Tuesday, December 10, 2019
Monday, December 9, 2019
DALAM BENING MATAMU 62
DALAM BENING MATAMU 62
(Tien Kumalasari)
Dinda melongok kearah ponselnya yang dibawa Adhit lalu tertawa ngakak.
"Bukan itu mas.. itu foto ibunya.. kok bisa geser sih. Sebentar... nah.. ini diaaa."
Adhit memandangi foto di ponsel Dinda. Gambar seorang gadis dengan rambut ikal. Matanya bulat bening, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Wajahnya bulat oval.. hidungnya mancung. Adhit merasa gadis itu memang mirip Dinda terutama mata dan hidungnya. Sejenak ada rasa terpesona.
"Heiii.. bagaimana? Cantik bukan? Besok Dinda kenalin ya?"
Adhit tersenyum tipis.
"Boleh. Jam makan siang ada kuliah?" Kata Adhit sambil mengangsurkan ponselnya kearah Dinda.
"Jam satu siang aku sudah pulang. Nanti aku ajak Anggi ya."
"Okey.. tapi sekarang mas mau pulang dulu ya."
"Ya udah pulang aja. Kan mas Adhit belum mandi?"
"Iya, sekalian mau mampir kerumah Raka. Pengin tau keadaan Ayud. Kayaknya tadi ke kantor cuma sebentar. Kamu mau nitip apa?"
"Nggak nitip apa-apa. Nitip salam aja. Mbak Ayud nggak sakit kan?"
Nggak. Cuma sekarang lebih sering cepat lelah.. maklum.. perutnya sudah semakin buncit.."
"Iya.. kasihan mas.. sebaiknya cuti dulu tuh.. kasihan mbakku.."
"Iya. Habis ini biar saya suruh cuti aja. Oke Dinda, sampai besok ya."
Ketika Adhit pergi, Dinda sempat berfikir, mengapa sepulang dari Medan Adhit tak lagi mengeluarkan kata-kata rayuan seperti biasanya kalau ketemu. Bukan suka sih.. cuma merasa heran.
***
"Gila kamu Din. Nggak mau ah.. masa aku mau dikenalin sama seorang bos besar," kata Anggi ketika Dinda mau mengenalkannya dengan Adhit.
"Iih.. kamu tuh.. katanya pengin punya pacar.. Aku kenalin sama kakakku.. siapa tau cocok."
" Tapi kenapa sama orang yang sudah jadi bos. Tua dong!"
"Enak aja. Kakakku itu.. biar bos tapi masih muda.. ganteng.. hmm.. pokoknya menarik deh. Taruhan ya.. kalau kamu sampai nggak jatuh hati sama dia.. aku traktir kamu kemana kamu mau."
"Hm.. sok yakin kamu," kata Anggi sambil tersenyum.
"Mau aku tunjukin fotonya? Ah.. nggak deh.. nanti aja kalau ketemu kan kamu bisa lihat langsung."
"Itu kakak kandung kamu?"
"Bukaan.. kakak kandung aku menikah dengan adiknya dia. Ya sudah aku anggap saja dia sebagai kakakku."
"Kenapa bukan kamu aja yang jadi pacarnya? Boleh kan pacaran sama ipar?"
"Nggak lah.. aku tuh entah kenapa.. nggak bisa jatuh cinta sama dia. Rasanya seperti kakak aja. Itu sebabnya aku ingin kamu bisa jadi pacarnya. So'alnya dia tuh nggak bisa cari pacar sendiri."
"Masa sih ?"
"Katanya susah buat dia untuk jatuh cinta."
"Wah.. alamat gagal jadi pacarnya dong."
"Makanya... rayu dia.. jatuhkan hatinya.. "
"Waduhh.. memangnya aku tuh tukang rayu apa?"
"Ya bukan tukang, tapi cobalah untuk menundukkan hatinya."
"Jadi penasaran aku."
"Nanti habis kuliah dia akan menjemput ke kampus. Aku bilang jam 1 siang."
***
"Mas.. aku istirahat dulu hari ini ya.. agak nggak enak badanku," kata Ayud siang itu.
"Kamu pulang aja dulu, biar aku antar sekalian. Setelah ini kamu boleh cuti sampai melahirkan."
"Mas nggak apa-apa kalau aku cuti lama?"
"Ya nggak apa-apa.. sudah ada orang lain yang bisa menangani semuanya, jadi kamu nggak usah khawatir. Kalau mas masih minta kamu terus bekerja, bisa-bisa bapak sama ibu marah sama masmu ini."
"Terimakasih ya mas.. "
"Ayo pulang sekarang saja. Ini sudah hampir jam satu."
"Mas janjian sama seseorang?"
"Sama Dinda.."
"Sama Dinda lagi? Katanya sudah nggak mau.. "
"Kemarin kan Dinda bilang mau ngenalin aku sama temannya dia. Aku belum cerita ya?"
"Nggak nyangka kalau mas Adhit serius."
"Baru mau ketemu. Nggak tau aku bisa suka nggak nanti."
"Mas jangan terlalu kaku.. jangan terlalu me milih-milih.. "
"Iya.. coba aja nanti."
"Aku siap-siap dulu ya mas.. tungguin."
"Ya, agak cepat. Aku janji jam satu sampai kampus."
Baru saja Adhit selesai bicara, ponselnya sudah berdering. Dinda menelpon.
"Hallo Din.. ini baru nungguin kakakmu siap-siap. Sekalian mas antar pulang."
"Mbak Ayud sakit?"
"Nggak.. mas suruh sekalian cuti saja supaya nggak kelelahan."
"Oh. Baguslah kalau begitu."
Kamu sudah selesai? Katanya jam satu?"
"Sudah.. dosennya nggak datang, ini aku ada dirumah Anggi."
"Lhoh... lalu bagaimana?"
"Mas kerumah Anggi saja. Dinda tunggu ya.."
"Dimana rumahnya?"
"Nanti Dinda kirim lewat WA.. "
"Baiklah..."
Tapi ketika alamat itu dikirimkan, Adhit terkejut. Alamat rumah Anggi tak jauh dari toko Dewi.
***
Sebelum tiba dirumah Anggi, Adhit berhenti didepan toko Dewi karena melihat Dewi sedang berdiri didepan. Dewi langsung mendekati mobil Adhit.
"Kamu mau ketemu aku ?"sapa Dewi heran karena Adhit hanya membuka kaca mobil depannya.
"Nggak, aku mau kerumah no 27."
"Itu rumah bu Susan.. yang punya salon kecantikan. Kamu mau rebonding atau apa?"canda Dewi.
"O.. itu salon kecantikan?"
"Iya. Kamu mau ketemu siapa?"
"Ada yang namanya Anggi?"
"Kamu kenal?"
"Nggak, baru mau kenalan."
"Ouh.. gitu, cantik anaknya. Dia itu anaknya bu Susan. Tau dari siapa?"
"Dia teman kuliah adikku.."
"Ayud? Enggaklah.. dia baru masuk kuliah tahun ini. "
"Bukan Ayud. Tapi Dinda.."
"Oh.. itu.. adik iparnya Ayud kan"
"Iya benar. Aku mau dikenalin sama temannya. Dinda sudah ada dirumah Anggi."
"Oh.. ya sudah.. tapi hati-hati kalau mau serius sama dia."
"Memangnya kenapa?"
Dewi tampak berfikir sejenak. Seperti ada yang ingin dikatakannya.
"Ada apa Wi?"
"Nggak... sudah sana.. kenalan saja dulu.."
"Ayolah Wi, katakan ada apa?"tanya Adhit yang merasa penasaran.
"Nggak ada apa-apa.. sudahlah."
Tapi Adhit urung mendesaknya lagi karena tiba-tiba Dinda muncul disana bersama seorang gadis cantik.
"Kok mas Adhit ada disini?kamu tungguin mas Adhit dari tadi."
"Iya, tiba-tiba ketemu teman .. pemilik toko ini. "
"Ooh.. itu kan mbak Dewi," seru Dinda.
"Iya Dinda. Ternyata kamu yemannya Anggi?"
"Iya mbak. Oh ya mas.. kenalkan.. ini Anggi."
Adhit mengulurkan tangannya yang disambut Anggi dengan tersipu. Benar kata Dinda, Adhit ganteng sekali. Ehem.. berdebar juga Anggi ketika tangannya berjabat erat.
"Kok kamu kemari Din? Karena melihat mobil mas?"
"Eeh.. nggaak.. Anggi mau beli es krim .. aku yang minta."
Adhit tertawa. Okelah, Anggi memang cantik. Tapi mengapa Dewi memintanya untuk ber hati-hati?
***
besok lagi ya
"
(Tien Kumalasari)
Dinda melongok kearah ponselnya yang dibawa Adhit lalu tertawa ngakak.
"Bukan itu mas.. itu foto ibunya.. kok bisa geser sih. Sebentar... nah.. ini diaaa."
Adhit memandangi foto di ponsel Dinda. Gambar seorang gadis dengan rambut ikal. Matanya bulat bening, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Wajahnya bulat oval.. hidungnya mancung. Adhit merasa gadis itu memang mirip Dinda terutama mata dan hidungnya. Sejenak ada rasa terpesona.
"Heiii.. bagaimana? Cantik bukan? Besok Dinda kenalin ya?"
Adhit tersenyum tipis.
"Boleh. Jam makan siang ada kuliah?" Kata Adhit sambil mengangsurkan ponselnya kearah Dinda.
"Jam satu siang aku sudah pulang. Nanti aku ajak Anggi ya."
"Okey.. tapi sekarang mas mau pulang dulu ya."
"Ya udah pulang aja. Kan mas Adhit belum mandi?"
"Iya, sekalian mau mampir kerumah Raka. Pengin tau keadaan Ayud. Kayaknya tadi ke kantor cuma sebentar. Kamu mau nitip apa?"
"Nggak nitip apa-apa. Nitip salam aja. Mbak Ayud nggak sakit kan?"
Nggak. Cuma sekarang lebih sering cepat lelah.. maklum.. perutnya sudah semakin buncit.."
"Iya.. kasihan mas.. sebaiknya cuti dulu tuh.. kasihan mbakku.."
"Iya. Habis ini biar saya suruh cuti aja. Oke Dinda, sampai besok ya."
Ketika Adhit pergi, Dinda sempat berfikir, mengapa sepulang dari Medan Adhit tak lagi mengeluarkan kata-kata rayuan seperti biasanya kalau ketemu. Bukan suka sih.. cuma merasa heran.
***
"Gila kamu Din. Nggak mau ah.. masa aku mau dikenalin sama seorang bos besar," kata Anggi ketika Dinda mau mengenalkannya dengan Adhit.
"Iih.. kamu tuh.. katanya pengin punya pacar.. Aku kenalin sama kakakku.. siapa tau cocok."
" Tapi kenapa sama orang yang sudah jadi bos. Tua dong!"
"Enak aja. Kakakku itu.. biar bos tapi masih muda.. ganteng.. hmm.. pokoknya menarik deh. Taruhan ya.. kalau kamu sampai nggak jatuh hati sama dia.. aku traktir kamu kemana kamu mau."
"Hm.. sok yakin kamu," kata Anggi sambil tersenyum.
"Mau aku tunjukin fotonya? Ah.. nggak deh.. nanti aja kalau ketemu kan kamu bisa lihat langsung."
"Itu kakak kandung kamu?"
"Bukaan.. kakak kandung aku menikah dengan adiknya dia. Ya sudah aku anggap saja dia sebagai kakakku."
"Kenapa bukan kamu aja yang jadi pacarnya? Boleh kan pacaran sama ipar?"
"Nggak lah.. aku tuh entah kenapa.. nggak bisa jatuh cinta sama dia. Rasanya seperti kakak aja. Itu sebabnya aku ingin kamu bisa jadi pacarnya. So'alnya dia tuh nggak bisa cari pacar sendiri."
"Masa sih ?"
"Katanya susah buat dia untuk jatuh cinta."
"Wah.. alamat gagal jadi pacarnya dong."
"Makanya... rayu dia.. jatuhkan hatinya.. "
"Waduhh.. memangnya aku tuh tukang rayu apa?"
"Ya bukan tukang, tapi cobalah untuk menundukkan hatinya."
"Jadi penasaran aku."
"Nanti habis kuliah dia akan menjemput ke kampus. Aku bilang jam 1 siang."
***
"Mas.. aku istirahat dulu hari ini ya.. agak nggak enak badanku," kata Ayud siang itu.
"Kamu pulang aja dulu, biar aku antar sekalian. Setelah ini kamu boleh cuti sampai melahirkan."
"Mas nggak apa-apa kalau aku cuti lama?"
"Ya nggak apa-apa.. sudah ada orang lain yang bisa menangani semuanya, jadi kamu nggak usah khawatir. Kalau mas masih minta kamu terus bekerja, bisa-bisa bapak sama ibu marah sama masmu ini."
"Terimakasih ya mas.. "
"Ayo pulang sekarang saja. Ini sudah hampir jam satu."
"Mas janjian sama seseorang?"
"Sama Dinda.."
"Sama Dinda lagi? Katanya sudah nggak mau.. "
"Kemarin kan Dinda bilang mau ngenalin aku sama temannya dia. Aku belum cerita ya?"
"Nggak nyangka kalau mas Adhit serius."
"Baru mau ketemu. Nggak tau aku bisa suka nggak nanti."
"Mas jangan terlalu kaku.. jangan terlalu me milih-milih.. "
"Iya.. coba aja nanti."
"Aku siap-siap dulu ya mas.. tungguin."
"Ya, agak cepat. Aku janji jam satu sampai kampus."
Baru saja Adhit selesai bicara, ponselnya sudah berdering. Dinda menelpon.
"Hallo Din.. ini baru nungguin kakakmu siap-siap. Sekalian mas antar pulang."
"Mbak Ayud sakit?"
"Nggak.. mas suruh sekalian cuti saja supaya nggak kelelahan."
"Oh. Baguslah kalau begitu."
Kamu sudah selesai? Katanya jam satu?"
"Sudah.. dosennya nggak datang, ini aku ada dirumah Anggi."
"Lhoh... lalu bagaimana?"
"Mas kerumah Anggi saja. Dinda tunggu ya.."
"Dimana rumahnya?"
"Nanti Dinda kirim lewat WA.. "
"Baiklah..."
Tapi ketika alamat itu dikirimkan, Adhit terkejut. Alamat rumah Anggi tak jauh dari toko Dewi.
***
Sebelum tiba dirumah Anggi, Adhit berhenti didepan toko Dewi karena melihat Dewi sedang berdiri didepan. Dewi langsung mendekati mobil Adhit.
"Kamu mau ketemu aku ?"sapa Dewi heran karena Adhit hanya membuka kaca mobil depannya.
"Nggak, aku mau kerumah no 27."
"Itu rumah bu Susan.. yang punya salon kecantikan. Kamu mau rebonding atau apa?"canda Dewi.
"O.. itu salon kecantikan?"
"Iya. Kamu mau ketemu siapa?"
"Ada yang namanya Anggi?"
"Kamu kenal?"
"Nggak, baru mau kenalan."
"Ouh.. gitu, cantik anaknya. Dia itu anaknya bu Susan. Tau dari siapa?"
"Dia teman kuliah adikku.."
"Ayud? Enggaklah.. dia baru masuk kuliah tahun ini. "
"Bukan Ayud. Tapi Dinda.."
"Oh.. itu.. adik iparnya Ayud kan"
"Iya benar. Aku mau dikenalin sama temannya. Dinda sudah ada dirumah Anggi."
"Oh.. ya sudah.. tapi hati-hati kalau mau serius sama dia."
"Memangnya kenapa?"
Dewi tampak berfikir sejenak. Seperti ada yang ingin dikatakannya.
"Ada apa Wi?"
"Nggak... sudah sana.. kenalan saja dulu.."
"Ayolah Wi, katakan ada apa?"tanya Adhit yang merasa penasaran.
"Nggak ada apa-apa.. sudahlah."
Tapi Adhit urung mendesaknya lagi karena tiba-tiba Dinda muncul disana bersama seorang gadis cantik.
"Kok mas Adhit ada disini?kamu tungguin mas Adhit dari tadi."
"Iya, tiba-tiba ketemu teman .. pemilik toko ini. "
"Ooh.. itu kan mbak Dewi," seru Dinda.
"Iya Dinda. Ternyata kamu yemannya Anggi?"
"Iya mbak. Oh ya mas.. kenalkan.. ini Anggi."
Adhit mengulurkan tangannya yang disambut Anggi dengan tersipu. Benar kata Dinda, Adhit ganteng sekali. Ehem.. berdebar juga Anggi ketika tangannya berjabat erat.
"Kok kamu kemari Din? Karena melihat mobil mas?"
"Eeh.. nggaak.. Anggi mau beli es krim .. aku yang minta."
Adhit tertawa. Okelah, Anggi memang cantik. Tapi mengapa Dewi memintanya untuk ber hati-hati?
***
besok lagi ya
"
Friday, December 6, 2019
DALAM BENING MATAMU 61
DALAM BENING MATAMU 61
-Tien Kumalasari)
Bagaimanapun alangkah tidak senangnya ketika seseorng tidak menyukai sikapnya. Demikian juga dengan Dinda. Tadinya senang-senang saja ketik Adhit merayunya, tapi ketika Adhit mengatakan tidak suka padanya karena dia begini begitu, tak urung Dinda cemberut juga.
"Eh, kok cemberut..," goda Adhit yang kemudian menjalankan kembali mobilnya. Tadi ia hanya tak tahan memeluk Dinda hanya karena menyadari mereka adalah saudara seayah. Bahagia rasanya memiliki adik sepeti Dinda, dan cinta yang ada didalam hatinya menjadi cinta yang sifatnya berbeda.
"Hei.... cantik.. kenapa cemberut ?"
"Aku kesel sama mas Adhit.."
"Emang aku salah apa?"
"Tadi bilang nggak suka sama aku karena aku manja, kolokan..."
Dan Adhit terbahak karenanya.
"Mas Adhit jelek deh... "
"Iya, mas Adhit memang jelek, tapi kan kamu cantik.."
"Tapi aku manja.. kolokan.. seenaknya sendiri..."
"Lhaaa.. tapi itu menyenangkan buat mas Adhit.."
"Bener.."
"Bener lah, kalau nggak mengapa juga aku susah-susah nyemperin kamu cuma mau ngajakin makan."
Akhirnya Dindapun tersenyum. Senyum itu masih mengembang ketika mobil Adhit memasuki area parkir sebuah rumah makan.
"Haa.. ayam goreng kesukaan aku nih mas."
"Kan memang mas pengin membuat kamu senang."
"Oh ya..."
Mereka turun dan memasuki rumah makan yang mulai sepi karenaa hari menjelang sore dan waktu makan siang hampir terlewat.
Mereka duduk berhadapan dan memesan makan dan minum pilihan mereka.
"Apa kabarnya bapak sama ibu mas?' tanya Dinda sambil menunggu pesanannya.
"Baik, mereka berpesan, Dinda harus nurut sama mas Adhit..."
"Huh, kalau itu pasti bohong."
"Iya.. kok tau..?"
"Ya tau lah, "
Sementara itu minuman dan makanan yang mereka pesan telah tersaji. Dinda makan dengan sangat lahap.
"Kelihatan ya kalau aku lapar? Tapi nggak masalah, emang kenapa kalau aku makan banyak?" katanya yang kemudian dijawabnya sendiri.
"Iya lah, aku tau, anak kost biasanya telat makan lalu ketika ada kesempatan makan, jadi gembul deh makannya."
"Biarin, mumpung ada yang trakti."
Adhit tersenyum dan mengangguk-angguk
"Apa saja yang kamu mau, mas akan berikan."
"Eh mas, mau nggak aku kenalin sama teman Dinda?" tiba-tiba kata Dinda.
"Apa?" Adhit menghentikan menyuap nasinya yang sudah hampir sampai ke mulut.
"Ada teman Dinda, cantik, namanya Anggi. Itu sahabat Dinda, banyak orang bilang kalau wajah kami mirip. Lalu mengira kami ini saudara."
"Mengapa kamu mau ngenalin teman kamu sama mas Adhit?"
"Siapa tau mas Adhit suka. Dia itu belum punya pacar, hatinya baik, dan....ehem.. Dinda pengin mas Adhit jadi pacarnya dia."
"Apa?"
"Iya Dinda serius. Dengar ya mas, mas Adhit itu suah terlalu tua..."
"Hm... mulai lagi deh ngatain aku tua..." kata Adhit sambil cemberut.
"Memang iya. Sudah tua nggak laku-laku. Kasihan deh."
"Kalau duduk kita berdekatan, pasti aku cubit bibir kamu."
"Mas, Dinda serius deh. Besok, Anggi akan Dinda ajak ke kantor mas Adhit."
"Apa?"
Dinda hanya tersenyum, lalu melanjutkan menghabiskan makanannya.
***
"Mas lama bener perginya, kemana aja sih?"
"Cuma ngajakin Dinda makan... kelamaan ya?"
"Untuk ukuran orang makan, kelamaan. Tapi untuk ukuran orang pacaran.. belum terlalu lama." ujar Ayud sambil cemberut.
"Kok pacaran sih, siapa yang pacaran?"
"Mas masih mau nekat pacaran sama Dinda?"
"Tuh, ngaco kan... siapa yang pacaran, Dinda tuh yang mau nyariin pacar buat mas Adhit." kata Adhit meluncur begitu saja. Ia ingin mengalihkan tuduhan Ayud bahwa dia ingin memacari Dinda, padahal kan sudah tidak? Ayud tidak mengerti, dan Adhit juga tak ingin mengatakan apapun tentang hubungan darah itu.
"Mas... itu benar?"
"Benar..."
"Seperti apa dia, cantik? Mas suka?"
"Orang belum ketemu orangnya. Sudah, ayo bicara so'al pekerjaan saja, malah ngelantur ke mana-mana kamu nih.
"Jadi mas mengurungkan niyat untuk ...."
"Sudah, jangan bicara so'al itu lagi, mas hanya menyayangi Dinda seperti adik, bukan untuk memacari dia."
"Tuh, dulu bilang begitu.."
"Sekarang sudah beda. "
"Besok aku mau lihat, seperti apa yang mau dikenalin Dinda sama mas, apakah dia cantik? Baik hati?"
"Mas kan bilang belum ketemu, lagian mas belum mikirin pacar, itu kan kemauan Dinda. Dasar anak bawel dia tuh."
"Siapa tau cocok."
"Kalau dia temannya Dina, berrti masih anak-anak donk."
"Mas, sudah mahasiswa berarti sudah remaja. Mas Adhit itu jangan terlalu me milih-milih donk, nanti bener-bener bisa jadi perjaka tua."
"Ini kok topiknya jadi nggak berubah, sudah.. ayo kerja.."
"Huh. biasa deh, kalau lagi diajak ngomong so'al jodoh pasti penginnya lari aja. Ya sudah, ini berkas yang sudah disiapkan sekretaris mas, diteliti aja dulu."
Adhit menerima berkas itu, tapi diam-diam tergoda oleh kata-kata Dinda. Temannya bernama Anggi, katanya wajahnya mirip Dinda? Penasaran Adhit jadinya.Apakah Adhit mulai tertarik memiliki pacar?
***
Siang itu Dewi mampir ke kantor Adhit, setelah menjemput Bima.
"Ma'af Dhit, apa aku mengganggu?"
"Tidak Wi, aduh.. sejak kemarin aku menelpon kamu, nggak bisa nyambung, menelpon kerumah, Mirna yang menerima, dan menerimanya kayak orang gugup, begitu."
"Oh ya, mungkin gugup karena berbicara dengan bekas bis nya yang ganteng," jawab Dewi sambil tertawa.
"Kamu bisa aja."
"Ada apa menelpon aku ?"
"Nggak apa-apa, cuma ingin tau perkembangan kasusnya Aji. Sudah ada berita?"
"Belum, kok kemarin nggak nanya aja langsung sama Mirna?"
"Aku nggak tega bicara lama-lama sama dia, kayak orang bingung begitu."
"Oh gitu ya, belum ada berita dari kantor polisi, tapi nanti kalau Mirna harus datang sebagai sakti, biar aku temani dia."
"Syukurlah, kasihan dia."
"Tampaknya kamu perhatian sekali sama Mirna,tertarik?"
"Apa? Kamu nih ada-ada saja, kan kamu yang kemarin dulu minta tolong supaya aku membantu Mirna. Ya aku jalankan donk. Kamu kan sahabat baik aku, apa yang enggak buat kamu?"
"Iya sih, tapi aku kasihan sama dia, barangkali kamu tertarik, aku akan menyampaikan sama dia."
"Jangan, aku cuma membantu kamu Wi, nggak lebih."
"Ya sudah, terimakasih kalau begitu. Ini aku cuma mampir, setelah menjemput Bima."
"Oh iya, sampai Bima om diamkan saja, hallo Bima, salam dulu sama om donk."
Bima yang semula menggelendot ke tubuh ibunya lalu mendekati Adhit dan menyalami lalu mencium tangannya.
"Anak baik, sekolah yang pintar ya?"
Bima mengangguk, lalu kembali menggelendoti ibunya.
"Anak ini agak pemalu, nggak banyak bicara, tapi syukurlah dia memiliki nilai bagus disekolahnya."
"Aku ikut senang, jadikan dia anak baik, pintar dan bisa menjadi kebanggaan keluarga."
"Do'akan aku ya Dhit. Ya sudah, aku nggak berani lama-lama mengganggu. Salam buat Ayud ya?"
"Nanti aku sampaikan, dia sudah pulang agak awal. Aku yang nyuruh, perutnya sudah semakin besar, jangan sampai dia kecapean."
"Iya, benar Dhit. Ayo Bima, kita pulang. "
***
Sore hari itu Adhit mampir ke rumah kost Dinda. Entah mengapa ia penasaran ingin melihat foto Anggi yang dijanjikan Dinda akan ditunjukkan kalau Adhit pulang kerja.
Dilihatnya Dinda sudah mandi, berdndan cantik, dan menyambut Adhit dengan suka cita.
"Mas Adhit belum mandi kan?"
"Ya belum, dari kantor aku langusng kesini, kamu yang minta kan?"
"Hm, untung baunya masih wangi, kalau bau asem Dinda akan suruh mas Adhit mandi dulu."
"Enak aja, aku cuma kucel, tapi tetap wangi donk."
"Iya benar," kata Dinda sambil meng gerak -gerakkan hidungnya, yang kemudian dipencet olh Adhit dengan gemas.
"Aauuw, mas Adhit... sakit tau !!"
"Syukurin. Ayo, mana foto itu?"
"Oh, mas Adhit penasaran kan? Oke, Dinda ambilkan dulu ya..."
Dinda setengah berlari masuk kedalam, Adhit melihatnya sambil ter senyum-senyum. Ia agak heran kepada dirinya sendiri, mengapa sangat tertarik dengan kata-kata Dinda tentang gadis bernama Anggi itu. Apakah hatiku mulai terbuka untuk memikirkan seorang gadis? Pikir Adhit sambil menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Benar, aku sudah tua, kata Ayud, kalau aku begini terus bisa menjadi perjaka tua. Tapi memangnya kenapa kalau perjaka tua? Adhit membolak-balikkan pikirannya sendiri. Ia masih ragu dengan perasaannya. Benarkah ia mulai tertarik untuk melihat seorang gadis cantik?
"Hayo... ngelamun !!" tiba-tiba Dinda sudah ada didepannya, mengejutkannya.
"Anak nakal. Mana foto itu?"
"Nggak sabaran amat. Ini... lihatlah," kata Dinda sambil memperlihatkan ponselnya, yang sudah menampakkan sesosok wajah.
Adhit memandanginya, lalu memelototkan matanya.
"Ini foto emak-emak," teriaknya kesal.
***
besok lagi ya
Thursday, December 5, 2019
DALAM BENING MATAMU 60
DALAM BENING MATAMU 60
(Tien Kumalasari)
Hari itu Adhit melangkahkan kakinya memasuki halaman rumahnya di Jakarta, dengan perasan aneh. Aneh karena ternyata dia bukan anak kandung Galang yang selama ini dianggap sebagai orang tuanya. Apakah ia menganggap bahwa dirinya adalah orang asing? Terbayang ketika Raharjo memeluknya erat dan memohon ma'af, terbayang ketika wajah tampan setengah tua itu berlinangan air mata, seperti juga dirinya. Dan tiba-tiba Adhitama merasa seperti baru saja terlahir didunia ini. Semuanya menjadi seperti asing.
Tapi ketika semakin mendekati teras, ia mencium aroma melati, bunga kesukaan ibunya, dan mawar-mawar cantik tertata diatas meja bisa dilihatnya jelas. Apakah semua ini untuk menyambut dirinya? Seorang asing yang sedang akan bertamu? Tiba-tiba dilihatnya Galang dan Putri keluar dari dalam, menatapnya dengan wajah berseri. Ia mendekat, dan Galang membuka kedua tangannya, siap memeluknya. Luluh hati Adhit. Tak sampai pelukan itu ke tubuhnya, Adhit sudah menjatuhkan tubuhnya, memeluk kedua kaki Galang sambil terisak.
"Bapak... bapak... terimakasih telah mencintai Adhit selama puluhan tahun...," isaknya memelas.
Galang mengangkat tubuh Adhit, menjatuhkannya kedalam pelukannya, erat dan hangat.
"Anakku, mengapa kamu berkata seperti itu? Adakah orang tua yang tidak mencintai anaknya?"
Adhit luluh dalam pelukan ayahnya, ayah yang mencintainya sejak dirinya berada dalam kandungan ibunya.
"Bapak...."
"Sudah, jangan berkata apapun, tak ada yang berubah disini. Ini adalah rumahmu, aku.. bapakmu.. ini.. ibumu.. apa yang membuatnya berbeda?" kata Galang sambil menatap wajah Adhit penuh kasih sayang. Lalu diusapnya pipi Adhit yang basah oleh air mata.
"Sekarang peluk ibumu," kata Galang sambil melepaskan pelukannya.
Adhit pun menghambur kearah ibunya yang kemudian juga memeluknya dengan tangisan.
"Ma'afkan ibu Adhit.. ma'af ya.."
"Tidak ada yang perlu dima'afkan ibu, Adhitlah yang meminta ma'af karena telah membuat ibu dan bapak bersedih."
Tak perlu banyak kata, pandang mata cerah dan bahagia itu telah mewarnai rona pada masing-masing wajah mereka. Adakah yang melebihi bahagia selain cinta tulus dari nurani anak dan orang tua?
***
"Bukankah kamu akan tinggal agak lama di Jakarta le?" tanya Putri ketika malam harinya sedang duduk bersama.
"Mungkin hanya dua hari ibu, kasihan Ayud mengurus perusahaan sendiri. Apalagi perutnya sudah semakin membesar."
"Iya kamu benar, pada suatu hari nanti kami lah yang akan datang ke Solo agak lama, biar ibumu puas berkangenan dengan anak-anaknya," kata Galang.
"Benar bapak, pasti Ayud akan senang sekali. Lagipula Adhit sudah ingin sekali bertemu Dinda," kata Adhit dengan senyum menggoda.
"Haaa... awas ya, jangan sampai lupa siapa dia," canda Galang.
"Adhit itu kan sukanya mengganggu mas, bukan hanya kepada kita, tapi juga kepada adiknya. Ketika dia bertemu Dinda nanti, pasti perasaannya sudah berbeda."
"Iya bu, jangan takut, rasa cinta itu pasti sudah berbeda."
"Jadi sekarang kamu harus mulai melihat kedepan, terutama ingat bahwa kamu sudah semakin tua, sudah sa'atnya memiliki isteri."
"Ah, bapak..." kata Adhit tersipu.
"Bapak juga ingin segera punya cucu dari anak laki-laki bapak."
"Ingat Adhit.. pikirkan kata bapak ibu," sambung Putri.
"Kamu ganteng, gagah.. wanita mana yang akan menolak kamu? Ayo,, pilih menantu paling cantik buat bapak."
Adhitama sudah melaupakan galau yang semula mengusiknya. Ia tau bapak Galangnya amat mencintainya, apa lagi yang membuatnya ragu? Tak ada yang berubah..bukan?
"Jangan diam saja, dengar kata bapak, kalau kamu nggak bisa mencari sendiri, nanti ibu sama bapak akan ikut mencarikan isteri buat kamu," kata Putri menmpali.
Adhit tertawa.
"Jangan bu, nanti Adhit akan menemukannya sendiri."
Namun tak seorang gadis manapun yang terbayang di kepalanya ketika mengatakannya. Susah ya jatuh cinta? Atau susahkah menemukan gadis yang bisa dicintai? Adhit memang tak mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, itu adalah cintanya kepada darah dagingnya. Lalu Adhit tersenyum mengingatnya. Tersenyum mengingat mata bening yang berkedip manja dan bibir tipis yang suka cemberut setiap kali dia menggodanya. Dan rindu ingin segera bertemu segera menyergapnya.
"Kenapa senyum-senyum..?" tegur Galang
"Ingat Dinda pak.."
"Lhaaah.. Dinda lagi?"
"Dinda itu kalau sama Adhit manjanya setengah mati. Tapi dia selalu marah kalau Adhit bilang suka sama dia. Rupanya dia lebih peka akan perasaan itu. Di hatinya yang paling dalam sudah ada sinyal bahwa tak selayaknya membalas cinta Adhit. Adhitlah yang kurang peka menerima sinyal itu."
"Adhit, kalau tidak sangat terpaksa, ada baiknya Dinda tak usah tau tentang hal itu," pesan Putri.
"Iya bu, Adhit mengerti."
***
"Mirna, mengapa buru-buru masuk kerja? Apa kamu sudah merasa sehat ?" tegur Dewi ketika melihat Mirna sudah datang ke tokonya pagi itu.
"Sudah mbak, saya baik-baik saja. Lagian sendirian dirumah dan nggak ada pekerjaan.. jadi lebih baik saya bekerja."
"Baiklah, tapi jangan terlalu dipaksakan ya, kalau ingin istirahat ya istirahat saja, jangan sungkan. Ada kamar kosong disitu yang sudah pernah aku tunjukkan kemarin dulu."
"Iya mba, terimakasih banyak."
Mirna bekerja sangat rajin. Ia menata semua barang dengan rapi, melayani pembeli dengan sangat ramah, dan mencatat semuanya dengan sangat teliti. Dewi senang melihat semangatnya dan itu membuatnya semakin menyukai Mirna.
"Hari ini aku mau belanja, terus langsung menjemput Bima .. kalau ada apa-apa kamu bisa menelpon aku ya Mir."
"Baik mbak.."
Mirna mulai menekuni pekerjaannya dengan suka cita. Ini yang terbaik yang bisa dilakukannya untuk melanjutkan hidupnya. Walau sudah ternoda, tapi itu bukan hina. Ia bersedia menikah dengan harapan bisa membahagiakan ayahnya. Ayahnya sebaliknya ingin membuat Mirna bahagia, namun apa yang terjadi, semua diluar harapan mereka.
"Ya, sudahlah.. tak ada gunanya disesali," bisiknya lirih.
Ia sedang mengusap air matanya ketika tiba-tiba terdengar dering telepone dimeja Dewi. Mungkin Dewi menelponnnya, atau ada yang ingin bertemu Dewi. Mirna bergegas menghampiri dan mengangkatnya.
"Hallo.." sapanya.
"Lhoh, ini bukan Dewi?" tanya sara dari seberang sana.
Gagang telephone itu hampir terlepas ketika Mirna mendengar suara itu. Suara orang yang sangat dikenalnya, yang selalu membuat semakin cepat debar jantungnya. Aduhai..
"Hallo.." suara itu lagi, dan dengan gugup Mirna menjawabnya.
"Haa..hall..hallo.." jawabnya.
"Kamu Mirna ya?"
Ya Tuhan, bagaimana dia bisa tau bahwa itu aku? Apakah suaraku masih selalu diingatnya? Hm.. Mirna ber andai-andai.. atau mungkin juga bermimpi...
"Hallo..." suara itu lagi..
"Oh,, eh,, ya.. saya Mirna... "jawabnya dan dipegangnya gagang telephone dengan kedua tangannya karena tiba-tiba ia merasa tangannya gemetaran.
"Mirna, ada apa kamu ini..?"
"Oh, ssayaa.. dd..dari mana bapak tau.. bahwa itu.. ss..saya?"
"Mirna, aku ini Adhit. Bukankah Dewi pernah mengatakan bahwa kamu bekerja ditokonya?"
Oh, rupanya Mirna terlalu pede.. Adhit tau dirinya Mirna karena ia juga tau bahwa ia bekerja ditokonya Dewi. Bukan karena selalu ingat akan suaranya.
"Oh.. iy..iya.. pak Adhit, ma'af.. mm.. ada yang.. bisa saya bantu?"
"Mirna, mengapa nafasmu seperti ter engah-engah begitu?"
Wadhuh, kedengaran ya ? Pikir Mirna lalu merasa sedikit malu.
"Oh.. ini .. baru saja.. menarik.. mm.. kursi.. eh.. meja.. berat.. ma'af.."
"Hati-hati menarik barang berat, kamu kan baru selesai operasi?"
"Iy.. iya.. "
"Mana Dewi, aku menelpon ponselnya tapi tidak diangkat."
"mBak Dewi.. sedang.. belanja pak."
"Oh, baiklah... nanti aku menelpon lagi. Oh ya, bagaimana keadaanmu?"
"Baik.. pak.."
"Syukurlah, jangan memikirkan apapun, kalau ada apa-apa Dewi pasti membantumu."
"Ya pak, terimakasih."
Ketika telepone itu ditutup, Mirna jatuh terduduk di kursi.
"Mengapa aku ini," keluhnya pelan. Suara itu, sapaan itu..
"Ada apa mbak?"
Mirna terkejut, pembantu yang baru saja mengusung galon aqua kedalam toko melihat Mirna duduk sambil me mijit-mijit kepalanya.
"Oh, nggak apa-apa dik.. sedikit pusing," jawab Mirna perlahan.
"Saya ambilkan minum kebelakang?"
"Nggak usah, aku nggak apa-apa dik, biat aku ambil sendiri saja," jawab Mirna sambil bangkit dan melangkah kebelakang. Memang ia perlu minum air dingin, untuk mengendapkan gejolak darahnya.
"Ya Tuhan, aku tidak bisa selamanya begini. Mimpi ini harus segera berakhir. Ini hanya akan menyakitiku.." keluhnya sambil meneguk segelas air dari dalam kulkas.
***
"Terimakasih telah mengurus perusahaan dengan baik, adikku sayang," kata Adhit ketika sudah berada dikantornya.
Ayud mencibir mendengar pujian kakaknya.
"Iya lah.. aku gitu lhoh. Tapi terkadang aku kesal, mas Adhit akhir-akhir ini seperti tak perduli apapun."
"Hei, kata siapa aku tak perduli? Buktinya sekarang aku ada disini, memeriksa semua berkas-berkas, meneliti semua yang sudah kamu kerjakan, dan aku senang kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik."
"Huh, cuma dipuji aja dari tadi, coba dikasih hadiah, pasti aku senang .." kata Ayud masih dengan bibir cemberut.
"Oh, hadiah itu pasti. Ada kabah gembira buat kamu, dan ini hadiah terbaik setelah aku pergi beberapa hari lalu."
"Apa tuh?"
"Bapak sama ibu akan datang ke Solo, kangen sama kamu katanya."
"Haaa, apa itu benar?"
"Ya benar lah, masa aku bohong?"
"Terus, sebenarnya ada apa mas Adhit ke Medan, terus ke Jakarta, lalu setelah pulang kelihatan begitu gembira? Sudah dapat restu dari bapak tentang perasaan mas Adhit sama Dinda?"
"Eiitt... jangan ngaco kamu... nggak ada itu, mas nggak lagi punya keinginan itu."
Maksudnya... keinginan melamar Dinda?"
"Nggak ada... aku sama Dinda kayaknya nggak pantes, nggak serasi."
"Apa?" tanya Ayud keheranan.
"Ya sudah, jangan tanya lagi, sekarang mas mau kerumah Dinda, eh nggak.. dia kuliah, aku akan menjemput di kampusnya," kata Adhit sambil berdiri.
Ayud memandangnya tak mengerti, dan Adhit tak perlu mengatakan apapun. Biarlah rahasia itu dia sendiri yang mengetahuinya.
***
"Heiii... mas Adhit sudah datang? Kok tiba-tiba menjemput Dinda kemari?" tanya Dinda sambil setengah berlari mendekati Adhit yang menunggu disamping mobilnya.
"Kan aku sudah tanya, apa hari ini kamu kuliah? Kamu bilang kuliah, jadi aku menjemput kemari."
"Oh, gitu ya, kirain cuma nanya doang."
"Ayo masuk ke miobil," perntah Adhit sambil membukakan pintu disamping kemudi.
"Kemana kita?" tanya Dinda sambil masuk kedalam dan menutup pintu.
Adhit menjalankan mobilnya sambil tersenyum.
"Kemana mas?" tanya Dinda penasaran.
"Ya ngajakin kamu makan lah, kelihatan lhoh, anak ko0st itu kalau pulang kuliah pasti kelaparan."
"Asyiik, makan nih ?" tanya Dinda gembira.
Adhit terus menjalankan mobilnya, ia ingin melakukan sesuatu, tapi ditahannya. Ketika melalui jalanan sepi, tiba-tiba Adhit menghentikan mobilnya.
"Kok berhenti?"
"Dinda, aku ingin memeluk kamu," kata Adhit tiba-tiba yang langsung memeluk Dinda erat sekali.
"Eeeh... maaas, ada apa ini? Uh.. aku nggak bisa nafas nih. Maas.. kok sepulang dari Medan mas Adhit bersikap begini? Jangan bilang mas Adhit benar-benar melamar aku, lalu bapak sama ibu mengijinkan." kata Dinda sambil mendorong tubuh Adhit pelan.
"Waahahaa... siapa melamar kamu? Siapa juga yang mau menjadi suami kamu?"
"Apa?"
"Mas Adhit nggak mau melamar kamu, kamu nggak cocok buat mas Adhit."
"Apa?" Dinda penasaran.
"Kamu kolokan, manja, semaunya... iih... aku nggak mau punya isteri kayak kamu."
"Mas Adhiiiiit.... jahat dehh!!
***
besok lagi ya.
Tuesday, December 3, 2019
DALAM BENING MATAMU 59
DALAM BENING MATAMU 59
(Tien Kumalasari)
"Om Raharjo masih di kantor ya tante?"
"Iya, ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggalkan, sini duduklah dekat tante, ada yang mau tante ceritain sama Adhit."
"Yang ada hubungannya dengan berita yang dibawa om Raharjo?"
"Ya... ada lah, ayu duduklah dekh tante sini, sambil menunggu om mu pulang."
Adhit duduk mendekat seperti pinta Retno. Ada senyuman yang dirasa aneh pada wajah wanita setengah tua yang masih tampak cantik itu. Senyuman itu membuatnya ber debar-debar. Apakah berita baik yang dibawa Raharjo itu benar-benar baik bagi hubungannya dengan Dinda?
"Adhit, ada sahabat tante ketika puluhan tahun yang lalu menjalin cinta dengan seorang teman wanitanya."
Adhit heran dengan pembukaan cerita Retno, tapi ia berusaha terus mendengarnya.
"Mereka masih muda, masih merasa bahwa dunia ini milik mereka berdua. Ahaa... itu kan kisah cinta remaja ya Dhit? Kamu kan bisa maklum, bagaimana rasanya dimabuk cinta, apalagi cinta pertama," lanjut Retno sambil terus menatap Adhit. Dalam hati Retno meyakini, bahwa Adhit memang darah daging Raharjo. Banyak miripnya kok, cuma sebelumnya dia tak pernah memperhatikannya. Tubuhnya yang tegap, mata tajamnya, hidungnya.. itu semua milik Teguh Raharjo.
"Dalam suatu kesempatan, terkadang ada setan mengipasi hati-hati para pecinta. Ada yang bisa berteguh hati, tapi ada yang begitu lemah sehingga terjerumus kedalam hubungan yang sesungguhnya terlarang. Itu kita bisa memaklumi kan Dhit?"
Adhit mencoba mencerna semua kata-kata Retno. Itu cerita sebuah kisah cinta yang pastinya menjurus kearah hubungan terlarang. Ya, sering hal itu terjadi, kemudian dia teringat Dewi sahabatnya juga menjadi korban cinta terlarang, tapi yang kemudian menyadari bahwa tak ada cinta di hati laki-laki yang telah meneteskan benih dirahimnya.
Ada apa dibalik cerita tante Retno nya ini? Adhit masih belum mengerti.
"Ketika sepasang remaja itu terlena oleh indahnya cinta terlarang itu, mereka tiba-tiba dipisahkan oleh sesuatu. Orang tua si gadis tidak setuju bermenantukan laki-laki yang dicintai puterinya. Lalu dilarikannya si gadis kesebuah kota besar, dinikahkan dengan lelaki pilihan orang tuanya."
"Kasihan si laki-laki itu..: gumam Adhit tak sengaja."
"Ya, kasihan, dan tak menyadari bahwa kekasihnya pergi membawa benih dalam rahimnya. Tapi untunglah laki-laki suami si gadis itu sangat baik dan mau menerima bayi yang dikandung isterinya, yang lalu disayanginya dicintainya bagai darah dagingnya sendiri."
"Oh, syukurlah, lalu bagaimana dengan laki-laki yang ditinggalkannya?"
"Dia tak pernah menyadari bahwa tetes benih itu kemudian tumbuh menjadi seorang anak muda ganteng dan dewasa. Tentu saja dia tidak tau karena memang tak seorangpun memberi tau bahwa ketika dibawa pergi .. kekasihnya sudah membawa benih dalam rahimnya. tidak tau bahwa ketika dibawa pergi.. kekasihnya sudah membawa benih dalam rahimnya. Benihnya, benih cintanya."
"Kasihan.."
"Tuhan mempertemukan laki-laki itu dan suami dari kekasihnya pada suatu hari, tapi kemudian mereka bersahabat. Tapi adanya si anak yang sesungguhnya darah daging sahabatnya itu, tetap menjadi rahasia, sampai si anak dewasa."
"Mungkin Tuhan merasa bahwa rahasia itu harus terbuka. Si orang tua harus mengetahui siapa darah dagingnya. Lalu si anak itu tanpa tau apapun tentang hubungan darah itu, jatuh cinta pada anak dari orang yang sesungguhnya juga orang tuanya."
Retno menghentikan ceritanya, dipandanginya Adhit lekat-lekat, agar dia tau apakah Adhit merasa bahwa dirinyalah yang ada didalam cerita itu.
Adhit menatap Retno, ada sesuatu yang dirasakannya. Tentang cinta seseorang kepada anak orang tuanya sendiri...
Retno Menepuk bahu Adhit, menatapnya lembut.
"Kamu tau siapa yang tante ceritakan?"
Adhit tak menjawab, ia mulai mengerti, ia merasa, lalu hatinya luluh, lunglai.
"Tante sedang menceritakan kisah cinta puluhan tahun lalu dari seorang sahabat tante, yang sekarang menjadi suami tante, yaitu om mu Raharjo."
"Oh... lalu...?"
"Gadis itu adalah Putri, ibu kamu..."
"Dan anak itu.. adalah saya?" gemetar ketika Adhit mengucapkannya. Dilihatnya Retno mengangguk.
"Dan Dinda adalah adik kamu satu ayah, itulah sebabnya terlarang bagi kamu kalau kamu ingin menikahinya."
Adhit terdiam, matanya ber kaca-kaca, Begitu terlenanya dia pada sepenggal kisah puluhan tahun silam, dan ternyata dirinya ada didalamnya.
"Adhit.. sekarang kamu tau mengapa kamu dilarang mencintai Dinda?Kisah ini begitu rumit, dan menjadi rahasia keluarga Galang selama puluhan tahun. Om Raharjo baru tau ketika ke Jakarta kemarin, dan tante juga baru tau ketika om mu mengatakannya. Kamu bisa mengerti? Apa kamu marah? Menyesal? Sedih?"
Adhit tak menjawab, terbayang wajah cantik kenes yang selalu bermanja terhadap dirinya, mata bening yang selalu menatapnya tanpa sadar bahwa mereka sedarah, lalu Adhit menyadari bahwa perasaan cintanya adalah dorongan dari hatinya yang paling dalam, cinta saudara, yang diterimanya sebagai cinta kepada seorang lawan jenis. Ternyata nurani Dinda lebih tajam menerima sinyal itu, ia tak pernah menganggapnya sebagai pacar, ia selalu menganggapnya seperti kakak, dan ternyata memang kakaknya.
Adhit mengusap air matanya. Ketika itu suara mobil memasuki halaman. Raharjo turun dari mobil, menatap Retno penuh tanda tanya. Retno mengangguk, dan mempersilahkan Raharjo masuk dan duduk diantara mereka.
"Adhit menunggu bapak," katanya singkat.
Raharjo sempat melihat Adhit mengusap air matanya. Didekatinya anak muda itu, lalu dipeluknya erat.
Retno melihatnya dan terharu. Kisah yang begitu pelik terjadi puluhan tahun silam, Dulu alangkah indahnya kisah cinta itu, alangkah pedihnya ketika harus dipisahkan, dan kini, alangkah bahagianya ketika dipertemukan.
"Ma'afkanlah bapak... ma'afkanlah bapak.. Adhit.."
Adhit tak menjawab, ia memeluk "bapaknya" erat erat.
"Kalian seperti pinang dibelah dua.." bisik Retno terharu.
***
besok lagi ya
Monday, December 2, 2019
DALAM BENING MATAMU 58
DALAM BENING MATAMU 58
(Tien Kumalasari)
Dinda terkekeh.
"Mas Adhit suka bercanda deh. Dinda ganti pakaian dulu ya," katanya sambil berlari kedalam untuk ganti pakaian.
Adhit tersenyum.
"Enak aja, siapa bercanda, aku bener-bener mau nglamar kamu nih," bisiknya sambil kembali duduk untuk menunggu.
Adhit ter senyum-senyum sendiri. Berita yang diterima dari Raharjo membuatnya ber bunga-bunga. Ia tak perduli apa kata Dinda, ia yakin pada suatu hari Dida pasti akan bisa menerimanya. Siapa sih yang nggak suka sama lelaki ganteng yang romantis seperti dirinya? Ehem... bodoh benar kalau kamu menolak cintaku Dinda, bisik hatinya, sambil terus ter senyum-senyum sendiri. Bahkan ketika Dinda sudah keluar, mengenakan celana jean ketat dan kaos warna pink berkembang didadanya, lalu membuat Adhit terpesona, senyum itu masih mengembang dibibirnya. Dindapun merasa aneh.
"Iih, mas Adhit, kok senyum-senyum sendiri sih, Dinda jadi takut nih," kata Dinda sambil memonyongkan bibirnya.
"Kok takut sih, masa sama orang ganteng kamu takut?"
"Bukan gantengnya, senyum-senyum sendiri itu yang membuat Dinda takut."
"Waaah, kamu nih, masa senyuman semanis ini membuat kamu takut?"
"Iya lah, senyum sendiri, siapa yang nggak takut," kata Dinda sambil mengunci pintu kamarnya, lalu melangkah keluar diikuti Adhit yang kemudian menggandeng tangannya.
"Mas, hari ini sikap mas Adhit aneh deh, tuh diliatin anak kost yang disebelah sana, ntar kita dikira pacaran donk."
"Biarin aja, emang kenapa kalau pacaran," jawab Adhit nekat, dan terus menggandeng Dinda sampai ke mobilnya.
"Enak aja, nanti aku nggak laku donk," kata Dinda sambil naik kemobil setelah Adhit membukakan pintunya.
"Nggak laku nggak apa-apa, kan ada aku," kata Adhit sambil menjalankan mobilnya keluar dari halaman rumah kost itu.
"Iih... nggak mau aku..."
"Awsa ya .. kalau bilang aku sudah tua, biar aku cubit bibirmu."
Dinda tertawa terkekeh. Ia selalu suka berdekatan dengan Adhit, tapi sedikit kesal kalau mendengar Adhit birsikap seperti pacarnya. Sungguh tak ada rasa lain kecuali menganggapnya sebagai kakak. Menurutnya Adhit adalah kakak yang selalu membuatnya senang.
***
"Bagaimana keadaanmu setelah sampai dirumah?"kata Dewi yang mengantarkan Mirna pulang kerumah kontrakannya setelah dari rumah sakit itu.
"Baik mbak, semuanya melegakan, karena saya kan nyaris terlibat dalam peristiwa pembunuhan itu, sementara saya sebenarnya nggak tau apa-apa."
"Si brengsek itu sudah akan mendapat ganjarannya. Biarkan saja, sudah banyak dia menyakiti orang terutama perempuan-perempuan. Dan membunuh itu sebenarnya hanya sesuatu yang akan membawanya ke penjara. Dia melakukannya karena terpaksa, sudah nggak punya apa-apa, ditagih puluhan juta, kacau dia.Lalu akhirnya melakukan hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Tapi semua itu kan hanya jalan untuk menghukum dia."
Mirn mengangguk.
Dielusnya perutnya yang tak lagi berisi janjin buah nafsu Aji.Mirna tak mensyukuri keguguran itu, sungguh sebenarnya ia ingin merawatnya,tapi Yang Maha Kuasa berkehendak lain. Rupanya ia tak harus membawa apapun yang berbau Aji.
"Kamu menyesal telah keguguran?" tanya Dewi yang bersiap pulang setelah mengantar Mirna.
"Ada rasa menyesal, karena sebenarnya saya mulai menyukai kehamilan saya, dan ingin merawatnya, tapi bagaimana lagi."
"Mungkin dengan begini kamu sudah tak akan lagi punya hubungan dengan dia. Berbeda dengan aku yang membawa benih orang jahat itu. Tapi dia tak akan pernah menjadi anaknya, keran toh dia juga tak pernah menghendakinya."
"Ya mbak, Bima anak baik dan pintar, dia akan menemani mbak Dewi dalam suka dan duka."
"Benar Mirna, dan sa'at ini aku sedang mengurus perceraian dengan dia.Kamu juga harus segera terlepas dari dia Mirna, supaya kamu bisa melanjutkan hidupmu. Kamu kan masih muda, semoga kamu juga segera mendapatkan pendamping yang lebih baik.Yang sungguh-sungguh mencintai kamu dan bisa mengayomi kamu."
"Aamiin," jawab Mirna singkat. SEkilas terbayang wajah bos ganteng yang sangat dikaguminya, tapi hanyalah mimpi kalau dirinya berharap bis bersanding dengan dia. Ada Dinda yang sangat dicintainya, apalagi sekarang dia kan sudah berstatus janda. Hm.. jangan mimpi Mirna...
"Kamu cantik, laki-laki mana yang tidak akan jatuh hati sama kamu?" kata Dewi sambil mengelus pipi Mirna, lalu berdiri dan berpamitan.
"Aku pulang dulu ya, mau menjemput Bima, sekalian belanja. Kamu tidak usah tergesa gesa masuk kerja, biar beenar-benar pulih dulu kesehatanmu. Kamu masih tampak pucat lho."
"Terimakasih mbak, tapi saya sudah meresa kuat kok, munkin besok atau lusa sudah bisa bekerja. Dan tolong sampaikan terimakasih saya pada pak Adhit mbak, pasti dia yang sudah membayar semua beaya ketika saya dirawat."
"Baiklah, nanti aku sampaikan."
"Tapi kalau se waktu-waktu aku dipanggil ke persidangan aku mohon pamit ya mbak."
"Ya, nanti aku temani kamu, jangan takut, katakan saja semuanya nanti."
"Terimkasih banyak mbak, kita belum lama bertemu, tapi mbak Dewi sudah banyak membantu saya. Saya merepotkan ya mbak."
"Jangan begitu Mirna, aku melakukan apa yang harus aku lakukan. Kita sesama wanita yang telah menjadi korban seorang lelaki yang sama pula."
"Sekali lagi terimakasih ya mbak."
"Ya, sudahlah, nggak usah dipikirkan."
***
Hari itu Raharjo sudah kembali. Ia ingin mengatakan perihal hubungan antara dirinya dan Adhit, tapi ragu-ragu. Ketika ia mengatakan pada Galang bahwa dia yang akan berterus terang nanti pada Adhit, ternyata tak semudah yang dibayangkan. Baru menghadapi isterinya lalu menceritakan aib itu saja dia sudah ketakutan, bagaimana nanti mengatakannya pada Adhit? Retno yang tak jadi menyusul karena Raharjo tak mengabarinya, melihat kegelisahan pada wajah Raharjo.
"Pak, sebenarnya ada apa?" tanyanya sambil duduk dihadapan suaminya.
"Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi aku harap kamu jangan marah."
"Lho, ada apa ini..Kok pakai nyuruh aku nggak marah segala?"
"Sesuatu yang pelik. Puluhan tahu lalu, yang aku lakukan... "
"Apa ?"
"Sebuah dosa... dosa besar bu... kamu pasti tak akan mema'afkan aku."
Pak, mbok ya bicara yang jelas, yang urut begitu, aku sama bapak ini kan sudah hidup bersama selama puluhan tahun juga, jadi kalau ada apa-apa itu kan lebih baik dibicarakan dengan jelas. Puluhan tahun lalu, dosa besar.. apa itu?"
"Aku dan Putri...." kata Raharjo lalu terdiam. Ia berharap Retno bisa menangkap apa yang ingin ia katakan, tapi Retno memandanginya dengan penuh tanda tanya.
"Aku tidak mengerti pak, bicaralah dengan jelas."
"Bu, kamu kan tau bahwa antara aku dan Putri dulu pernah menjalin cinta?"
"Ya, aku tau se jelas-jelasnya itu. "
"Pada suatu hari aku dan Putri melakukan hal yang tidak seharusnya aku lakukan, sebuah dosa." kata Raharjo lirih. Matanya menunduk kebawah, tak berani menatap wajah isterinya, yang mungkin akan marah, atau kemudian mengumpatnya habis-habisan.
Lalu Retno mencoba mengurai kata-kata itu. Raharjo atau Teguh dan Putri melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan, sebuah dosa, jawabnya hanya satu, Retno sudah menangkapnya, lalu lari kearah sosok Adhit, yang sebenarnya dari dulu dianggapnya mirip dengan suaminya. Itukan buah cinta mereka, sehingga ada larangan keras bagi Adhit untuk melakukan hubungan cinta dengan Dinda. Haa.. Retno bukan orang bodoh, ia sudah tau sekarang. Ia bisa memaklumi, ketika itu mereka masih sama-sama muda, dan kesempatan terbuka untuk setan mengipasinya, apalagi kalau ada banyak pertemuan yang memungkinkan untuk itu.
"Ibu..."bisik Raharjo yang kemudian mengangkat wajahnya, memandangi isterinya yang menatapnya lekat. Tapi Raharjo tak menangkap adanya kemarahan pada mata itu. Ia tau, sejak dulu isterinya begitu lembut dan penuh pengertian.
"Ya, aku sudah tau pak... sudah bisa memaklumi semuanya. Bukankah Adhit itu darah dagingmu?"
Raharjo membelalakkan matanya. Tak perlu banyak cerita dan Retno sudah bisa menangkapnya, dan yang lebih mencengangkan adalah dia tidak tampak marah.
"Ma'afkan aku ibu..." kata Raharjo sambil mendekati isterinya lalu memeluknya erat.
"Sudah, nggak apa-apa, wong kejadian sudah puluhan tahun berlalu, dan kita sudah berbahagia dengan anak-anak kita. Tak ada yang perlu dima'afkan, aku bisa menerimanya kok."
"Syukurlah Retno, terimakasih banyak atas pengetianmu."
"Bapak sudah bicara sama Adhit?"
"Belum, aku menyuruhnya datang kemari hari ini. Entah jam berapa dia akan sampai. Tapi masalahnya, sangat susah bagiku untuk bercerita apa adanya sama dia. Sulit memulainya."
"Iya, aku bisa memakluminya pak, pasti sulit mengatakannya."
"Aku baru selesai mengatakannya pada ibu, tadinya agak susah, tapi aku lega ketika ibu bisa menerimanya. Cuma agak susah bicara sama Adhit ternyata. Bagaimana kalau dia marah, lalu menuduh aku laki-laki tak bertanggung jawab.. lalu..."
"Bagaimana kalau ibu yang mengatakannya?"
"Ibu mau?"
"Mungkin lebih baik orang lain yang mengatakannya."
"Ibu akan bilang apa?"
"Ya bilang semua yang terjadi, apa adanya, mau bilang apa lagi?"
"Ibu sanggup?"
"Ibu kan isterinya bapak, kalau bapak nggak bisa, ibu nanti yang cerita sama dia, mungkin lebih gampang ibu daripada bapak."
Raharjo menghela nafas lega, ada beban yang lebih ringan ketika sang isteri mau ikut memikulnya.
"Terimakasih bu, kamu selalu bisa mengerti aku."
"Iya lah, kalau ibu tidak penuh pengertian, mana mungiin aku bisa menjadi isteri bapak, yang sepertinya selama hidup tak bisa melupakan kekasih pertamanya."
"Lho, ibu jangan ngeledek begitu, siapa yang selama hidup nggak bisa melupakan..? Buktinya aku kan bisa menjadi suami yang sangat mencintai isterinya?" kata Raharjo yang hatinya mulai tenang.
"Itu kan karena telatennya ibu menunggu jatuhnya purnama cinta dari hati bapak.."
"Ehem...gitu ya? Padahal diam-diam bapak juga jatuh cinta lho sama ibu."
"Aah.. gombal pak sudah.. sudah.. nggak pantes ah ngomongin cinta, orang sudah tua begini. Malu didengar anak-anak."
"Anak-anaknya saja jauh dari sini, bagaimana ibu bisa malu."
"Ya sudah, itu.. malu sama tembok.. sama yang ada disekeliling kita."
"Coba aku tilpun Adhit ya bu, jadi datang hari ini atau tidak, kalau hari ini mau jam berapa.Nanti sa'atnya dia datang bapak mau ke kantor saja ."
"Lhoh kok malah ke kantor sih pak."
"Supaya ibu bisa bicara enak sama dia. Apa ini berarti bapak pengecut?"
"Bukan pengecut, ibu kira memang lebih baik begitu, supaya lebih enak bapak bicaranya Coba sekarang bapak menelpon dia."
Ternyata Adhit sudah ada di bandara.
"Lho, kamu sudah ada di bandara?"
"Iya om, lagi nungguin taksi nih."
"Sayang sekali om gak bisa menjemput Dhit, so'alnya om masih ada di kantor, datang tadi langung ke kantor.Nanti kamu bicara saja sama tante kamu ya."
"Baik om, itu taksinya sudah datang."
"Ya Dhit, tante kamu menunggu."
Raharjo menutup teleponnya, lalu bersiap berangkat ke kantor, diiringi senyuman isterinya.
***
Retno melihat kedatangan Adhit yang wajahnya tampak ber seri-seri. Ia mencoba menata kata-kata apa yang akan dikatakannya nanti setelah mereka duduk berdua.
"Selamat datang Adhit... sendirian?" kata Retno ber basa basi,.
"Iya tante, tadi mau mengajak Dinda tapi dia nggak mau, katanya ada kuliah penting, gitu."
"Oh ya? Anak itu merepotkan ya Dhit, terbiasa manja kalau dirumah."
"Nggak tante , Adhit suka kok."
Retno berdebar. Kata suka itu masih bernada suka yang lain. Ia harus segera mengatakannya.
"Itu, tante sudan menyiapkan minuman buat Adhit, diminum dulu lah, dan tante juga sudah masak enak buat Adhit."
"Terimakasih banyak tante, sungguh menyenangkan punya calon mertua seperti tante," kata Adhit setengah bercanda, tapi candaan itu membuat Retno ber debar-debar.
"Kok calon mertua?"
"Om Raharjo sudah menelpon Adhit, dan mengatakan ada berita baik untuk Adhit, Adhit sangat gembira mendengarnya."
Ya ampun, Adhit rupanya salah mengira. Berita gembira itu adalah ditemukannya darah daging yang tak pernah diduganya, dan Adhit menerimanya sebagai berita tentang hubungannya dengan Dinda yang sudah pasti diijinkan.
"Adhit, munim dan makanlah dulu, nnanti tante akan menceritakan semuanya.
***
besok lagi ya
Sunday, December 1, 2019
DALAM BENING MATAMU 57
DALAM BENING MATAMU 57
(Tien Kumalasari)
Aji memandangi laki-laki tampan dihadapannya yang menatapnya penuh kebencian. Untuk kedua kalinya wajahnya kena kepalan tangannya. Dua orang polisi menghampiri, lalu membawanya masuk karena sebenarnya Aji berada dalam status tahanan. Aji heran melihat Adhit datang ke kantor polisi. Ia sama sekali tak mengira bahwa kedatangannya ada hubungannya dengan kasusnys. Bahkan akan menjerumuskannya kedalam penjara yang mungkin akan menyekapnya selama puluhan tahun.
Adhit kemudian menemui polisi jaga dan mengutarakan apa yang akan dilaporkannya.
Adhit kemudian baru tau bahwa Aji adalah benar- benar terdakwa pembunuh seorang wanita bernama bu Sukiman.
Geram sekali rasanya, membayangkan Mirna akan terseret kedalamnya. Beruntung Adhit segera datang dan mengatakan semuanya.
Ia juga minta agar bapaknya Mirna yang disekap Aji segera dibebaskan.
***
Ketika semuanya selesai.. Adhit baru membuka ponselnya dan melihat beberapa panggilan telephone tak terjawab.
Dari ayahnya dan juga dari Raharjo. Pasti ada yang penting. Adhit memutar nomor telephone Raharjo dengan hati berdebar. Adakah jawab dari pertanyaan yang selama ini mengganjal dihatinya?
"Hallo om.. ma'af, tadi lagi ada urusan..jadi nggak bisa menerima telephone dari om," sapa Adhit begitu telephone diterima Raharjo.
"Sekarang sudah selesai urusannya?"
"Sementara sudah. Bagaimana om? Ada berita baik untuk Adhit?"
"Dhit, besok kamu jangan ke Jakarta dulu,"kata Raharjo yang kemudian membuat Adhit berdebar. Pasti Raharjo belum menemukan jawaban yang diharapkan.
"Kabar buruk ya om?"tanyanya pelan seperti putus asa.
"Tidak.. bukan kabar buruk nak. Kabar yang sangat baik," jawab Raharjo pelan. Ada getar lembut mengusik dadanya ketika menyadari dirinya sedang berbicara dengan darah dagingnya.
"Jadi..... " kata Adhit yang kemudian merasa lega.
"Besok aku mau kembali ke Medan , jadi datanglah ke Medan," kata Raharjo yang kemudian bisa menata hatinya.
"Tapi sebenarnya bagaimana om, benar kabar baik ?"
"Benar nak, pokoknya datanglah ke Medan. Kita akan bicara banyak."
Ada rasa lega ketika Adhit mendengar tentang berita baik yang dibawa Raharjo. Walau belum tersirat jelas, tapi Adhit menerima berita baik itu sebagai keberhasilan Raharjo membujuk ayahnya sehingga mengijinkan dirinya mencintai Dinda.
Adhit begitu yakin, walau belum pernah mendengar bahwa Dinda mencintai dirinya, tapi Adhit yakin bahwa suatu hari nanti hal itu pasti akan terjadi.
Adhit kemudian memesan tiket untuk berangkat je Medan esok hari, dan akan menemui Dinda sore nanti.
***
Mirna sangat bahagia ketika sore hari itu ayahnya datang menjenguknya.
Ia tau pak bos ganteng telah membantunya.
"Bapak.. apa yang telah dilakukannya pada bapak? Apa dia menyakiti bapak?" tanya Mirna sambil mencoba duduk. Kekuatannya tiba-tiba pulih, mungkin karena hatinya lega.
"Tidak, ia tak melakukan apa-apa dalam arti menyakiti tubuhku, tapi ia menyakiti perasaanku. Ia membuatmu menderita, membuatmu kehilangan bayimu.." kata pak Kadir dengan berlinangan air mata.
"Jangan sedih bapak, semuanya sudah berlalu. Kita akan menikmati semuanya dengan penuh damai dan bahagia. Yang penting bapak bisa pulang dalam keadaan baik-baik saja," kata Mirna sambil memeluk ayahnya, bersandar didadanya, dan membiarkan lelaki setengah tua itu mengelus kepalanya.
"Bapak, hari ini Mirna harus pulang, maukah bapak menanyakan ke kantor untuk melihat berapa yang harus kita bayar untuk perawatan Mirna, karena pasti belum ada yang mengurusnya. Lalu bapak lihat apakah sisa tabungan Mirna masih cukup? Kalau tidak, Mirna akan menjual kalung Mirna yang Mirna beli dari hasil kerja Mirna dulu."
"Baiklah, bapak juga bisa usahakan nanti kalau ada kurangnya," kata pak Kadir sambil melepaskan pelukan Mirna lalu keluar dari kamar.
Mirna turun dari tempat tidur dan melipat selimutnya. Disebelahnya, terpisah dengan sekat sehelai gorden berwarna hijau terdengar ramai oleh pengunjung yang membezoek keluarganya. Ada tawa dan celoteh orang-orang yang mengomentari penyakit pasien yang baru saja dioperasi karena hamil anggur. Ti ba-tiba ada sesal dihati Mirna karena ia harus kehilangan bayi yang dikandungnya. Kesedihan, kekecewaan dan tekanan dari Aji yang menyekap ayahnya, membuatnya begitu lemah dan itu berpengaruh pada kandungannya. Mirna menghela nafas panjang. Bagaimanapun ia harus bersyukur karena bertemu Dewi yang sangat memperhatikannya. Dan sang bos ganteng yang telah menolongnya. Ia ingat ketika kembali menjenguknya setelah selesai membuat laporan tentang kejahatan Aji, Adhit mengatakan kalau ia tetap akan dipanggil dalam persidangan sebagai saksi.
"Tapi kamu tidak usah khawatir Mirna, kamu tidak bersalah, dan tak tau apa-apa tentang pembunuhan itu. Kamu hanya sebagai saksi yang tadinya mendapat tekanan karena Aji telah menyekap ayahmu."
Pesan Adhit kembali terngiang di telinganya. Suaranya begitu lembut dan penuh perhatian. Jauh bedanya dengan Aji yang hanya bersikap manis ketika menginginkan tubuhnya. Tiba-tiba Mirna merasa muak, dan membenci hari-hari yang pernah dilaluinya bersama Aji.
"Mirna..." suara ayahnya mengejutkannya.
"Bagaimana bapak, masih banyak ya kurangnya?"
"Tidak, kita tidak perlu membayar apapun karena srseorang telah melunasinya."
"Siapa," tanya Mirna terkejut.
"Nggak tau.. orang itu tidak mengatakannya."
"Pasti mbak Dewi."
Tapi ketika Dewi datang, dia mengatakan bahwa bukan dia yang telah membayarkannya.
"Pasti Adhit, siapa lagi."
***
Dinda terkejut ketika diruang tamu tempat kost nya ada seseorang yang sedang menunggu, dan itu adalah Adhit.
"Mas Adhiiit.." pekiknya kegirangan begitu melihat siapa yang datang. Dan dengan entengnya kemudian Dinda memeluknya, membuat detak jantung Adhit berdegup tak karuan. Ia bahkan tak ingin melepaskan ketika Dinda kemudian mendorong tubuhnya perlahan.
"Iih.. mas Adhit.. nanti dikira kita pacaran, tau !!"tegurnya sambil mendorong tubuh Adhit lebih keras. Adhit tersenyum manis. Mungkin itulah senyum termanis yang pernah diberikannya begitu mendengar berita baik yang dikatakan Raharjo.
"Sudah mandi?"tanya Adhit sambil berdiri.
"Sudah dong, apa aku belum wangi?"
"Kamu kan selalu wangi."
"Huh.. itu kan rayuan seorang lelaki kepada perempuan yang disukai."
"Sudah pernah dirayu laki-laki?"
"Sering... mas Adhit tuh yang sering ngrayu," jawab Dinda sambil duduk.
Adhit tertawa.
"Duduk dong mas, kok malah berdiri," tegur Dinda ketika melihat Adhit berdiri.
"Ayo kita keluar," kata Adhit kemudian.
"Kemana?"
"Jalan-jalan lah. Makan, minum es krim..*
"Asyiik...," Dinda bersorak.
"So'alnya besok aku mau ke Medan."
"Ke Medan?"mata Dinda terbelalak.
"Iya, mau ikut ?"
"Ngapain ke Medan?"
"Ngelamar kamu."
***
besok lagi ya
Subscribe to:
Posts (Atom)
LANGIT TAK LAGI KELAM 09
LANGIT TAK LAGI KELAM 09 (Tien Kumalasari) Pak Hasbi menatap tajam anak angkatnya. Tak percaya akan apa yang didengarnya. “Apa kamu bil...
-
KETIKA BULAN TINGGAL SEPARUH 01 (Tien Kumalasari) Arumi berlarian di pematang sawah sambil bersenandung. Sesekali sebelah tangannya men...
-
MAWAR HITAM 49 (Tien Kumalasari) Mbok Manis gemetar menahan gejolak kepedihan yang merobek-robek batinnya. Cobaan apa ini? Mbok Randu m...
-
ADA MAKNA 43 (Tien Kumalasari) Reihan kebingungan. Ia berjalan ke arah samping, tapi semua pintu tertutup. Tak ada orang di tempat itu....