BUKAN MILIKKU
37
(Tien Kumalasari)
Bu Siswanto terkejut. Ia segera tahu bahwa Kori sama
sekali tak menginginkan bayi itu. Tapi
benarkah pelaku penculikan itu dia? Sekarang suara pembicaraan telepon itu
sudah selesai. Bu Siswanto mundur sampai ke teras, dan bersikap seperti baru
saja datang.
“Ibu?”
“Ya, kamu sendirian ?”
“Iya Bu, bapak belum pulang. Bagaimana dengan Qila?
Apa sudah ada kabar Bu? Ada titik terang tentang penculikan itu?”
“Sepertinya belum.”
“Kori sedih Bu, ingin buru-buru bisa menggendong Qila.
Pasti senang ya Bu rasanya menggendong bayi? Sudah lama Kori menginginkannya,”
katanya pelan, seperti sedang sangat bersedih hati.
Bu Siswanto tersenyum dalam hati. Menantunya yang satu
ini ternyata sangat pandai berpura-pura. Tapi mengapa?
“Ibu mau makan? Kori sangat lapar, karena sedih jadi
nggak doyan makan, tapi ternyata perut Kori rasanya melilit.”
“Makan saja sendiri, Ibu sangat capek, mau istirahat
saja dulu. Tanyakan pada yu Asih, apa sudah siap masaknya.”
“Yu Asih baru Kori suruh beli … beli … sabun,” bohong
Kori, tapi bu Siswanto mengacuhkannya. Bukankah Asih bilang bahwa dia sedang
disuruh beli rokok? Kata Kori beli sabun. Ia langsung masuk ke kamar dan
menutupnya pelan.
“Hm, mertua sombong. Tidak seperti suaminya yang
sangat menyayangi aku,” gumam Kori pelan. Ia melangkah ke arah depan, karena
melihat Asih memasuki halaman.
“Lama sekali sih Yu,” tegur Kori sambil menoleh ke
arah dalam. Ia bersyukur ibu mertuanya sudah masuk ke dalam kamar.
“Iya Bu, banyak pembeli di warung itu,” katanya sambil
mengulurkan rokok pesanan Kori dan uang kembaliannya.
“Ya sudah. Eh, tunggu dulu. Kamu jangan sampai bilang
kepada siapapun bahwa aku menyuruh kamu membeli rokok. Tahu?”
Asih hanya mengangguk. Padahal ia sudah mengatakannya
tadi kepada bu Siswanto.
“Biar saja, masa aku harus berbohong,” gumamnya dalam
hati, sambil terus melangkah ke belakang.
“Eh Yu, masakan sudah siap? Aku lapar nih,”
katanya sambil memegangi perutnya.
“Sudah, saya bilang dulu sama Ibu.”
“Ibu bilang belum ingin makan, inginnya segera istirahat.
Jadi aku mau makan sendiri saja.”
“Oh, baiklah, saya siapkan dulu di meja makan.”
Kori mengangguk, lalu masuk ke kamar untuk
menyembunyikan rokok yang baru dibelinya.
***
“Bu, aku tinggal sebentar nggak apa-apa kan?” tanya
Wuri kepada ibunya.
“Nggak apa-apa, kan sudah selesai. Memangnya kamu mau
ke mana?”
“Ke rumah sakit Bu, mau bezoek mbak Retno.”
“Oh ya sudah. Apa belum ada berita tentang bayinya
yang hilang?”
“Itu sebabnya Wuri mau ke sana Bu, Mas Yudi juga masih ada di rumah sakit.”
“Kamu naik apa?”
“Naik sepeda motor saja Bu. Tadi mas Yudi juga nyuruh
Wuri naik taksi, tapi lebih baik sepeda motor saja. Supaya Wuri tidak lama-lama
disana.”
”Ya sudah, hati-hati jangan ngebut,” pesan bu Mantri.
“Iya Bu.”
“Oh ya, Ibu nitip gula ya? Lupa pas ke pasar tadi mau
bilang.”
“Lhaah, iya kenapa tadi nggak bilang.”
“Ini uangnya, beli tiga kilo saja, nanti kamu
keberatan.”
“Ya. Sudah? Cuma beli gula saja?”
“Iya, gula saja. Besok lagi gampang.”
“Wuri sama minta buat beli bensin ya Bu.”
“Iya, masih cukup kan uangnya itu?”
“Masih cukup Bu.”
***
Budi baru saja memasuki lobi rumah sakit, ketika
dilihatnya Wahyudi duduk sendirian disana. Ia segera mendekat dan menyapa.
“Mas Yudi masih disini?”
“Iya.”
“Katanya tadi mau ke kantor?”
“Sudah tadi, lalu kembali lagi ke mari. Rasanya tidak tenang,
ingin selalu mengikuti berita.”
Budi duduk di samping Wahyudi.
“Belum ada berita lagi. Semoga penculik itu tidak
mendesak meminta jawaban.”
“Iya, semoga polisi lebih dulu bisa menangkapnya. Tapi
mengapa duduk disini, ayo masuk ke dalam,” ajak Budi.
“Sebenarnya saya sedang menunggu Wuri.” Jawab Wahyudi.
“Memangnya Wuri mau kesini?”
“Iya, tadi dia bilang begitu. Tapi kok lama sekali
belum datang juga.”
“Masih sibuk barangkali?”
“Saya menelpon ibunya, katanya sudah berangkat.”
“Mampir-mampir barangkali. Mas Yudi sudah menelpon
dia?”
“Tidak, dia kan di jalan, nanti malah repot kalau
harus menerima telepon. Tapi kok lama sekali. Iya sih, tadi ibunya bilang nitip
gula. Tapi meski mampir beli gula juga kan tidak selama ini. Itu sebabnya saya
menunggu.”
“Meskipun begitu daripada gelisah apa tidak lebih baik
ditelpon saja. Siapa tahu ban nya gembos dan butuh pertolongan.”
“Baiklah, saya telpon saja sekarang.”
Wahyudi kemudian mencoba menelpon Wuri, tapi berkali-kali
mencoba tak ada yang mengangkat.
“Tidak diangkat,” keluh Wahyudi.
“Berarti masih di jalan. Kalau begitu saya masuk dulu,
mau menanyakan mas Sapto barangkali membutuhkan sesuatu. Nanti saya temani
lagi.”
“Iya Mas Budi, silakan saja, biar saya menunggu Wuri,
barangkali sebentar lagi sampai.”
“Ini dia.” Gumamnya sambil mengangkat ponselnya.
“Wuri? Kamu dimana, lama banget.”
“Pak Wahyudi ya?” suara itu asing terdengar.
“Iya saya. Ini ponselnya adik saya kan?”
“Iya, adik anda, Wuri Andayani kecelakaan.”
“Apa? Kecelakaan?”
“Ini dari rumah sakit.”
Budi urung melangkah ke dalam. Ia menunggu Wahyudi
menyelesaikan pembicaraan itu.
“Wuri kecelakaan Mas, sekarang ada di rumah sakit.
Saya mau ke sana sekarang.”
“Mari saya antarkan Mas, saya ambil mobil saya dulu.
Kok nggak dibawa kemari, ini rumah sakit besar.”
“Mungkin mencari yang terdekat. Tapi saya merepotkan
Mas Budi kan?”
“Tidak, sama sekali tidak merepotkan.”
Keduanya bergegas ke parkiran, dan menuju rumah sakit
dimana Wuri sedang dirawat.
“Apanya yang luka?” tanya Budi dalam perjalanan.
“Tulang betis retak atau patah. Belum jelas kenapa dia.”
“Semoga tidak apa-apa.”
***
“Budi, kamu dimana?” kali ini Sapto menelpon,
barangkali karena Budi tidak segera datang.
“Saya dalam perjalanan ke rumah sakit Mas, Wuri
kecelakaan.”
“Wuri itu siapa? Pacar kamu?”
“Itu tetangganya Mas Wahyudi yang kemarin membezoek
mbak Retno juga.”
“Oh. Bagaimana ceritanya?”
“Belum jelas. Mas Sapto butuh apa?”
“Sebetulnya aku butuh beberapa setel baju, tapi aku
enggan pulang. Lalu aku juga butuh makan, kalau kamu sempat.”
“Mas saya pesankan makanan online saja ya, sekarang
juga. Masalah baju nanti saya mampir ke rumah. Setelah mengantar mas Yudi dan
tahu keadaan Wuri saya segera kembali.”
“Baiklah, tidak apa-apa.”
“Bagaimana keadaan mbak Retno?”
“Masih tidur. Jangan lupa pesan makannya sama bu Kartomo juga. Beliau masih disini.”
“Iya Mas, aku tahu. Sekalian buat sore juga ya.”
“Ya sudah, terima kasih Budi. Eh kamu sama mas Yudi
bukan?”
“Iya Mas.”
“Sampaikan bahwa aku ikut prihatin atas kejadian itu.
Semoga Wuri segera pulih.”
“Baiklah, akan aku sampaikan. Aku pesan makanan dulu
untuk Mas dan bu Kartomo.”
***
“Ya ampun, kamu kenapa Wuri?” pekik Wahyudi ketika
memasuki ruang UGD, dimana Wuri terbaring dengan wajah pucat, dengan beberapa
luka di tangan dan kakinya tampak dibebat.”
“Mas, aku di tabrak Mas. Dia langsung lari,” rengek
Wuri menahan sakit.
“Kamu ngebut?” tegur Wahyudi.
“Tidak, aku mau belok, sudah memberi tanda juga, dia
yang ngebut.”
“Itu kakinya patah ?” tanya Budi yang ikut mendekat.
“Mungkin Mas, jangan sampai dioperasi, aku nggak mau,”
Wuri merengek ketakutan.
“Waduh, kalau patahnya parah kayaknya harus dioperasi.
Semoga saja hanya retak dan cukup di gips,” sambung Budi lagi.
“Maas, aku takut…”
“Tidak apa-apa, kan sudah ditangani dokter.”
“Aku mau ketemu dokternya dulu,” kata Wahyudi sambil
bicara sama perawat untuk bertemu dokternya, sementara Budi masih menemani
Wuri.
“Kok mas Yudi bisa bertemu Mas Budi?” tanya Wuri.
“Iya, tadi ketika mas Yudi menerima telepon, aku lagi
ada di dekatnya, jadi aku ikut kesini deh, nggak tega membiarkan mas Yudi
kebingungan.”
“Walau sebenarnya Mas Budi juga lagi bingung?”
Budi menghela napas berat.
“Iya sih.”
“Maaf, jadi merepotkan. Padahal mas Budi masih
mengurusi mbak Retno dan bayinya yang hilang.”
“Kami juga sedang menunggu berita dari kepolisian.
Semoga semuanya segera bisa selesai dengan baik.”
“Aamiin.”
Sementara itu Wahyudi sudah kembali, dan sudah bicara
dengan dokternya.
“Kamu harus dirawat.”
“Jangan, nggak mau,” pekik Wuri.
“Ssst, kok teriak sih.”
“Aku nggak mau, aku mau pulang.”
“Wuri, kamu masih harus diperiksa. Diantaranya kakimu
yang katanya patah. Harus dilihat apakah benar patah atau hanya retak.”
“Ya Tuhan … aku kan takut dokter,” rintih Wuri lirih.
“Aku akan menemani kamu,” kata Wahyudi.
“Aku juga akan sering menjengukmu,” sambung Budi.
“Aku sudah memesan kamar untuk kamu. Semoga besok
sudah ada penanganan yang lebih jelas. Dan semoga kamu tidak harus dirawat
lebih lama.”
“Bagaimana Ibu? Aku belum memberi tahu ibuku tentang
keadaan ini.”
“Nanti aku akan mengabari.”
“Siapa yang harus belanja untuk ibuku?”
“Yaah, kamu tidak boleh memikirkan banyak hal, nanti
pasti ada jalan terbaik siapa yang harus membantu ibu. Mungkin juga ibumu tidak
akan berjualan setelah mendengar berita ini.”
***
“Mengapa baru pulang?” tegur pak Kartomo ketika sore
hari bu Kartomo baru pulang ke rumah.
“Aku tidak tega meninggalkan Retno.”
“Mengapa tidak kita bawa saja dia pulang ke rumah?”
“Kesehatannya belum mengijinkan. Dia sangat lemah,
apalagi setelah mendengar anaknya diculik dan mendapat ancaman.”
“Mengapa tidak dituruti saja kemauan penculik itu.
Gampang kan, kalau dia ingin mendapatkan anaknya kembali?”
“Dari mana Bapak tahu bahwa ada ancaman penculik?”
tanya bu Kartomo curiga.
“Aku … aku … kan bolak balik ke rumah sakit?”
“Seharian aku tidak melihat Bapak ke rumah sakit.”
“Kamu tidak tahu saja. Memang aku tidak masuk ke dalam
ruangan, tapi banyak orang membicarakannya.”
“Membicarakan apa?”
“Tentang ancaman itu.”
“Mana mungkin dibicarakan banyak orang?”
“Maksudku … nak Budi … dan aku juga mampir ke rumahnya
pak Siswanto.”
Bu Kartomo diam, lalu masuk ke kamarnya untuk berganti
baju.
“Nanti aku mau kembali ke rumah sakit. Aku hanya
pulang untuk mandi dan ganti baju.”
“Repot amat. Dirumah tidak ada makanan dan kamu mau pergi
lagi.”
“Bukankah Bapak bisa beli makanan di luar? Langganan
Bapak kan juga jual makanan? Biasanya juga pergi makan di warung yu Semi kan?”
“Dia tidak jualan, sudah dua hari ini.”
“Oh ya? Kasihan bener sampeyan Pak. Memangnya tidak
ada warung yang lain?”
“Kamu itu diminta melayani makan suami malah bicara
yang macam-macam.”
“Kalau Bapak sabar menunggu, aku buatkan mie instan
sebentar.”
“Ya sudah, buatkan cepat, aku juga capek.”
“Ambilkan mie nya di warung. Aku nggak mau ambil
sendiri.”
“Kok di warung?”
“Bapak kan jualan mie juga? Masa aku harus beli di
luar?”
“Hm, bikin kesal saja. Kalau dagangan warung tidak
dibayar ya bisa rugi aku,” omelnya sambil berjalan ke arah toko untuk mengambil
mie yang akan dimasak isterinya.
“Kalau di utangkan ke tetangga boleh, lha ini mau dimakan sendiri saja itung-itungan,”
gerutu bu Kartomo kesal.
***
Bu Siswanto keluar dari kamarnya, menuju ke arah ruang
makan, tapi dilihatnya Kori masih ada diruangan itu, makan sambil bertelepon.
Bu Siswanto berdiri di balik pintu.
“Sakit? Kalau sakit ya harus dibawa ke rumah sakit,
segera. Apa? Panas dan muntah-muntah? Cepat bawa … keburu mati nanti,” katanya di dalam
pembicaraan itu.
Bu Siswanto terkejut. Heran mendengar menantunya
bicara tentang ‘mati’ dengan begitu enteng.
“Siapa yang sakit?”
Kori tampak terkejut. Ia segera mematikan ponselnya
dan meletakkannya di samping dia duduk.
“Itu Bu, yang sakit … adalah … teman saya.”
“Teman? Teman
sendiri sakit kok seperti disumpahin begitu?”
“Bukan menyumpahin Bu, maksud saya, kalau tidak segera
dibawa ke rumah sakit bisa mati dia.”
Bu Siswanto tak menjawab, beranjak ke arah dapur.
“Sih, aku mau makan ya, tidak usah menunggu bapak,
mungkin sore pulangnya,” katanya kepada Asih.
“Baik Bu.”
“Silakan makan Bu, Kori sudah selesai dari tadi,” kata
Kori sambil berdiri dan keluar dari ruang makan.
Asih membersihkan sisa makan Kori, lalu merapikannya,
dan menata lagi untuk bu Siswanto.
“Bu Kori makan dari tadi, lama sekali, habisnya …
makan sambil telpon-telponan,” kata Asih dengan mulut cemberut.
“Biarkan saja apa yang dilakukannya,” kata bu Sis
sambil duduk. Dalam hati dia bertanya-tanya. Dua kali dia memergoki pembicaraan
di telepon ketika Kori berbicara dengan seseorang, dan pembicaraan itu
membuatnya curiga.
“Aku akan menemui Sapto dan mengatakan apa yang aku
dengar. Dia pasti belum tahu bahwa Kori sebenarnya tidak menginginkan bayi itu.
Kalau ayahnya Sapto pulang lebih dulu, aku juga akan mengatakan padanya tentang
hal itu,” kata bu Sis dalam hati, sambil menyendok nasinya.
***
Budi dipersilakan kembali terlebih dulu, karena
Wahyudi tahu bahwa Sapto menyuruhnya mengambil baju ganti ke rumah.
Wahyudi keluar dari ruang inap Wuri, bermaksud
mengabari bu Mantri perihal kecelakaan yang menimpa anaknya. Tapi tiba-tiba ia
melihat seorang wanita duduk di luar ruang UGD.
Wahyudi terkejut mengenali wanita itu.
“Dia penculik bayi itu kan? Apa yang dilakukannya
disini?”
***
Besok lagi ya.
Sugeng dalu, tetap sehat dan semangat.
ReplyDeleteSalam ADUHAI dari mBandung.......
Wah sarung ajaib tuh kakek juara 1 horee
DeleteKakek...jogo gawang jelas iki
DeleteSehat ya kakek Habi 🙏🙏
Alhandulillah sehat.....isa melu balapan imam trawehnya 'ngebut'
DeleteNasih ada stok "mug syantiek" 5 pcs, siapa cepat dapat, hubungi bu Tien via 082226322364 harga 35K saja.
Monggo yang yang berminat
Alhamdulillah saya sehat. Bisa ikut balapan karena imam trawehnya "ngebut" jadi cepat sampai rumah.
DeleteMasih ada stok "mug syantiek" ultah bu Tien ke 73thn, ada 5 lagi siapa cepat dapat segera hub bu Tien via 082226322364
Yes
ReplyDeleteMatur nuwun bu Tien BM37, Sampun tayang
ReplyDeleteMugi panjenengan tansah pinaringan sehat wal'afiat & tetap semangat
Nah kan .. susi kedahuluan ayahnda kajek ,,,😭😭😭 padahal susi sudah lari sioat kuping ,,, 😭😭😭
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih BM nya mbak Tien
ReplyDeleteSalam sehat dari Purwodadi
Alhamdulillah.. BM eps 37 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari.
Salam sehat selalu dari Tangerang
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerima kasih bu tien , bm sdh tayang semoga bu tien dan keluarga sll sehat..
ReplyDeleteDudah tampak titik terangnya kori dan kartomo sdh teridentifikasi ...tunggu ya sebentar lg terbonglar
DeleteAlhamdulillah,matur nuwun mbak Tien salam sehat...
ReplyDeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteTerima kasih bu Tien BM 37 dah tayang..
Semoga ibu sehat dan bahagia bersama keluarga...salam ADUHAI dari blora
YES MANTAP
ReplyDeleteAlhamdulillah BM sdh hadir ..
ReplyDeleteTerima kssih Bu Tien..
Sehat dan sukses selalu.
Salam *ADUHAI*
Alhamdulillah. Suwun ibu
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Mbak Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 37 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Trims Bu Tien ......
ReplyDeleteLah nunggu lg besuk
Ya penculikan kolaborasi pa Kartomo Kori dan Semi ada titik terang dari pembicaraan tilpun Kori kemungkinan bayi Qila sakit dan dibawa kerumah sakit dimana Wuri hrs dirawat Wahyudibmengenali penculik semoga segera tertangkap.
ReplyDeleteSemoga Yudi bisa melaporkan penculik itu, salam seroja Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun untuk BM 37 nya, bu Tien. Semakin penisirin. Salam ADUHAI dari Kota Madiun
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
ReplyDeleteTampaknya mimpi Sapto akan menjadi kenyataan, penolongnya Wahyudi dan penculiknya mungkin Semi. Karena bayinya sakit maka ketahuan ketika diperiksakan di rumah sakit.
Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Alhamdulillah, suwun Bu Tien....
ReplyDeleteSalam sehat selalu....🙏🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteYng ditunggu telah hadir
Matur nuwun bu Tien
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron Mbak Tien 🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Alhamdulillah ,BM 37 sudah hadir ,terimakasih bunda Tien ,semoga penculik segera ditangkap ,kory sudah ketar ketir ,semoga yang merencanakan penculikan segera tertangkap ,sabar Retno ,aduhai licik sekali P Kartomo
ReplyDeleteAsyiiiik... Trimakasiiiiih bunda tien kumalasari... Salam sehat penuh semangat
ReplyDeletePenculikan Qila kolaborasi antara Kartomo Kori dan Semi dari pembicaraan tilpun Kori semakin terungkap siapa penculik Qila semoga Wahyudi dapat segera bertimdak setelah mengenali wajah penculik Qila.
ReplyDeleteSeruu ya
DeleteSeruuu
DeleteTerima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah BM 37 sdh tayang. Semakin seru dan penasaran. Trm ksh bu Tien.. Smg sehat sll.
ReplyDeleteSeruu
ReplyDeleteTrimakasih bu Tien BM37nya...
ReplyDeleteWis jelas Kori dalange..
Penculik spt udh dikenali Yudi..
Semogaaa..segra terungkap..
Salam sehat dan aduhaii bu Tien
Emang critani ini ada cerita dektitive luar biasa daya imajinasixa ibu tien canggih pembaca disuruh berpikir ini bm ini kayak crita agatha christi cerbung bm enak dibaca dan seru banget ada deg deganxa ada mangkelxa ads senyum2xa ada mewekxa komplit tenan
ReplyDeleteAlhamdulilah sdh bisa mengikuti kisah Kori yg sudah mulai kelihatan belangnya dan Wanita Penculik jg sudah ada titik terang. Yah cepat hadir BM 38 jd tdk sabar menanti..
ReplyDeleteSelamat menunaikan Ibadah Romadhon di hari 12 ini (10 hari) ke 2 semoga M Tien Sklrg dan kita semua mendapatkan Ampunan. Aamiin. Salam sehat dan bahagia.
𝐀𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐘𝐮𝐝𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩 𝐩𝐞𝐧𝐜𝐮𝐥𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚 ??? 𝐊𝐢𝐭𝐚 𝐛𝐞𝐫𝐡𝐚𝐫𝐚𝐩 𝐘𝐮𝐝𝐢 𝐬𝐞𝐠𝐞𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐡𝐮𝐛𝐮𝐧𝐠𝐢 𝐩𝐨𝐥𝐢𝐬𝐢 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐬𝐞𝐠𝐞𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠𝐤𝐚𝐩 𝐩𝐞𝐧𝐜𝐮𝐥𝐢𝐤 𝐛𝐚𝐲𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐑𝐞𝐭𝐧𝐨.
ReplyDelete𝐒𝐞𝐦𝐨𝐠𝐚 𝐁𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 𝐭𝐞𝐭𝐚𝐩 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐥𝐮...𝐀𝐚𝐦𝐢𝐢𝐧 𝐘𝐑𝐀...🙏🙏🙏
Semoga, Qila segera ditemukan. Betul mrkv, Kartomo, Kori dalangnya Semi orang suruhan Kartomo. Jahat2
ReplyDeleteSeru mb Tien. Top tenan
Salam manis nan aduhai
Yuli Semarang
Blum bisa tahu siapa wanita yg dilihat wahyudi. Perkiraan, yu semi. Dari petunjuk pak kartomo, .. Dia tidak jualan, sudah dua hari ini...
ReplyDeleteSemoga bisa diajak ngobrol yudi & terlihat gigi emasnya.
Kasian wuri yg 'dijadikan korban' bu tien. Demi alur cerita yg mempertemukan yudi dgn penculik.
Aduhai tenan ...
Penculik bayi membawa Qila ke RS di mana Wuri dirawat...
ReplyDeleteTerima kasih mbak Tien...
Alhamdulillah, penculiknya mau ketangkap semoga bayinya selamat kesihan Retno... Mksh bunda Tien, salam aduhai
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien.
ReplyDeleteSalam sehat selalu.
Wah kebetulan langsung lapor Budi dan di pegang Ma satpam saja..pasti suruhan Kori dan bpknya Retno😢😢🤲kepegang deh ...Budi semoga msh ada..trima kasih bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga lekas ketahuan siapa penculiknya, Qila tetap selamat
ReplyDeleteMatursuwun bu Tien, salam sehat selalu
Matur nuwun bunda Tien BM37 telah hadir.
ReplyDeleteHmm liat pak Kartomo kq kudu jewer saja..😅
Salam ADUHAI selalu buat bunda Tien..
Alhamdulillah. Mtr nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteNah kan repot sendiri gitu kok ya mau maunya ngikutin omongan Kartomo.
ReplyDeleteBayi nya rewel, ngeri kalau bayi sampai demam tinggi, mansur mansur pihak rumah sakit curiga lihat bayi umurnya kaya baru umur harian, ini ngaku biyungnya bayi kok sudah setengah abad, tidak nampak bekas ngelahirin, biasanya kan pakai pilis tuh buat perawatan wajah biar kelihatan masih nge-jrèng; apalagi di rumah sakit tetangga ngumumin kehilangan bayi, ya sudah dibikin lamaan biar petugas buser dan dvi datang memferivikasi sekaligus mengidentifikasi; ciri² ada nènèk² sihir bawa bayi.
Wahyudi ingat perempuan ini ngapain nunggu di igd; nah kalau dia bawa bayi pasti langsung ngasih tahu Budi, tapi nggak tau nomer nya, di hape Wuri hanya punya nomer Retno.
You zemy kok ya mau maunya, ikutan duet maut menyandera bayi, dijanjiin apa seeh sama Kartomo.
Aduhai..
Terimakasih Bu Tien,
Bukan milikku yang ke tiga puluh tujuh sudah tayang
Sehat sehatlah selalu doaku, sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏🏻
Assalamualaikum wr wb. Mudah mudahan Wahyudi degera mengetahui siapa penculik bayi sebenarnya. Makin penasaran menunggu lanjutannya. Maturnuwun Bu Tien, mugi tansah pinaringan karahayon wilujeng ing sadoyonipun. Aamiin Yaa Robbal'alamiin... Salam sehat dari Pondok Gede..
ReplyDeleteWah bagus alir ceritane bu Tien..tx u BM 38 ditunggu
ReplyDeleteAduhaai bahagia ... terimakasih mbak Tien
ReplyDelete