kamu lah, masa memikirkan ibuku
yang sudah lama meninggal,” jawabnya kesal, karena pikirannya sedang dipenuhi
oleh rasa khawatir kalau Qila membuktikan ancamannya seandainya dia tidak bisa menemuinya
sore ini.
“Mas kok jawabnya begitu sih? Nggak suka ya menemani
aku di sini?”
“Aku tuh sedang banyak pekerjaan. Jadi pusing.”
“Kan aku sudah minta, agar Mas melupakan pekerjaan Mas
karena ibu sedang butuh perhatian?”
“Iya, tapi saat ini pekerjaan juga sedang membutuhkan
perhatian ekstra, karena menyangkut pendapatan yang lumayan besar,” jawabnya
bohong. Tentu saja bohong, kan sebenarnya Qila lah yang sedang dipikirkannya?”
Hartati menghela napas sedih. Tiba-tiba sikap suaminya
membuatnya kesal, justru di saat dia butuh seseorang untuk menemani memikul
kesedihannya. Barangkali benar, dia juga harus memikirkan usahanya, tapi apakah
keadaan orang tua harus di nomor duakan?
“Tolonglah Mas, bantu aku, temani aku dalam
kegelisahan ini,” rintih Hartati yang dalam keadaan seperti itu, ingin sekali
Purnomo memeluknya, tapi itu tidak dilakukannya. Purnomo justru
mengetuk-ngetukkan sepatunya ke lantai, seperti orang yang sedang merasa
gelisah sendiri.
Hartati mengambil ponselnya, lalu menelpun Heru yang
entah berada di mana.
“Ya Bu,” jawab Heru.
“Kamu di mana?”
“Sedang membeli obat di apotek rumah sakit.”
“Mengapa di situ? Katanya ada yang harus dibeli di
luar?”
“Ada beberapa infus yang harus diambil di sini Bu,
salah satu resepnya harus dibeli di luar. Nanti Heru serahkan dulu obatnya
kepada perawat, baru nanti beli yang di sini tidak ada.”
“Baiklah Nak.”
“Ibu tidak apa-apa kan?”
“Tidak, ibu hanya butuh kamu.”
“Mengapa Ibu berkata begitu? Bukankah ada bapak di
situ.”
“Ada sih, tapi bapakmu juga sedang tidak fokus.”
“Tidak fokus bagaimana sih Bu?”
“Tidak fokus menemani ibu. Memikirkan pekerjaan saja
sepertinya,” keluh Hartati kesal.
“Nanti setelah dapat obatnya Heru segera ke situ. Biar
bapak yang keluar beli obatnya.
“Baiklah Nak.”
Heru merasa kesal. Ia yakin ayahnya sedang memikirkan
perempuan cantik yang ditinggalkan di rumah itu. Tapi ia tak ingin mengatakan
apapun pada Ibunya, khawatir akan menambah beban pikiran ibunya.
***
Begitu sampai di depan ayahnya, Heru segera
menyerahkan resep yang harus dibelinya di apotek luar.
“Ini harus dibeli di mana?” tanya Purnomo.
“Pokoknya Bapak harus mencari, apotek mana yang ada.
Soalnya kata dokternya, obat ini tidak tersedia di sembarang apotek.”
“Berarti harus jelas, kira-kira apotek mana yang punya.”
“Dokter tidak bisa menjelaskan, kita harus mencarinya.”
Purnomo mengambil ponselnya, menelpon beberapa apotek
yang punya obat yang dimaksud. Ketika akhirnya ia menemukan apotek tersebut, ia
segera berangkat keluar. Tapi karena tergesa-gesa, ponselnya tertinggal di
kursi, di mana dia tadi duduk.
“Heru, ini ponsel ayahmu tertinggal. Susulkan sana,
pasti sekarang masih di parkiran.”
“Biar saja di sini Bu, kan nanti bapak juga akan
kembali ke sini.”
“Tidak Heru, nanti kalau kita mau pesan apa-apa
bagaimana?”
Heru bergegas menyusul ayahnya, tapi sebelum sampai di
parkiran, ponsel ayahnya berdering.
***
Besok lagi ya.
Yes
ReplyDeleteYessssss..... Yang ditunggu-tunggu KC_24 sdh tayang.
DeleteMatur nuwun bunda Tien Kumalasari, sugeng dalu, salam SEROJA dan tetap ADUHAI.........
#maskakekmbandung#
Selamat jeng Iin Maomun si gesit lincah penjaga gawang *_tienkumalasari22.blogspot.com_*
ReplyDeleteMtnuwun mbk Tien....🙏🙏
Alhamdulillah sudah tayamg KC 24
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbungnya Semoga bunda selalu sehat walafiat bersama keluarga tercinta aamiin
Matur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung
ReplyDeleteNah ketahuan juga kelakuan Purnomo, Qila menelepon. Mudah mudahan diangkat oleh istrinya.
DeleteSalam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matur nuwun jeng Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 24 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Matur nuwun, bu Tien...sudah lanjut cerita yg ditunggu2. 👍😀
ReplyDeleteMakasih Bunda untuk cerbungnya, met malam dan met istirahat,sdha5 selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh hadir KC 24..
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien.. Semoga sehat selalu..
Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU~24 sudah hadir.. maturnuwun & salam sehat kagem bu Tien 🙏
ReplyDeleteTerimakasih Bu Tien,
ReplyDeleteKembang cantikku yang ke dua puluh empat sudah tayang.
Sehat-sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
Bener² deh Purnomo... Bikin dia nyesal nanti mba.
ReplyDeleteMakasih mba Tien.
Salam hangat selalu .Aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ..Semogs kita semua sehat Aamiin🌹🌹🌹🌹🌹
Alhdulillah....Kembang Cantik ku24sudah tayang....matur nuwun bu Tien....salam Aduhai
ReplyDeleteAlhamdulillah KC 24 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Matur nuwun bunda 🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah. Mtr nuwun, sehat dan bahagia selalu bunda Tien ..
ReplyDeleteAlhamdulillah cerbung Kembang Cantikku Eps. 24 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien, semoga tetap sehat dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Alhamdulillah KC 24 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien, semoga tetap sehat, bahagia bersama keluarga dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Aamiin YRA.
Alhamdulillah
ReplyDeleteYang ditunggu telah hadir
Matur nuwun bu...
Semoga sehat selalu bu Tien dan semuanya
Ceritanya semakin seru...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Ingatan Wahyudi ada kemajuan, baper juga yang nungguin cerita sedih nya, sebentar lagi Wisnu pulang, menanyakan alamat pasien anak yang bernama Qila di poli anak belum terlaksana, keburu mengajari berjalan pak Kartiko.
ReplyDeleteHeru dengan mecucu karena alasan Hartati; Purnomo tidak fokus, malah nada panggil di hapé Purnomo langsung di angkat ndilalah nada suara manja langsung mau nyusul ke rumah sakit tapi rumah sakit yang merawat Wahyudi, Purnomo mana tahu lagi nungguin obat di apotik.
Wuah asyiknya suaranya Heru dan Purnomo mirip yaudah manjanya gaspol, masak bisa; ya bisalah kalau nggak fokus kan asal suaranya cowok ya anggap aja suara kekasihnya, heboh donk.
Terburu-buru jadinya berantakan, meeting nya bubar.
Cerita sedih Wahyudi mengingatkan Marno, segera setelah selesai melatih berjalan juragan lanang, kembali mau menanyakan daftar kunjungan pasien anak di poli anak.
Ya beruntung; kalau ketemu alamatnya, syukur ada nomer teleponnya.
Paling dibuktikan dulu suruhan Budi mengkonfirmasi dulu di rumah sakit sekalian buat alasan nyamper Wuri.
Tapi kan asyik kalau kehebohan, berita; kalau Purnomo mau buka cabang?
Terimakasih Bu Tien,
Kembang cantikku yang ke dua puluh empat sudah tayang,
sehat-sehat selalu doaku, sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteMakasih bu Tien ..br baca pas kebangun
ReplyDeleteTrims Bu Tien KC udah tayang
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, salam sehat dan makin aduhai selalu
ReplyDeleteTerima kasih KC nya bunda..slm seroja n lamdusel dri skbmi🌹🥰🙏
ReplyDeleteBesok
ReplyDeleteNuwun bu Tien. Baru bisa komen krn dead line nilai shg njenuk. Wah Qila telpun Purnomo apa ya.. nanti Heru jadi tahu banyak nih.. Atau malah Qila berpaling ke Heru?
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDelete