Thursday, December 5, 2019

DALAM BENING MATAMU 60

DALAM BENING MATAMU  60

(Tien Kumalasari)

 

Hari itu Adhit melangkahkan kakinya memasuki halaman rumahnya di Jakarta, dengan perasan aneh. Aneh karena ternyata dia bukan anak kandung Galang yang selama ini dianggap sebagai orang tuanya. Apakah ia menganggap bahwa dirinya adalah orang asing? Terbayang ketika Raharjo memeluknya erat dan memohon ma'af, terbayang ketika wajah tampan setengah tua itu berlinangan air mata, seperti juga dirinya. Dan tiba-tiba Adhitama merasa seperti baru saja terlahir didunia ini. Semuanya menjadi seperti asing.

Tapi ketika semakin mendekati teras, ia mencium aroma melati, bunga kesukaan ibunya, dan mawar-mawar cantik tertata diatas meja bisa dilihatnya jelas. Apakah semua ini untuk menyambut dirinya? Seorang asing yang sedang akan bertamu? Tiba-tiba dilihatnya Galang dan Putri keluar dari dalam, menatapnya dengan wajah berseri. Ia mendekat, dan Galang membuka kedua tangannya, siap memeluknya. Luluh hati Adhit. Tak sampai pelukan itu ke tubuhnya, Adhit sudah menjatuhkan tubuhnya, memeluk kedua kaki Galang sambil terisak.

"Bapak... bapak... terimakasih telah mencintai Adhit selama puluhan tahun...," isaknya memelas.

Galang mengangkat tubuh Adhit, menjatuhkannya kedalam pelukannya, erat dan hangat.

"Anakku, mengapa kamu berkata seperti itu? Adakah orang tua yang tidak mencintai anaknya?"

Adhit luluh dalam pelukan ayahnya, ayah yang mencintainya sejak dirinya berada dalam kandungan ibunya.

"Bapak...."

"Sudah, jangan berkata apapun, tak ada yang berubah disini. Ini adalah rumahmu, aku.. bapakmu.. ini.. ibumu.. apa yang membuatnya berbeda?" kata Galang sambil menatap wajah Adhit penuh kasih sayang. Lalu diusapnya pipi Adhit yang basah oleh air mata.

"Sekarang peluk ibumu," kata Galang sambil melepaskan pelukannya.

Adhit pun menghambur kearah ibunya yang kemudian juga memeluknya dengan tangisan.

"Ma'afkan ibu Adhit.. ma'af ya.."

"Tidak ada yang perlu dima'afkan ibu, Adhitlah yang meminta ma'af karena telah membuat ibu dan bapak bersedih."

Tak perlu banyak kata, pandang mata cerah dan bahagia itu telah mewarnai rona pada masing-masing wajah mereka. Adakah yang melebihi bahagia selain cinta tulus dari nurani anak dan orang tua?

***

"Bukankah kamu akan tinggal agak lama di Jakarta le?" tanya Putri ketika malam harinya sedang duduk bersama.

"Mungkin hanya dua hari ibu, kasihan Ayud mengurus perusahaan sendiri. Apalagi perutnya sudah semakin membesar."

"Iya kamu benar, pada suatu hari nanti kami lah yang akan datang ke Solo agak lama, biar ibumu puas berkangenan dengan anak-anaknya," kata Galang.

"Benar bapak, pasti Ayud akan senang sekali. Lagipula Adhit sudah ingin sekali bertemu Dinda," kata Adhit dengan senyum menggoda.

"Haaa... awas ya, jangan sampai lupa siapa dia," canda Galang.

"Adhit itu kan sukanya mengganggu mas, bukan hanya kepada kita, tapi juga kepada adiknya. Ketika dia bertemu Dinda nanti, pasti perasaannya sudah berbeda."

"Iya bu, jangan takut, rasa cinta itu pasti sudah berbeda."

"Jadi sekarang kamu harus mulai melihat kedepan, terutama ingat bahwa kamu sudah semakin tua, sudah sa'atnya memiliki isteri."

"Ah, bapak..." kata Adhit tersipu.

"Bapak juga ingin segera punya cucu dari anak laki-laki bapak."

"Ingat Adhit.. pikirkan kata bapak ibu," sambung Putri.

"Kamu ganteng, gagah.. wanita mana yang akan menolak kamu? Ayo,, pilih menantu paling cantik buat bapak."

Adhitama sudah melaupakan galau yang semula mengusiknya. Ia tau bapak Galangnya amat mencintainya, apa lagi yang membuatnya ragu? Tak ada yang berubah..bukan?

"Jangan diam saja, dengar kata bapak, kalau kamu nggak bisa mencari sendiri, nanti ibu sama bapak akan ikut mencarikan isteri buat kamu," kata Putri menmpali.

Adhit tertawa.

"Jangan bu, nanti Adhit akan menemukannya sendiri."

Namun tak seorang gadis manapun yang terbayang di kepalanya ketika mengatakannya. Susah ya jatuh cinta? Atau susahkah menemukan gadis yang bisa dicintai? Adhit memang tak mudah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta, itu adalah cintanya kepada darah dagingnya. Lalu Adhit tersenyum mengingatnya. Tersenyum mengingat mata bening yang berkedip manja dan bibir tipis yang suka cemberut setiap kali dia menggodanya. Dan rindu ingin segera bertemu segera menyergapnya.

"Kenapa senyum-senyum..?" tegur Galang

"Ingat Dinda pak.."

"Lhaaah.. Dinda lagi?"

"Dinda itu kalau sama Adhit manjanya setengah mati. Tapi dia selalu marah kalau Adhit bilang suka sama dia. Rupanya dia lebih peka akan perasaan itu. Di hatinya yang paling dalam sudah ada sinyal bahwa tak selayaknya membalas cinta Adhit. Adhitlah yang kurang peka menerima sinyal itu."

"Adhit, kalau tidak sangat terpaksa, ada baiknya Dinda tak usah tau tentang hal itu," pesan Putri.

"Iya bu, Adhit mengerti."

***

 "Mirna, mengapa buru-buru masuk kerja? Apa kamu sudah merasa sehat ?" tegur Dewi ketika melihat Mirna sudah datang ke tokonya pagi itu.

"Sudah mbak, saya baik-baik saja. Lagian sendirian dirumah dan nggak ada pekerjaan.. jadi lebih baik saya bekerja."

"Baiklah, tapi jangan terlalu dipaksakan ya, kalau ingin istirahat ya istirahat saja, jangan sungkan. Ada kamar kosong disitu yang sudah pernah aku tunjukkan kemarin dulu."

"Iya mba, terimakasih banyak."

Mirna bekerja sangat rajin. Ia menata semua barang dengan rapi, melayani pembeli dengan sangat ramah, dan mencatat semuanya dengan sangat teliti. Dewi senang melihat semangatnya dan itu membuatnya semakin menyukai Mirna.

 "Hari ini aku mau belanja, terus langsung menjemput Bima .. kalau ada apa-apa kamu bisa menelpon aku ya Mir."

"Baik mbak.." 

Mirna mulai menekuni pekerjaannya dengan suka cita. Ini yang terbaik yang bisa dilakukannya untuk melanjutkan hidupnya. Walau sudah ternoda, tapi itu bukan hina. Ia bersedia menikah dengan harapan bisa membahagiakan ayahnya. Ayahnya sebaliknya ingin membuat Mirna bahagia, namun apa yang terjadi, semua diluar harapan mereka. 

"Ya, sudahlah.. tak ada gunanya disesali," bisiknya lirih.

Ia sedang mengusap air matanya ketika tiba-tiba terdengar dering telepone dimeja Dewi. Mungkin Dewi menelponnnya, atau ada yang ingin bertemu Dewi. Mirna bergegas menghampiri dan mengangkatnya.

"Hallo.." sapanya.

"Lhoh, ini bukan Dewi?" tanya sara dari seberang sana.

Gagang telephone itu hampir terlepas ketika Mirna mendengar suara itu. Suara orang yang sangat dikenalnya, yang selalu membuat semakin cepat debar jantungnya. Aduhai.. 

"Hallo.." suara itu lagi, dan dengan gugup Mirna menjawabnya.

"Haa..hall..hallo.." jawabnya.

"Kamu Mirna ya?"

Ya Tuhan, bagaimana dia bisa tau bahwa itu aku? Apakah suaraku masih selalu diingatnya? Hm.. Mirna ber andai-andai.. atau mungkin juga bermimpi...

"Hallo..." suara itu lagi..

"Oh,, eh,, ya.. saya Mirna... "jawabnya dan dipegangnya gagang telephone dengan kedua tangannya karena tiba-tiba ia merasa tangannya gemetaran.

"Mirna, ada apa kamu ini..?"

"Oh, ssayaa.. dd..dari mana bapak tau.. bahwa itu.. ss..saya?"

"Mirna, aku ini Adhit. Bukankah Dewi pernah mengatakan bahwa kamu bekerja ditokonya?"

Oh, rupanya Mirna terlalu pede.. Adhit tau dirinya Mirna karena ia juga tau bahwa ia bekerja ditokonya Dewi. Bukan karena selalu ingat akan suaranya.

"Oh.. iy..iya.. pak Adhit, ma'af.. mm.. ada yang.. bisa saya bantu?"

"Mirna, mengapa nafasmu seperti ter engah-engah begitu?"

Wadhuh, kedengaran ya ? Pikir Mirna lalu merasa sedikit malu.

"Oh.. ini .. baru saja.. menarik.. mm.. kursi.. eh.. meja.. berat.. ma'af.."

"Hati-hati menarik barang berat, kamu kan baru selesai operasi?"

"Iy.. iya.. "

"Mana Dewi, aku menelpon ponselnya tapi tidak diangkat."

"mBak Dewi.. sedang.. belanja pak."

"Oh, baiklah... nanti aku menelpon lagi. Oh ya, bagaimana keadaanmu?"

"Baik.. pak.."

"Syukurlah, jangan memikirkan apapun, kalau ada apa-apa Dewi pasti membantumu."

"Ya pak, terimakasih."

Ketika telepone itu ditutup, Mirna jatuh terduduk di kursi.

"Mengapa aku ini,"  keluhnya pelan. Suara itu, sapaan itu.. 

"Ada apa mbak?"

Mirna terkejut, pembantu yang baru saja mengusung galon aqua kedalam toko melihat Mirna duduk sambil me mijit-mijit kepalanya.

"Oh, nggak apa-apa dik.. sedikit pusing," jawab Mirna perlahan.

"Saya ambilkan minum kebelakang?"

"Nggak usah, aku nggak apa-apa dik, biat aku ambil sendiri saja," jawab Mirna sambil bangkit dan melangkah kebelakang. Memang ia perlu minum air dingin, untuk mengendapkan gejolak darahnya.

"Ya Tuhan, aku tidak bisa selamanya begini. Mimpi ini harus segera berakhir. Ini hanya akan menyakitiku.." keluhnya sambil meneguk segelas air dari dalam kulkas.

***

"Terimakasih telah mengurus perusahaan dengan baik, adikku sayang," kata Adhit ketika sudah berada dikantornya.

Ayud mencibir mendengar pujian kakaknya.

"Iya lah.. aku gitu lhoh. Tapi terkadang aku kesal, mas Adhit akhir-akhir ini seperti tak perduli apapun."

"Hei, kata siapa aku tak perduli? Buktinya sekarang aku ada disini, memeriksa semua berkas-berkas, meneliti semua yang sudah kamu kerjakan, dan aku senang kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik."

"Huh, cuma dipuji aja dari tadi, coba dikasih hadiah, pasti aku senang .." kata Ayud masih dengan bibir cemberut.

"Oh, hadiah itu pasti. Ada kabah gembira buat kamu, dan ini hadiah terbaik setelah aku pergi beberapa hari lalu."

"Apa tuh?" 

"Bapak sama ibu akan datang ke Solo, kangen sama kamu katanya."

"Haaa, apa itu benar?"

"Ya benar lah, masa aku bohong?"

"Terus, sebenarnya ada apa mas Adhit ke Medan, terus ke Jakarta, lalu setelah pulang kelihatan begitu gembira? Sudah dapat restu dari bapak tentang perasaan mas Adhit sama Dinda?"

"Eiitt... jangan ngaco kamu... nggak ada itu, mas nggak lagi punya keinginan itu."

Maksudnya... keinginan melamar Dinda?"

"Nggak ada... aku sama Dinda kayaknya nggak pantes, nggak serasi."

"Apa?" tanya Ayud keheranan. 

"Ya sudah, jangan tanya lagi, sekarang mas mau kerumah Dinda, eh nggak.. dia kuliah, aku akan menjemput di kampusnya," kata Adhit sambil berdiri.

Ayud memandangnya tak mengerti, dan Adhit tak perlu mengatakan apapun. Biarlah rahasia itu dia sendiri yang mengetahuinya.

***

"Heiii... mas Adhit sudah datang? Kok tiba-tiba menjemput Dinda kemari?" tanya Dinda sambil setengah berlari mendekati Adhit yang menunggu disamping mobilnya.

"Kan aku sudah tanya, apa hari ini kamu kuliah? Kamu bilang kuliah, jadi aku menjemput kemari."

"Oh, gitu ya,  kirain cuma nanya doang."

"Ayo masuk ke miobil," perntah Adhit sambil membukakan pintu disamping kemudi.

"Kemana kita?" tanya Dinda sambil masuk kedalam dan menutup pintu.

Adhit menjalankan mobilnya sambil tersenyum.

"Kemana mas?" tanya Dinda penasaran.

"Ya ngajakin kamu makan lah, kelihatan lhoh, anak ko0st itu kalau pulang kuliah pasti kelaparan."

"Asyiik, makan nih ?" tanya Dinda gembira.

Adhit terus menjalankan mobilnya, ia ingin melakukan sesuatu, tapi ditahannya. Ketika melalui jalanan sepi, tiba-tiba Adhit menghentikan mobilnya.

"Kok berhenti?"

"Dinda, aku ingin memeluk kamu," kata Adhit tiba-tiba yang langsung memeluk Dinda erat sekali.

"Eeeh... maaas, ada apa ini? Uh.. aku nggak bisa nafas nih. Maas.. kok sepulang dari Medan mas Adhit bersikap begini? Jangan bilang mas Adhit benar-benar melamar aku, lalu bapak sama ibu mengijinkan." kata Dinda sambil mendorong tubuh Adhit pelan.

"Waahahaa... siapa melamar kamu? Siapa juga yang mau menjadi suami kamu?"

"Apa?"

"Mas Adhit nggak mau melamar kamu, kamu nggak cocok buat mas Adhit."

"Apa?" Dinda penasaran.

"Kamu kolokan, manja, semaunya... iih... aku nggak mau punya isteri kayak kamu."

"Mas Adhiiiiit.... jahat dehh!! 

***

besok lagi ya.

14 comments:

  1. Pengen endingnya Adit bertemu dg jodohnya tapi bukan Mirna maupun Dewi

    ReplyDelete
  2. Aduhhh...cerita nya semakin bagus bngt...maturnuwun ...saya lansia tp suka bc cerbung....smg sukses selalu

    ReplyDelete
  3. Fellng saya ...sm mirna lho 😂

    ReplyDelete
  4. Ibu makasih no 60 sdh dikirim.
    Tolong yg rutin mengirimnya, shg org tidak harus minta terus setiap hari.
    Jika tiap hari kl sdh diminta ,baru dikirim, org lama2 cape juga.
    Smg Adhit happy ending dgn Mirna...

    ReplyDelete
  5. No 60 cukup panjang, semoga nomor2 selanjutnya panjang2:juga ya..makasih

    ReplyDelete
  6. Baper juga aku nih...... Penasaran kelanjutannya .... Mudah2an adith berjodoh dg sekretaris barunya yg masih gadis..... Makasih bu tien.... Cepet ya.... Hehehe

    ReplyDelete
  7. Mbak tien makasih...duh saya sampai nangis..bacanya...baper....semoga cepet ya lanjutannya dan endingnya adhit bahagia drngan gadis yg dicintainya

    ReplyDelete
  8. bs tdk ibuk tien..jodoh adit bukan mirna..yg masih gadis gitu...msk ibunya (putri) sdh hamil dpt jodoh jejaka..anaknya adit msh jejaka...dpt mirna yg janda...

    ReplyDelete
  9. AQ jg sih brharapny bukan Mirna atau Dewi gitu biar yg baca g kecewa hehehehheheheeee

    ReplyDelete
  10. Hush.... biar ibu Tien aja yg atur skenarionya, biar emosi kita jg ikut teraduk², kadang kita ikut nangis, baper, penasaran dll. Tetap ditunggu secepatnya ya Bu lanjutan ceritanya. ..

    ReplyDelete
  11. Sabar menanti... kan bu Tien kerjaannya bukan ini ajaaa

    ReplyDelete
  12. Kl bisa adhit jgn sm mirna atau dewi dia hrs sm gadis ceritanya bikin penasaran d tungg kelanjutannya

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah saya suka ceritanya, sama miena aja ya adit

    ReplyDelete
  14. Ceritanya me rembet2 semakin menarik

    ReplyDelete

CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 31

  CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG  31 (Tien Kumalasari)   Sinah terkejut. Pandangan mata simboknya sangat terasa menghujam di dadanya. Ia tah...