BUKAN MILIKKU
30
(Tien Kumalasari)
“Kamu jangan mempermudah suatu masalah. Kalau Retno
bersikukuh, aku tidak bisa apa-apa. Tapi kamu kan bapaknya. Kamu punya
kewajiban membujuknya, dan untuk itu kamu mendapat imbalan yang tidak sedikit.
Ya kan?” desak pak Siswanto.
Pak Kartomo mengangguk.
“Jangan hanya mengangguk-angguk. Kalau kamu butuh uang
lagi, aku bisa memberinya.”
“Iya Pak, tentu saja,” kata pak Kartomo bersemangat.
“Tentu saja apanya?”
“Itu … hehe … soal uang itu.”
“Hm, kamu itu ujung-ujungnya uang. Kapan kamu bisa
membujuk anakmu?”
“Secepatnya. Akan saya panggil dia ke rumah agar saya bisa membujuknya.”
“Mengapa kamu baru mau membujuknya setelah berjanji
sama aku selama berbulan-bulan yang lalu?”
“Maksud saya setelah dekat kelahiran saja, supaya dia
tidak berubah pikiran setelah saya membujuknya.”
“Baiklah. Ini, aku tambahi lagi uangnya. Tapi ingat,
kamu berjanji diatas kertas bermeterai. Kalau gagal, aku bisa melakukan apa
saja,” kata pak Siswanto sambil mengulurkan lagi sejumlah uang.
Melihat uang itu mata pak Kartomo langsung membulat,
dan tak memperhatikan kata-kata pak Siswanto lagi. Ia segera meraih uang itu
dan dimasukkannya kedalam saku bajunya.
“Jangan merasa bahwa uang itu akan bisa membuat kamu
senang. Ada kewajiban yang harus kamu penuhi. Tahu?” kata pak Sis tandas.
“Iya, tentu saja. Tapi saya mohon pamit segera Pak,
saya harus membuka toko saya segera.”
“Toko apa?”
“Oh, Pak Sis belum tahu ya? Nak Sapto membuatkan
sebuah toko sembako di rumah saya.”
Pak Siswanto terkejut. Ia sama sekali tak mengira ada
kedekatan Sapto dan keluarga Kartomo. Ini akan berimbas buruk pada
keinginannya.
“Kapan dia membuatnya untuk kamu?”
“Sudah beberapa bulan yang lalu Pak. Itu untuk
menyambung hidup saya, setelah saya tidak lagi punya pekerjaan.”
“Kurangajar. Aku malah tidak tahu.”
“Maaf Pak, saya kira Bapak sudah tahu, makanya saya
tidak cerita sama Bapak sejak kemarin-kemarin.”
“Tutup toko itu!” hardik pak Siswanto.
Pak Kartomo terkejut.
“Tutup bagaimana Pak?”
“Aku tidak suka kamu dan Sapto menjadi dekat. Dia akan
segera menceraikan Retno, jadi hubungan antara kamu dan Sapto tidak boleh
terjadi lagi. Aku minta kamu menutup toko itu.”
“Itu kan untuk kebutuhan saya sehari-hari pak.
“Aku beri kamu uang setiap bulan untuk kebutuhan
kamu.”
“Bagaimana kalau nak Sapto benar-benar sudah
menceraikan Retno?”
“Tidak masalah aku memberi kamu uang, asalkan aku
berhasil mendapatkan bayi itu.”
“Baiklah kalau begitu.”
Pak Kartomo pulang dengan perasaan ragu. Harus menutup
toko yang selalu bisa disombongkan kemana-mana? Diam-diam dia berniat tak akan
menutupnya. Kalau tutup dia akan malu, apalagi terhadap Semi yang membuatnya
terpikat dengan gigi emasnya.
Sekarang ia harus segera pulang dan membuka toko, dan
malam harinya akan mengajak Semi jalan-jalan. Bukankah ia punya uang beberapa
ratus ribu yang akan membuat Semi pasti mau mengikuti kemauannya?
***
“Bu Kartomo, tokonya tutup ya?” tanya salah seorang
tetangga yang datang dan menjenguk sampai ke belakang, dimana bu Kartomo sedang
memasak.
“Oh, iya Bu. Nggak tahu saya, kemana tadi bapaknya
Retno, mungkin kulakan.”
“Saya mau beli minyak sama gula Bu.”
“Tapi tokonya tutup Bu.”
“Ibu tidak bisa mengambilkan?”
“Maaf Bu, saya tidak pernah berjualan di depan, jadi
kalau saya bisa mengambilkanpun, harganya saya tidak tahu.”
“Bagaimana kalau mengambil dulu, bayarnya nanti?”
“Waduh Bu, sungguh saya minta maaf. Lebih baik
menunggu dulu, barangkali sebentar lagi datang.”
“Masa sih Bu Kartomo tidak percaya sama saya? Biasanya
saya boleh ngutang lho sama pak Kartomo.”
“Tapi saya tidak bisa Bu, nanti bapaknya marah kalau
saya ikutan melayani pembeli.”
“Masa sih,” sang pembeli masih saja ngeyel.
“Iya Bu, sungguh. Saya minta maaf.”
“Ya sudah kalau begitu. Orang suaminya saja
ngebolehin, isterinya nggak mau ngasih,” omel ibu tadi sambil beranjak pergi.
Bu Kartomo diam saja. Memang keterlaluan kalau seorang
isteri tidak tahu menahu tentang pekerjaan suami. Tapi memang itu kenyataannya
kan? Bu Kartomo justru bersyukur karena itu, soalnya kalau ternyata toko itu
tidak bisa maju, atau bahkan bangkrut, dia tidak ikut bertanggung jawab. Ia
melanjutkan memasak, ketika terdengar suara gaduh suaminya membuka toko.
“Tadi ada yang beli nggak Bu?” teriaknya dari arah
depan.
“Ada. Tapi sudah pergi.”
“Gimana sih, kenapa tidak disuruh tunggu.”
“Orangnya tidak mau.”
“Huh, bikin rugi saja.”
“Kok Bapak nyalahin aku sih, kan aku nggak boleh
ikutan melayani pembeli? Bapak sendiri yang minta.”
“Ya sudah, jangan rewel. Kalau diajak ngomong, aku
sepatah kamu jawabnya berpatah-patah. Bising.”
Bu Kartomo mendiamkannya.
“Bukan aku yang membuat bising,” keluhnya pelan.
***
Tapi sore hari itu pak Kartomo tiba-tiba mengeluh
sakit. Ia berteriak kepada isterinya, minta agar dikerokin.
“Badanku sakit semua, coba kamu kerokin Bu,” perintahnya
sambil menarik selimut untuk menutupi badannya.
Bu Kartomo yang merasa khawatir lalu memegang kening
suaminya.
“Nggak panas tuh.”
“Memang nggak panas, tapi badanku rasanya nggak enak.
Aku nggak doyan makan sekarang ini bu. Lemes aku,” keluhnya lemah.
“Nggak doyan makan karena sudah makan diluar sampai
kenyang kan?”
“Ibu itu lho, suami sakit bukan dikasihani malah
diomelin. Cepetan dong, kerikin aku.”
Bu Kartomo mengambil minyak gosok dan koin untuk
mengerik. Tapi baru beberapa kerikan pak Kartoma meronta kesakitan.
“Aduh Bu, sudah … sudah … nggak usah saja, malah sakit
badanku nanti. Sudah sakit semakin sakit.”
“Jadi bagaimana? Nggak jadi kerikan?”
“Nggak, gosok saja dengan minyak gosok, jangan yang
terlalu panas, aku nggak kuat.”
“Pakai minyak kayu putih saja?”
“Ya, minyak kayu putih saja,” kata pak Kartomo dengan suara
lemah. Bagaimanapun bu Kartomo juga merasa khawatir. Tak biasanya suaminya
mengeluh kesakitan seperti sore itu. Dengan telaten dia menggosok punggung
seaminya. Lalu menyuruhnya tidur dengan menyelimutinya.
“Ya sudah, sekarang tidur saja. Atau mau minum obat
apa? Ada obat pusing di ruang makan. Aku ambilkan ya?”
“Tidak usah, aku nggak suka obat.”
“Kalau begitu ke dokter saja.”
“Tidak … tidak … kamu kan tahu aku takut disuntik?”
“Masa iya setiap orang sakit mesti disuntik? Ya nggak
tentu .”
“Pokoknya nggak usah. Aku mau tidur saja.”
“Ya sudah, tidurlah, aku buatkan wedang jahe ya?”
Pak Kartomo tidak menjawab, tapi bu Kartomo langsung pergi ke belakang untuk membuatkan wedang jahe.
“Pasti masuk angin, atau kecapekan. Habis tutup toko
langsung mandi terus pergi entah kemana, pulang-pulang sudah larut,” omel bu
Kartomo sambil membuat wedang jahe.
Setelah jadi, ia membawanya ke kamar. Pak Kartomo
memejamkan mata, tampaknya tertidur. Tapi bu Kartomo nekat membangunkannya,
supaya segera bisa minum wedang jahenya,
“Pak, ini wedang jahenya, diminum dulu ya.”
Pak Kartomo membuka matanya.
“Aku lemes sekali.”
“Kedokter yuk.”
“Nggak mau … “
“Sakitpun masih ngeyel. Ya sudah ini diminum dulu
wedangnya, bangun atau di suapin.”
“Disuapin saja, sesendok-sesendok. Kan masih panas.”
Bu Kartomo pun segera menyendokkan wedang jahenya,
sesuap demi sesuap.”
“Bu, panggil Retno pulang.”
“Kenapa? Ini sudah sore.”
“Tapi aku kepengin ketemu Retno. Nggak tahu kenapa. Jangan-jangan aku sudah mau mati ya bu?”
“Jangan ngomong sembarangan. Ucapan itu adalah doa. Ngomong yang baik-baik.”
“Lha aku tiba-tiba kepengin ketemu Retno.”
“Ingin ketemu ya nanti aku panggil dia, jangan
mengatakan karena mau mati segala. Nggak boleh. Pamali, tahu!”
“Ua sudah, panggil sekarang.”
“Habiskan dulu wedang jahenya.”
“Sudah, nanti lagi, aku mau Retno datang ke rumah.”
Bu Kartomo meletakkan gelas wedang jahe yang masih tersisa separo, kemudian keluar untuk
mengambil ponselnya.
***
“Bud, maukah mengantarkan aku sebentar?” kata Retno
yang sudah berganti pakaian, dan bersiap untuk pergi.
“Kemana Mbak?”
“Mau pulang. Ibu mengabari kalau bapak sakit dan ingin
ketemu aku.”
“Baiklah kalau begitu, aku ganti pakaian dulu ya.”
Retno mengangguk, lalu melangkah ke arah depan.
”Bu, Retno mau pulang sebentar ya.”
“Kemana ?”
“Ditelpon ibu saya, katanya bapak sakit, ingin ketemu
saya.”
“Oh, ya sudah. Minta agar Budi mengantarkan ya.”
“Yaa, harus sering-sering memperhatikan orang tua. Kalau
sakit harus segera disamperin,” tiba-tiba pak Siswanto menyahut.
“Ayo Mbak, aku sudah siap,” Budi sudah turun dan siap
mengantar.
“Budi, kamu tidak usah menunggui Retno. Biarkan dia
bicara sama ayahnya, supaya ayahnya terhibur. Kalau kamu menunggui, nanti
kelamaan,” pesan pak Siswanto kepada Budi.
Budi menatap sekilas ayahnya.
“Ya Pak.”
Retno beranjak ke depan setelah mencium tangan bapak
dan ibu mertuanya.
“Tumben ayah mertuaku tak banyak komentar, dan
membiarkan Budi mengantarnya, walaupun dengan pesan harus segera pulang,” kata
batin Retno.
“Retno, hati-hati ya, kandungan kamu sudah besar begitu,
jangan sampai jatuh atau apa, kasihan bayinya,” pesan bu Siswanto wanti-wanti.
“Iya Bu,” kata Retno sambil tersenyum. Bu Siswanto
memang sangat memperhatikannya, dan tampak sangat menyayanginya. Hanya itu yang
membuatnya betah dan sedikit nyaman. Dengan ayah mertuanya, jarang sekali Retno
berbicara. Retno senang dia jarang ada di rumah.
Tapi di sepanjang perjalanan sesungguhnya Retno merasa
was-was. Sakit apa gerangan ayahnya sampai memanggilnya segera pulang.
Sesampai disana Budi tak segera kembali.
“Bud, sebaiknya kamu tinggalkan saja aku, seperti
pesan bapak tadi.”
“Tidak Mbak, biar saya menunggu. Saya khawatir terjadi
apa-apa, dan mungkin harus membawa pak Kartomo ke rumah sakit juga.”
“Yah, semoga hanya sakit biasa.”
“Ya sudah, Mbak masuklah, biar saya menunggu di teras.”
Retno tak bisa memaksa, jadi dibiarkannya Budi duduk menunggu
di teras. Barangkali dia benar ada yang harus dibawa ke rumah sakit.
Retno langsung masuk ke dalam rumah. Ia melihat ibunya
duduk di ruang tengah.
“Bu, bapak kenapa?”
“Kamu sudah datang? Nggak tahu Ibu, dari tadi bilang
badannya lemas. Saya kasih obat nggak mau, dibawa ke dokter nggak mau. Maunya
ketemu kamu. Ibu jadi khawatir.”
Retno masuk ke kamar, sambil berpesan kepada ibunya.
“Bu, diluar ada Budi, minta tolong dibuatkan minum ya
Bu.”
“Oh, iya Ret, baiklah ibu buatkan, dan ibu temani saja,
kasihan sendirian. Temuilah bapakmu,” kata bu Kartomo sambil terus ke arah
dapur.
Retno memasuki kamar, dan melihat ayahnya memejamkan
mata. Retno memegang kening bapaknya, lalu tangannya.
“Tidak ada yang panas, malah basah keringat nih Bapak,”
kata Retno.
Kartomo membuka matanya, lalu mengibaskan selimutnya.
“Gerah diselimuti begini.”
“Bapak sakit apa?”
“Nggak tahu aku, hanya merasa lemas, seperti tak punya
tenaga.”
“Bapak sudah makan?”
“Nggak doyan makan aku,” katanya lirih.
“Kalau begitu ke dokter saja. Didepan ada Budi, biar
dia mengantarkan Bapak ke rumah sakit. Ya pak?”
“Jangan, Bapak tidak mau ke rumah sakit.”
“Kalau begitu bagaimana bisa tahu apa sakitnya Bapak?”
“Bapak sakit karena memikirkan kamu.”
“Memikirkan Retno?”
“Kamu sudah hamil tua, sebentar lagi melahirkan. Kamu
masih muda, Bapak merasa salah telah memaksa kamu menikah.”
“Semuanya sudah terjadi, mengapa tiba-tiba Bapak
menyesalinya?”
“Karena Bapak tahu, kamu tidak dikehendaki di rumah
itu.”
“Kamu akan diceraikan dari suami kamu.” lanjutnya.
“Biarkan saja, Retno tidak akan menyesal.”
“Bapak minta, serahkan saja nanti anakmu pada mereka,”
kata pak Kartomo sambil menatap lekat anaknya.
Retno terkejut bukan alang kepalang. Ia tak mengira
ayahnya sependapat dengan ayah mertuanya, ingin agar Retno melepaskan bayinya.
“Mengapa Bapak? Retno ini ibunya,” katanya sambil
menahan tangis.
“Kamu masih sangat muda. Kamu bisa memulai hidup kamu
dan mendapatkan suami yang lebih baik. Tapi kalau kamu membawa anak kamu, hal
itu akan susah tercapai.”
“Retno tak ingin menikah lagi kalau sudah bercerai.”
“Kamu lupa pada Wahyudi?”
“Apa?”
“Bapak menyesal memisahkan kamu dengan Wahyudi, dan
berharap Wahyudi akan bersedia menerimamu kembali.”
“Apa?”
“Kamu sudah melupakan dia? Tidak lagi mencintainya?
Kalau kamu mau melepaskan bayi itu, Bapak akan mengembalikan kamu pada Wahyudi.
Bapak akan meminta maaf dan ….”
Tiba-tiba Retno merasa perutnya mulas sekali. Sangat
mulas. Ia berteriak memanggil ibunya.
“Adduh … ibuuu ….”
“Kenapa Ret?” tanya pak Kertomo terkejut.
Retno duduk bersandar di kursi, memagangi perutnya.
“Ada apa?” bu Kartomo masuk ke kamar dan melihat Retno
kesakitan.
“Sakit Bu, perut Retno sakit sekali,” rintih Retno.
“Nak Budiii… tolong nak!” teriak bu Kartomo.
***
Besok lagi ya
Alhamdulillah
ReplyDeleteYes
DeleteAlhamdulillah sdh hadir BM 30, Terimakasih bunda Tien sayang smg sehat sll ❤️😘
DeleteSelamat malam atas tayangnya pak Kartomo di BM
DeleteRame wah gasik kok tayangnya 😄😄😄👏
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah, terimakasih mbak Tien, semoga selalu sehat. Aamiiiin
ReplyDeleteAlhamdulillah, gasik
ReplyDeleteMatur muwun sanget bunda Tien,
Salam sehat
𝐌𝐚𝐭𝐮𝐫 𝐬𝐮𝐰𝐮𝐧 𝐛𝐮 𝐓𝐢𝐞𝐧 ..𝐒𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐡𝐚𝐭 𝐮𝐭𝐤 𝐈𝐛𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚..🙏
ReplyDelete𝐒𝐞𝐩𝐞𝐫𝐭𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐑𝐞𝐭𝐧𝐨 𝐦𝐚𝐮 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐚𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐚𝐝𝐚 𝐤𝐨𝐧𝐭𝐫𝐚𝐤𝐬𝐢 𝐦𝐮𝐧𝐠𝐤𝐢𝐧 𝐤𝐚𝐠𝐞𝐭 𝐛𝐚𝐩𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐮𝐫𝐮𝐡 𝐚𝐧𝐚𝐤𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐢𝐤𝐚𝐬𝐢𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐏 𝐊𝐚𝐫𝐭𝐨𝐦𝐨.
DeleteAlhamdulillah.
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien ... Semoga Berkah dan Ridha Allah Subhanahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua Aamiin😊🌹
Alhamdulillah....BM 30 dah tayang gasik
ReplyDeleteMatur nuwun Ibu Tien salam Aduhai dari Blora
Alhamdulillah BM 30 telah tayang, terima kasih bu Tien sehat n bahagia selalu. Aamiin.
ReplyDeleteUR.T411653L
Alhamdulillah. Matur nuwun bunda Tien.
ReplyDeleteSepertinya Retno mau melahirkan..semoga selamat. Aamiin. Salam untuk bu Tien..semoga sehat selalu.aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien, BM30 telah tayang.
ReplyDeleteSemoga tambah ADUHAI njih bun...🙏
Makasih Bunda untuk BM nya Sehat dan tetap semangat .
ReplyDeleteMet menjalankan shaum Romadhon.
Wah gasik, maturnuwun mb Tien.
ReplyDeleteSemoga anak Retno tetap milik Retno n Sapto ya
Salam manis
Yuli Semarang
Matur nuwun mbak Tien-ku Bukan Milikku sudah tayang.
ReplyDeleteBulus memang banyak akalnya, sampai ada istilah 'akalbulus'. Pura" sakit supaya dikasihani anaknya, tapi kenapa tiba-tiba perut Retno sakit ya.
Salam sehat dari Sragentina mbak Tien yang selalu ADUHAI.
Matur nuwun untuk BM 30 nya, bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteMakin seru aja nih.. salam sehat selalu Bu cantik dan bahagia bersama keluarga Amin YRA 🙏 mr wien
ReplyDeleteBM 30 serruuu... mdh²an retno selamat.... terima kasih mbu Tien... sehat² trs
ReplyDeleteAlhamdulillah sdh tayang BM 30..
ReplyDeleteTerima kasih ibu Tien
Semoga sehat dan bahagia selalu
Salam *ADUHAI*
Wah modus pak Kartomo bikin kesel aj deh
ReplyDeleteDikira Retno dgn mudah nya melepas anak nya
Doaku moga Salto dan Retno hubungannya akan berlanjut
Biar Kori aj yg di cerai biar pak Siswanto strezzz
Horeee.... 💪💪💪
Maaf...Sapto maksudnya
ReplyDeletealhamdulillah maturnuwun bu Tien
ReplyDeletesalam aduhai dan sehat selalu
Alhamdulillah
ReplyDeleteYang ditunggu telah hadir
Gasik
Matur nuwun bu Tien
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien, Salam sehat..
ReplyDeleteBam's Bantul
Kartomo makin banyak tingkah...
ReplyDeletePakai pura" sakit juga.
Apa Retno dah mau lahiran ya kok tiba" perutnya sakit.Moga saat lahiran lancar,selamat tanpa halangan suatu apa.Bagaimanapun lika likunya antara Retno dan Sapto jangan sampai dipisahkan ya bunda...
Seiring berjalannya waktu moga keduanya dah saling mrmbuka hati dan menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.Aamiin
Sesuai judul Bukan Milikmu. Tdk menjadi milik Kori maupun Retno. Biar p. Siswanto dan p. Kartomo gigit jari....
DeleteTerimakasih bu Tien
ReplyDeleteMakin merasa kurang saja bacanya ....
Alhamdulillah sdh tayang ....
ReplyDeleteSaking asyiknya baca tau2 kok sdh bsk lagi yaa... salam sehat bu Tien
Trimakasih bu Tien..BM30nya...
ReplyDeleteWeleh2..pak Kartomo ni bener2 ga punya perasaan..pura2 sakit..lemes..nyebelin..
Eeh..Retno mau nglairin kali ya...sakit mules2 perutnya..semoga lancar..blm beres mbujuknya udh mau babaran..
Lanjuut besok lagiii...
Salam sehat selalu dan aduhaii bu Tien..🙏🌷
Alhamdulillah... Terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAlhamdulillah BM~30 sudah hadir, maturnuwun bu Tien..🙏
ReplyDeleteAlhamdulillah, BM 30 sdh hadir, gara-gara omongan pak Kartomo, jadi Retno yang sakit, kasihan Retno jadi korban orang tua yang mata duitan, salam sehat selalu teruntuk bunda Tien dan keluarga, Aduhai.
ReplyDeleteMaturnuwun mbakyuku sayang, BM terbaru sudah tayang. Semoga ceritanya sampai 50an episode ya...jgn buru2 selesai 😄
ReplyDeleteAlhamdulillah BM30 SDH TERBIT. trm ksh bu Tien, semoga sll sehat.
ReplyDeleteAlhamdulillah, BM eps 30 sudah tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien Kumalasari.
Salam sehat selalu dari Tangerang
Alhamdulilah BM udah hadir trims Bu tien
ReplyDelete
ReplyDeleteAduh pingin tak.krues itu pak Kartomo..bisa bisa akting sakit..hanya itk kepentingan pribadi ..tega banget sama anak sendiri
Alhwmdulillah BM 30 sdh hadir
ReplyDeleteSemakin seru dan bikin penasaran cerita selanjutnya.
Terima kasih Bu Tien, semoga Ibu sehat dan bahagia selalu
Aamiin
Salam sehat dan ADUHAI
Semakin seruuu
ReplyDeleteSugeng dalu bu Tien, mature nuwun BM-30 sampun tayang.
ReplyDeleteMugi panjenengan tansah pinaringan reahayu widodo. Aamiin.
Kartomo oh Kartomo....... Kamu pura-2 sakit
Teganya. . .teganya... gara-2 duwit tega mengorbankan anakmu
Kasihan Retno...
semoga selamat bayimu.....
Salam ADUHAI
https://www.youtube.com/watch?v=xUH8Qm7KC60
ReplyDeleteJika mau lihat gelar acara Jumpa Fans WAG PCTK. dengan sang IDOLA (Tien Kumalasari), cari di youtube tulis aja _jumpa fans wag pctk_
DeleteSelamat mlm bunda Tien..terima ksih BM 30 nya..slm sehat sll dri skbmi unk bunda Tien bersm keluarga..🙏🥰🌺🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah,matursuwun bu Tien BM 30nya. Salam sehat selalu
ReplyDeleteSelamat berpuasa Romadhon 1443 H ...la'alakum tattaqun
Semoga persalinan berjalan dg baik dan lancar ibu dan aanak sehat.Sapto dan Retno jgn sampai bercerai karena bayi memerlukan ibunya kemungkinan besar akan ada ancaman utk pa Kartomo seandainya tidak berhasil membujuk Retno utk memberikan bayi pd Kori.Semoga Budi Bu Sis Retno berani menolak permintaam pa Sis .
ReplyDeleteMakasih mba Tien .
ReplyDeleteSalam sehat selalu.
Aduhai
Hallow mas2 mbak2 bapak2 ibu2 kakek2 nenek2 ..
ReplyDeleteWignyo, Opa, Kakek Habi, Bambang Soebekti, Anton, Hadi, Pri , Sukarno, Giarto, Gilang, Ngatno, Hartono, Yowa, Tugiman, Dudut Bambang Waspodo, Petir Milenium (wauuw), Djuniarto, Djodhi55, Rinto P. , Yustikno, Dekmarga, Wedeye, Teguh, Dm Tauchidm, Pudji, Garet, Joko Kismantoro, Alumni83 SMPN I Purwantoro, Kang Idih, RAHF Colection, Sofyandi, Sang Yang, Haryanto Pacitan, Pipit Ponorogo, Nurhadi Sragen, Arni Solo, Yeni Klaten, Gati Temanggung, Harto Purwokerto, Eki Tegal dan Nunuk Pekalongan, Budi , Widarno Wijaya, Rewwin, Edison, Hadisyah,
Wo Joyo, Tata Suryo, Mashudi, B. Indriyanto, Nanang, Yoyok, Faried, Andrew Young, Ngatimin, Arif, Eko K, Edi Mulyadi, Rahmat, MbaheKhalel, Aam M, Ipung Kurnia, Yayak, Trex Nenjap, Sujoko, Gunarto, Latif, Samiadi, Alif, Merianto Satyanagara, Rusman, Agoes Eswe, Muhadjir Hadi, Robby, Gundt, Nanung, Roch Hidayat, Yakub Firman, Bambang Pramono, Gondo Prayitno , Zimi Zaenal M. , Alfes, Djoko Bukitinggi, Arinto Cahya Krisna , HerryPur, Djoni August. Gembong. Papa Wisnu, Djoni, Entong Hendrik, Dadung Sulaiman, Wirasaba, Boediono Hatmo, R.E. Rizal Effendy, Tonni, Koko Hermanto, Radieska51, Henrinurcahyo, Subagyo,
Hallow..
ReplyDeleteYustinhar. Peni, Datik Sudiyati, Noor Dwi Tjahyani, Caroline Irawati, Nenek Dirga, Ema, Winarni, Retno P.R., FX.Hartanti, Danar, Widia, Nova, Jumaani, Ummazzfatiq, Mastiurni, Yuyun, Jum, Sul, Umi, Marni, Bunda Nismah, Wia Tiya, Ting Hartinah, Wikardiyanti, Nur Aini, Nani, Ranti, Afifah, Bu In, Damayanti, Dewi, Wida, Rita, Sapti, Dinar, Fifi, Nanik. Herlina, Michele, Wiwid, Meyrha, Ariel, Yacinta, Dewiyana, Trina, Mahmudah, Lies, Rapiningsih, Liliek, Enchi, Iyeng Sri Setyawati , Yulie, Yanthi , Dini Ekanti, Ida, Putri, Bunda Rahma, Neny, Yetty Muslih, Ida, Fitri, Hartiwi DS, Komariah P., Ari Hendra, Tienbardiman, Idayati, Maria, Uti Nani, Noer Nur Hidayati, Weny Soedibyo, Novy Kamardhiani, Erlin, Widya, Puspita Teradita, Purwani Utomo, Giyarni, Yulib, Erna, Anastasia Suryaningsih, Salamah, Roos, Noordiana, Fati Ahmad, Nuril, Bunda Belajar Nulis, Tutiyani, Bulkishani, Lia, Imah P Abidin, Guru2 SMPN 45 Bandung, Yayuk, Sriati Siregar, Guru2 SMPN I Sawahlunto, Roos, Diana Evie, Rista Silalahi, Agustina, Kusumastuti, KG, Elvi Teguh, Yayuk, Surs, Rinjani, ibu2 Nogotirto, kel. Sastroharsoyo, Uti, Sis Hakim, Tita, Farida, Mumtaz Myummy, Gayatri, Sri Handay, Utami, Yanti Damay, Idazu, Imcelda, Triniel, Anie, Tri, Padma Sari, Prim, Dwi Astuti, Febriani, Dyah Tateki, kel. SMP N I Gombong, Lina Tikni, Engkas Kurniasih, Anroost, Wiwiek Suharti, Erlin Yuni Indriyati, Sri Tulasmi, Laksmie, Toko Bunga Kelapa Dua, Utie ZiDan Ara, Prim, Niquee Fauzia, Indriyatidjaelani,
Bunda Wiwien, Agustina339, Yanti, Rantining Lestari, Ismu, Susana Itsuko, Aisya Priansyah, Hestri, Julitta Happy, I'in Maimun, Isti Priyono, Moedjiati Pramono, Novita Dwi S, Werdi Kaboel, Rinta Anastya, r Hastuti, Taty Siti Latifah, Mastini M.Pd. , Jessica Esti, Lina Soemirat, Yuli, Titik, Sridalminingsih, Kharisma, Atiek, Sariyenti, Julitta Happy Tjitarasmi, Ika Widiati, Eko Mulyani, Utami, Sumarni Sigit, Tutus, Neni, Wiwik Wisnu, Suparmia, Yuni Kun, Omang Komari, Hermina, Enny, Lina-Jogya, mbah Put Ika, Eyang Rini ,Handayaningsih, ny. Alian Taptriyani, Dwi Wulansari, Arie Kusumawati, Arie Sumadiyono, Sulasminah , Wahyu Istikhomah, Ferrita Dudiana, SusiHerawati, Lily , Farida Inkiriwang, Wening, Yuka, Sri, Mbah Wi, Si Garet, ibu Wahyu Widyawati, Rini Dwi, Pudya , Indahwdhany, Butut, Oma Michelle, Linurhay, Noeng Nurmadiah, Dwi Wulansari, Winar, Hnur, Umi Iswardono , Yustina Maria Nunuk Sulastri Rahayu Hernadi , Sri Maryani, Bunda Hayu Hanin, Nunuk, Reni, Pudya, Nien, Swissti Buana, Sudarwatisri, Mundjiati Habib, Savero, Ida Yusrida, Nuraida, Nanung, Arin Javania. Ninik Arsini, Neni , Komariyah, Aisya Priansyah, Jainah Jan. Civiyo, Mahmudah, Yati Sri Budiarti, Nur Rochmah. Uchu Rideen
. Ninik Arsini, Endah. Nana Yang, Sari P Palgunadi, Echi Wardani, Nur Widyastuti, Gagiga family, Trie Tjahjo Wibowo, Lestari Mardi, Susi Kamto, Rosen rina, Mimin NP, Ermi S, Ira, Nina, Endang Amirul, Wiwik Nur Jannah, Ibu Mulyono, Betty Kosasih, Nanik, Tita, Willa Sulivan, Mimin NP, Supralina, Endang Mashuri,
Hallow Pejaten, Tuban, Sidoarjo, Garut, Bandung, Batang, Kuningan, Wonosobo, Blitar, Sragen, Situbondo, Pati, Pasuruan, Cilacap, Cirebon, Bengkulu, Bekasi, Tangerang, Tangsel,Medan, Padang, Mataram, Sawahlunto, Pangkalpinang, Jambi, Nias, Semarang, Magelang, Tegal, Madiun, Kediri, Malang, Jember, Banyuwangi, Banda Aceh, Surabaya, Bali, Sleman, Wonogiri, Solo, Jogya, Sleman, Sumedang, Gombong, Purworejo, Banten, Kudus, Ungaran, Pamulang, Nusakambangan, Purworejo, Jombang, Boyolali. Ngawi, Sidney Australia, Boyolali, Amerika, Makasar, Klaten, Klipang, JAKARTA...hai..., Mojokerto, Sijunjung Sumatra Barat, Sukabumi, Lamongan, Bukittinggi, Hongkong, El Segudo, California, Bogor, Tasikmalaya, Baturetno, Wonogiri, Salem Massachusetts, Terimakasih atas perhatian dan support yang selalu menguatkan saya. Aamiin atas semua harap dan do'a.
ReplyDeleteADUHAI.....
Alhamdulillah... Suwun bu Tien. Sehat sll.
ReplyDeleteTerima kasih butien, bm nya..smg buien dan bpk sekeluarga sehat..
ReplyDeleteAssalamualaikum wr wb. Kartomo baru menyadari akan kekeliruan langkahnya menikahkan Retno dgn Sapto, hanya krn iming iming uang. Mudah mudahan Retno tetap mempertahankan hak nya untuk bayi yng dilahirkan..
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, semoga Bu Tien tansah pinaringan karahayon wilujeng ing sadoyonipun. Aamiin Yaa Robbal'alamiin... Salam sehat dari Pondok Gede...
Alhamdulillah, matur nuwun bu Tien untuk BMnya
ReplyDeleteSehat wal'afiat semua ya bu Tien, selamat menjalankan ibadah puasa,,
Kangeeeen dg sapaan bu Tien,,🙏🙏🙏
Menanti retno melahirkan ,,
ReplyDelete𝘛𝘦𝘳𝘪𝘮𝘢𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘮𝘣𝘢𝘬 𝘛𝘪𝘦𝘯...
ReplyDeleteMateri nuwun Bunda
ReplyDeleteMet malam dan met istirahat