RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 13
(Tien Kumalasari)
Alvin dan Sanusi bergelayutan dari dahan-dahan yang berjuntai. Tak tampak di bawah sana ada apa, yang penting mereka menjauh dari suasana mengerikan yang mereka alami.
Sudah beberapa saat lamanya, tangan mereka sudah terasa lelah dan kaku, tapi mereka belum juga mencapai dasar jurang. 
Gelap sekeliling, dan napas mereka mulai terengah-engah.
“Alvin, kamu baik-baik saja?” tanya Sanusi yang peduli kepada temannya, sementara dirinya juga sudah sangat lelah.
“Aku baik-baik saja,” jawabnya terengah.
“Apakah kita masih akan begini? Dalam sekali jurang ini.”
“Aku juga tidak tahu, akan sampai ke mana kita nanti, dan ada apa sebenarnya di bawah sana.”
Tak ada jawaban, karena keduanya memang tidak tahu. Mereka berhenti bergerak, untuk menata napas mereka.
“Berhentilah dulu,” kata Alvin.
“Aku sudah berhenti. Kita harus kuat.”
Suara mengkikik dan aroma busuk sudah tak lagi terdengar dan terasa. Walau begitu entah bahaya apa lagi yang akan menunggu, mereka tentu saja tidak tahu.
Tiba-tiba sayup-sayup mereka mendengar gemericik air.
"Ada air?"
"Entahlah."
“Alvin, kita lanjutkan?”
“Ayo, kita turun lagi.”
Tapi baru dua tiga kali mereka bergayut, kaki mereka menginjak sesuatu. Bebatuan yang tergenang air.
“Kita sudah sampai di dasar,” kata Sanusi lega.
Telapak tangan keduanya terasa perih karena lecet. Sungguh sebenarnya mereka menahan semua rasa sakit yang mendera, hanya karena ingin segera terlepas dari situasi yang membuat mereka takut.
“Sekarang apa?” kata Alvin, masih terengah. 
Mereka berdiri di atas batu, tapi kemudian merasa tak kuat, sehingga kemudian duduk di batu yang basah, bahkan berair.
Gemericik air mengalir seperti sebuah nyanyian yang sumbang dan terasa mengiris. Langit tak begitu gelap. Tak banyak pepohonan besar di sekitar sungai itu, sehingga ia kemudian bisa menatap satu sama lain, walaupun tidak begitu jelas. 
“Sungai ini tidak begitu dalam, bagaimana kalau kita menyeberang ke sana?” tanya Alvin.
“Apa kamu sudah merasa kuat?”
“Kuat atau tidak kita harus keluar dari sini bukan?”
“Sebaiknya menunggu kalau hari terang, sehingga kita bisa melihat jalan.”
“Tapi kita duduk di air, dingin.”
“Benar, apa boleh buat. Lihat, ada batu yang agak besar di sana. Kalau kita duduk di sana maka kita tidak seperti berendam begini.”
Dengan susah payah mereka menghampiri batu besar itu, dan dengan demikian mereka kemudian tahu, bahwa agak ke tengah sungai itu memang lebih dalam, karenanya mereka harus berhati-hati, bahkan saling berpegangan tangan saat berjalan.
Tapi sebelum mencapai batu yang dimaksud, tiba-tiba mereka mendengar sesuatu. Seperti kecipak air yang sangat keras. Mereka berhenti melangkah, dan menoleh ke arah datangnya suara. Mereka terbelalak, melihat sebuah perahu meluncur di tengah sungai.
Mereka menatap lebih seksama, barangkali mereka salah lihat. Ada perahu meluncur sendiri? Mereka berpegangan lebih erat. Ini aneh, bagaimana sebuah perahu meluncur sendiri?
Perahu itu semakin dekat, dan dengan heran mereka melihat kakek bersorban duduk di ujung perahu itu.
 Tadi tidak kelihatan, karena ia duduk di depan, dan ujung perahu itu tampak lebih tinggi sehingga menutupi tubuh kakek itu.
Keduanya berteriak senang. Yakin kalau akan mendapat pertolongan.
“Kakek..!” teriaknya bersamaan.
Kakek itu tak menjawab, hanya memberi isyarat agar keduanya naik ke atas perahu. Tak perlu penjelasan atas perintah si kakek, keduanya langsung melompat ke atas perahu.
“Mengapa Kakek tadi menghilang? Kami bingung mencari Kakek, sehingga tersesat di tempat yang menakutkan.”
“Kalau berjalan jangan selewengan,” jawab si kakek singkat.
“Selewengan bagaimana Kek?” tanya Alvin.
Tapi kakek itu tak menjawab. Ia mengayuh perahunya perlahan, seperti tanpa tenaga, tapi perahu itu meluncur dengan nyaman, bahkan terkadang berbelok menghindari batu yang menonjol di tengah sungai.
Keduanya diam, tampaknya si kakek tidak banyak bicara. Mereka justru berpikir tentang apa yang dimaksud dengan selewengan.
Lalu mereka ingat, kapan kehilangan kakek bersorban itu. Saat mereka menoleh karena melihat perempuan cantik? Dan perempuan itu ternyata bukan manusia biasa.
Mereka saling pandang lalu mengangguk. Keduanya punya pikiran yang sama, tentang selewengan itu.
“Kalau berjalan sambil selewengan, pasti akan tersesat,” kata kakek itu pelan, hampir tak terdengar.
“Itu tempat yang menakutkan,” kata Alvin.
“Itu kuburan yang tidak terawat.”
“Kuburan?”
Lalu kakek itu kembali terdiam. Langit semakin terang. Di kiri kanan sungai itu tak lagi tampak seperti tebing. Perahu itu berhenti di tanah yang datar. Kakek itu melompat ketepi dengan ringan, diikuti oleh keduanya yang tertatih kadang hampir terjatuh karena tanah itu berbatu.
Tempat itu masih berupa hutan belantara. Banyak pohon-pohon besar tumbuh. Tapi suasananya lebih nyaman. Walau masih curiga, mereka tak melihat sesuatu yang membuatnya ngeri. 
Dari jauh mereka melihat sebuah rumah sederhana. Rupanya itu rumah si kakek bersorban. Alvin dan Sanusi merasa lebih tenang.
“Mandi dan dan buang pakaian kalian,” perintah si kakek, sambil melemparkan setumpuk pakaian. Bukan pakaian bagus, hanya sarung dan baju, tapi setidaknya kering dan tidak akan membuat mereka kedinginan.
Mereka kembali ke sungai, benar-benar melepas pakaian dan membersihkan badan, bahkan darah mengering karena luka-luka terkena duri ketika mereka berjalan.
Mereka benar-benar meninggalkan baju dan celana yang mereka pakai dan sudah terkoyak-koyak, lalu mengenakan baju dan sarung yang diberikan si kakek.
Ketika mereka kembali, kakek bersorban sedang duduk di atas batu di halaman, sambil menghadapi nyala api dari kayu yang bertumpuk. Mereka mendekat dan merasa hangat. Di dekat si kakek, ada dua cangkir minuman hangat.
“Minumlah.”
Walau agak heran melihat si kakek melakukan semuanya dengan cepat, tapi mereka segera meneguknya perlahan. Minuman itu manis, tapi bukan manisnya gula. Entah apa yang dibuat, tapi kehangatan segera merayapi seluruh aliran darah mereka. Mereka menatap kakek bersorban itu lekat-lekat. Baru sekarang ia bisa melihat wajahnya. Walau penuh keriput, tapi matanya teduh dan menenangkan. Mereka bersyukur, dan merasa yakin akan mendapatkan pertolongan. Entah itu daerah apa lagi, tapi kalau bisa turun dan kembali ke perdusunan, mereka pasti bisa segera pulang. Hanya saja keberadaan ke tiga temannya masih terasa mengganjal. Di mana mereka, bagaimana keadaannya, itu yang membuat mereka prihatin. Apakah kakek bersorban itu bisa menolong mereka juga?
Udara semakin terang. Tampaknya matahari mulai bersemayam di singgasananya, tapi suasana masih temaram.
“Kakek tinggal di rumah ini sendiri?” tanya Sanusi.
“Iya, mengapa Kakek tinggal di tengah belantara ini?”
“Ini rumah Kenanga.”
Keduanya hampir melompat karena terkejut. Rumah siluman lagi?
***
Entah sudah berapa jam Rasto terjaga, dan entah apa yang mengganggunya dengan nyala api yang seperti berjalan-jalan itu, tapi Rasto belum ingin membangunkan kedua temannya.
Ada rasa tak sampai hati melihat mereka kelelahan dan terlelap. Ia menahan rasa kantuknya karena harus terus mengawasi sungai dan berharap Alvin serta Sanusi akan muncul di sana. Ia juga menahan rasa takutnya melihat nyala yang bergerak-gerak itu. 
Ia mendongak ke atas dan melihat langit sedikit lebih terang, walau suasana masih remang dan kegelapan belum juga sirna.
Rasto terkejut ketika nyala api itu mendekat ke arahnya. Ia bersiap membangunkan kedua temannya karena menganggap bahaya sedang mendekat, ketika melihat seseorang yang sedang membawa obor untuk menerangi jalan.
Tangan Rasto yang siap menyentuh temannya berhenti diudara lalu dilepaskannya ketika melihat siapa yang datang.
“Kenanga?”
“Mengapa kamu tidak tidur?”
“Aku harus mengawasi sungai, siapa tahu mereka muncul.”
“Kamu sungguh baik hati.”
“Mengapa malam-malam kamu datang kemari? Bagaimana kalau ayahmu marah?”
Kenanga tertawa. 
“Di tempat ini, perempuan berjalan malam-malam tak akan ada yang mengganggu, beda kalau di desa di bawah sana. Perempuan harus sudah berada di dalam rumah begitu matahari sudah terbenam.”
“Berani sekali kamu menembus hutan yang begini lebat.”
“Rumahku di sini. Sejak kecil aku di sini. Hanya kadang-kadang saja turun ke bawah kalau membutuhkan sesuatu.”
Rasto menatap kagum. Gadis bernama Kenanga ini sebenarnya sangat cantik. Kesederhanaan yang ditampilkannya membuat dia tetap saja menarik. Pakaian gadis dusun yang hanya diikatkannya menyelimuti tubuh, dan baju yang ditalikan di pinggang membuat Rasto seperti melihat sebuah lukisan tentang gadis dusun yang berjalan sambil menggendong sayuran di pundaknya.
“Mengapa bengong? Aku membawa minuman hangat dan baju ganti untuk kalian bertiga,” katanya sambil meletakkan tiga buah cangkir kaleng dan teko minuman, serta bungkusan berisi baju yang pastinya kering.
“Ini baju ayahku, hanya sarung dan baju. Sebaiknya kamu bangunkan teman-teman kamu agar mandi dan berganti pakaian, lalu minumlah minuman hangat ini.”
“Aku … eh … kami mandi dan … kamu … ada di sini?”
“Tidak, aku mau pulang dulu, tetaplah di sini dan berjaga-jaga untuk kedua teman kalian,” katanya sambil melenggang pergi.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulilah
ReplyDeleteTerimakasih bunda. Semoga sehat selalu
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun bapak Endang
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah...
ReplyDeleteeRKaDeBe_13 sdh tanyang.
Terima kasih bu Tien..... Terimakasih atas doanya saya berdua sdh tiba di rumah Antapani dengan selamat.
Alhamdulillah
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 13 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
ππ₯ππ₯ππ₯ππ₯
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eRKaDeBe_13
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai π¦πΉ
ππ₯ππ₯ππ₯ππ₯
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Sari
Hamdallah sdh tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~13 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ
Matur nuwun Mbak Tien, salam sehat selalu.
DeleteSami2 jeng Ira
DeleteSalam sehat juga
Sami2 jeng Susi
DeleteAssalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 13" sampun tayang,
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai aduhai
Matur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah, mereka telah mndptkan pertolongan yg berbeda, penasaran dan menarik... maturnuwun Bu Tien cerbung telah tayang,semoga Bu Tien tetap sehat walafiat,bahagia dan semangat berkarya melanjutkan cerbung2 yg menarik..π
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....13..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Aman dah...Alvin & Sanusi sdh di rumah Kenanga...?
Sedangkan gadis bernama Kenanga sdh kirim makanan untuk teman mereka ( Rasto, dkk )
Apakah di rumah Kenanga tsb..adalah rumahnya gadis bernama Kenanga?
Aamiin Yas Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Hadir, nyimak.
ReplyDeleteMatur nuwunπ
Sami2 Cak
DeleteAlhamdulillah. Sehat selalu Bu Tien
ReplyDeleteNuwun pak Subagyo
DeleteSehat selalu juga
Alhamdulillah, matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Umi. Salam sehat juga
DeleteApakah kakek bersorban bpknya Kenanga? Penasaran menunggu kelanjutan cerita besok... Terimakasih bunda Tien....
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteKenanga & Widuri adalah siluman
Kl ini Kenanga gadis desa, makanya ketika kakek bilang ini rumah Kenanga, Alvin and Sanusi teriak ketakutan, masih bingung nih π€π€
Salam sehat juga ibu Ika
DeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteSama2 prof
Delete