Friday, July 8, 2022

KEMBANG CANTIKKU 15

 

KEMBANG CANTIKKU  15

(Tien Kumalasari)

 

Nano terkejut ketika Wahyudi masuk ke kamarnya tiba-tiba.

“Kaget aku, ada apa?”

“Ini, ponsel kamu .. kok bisa ada di dalam kamarku?”

“Apa?”

Nano heran, itu bukan miliknya. Ia mengamatinya.

“Bukan punyaku, ini ponsel baru. Dan ponsel mahal. Mana kuat aku beli ponsel beginian.”

“Lho, lalu punya siapa?” Nano ikut mengamati ponsel itu.

“Nggak tahu aku, dimana kamu menemukannya?”

“Di meja kamarku.”

“Di meja kamarmu? Kok aneh, siapa yang berani masuk ke kamar kamu, lalu ponselnya ketinggalan?”

“Aduh, jangan-jangan Mila main-main dengan ponsel nenek atau kakeknya, lalu dia masuk ke kamarku.”

“Kalau begitu tanyakan saja pada bapak atau ibu, kehilangan ponsel nggak?”

“Baiklah, aku ke depan dulu.”

Tapi sebelum ia beranjak, ponsel itu bergetar, Wahyudi berhenti melangkah.

“Ada pesan masuk, barangkali dia yang kehilangan ponsel, coba buka,” kata Nano.

Wahyudi membukanya, dan terbelalak membaca isi pesan itu.

“Wahyudi sayang, ponsel ini untuk kamu.”

“Apa nih ?” serunya sambil mengulurkan ponsel itu ke tangan Nano.

Nano pun terkejut.

“Yaaah, kamu punya pengagum nih,” canda Nano.

“Apa maksudnya pengagum?”

“Kalau bukan ya pecinta,” kata Nano sambil terbahak.

“Jangan bercanda, ini membuat aku bingung.”

“Ya, tentu, aku juga bingung. Pakai kata sayang pula. Ada namanya nggak? Tuh, no name. Siapa ya?”

“Gimana nih?”

“Ya sudah, terima saja. Berarti pengagum kamu itu memberi hadiah untuk kamu.”

“Ini barang mahal, dan aku tidak memerlukannya. Ambil saja nih, buat kamu,” kata Wahyudi yang sudah memegang ponsel itu lagi, lalu mengulurkannya pada Nano.

“Nggak bisa. Aku nggak mau. Biarpun ponsel aku butut, dan ini ponsel mahal, tapi sudah jelas ini punya kamu.”

“Aku juga nggak mau. Ngapain dikasih ponsel, pakai memanggil aku sayang pula. Nggak jelas siapa, dan nggak jelas apa tujuannya.”

“Ya sudah taruh saja di kamar kamu, tidak usah dipikirkan. Siapa tahu suatu saat kamu membutuhkannya.”

“Nggak mau aku. Nitip di kamar kamu saja ya.”

“Kok nitip? Nanti kalau dia kirim kata-kata cinta, bagaimana? Lalu aku tergoda, bagaimana juga?”

“Tolong No, cuma biar di kamar kamu saja. Nanti kalau sudah ketahuan dari siapa, akan aku kembalikan. Tapi kok aneh ya, dia tahu kamar aku dan meletakkannya di situ.”

“Iya, aku juga sedang berpikir nih.”

“Ya sudah, aku mau ke depan dulu, nih, nitip ya,” kata Wahyudi memaksa Nano agar menerimanya, kemudian Wahyudi berlalu.”

“Wah … wah … agak aneh juga nih, tiba-tiba kejatuhan ponsel bagus. Siapa ya kira-kira? Ini pasti bukan orang sembarangan. Artinya orang yang punya duit. Kalau orang biasa, mana mungkin bisa beli ponsel seperti ini. Menurut aku, ini harganya puluhan juta. Bukan main Wahyudi itu. Belum setahun tinggal disini sudah punya pengagum. Jangan-jangan … ah tidak … masa sih dia, bukan … bukan dia … tapi siapa ya?” gumam Nano sambil meletakkan ponsel itu di mejanya.

***

“Wahyudi, mengapa kamu taruh semua obatnya di sini, bukan kamu siapkan yang "harusnya aku minum sore saja?” tanya pak Kartiko heran.

“Ah, iya ya Pak, saya kok seperti bingung begini?

"Kamu sedang memikirkan sesuatu?”

“Memikirkan apa ya pak … tidak … tidak,” kata Wahyudi. Sebenarnya ia ingin mengatakan perihal ponsel itu, tapi diurungkannya. Ia merasa tak enak kalau nanti pak Kartiko mengira dia sedang berhubungan dengan seseorang diluar sana.

“Kamu seperti sedang bingung.”

“Iya, baiklah, saya kembalikan dulu, saya tinggalkan yang akan Bapak minum sore ini sebelum makan,” kata Wahyudi sambil meletakkan sebotol obat yang diperlukan, lalu membawa yang lain ke almari obat.

“Ada apa anak itu,” gumam pak Kartiko.

“Kenapa dia Pak?” tanya bu Kartiko yang mendekat ke arah suaminya.

“Nggak tahu aku Bu, Wahyudi seperti orang bingung, semua obat dibawa ke sini, lalu setelah aku ingatkan, kemudian ditinggal yang satu itu, lainnya dikembalikan.”

“Mungkin ya mikir keadaannya itu Pak, kok ya nggak sembuh-sembuh, sudah berobat juga, dan sudah hampir habis lho obatnya.”

“Penyakit seperti itu kan bukan sembarang penyakit, ada hubungannya dengan otak, pastinya ya harus pelan-pelan.

“Ini Pak, silakan diminum obatnya,” kata Wahyudi setelah kembali.

“Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?” tanya bu Kartiko.

“Tidak kok Bu.”

“Kata bapak, kamu seperti sedang bingung.”

“Mungkin karena tidur siang, bangun-bangun sudah sore, takut terlambat melayani bapak.”

Pak Kartiko sudah selesai minum obatnya.

“Ayo Yud, kita jalan-jalan di halaman depan,” ajak pak Kartiko.

“Baik Pak. Ini minumnya, sudah?”

“Sudah.”

Wahyudi segera mendorong kursi roda pak Kartiko ke depan.

“Hati-hati,” pesan bu Kartiko, “aku mau mengajak Nino keluar sebentar, beli buah sama roti, untuk sarapan besok, persediaan sudah menipis.”

“Ya, jangan lupa aku ingin pepaya yang merah Bu, jangan kuning seperti kemarin,” pesan pak Kartiko.

“Iya, nanti ibu belikan, kata bu Kartiko sambil beranjak ke belakang.

“Nano …” panggilnya.

Nano yang masih mengamati ponsel baru itu terkejut. Ia meletakkannya di meja, lalu bergegas keluar.

“Ya Bu.”

“Kamu masih tidur?”

“Tidak Bu, sudah mandi juga.”

“Antarkan aku ke toko sebentar ya No.”

“Baik Bu.”

Nano segera meninggalkan kamarnya, lalu menyiapkan mobil untuk bu Kartiko.

Sementara itu Wahyudi sudah mendorong kursi roda pak Kartiko ke halaman depan, bahkan kemudian mengarah ke taman, seperti permintaan pak Kartiko.

“Kita duduk-duduk di pinggir kolam ya Yud, sudah lama aku tidak melakukannya.”

“Baik Pak,” kata Wahyudi sambil mendorong ke arah belakang.

Ketika melewati kamar Nano, tiba-tiba terdengar dentang ponsel dari sana.

“Lho, Nano tidak membawa ponselnya tuh,” seru pak Kartiko.

Wahyudi tak menjawab. Suara ponsel Nano tidak begitu. Itu ponsel yang tadi berada di atas meja di dalam kamarnya.

“Coba lihat Yud, jangan-jangan ada yang penting,” perintah pak Kartiko.

Wahyudi berhenti, pura-pura mematuhi perintah pak Kartiko. Tapi kemudian dia kembali.

“Pintunya dikunci Pak.”

“O, ya sudah. Kamu hubungi dia saja, takutnya ada yang penting.”

“Saya tidak punya ponsel Pak.”

“Lhoh, kamu tidak punya? Besok belilah, aku beri kamu uang.”

“Terima kasih Pak, tapi tidak usah saja.”

“Kamu itu kalau diberi apa-apa kok pasti menolak.”

Wahyudi hanya tersenyum. Mereka sudah sampai di tepi kolam. Pak Kartiko tampak gembira melihat air berkecipak karena ulah ikan-ikan koi yang berenang se sana-kemari.

“Lama sekali aku tidak duduk-duduk di sini.”

“Saya ambilkan minuman hangat Pak?”

“Tidak, tadi kan baru saja minum. Sudah, kamu duduk saja di situ.”

Wahyudi duduk di sebuah bangku yang ada di kolam itu, tak jauh dari pak Kartiko yang duduk di kursi rodanya,

“Besok belilah ponsel.”

“Tidak usah pak, saya kan tidak memerlukannya.”

“Suatu saat nanti pasti kamu memerlukannya.”

“Ya, mungkin, tapi nanti saja. Saya belum memerlukannya Pak.”

“Kamu itu aneh. Orang kalau diberi sesuatu pasti cepat-cepat menerima, tapi kamu itu banyak menolaknya,” omel pak Kartiko.

“Maaf Pak, kalau saya tidak memerlukannya, saya kira lebih baik tidak. Saya sudah sangat banyak menerima kebaikan Bapak, saya tak akan sanggup memikulnya.”

Pak Kartiko tertawa.

“Jangan-jangan tadinya kamu tuh jualan kayu bakar, yang kamu pikul dari hutan untuk dijual ke pasar.”

Wahyudi tertawa lirih. Tiba-tiba ia teringat pak Tukiyo, yang sering mencari kayu di hutan untuk bahan bakar di rumahnya.

“Besok kalau saya libur, saya ijin mau pergi sebentar.”

“Mau kemana? Awas jangan sendirian, nanti kamu tersesat.”

“Saya sudah tahu nama kampungnya, jadi tidak akan tersesat. Ingin ketemu pak Tukiyo, orang yang telah menyelamatkan saya. Sekarang saya sudah tahu nama kampungnya.”

“Terserah kamu saja. Tapi ada baiknya kamu mengajak Nano.”

“Baik, nanti saya bicara sama dia.”

***

“Qila …” panggil Wisnu.

Tapi yang dipanggil bergeming di sofa, mengotak atik ponselnya dengan asyik, membuat Wisnu kesal.

“Qila !” suara Wisnu agak keras.

Qila menoleh dan cemberut.

“Ada apa sih Mas, dari tadi teriak-teriak terus?”

“Kamu itu lho, dipanggil dari tadi kok nggak perhatian sekali. Lagi ngapain sih?”

“Ini, lagi main game, jangan diganggu dulu dong Mas.”

“Kayak orang muda saja, main game segala.”

“Untuk hiburan, masa harus kerja terus, nggak boleh main.”

“Aku belum bicara sama bapak tentang rencana mau jalan-jalan.”

“Makanya, aku ketemu berkali-kali kok bapak diam saja.”

“Besok aku mau bicara.”

“Kenapa tidak sekarang saja? Kan Mas bisa menelpon? Dua hari lagi sudah hari Minggu, gimana sih Mas.”

“Baiklah, kalau begitu aku menelpon saja.”

“Itu lebih baik, soalnya Mas kalau ke sana selalu tergesa-gesa, hampir tidak pernah singgah lama. Kalau makan siang juga begitu. Selesai langsung pergi lagi.

“Meninggalkan pekerjaan terlalu lama kan tidak nyaman, sementara jarak rumah dan kantor itu lumayan jauh.”

Wisnu menelpon ayahnya, tapi tidak diangkat. Berkali-kali dicoba, tidak juga diangkat.

“Kok nggak diangkat sih?” gerutu Wisnu.

“Tidak aktif?”

“Aktif sih, tapi tidak diangkat. Aku coba menelpon ibu saja.”

“Ya, Wisnu, ada apa? Ibu lagi belanja buah nih,” jawab bu Kartiko ketika Wisnu menelponnya.

“Wisnu menelpon bapak, kok tidak diangkat?”

“O, bapakmu sedang jalan-jalan sama Wahyudi, pastinya tidak membawa ponsel. Ada apa?”

“Ini lho bu, Wisnu punya rencana mau jalan-jalan, kalau bapak sama Ibu mau, akan kami ajak juga.”

“Jalan-jalan ke mana?”

“Luar kota lah Bu, refreshing. Tapi menginap.”

“Menginap?”

“Sehari atau dua hari. Wisnu akan cuti selama tiga hari. Kelihatannya Qila juga jenuh setiap hari mengurus pekerjaan.”

“Oh, bagus itu. Tapi nanti aku bilang dulu sama bapak, mau tidak. Bapakmu itu kan tidak gampang.”

“Kan ada Wahyudi, biar dia ikut juga,” kata Qila dari kejauhan, tapi bu Kartiko mendengarnya.

“Tuh, istrimu ikut berteriak,” kata bu Kartiko sambil tersenyum.

“Dia ingin menyenangkan mertuanya Bu, jadi jangan membuatnya kecewa. Besok saya akan bicara lagi sama bapak.”

“Baiklah, aku sih setuju saja, tapi kan semua tergantung bapak.”

“Ya bu.”

“Ya sudah, nanti di rumah telpon lagi saja, ini ibu sedang ngantre di kasir.”

Bu Kartiko menutup ponselnya.

“Bagaimana? Ibu senang kan?”

“Iya, ibu senang, tapi nanti masih menunggu bapak, semoga saja bapak bersedia.”

“Yang penting itu kan bapak,” kata Qila sambil membayangkan wajah Wahyudi.

“Benar, bapak butuh hiburan juga. Kamu menantu yang baik, aku semakin mencintai kamu, Qila.”

“Hmh, masih sore sudah merayu.”

“Ini kan rayuan awal, nanti malam ada rayuan yang lebih hebat lagi.”

“Aduh Mas, sudah, aku mau nglanjutin main lagi,” kata Qila sambil kembali menikmati main game nya.”

“Ponsel baru yang satunya untuk aku saja ya,” tiba-tiba kata Wisnu, mengejutkan Qila.

“Apa?”

“Aku kok tiba-tiba juga pengin ponsel baru.”

“Jangan. Itu untuk aku.”

“Kan besok kamu bisa beli lagi. Tidak segera butuh sekarang kan?”

“Tidak boleh,” kata Qila dengan dada berdebar. Soalnya ponselnya kan sudah diberikan Wahyudi?

“Di mana sih kamu meletakkannya? Aku mau lihat,”

“Nggak usah Mas, sudah, Mas duduk disini saja, menemani aku,” kata Qila mulai merayu Wisnu agar melupakan masalah ponsel itu. Ia mulai berpikir bagaimana caranya memberi alasan tentang Ponsel yang sudah tidak ada di rumah ini.

***

“Jalan-jalan kemana? Macam-macam saja.” Kata pak Krtiko ketika istrinya mengatakan tentang keinginan Wisnu.

“Nggak tahu, Wisnu belum mengatakan mau ke mana, tapi katanya ingin menginap dua tiga hari.”

“Apalagi menginap, aku kan repot.”

“Wisnu itu ingin menyenangkan Bapak, kan sudah lama Bapak tidak jalan-jalan ke luar kota?”

“Apa Wisnu tidak ingat bahwa aku ini tidak bisa kemana-mana tanpa kursi roda?”

“Kita kan bisa mengajak Wahyudi juga.”

“Wahyudi sudah bilang mau pergi besok Minggu itu.”

“Oh, kemana?”

“Mau ketemu orang yang menolongnya. Aku sudah minta supaya Nano mengantarkannya.”

***

“Yud, dia mengirim pesan singkat berkali-kali,” lapor Nano ketika sudah masuk ke kamar dan melihat ponsel itu.

“Biarkan saja, aku pusing. Oh ya, besok Minggu maukah mengantar aku ke rumah pak Tukiyo?”

“Kamu mau ke sana? Kebetulan, aku mau ketemu Murti, dan kampung pak Tukiyo itu menurut Sunthi, calon istri kamu itu_”

“Eh, kok calon istri aku sih,” potong Wahyudi.

Nano tertawa.

“Iya, maaf, aku salah. Maksudku, kampung pak Tukiyo itu kelewatan, jadi setelah dari sana bisa lagsung ketemu Murti, kamu kangen juga kan sama Murni?”

“Kamu tuh,” kata Wahyudi sambil tersenyum. Lalu wajah cantik Murni melintas.

“Ya sudah, ayo tidur, aku kok ngantuk sekali, baru jam sembilan juga.”

“Iya, sama.”

Nano masuk ke kamarnya. Tapi begitu dia merebahkan tubuhnya, ponsel baru itu berdering. Sebenarnya Nano enggan mengangkatnya, tapi ponsel itu terus berdering. Nano meraih untuk mematikannya, tapi tiba-tiba terpampang wajah cantik di layar ponsel itu. Wajah yang sebelumnya tidak tampak di sana. Dan terbelalak mata Nano melihatnya.

“Bu Qila?”

***

Besok lagi ya.

 

 

 

36 comments:

  1. Replies
    1. Alhamdulillah KaCe_eps_15 sdh tayang. Terima kasih bu Tien. Tetap sehat dan semangat bun, salam ADUHAI dari mas kakek mBandung++++

      Delete
  2. Alhamdullilah..mksih bunda KC nya😍🙏

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah KEMBANG CANTIKKU 15 telah tayang , terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
    UR.T411653L

    ReplyDelete
  4. Terimakasih b Tien... Semoga Sehat Selalu Aamiiiin YRA

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillah, mtr nuwun, sehat dan bahagia sll bunda Tien..

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillaah.... Yang dinanti sudah tayang.
    Maturnuwun bunda Tien sayang 😍😍

    ReplyDelete
  7. Matur nuwun bunda Tien..KC 15 telah tayang...🙏

    ReplyDelete
  8. Trimakasih bu Tien.... makin seru saja critanya
    Salam sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Matur nuwun mbak Tien-ku Kembang Cantikku sudah berkunjung.
    Qila yang gila, apa tidak tahu Yudi sedang 'hilang ingatan', atau malah memanfaatkan Pupung tidak sadar...
    Salam sehat mbak Tien yang selalu ADUHAI.

    ReplyDelete
  10. Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien
    Salam sehat wal'afiat semua bu 🙏😊

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah.... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  12. Alhamdulillah, PC 15 telah tayang. Terima kasih mbak Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah KC 15 dah datang, matursuwun bu Tien
    Semoga sehat selalu

    ReplyDelete
  14. Permainan game Qila selalu tidak tuntas walau cuma pemanasan, mengandalkan keelokan penampilan yang menawan bagi para kaum adam berharap banyak berhasil, permainan kan buat kesenangan semoga nggak menyandu aja.
    Jadi pinter banget berkelit; petualangan baru mau mulai, kaya teori domino aja kata seorang teman; mau emaknya ambil anaknya, emoh ndak diklabruk.
    Hé hé hé hé padaké pitik waé.

    Lha cuma ada ingatan tersisa yang kebetulan saja terbawa mimpi, sampai sampai terjadi juga mimpi disiang hari mengigau, bocor terucap terdengar yang punya nama, nah lo mulai permainan ingin menguasai, namanya juga kaum pengusaha tentu berusaha mendapatkan.
    Terus sogok menyogok, nyogoki åpå hé cêlathu ora nggênah.
    Ya pakai plan a, plan b tå biar kesemuan hati yang berbunga-bunga benar-benar tersamarkan, gila ya celotèh igauan orang lupa ingatan dijadikan rumusan, jadi maksud loh ikutan jadi larut nggak bisa mendapatkan kewarasan, kayanya gitu.
    Lha yang lupa ingatan aja ingin bisa tahu masa lalu, ini malah ditambahi ingatan baru yang membingungkan.
    Nggolèk srudukan mumpung terbayang anaknya lengket tinggal biyungnya ikutan melengketkan diri, iya kalau yang dilèngkèti mau.
    Kan mainan baru yang mengasyikan, maen api lagi.
    Mau pindah gelombang ya, lha masak memeluk galon terus, inginnya ya yang beda donk, gerilya gitu.
    Nich kalau ketahuan paling tidak mertua mu tahu terus gimana,
    lho cita-citanya kan kaya yang lagi trend sekarang; double decker gitu, uwih pakai yang sliper nggak tuh.
    Kaya bus jaman now aja, iya, apa lagi trip jarak jauh, ya sudah pasti dikasih selimut.
    Asyiik
    Tapi kan Marno sopir disuruh nemenin Wahyudi, disuruh juragan besar, biar tidak mendapatkan kesulitan jalan pulang.

    Kan memaksa, agar hari yang sudah ditentukan oleh panitia untuk liburan bersama keluarga besar terjadwal baik, lah gimana kalau Wahyudi selama libur hapé itu ditaruh meja kamar, bunyi nada panggil terus menerus.
    Terus chating sayangmu dibaca suamimu terus piyé.
    Mikir..

    Paling Marno sudah menangkap tanda-tanda salah, masalah hapé nya.
    Nggak tau, apa mau gimana, diapakan, itu hapé.
    Sudah kelihatan gambarnya yang punya


    Terimakasih Bu Tien,
    Kembang cantikku yang kelima belas sudah tayang,
    Sehat-sehat selalu doaku,
    Sejahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
    🙏

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bu Tien KC 15 sdh tayang
    Semoga Ibu sehat wal'afiat dan bahagia selalu
    Aamiin

    ReplyDelete
  16. Terimakasih bu Tien, salam sehat selalu

    ReplyDelete
  17. Terima kasih, bu Tien. Semoga sehat selalu. 🙏 Maaf baru komen setelah baca, itu kalau pak Kartiko mengira hape Nano tertinggal di kamarnya yg terkunci, bgmn Wahyudi mau menghubunginya utk memberitahu kl hapenya berbunyi di kamar ya? Mngkn pak Kartiko yg bingung, atau Wahyudi bisa hubungi Nano lewat bu Kartiko yg bersamanya beli buah?

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 02

MAWAR HITAM  02 (Tien Kumalasari)   Satria heran, apakah dia salah lihat? Ia merasa wanita itu adalah Sinah, suaranya juga suara Sinah, tapi...