Monday, October 27, 2025

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 07

 RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  07

(Tien Kumalasari)

 

“Benarkah kita akan menemukan jalan keluar?” tanya Hasto penuh harap.

“Suara angin yang terdengar menunjukkan bahwa ada lobang terhubung ke ruangan ini.”

“Semoga saja begitu.”

“Ruangan ini kalau tidak salah berada di bawah tanah. Mana mungkin ada lobang angin?”

“Bisa jadi ada, justru diujung ruangan, yang semoga adalah jalan keluar.”

Mereka berandai-andai.

Walau demikian, mereka tetap tak berani beranjak. Suasana masih mencekam. Mereka berusaha memejamkan mata, berharap bisa tidur, tapi tak bisa. Bagaimana bisa tidur kalau ketakutan masih terasa mencengkeram? Lampu minyak yang berkebat kebit itu juga membuat suasana semakin seram. Kalau tak ada angin, mengapa nyala lampu itu bergoyang-goyang seperti ada yang meniupnya?

Lalu suara denting seperti tetesan air itu terdengar lagi. Hati mereka semakin ciut.

“Mungkin di dalam sini ada air, aku akan mencari asal suara itu,” kata Sanusi tiba-tiba.

“Jangan. Kamu mencari mati?” cegah teman-temannya.

“Tidak, aku mencari hidup,” jawab Sanusi enteng. Baginya, daripada duduk diam dalam ketakutan, lebih baik dia berjalan, mencari di mana ada sumber air, dan di mana air itu menetes-netes.

“Nekat dia,” keluh Alvin.

Sanusi berjalan menyusuri ruangan, yang ternyata adalah ruangan panjang. Sinar lampu minyak itu sedikit menerangi ruangan, sehingga dia tidak menabrak sesuatu.

Tapi tidak, saat berjalan, tiba-tiba ia melihat sebuah pintu menganga. Sanusi berdebar, apakah itu pintu keluar? Ia melangkah masuk, dan tanpa diduga pintu itu tiba-tiba menutup.

Sanusi terkejut bukan alang kepalang. Penutup ruangan itu adalah sebuah batu besar. Sanusi mendekat dan berusaha mendorong atau menggesernya, tapi tak berhasil.

“Celaka, aku terjebak di sini?” keluh Sanusi.

***

Sementara itu keempat temannya yang menunggu mulai gelisah. Sanusi pergi lama sekali. Tak tampak bayangannya di dalam ruangan itu,

“Ke mana dia?” pertanyaan demi pertanyaan muncul bersahutan.

Tiba-tiba Alvin berdiri.

“Aku akan mencarinya.”

“Jangan Alvin, kita tunggu saja dia,” kata teman-temannya. Tapi Alviin nekat berjalan meninggalkan teman-temannya.

“Bagaimana kalau dia tak kembali?”

Teman-temannya mulai khawatir.

“Tetap di sini, jangan ikutan mereka, nanti kita malah tercerai berai lagi,”  kata Rasto.

Dan itu ada benarnya, karena Alvin ternyata tidak menemukan Sanusi. Ia menengok ke sana kemari, suasana hanya remang.

Ketika dia akan kembali kepada teman-temannya yang lain, ia melihat sebuah ruangan lain, yang kemudian dimasukinya. Ia mengira Sanusi masuk ke dalam situ. Tapi seperti Sanusi, Alvin terkejut ketika tiba-tiba pintu tertutup. Ia membalikkan tubuhnya, ingin kembali keluar, tapi pintu itu tertutup oleh sebuah batu besar yang sangat kuat. Susah payah dan sekuar tenaga dia mendorongnya, tanpa hasil. Gelap di dalam ruangan itu, sehingga ia tak melihat apa-apa. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, membiasakan matanya agar bisa melihat sesuatu. Tiba-tiba kakinya menyandung sesuatu, membuatnya terjerembab.

Tangannya tidak menyentuh tanah. Ada sesuatu yang aneh, Alvin memegangnya dan mengamatinya dengan seksama, dan ternyata ada tulang belulang.

“Teng … korak manusia? Dan tidak hanya satu?”

Alvin bangun dan mundur beberapa tindak ke belakang. Ia menyesal tidak membawa korek api yang dibawa Rasto. Tapi matanya yang sudah biasa melihat gelap, melihat bahwa tulang-tulang manusia berserakan di sana. Alvin menjerit sekuat-kuatnya.

“Tol lloooong ….tol…looong…..”

Tapi suaranya hanya bergema di dalam ruangan. Alvin bukan penakut, tapi bagaianapun juga berada ditengah tulang belulang manusia yang berserakan, tetap saja merasa ngeri.

Ia mencoba mengitari ruangan, tak ada celah. Tapi tidak, di sudut ruangan ada celah, dan Alvin menemukan sebuah jalan yang menanjak. Gelap yang menguasai seluruh ruang membuatnya meraba-raba, tapi ia berusaha memasuki celah itu, yang hanya cukup untuk berjalan miring.

Tak ada jalan lain, Alvin beranjak keluar dari sana, daripada berada diantara tulang belulang manusia.

Ia terus berjalan miring, dan terus menanjak.

Tiba-tiba terdengar suara angin, menderu dan gemuruh. Alvin berhenti melangkah. Tubuhnya bergoyang-goyang karena kerasnya angin. Tapi tiba-tiba tangannya menyentuk tempat kosong, jalan itu berbelok ke arah kiri.  Mau tak mau Alvin menapaki jalan itu, yang ternyata lebih lebar.

Entah akan menuju ke mana, Alvin terus melangkah dan melangkah. Suara angin tak terdengar lagi. Hati Alvin semakin ciut. Ia terpisah dengan teman-temannya dan tak menemukan jalan ke arah mereka. Ia tak tahu sekarang sedang berada di mana.

***

Sementara itu Sanusi mengalami nasib yang hampir sama. Ia tidak menemukan tengkorak-tengkorak manusia, tapi beberapa kotak yang berjajar-jajar. Sanusi sama sekali tak berani menyentuh kotak itu. Ia justru menjauh, dengan mengikuti tembok batu yang melingkar. Tiba-tiba ia menyentuh sesuatu yang dingin, menonjol. Sanusi merabanya, seperti sebongkah besi. Atau juga batu yang sangat halus. Tak sengaja Sanusi mendorongnya, dan tiba-tiba ia melihat anak tangga yang menuju ke sebuah ruangan lain. Ia harus menaiki tangga yang agak banyak ketika melangkah ke sana.

“Ya ampun, banyak ruangan aneh di sini. Tempat apa ini sebenarnya?” bisik Sanusi yang mulai panik. Ia juga memikirkan teman-temannya yang pasti kebingungan karena tiba-tiba dia menghilang. Tapi Sanusi tak menemukan jalan untuk kembali ke sana.

“Teman-temanku pasti bingung. Mudah-mudahan mereka tidak mengikuti aku sehingga akhirnya malah jadi tercerai berai.”

Ruangan itu bukan ruangan kosong. Sanusi melihat sesuatu berbentuk panjang yang berjajar-jajar. Sanusi mendekat dan merabanya.

“Apakah ini senjata?”

Benda panjang yang berdiri berjajar itu di rabanya. Gagangnya dari kayu, Sanusi menariknya, lalu melihat sesuatu yang lancip pada ujungnya.

“Ini senjata, atau tombak. Benar, tombak yang berjajar-jajar. Jadi ini sebuah ruang penyimpan senjata? Rumah siapa ini? Tadi aku dan kawan-kawan melihat tempat tidur berukir di sebuah ruangan, pasti pemilik rumah ini, atau seorang pemimpin yang dihormati. Dan telah terjadi peperangan, dan kemana mereka semua? Tadi Hasto menyandung tengkorak manusia. Apa mereka mati semua, di mana yang lainnya? Lalu bagaimana mereka bisa pergi dari sini? Banyak ruangan-ruangan tertutup dan penuh rahasia. Sepertinya tempat mereka bersembunyi. Tapi pasti ada pintu keluar dari ruangan ini, benarkah hanya satu pintu di mana tadi aku bisa masuk, lalu tak bisa keluar?”

Sanusi kebingungan. Masa dia akan terperangkap di ruangan itu dan tak bisa keluar? Ia meraba-raba dalam gelap, tak menemukan apapun. Sanusi selalu mengingat junjungannya. Dimanapun ia berada atau dalam kesulitan apapun, ia selalu menyebut nama TuhanNya.

Sanusi terengah engah, ia bukan hanya lelah, tapi juga lapar. Pasti demikian juga teman-temannya,

Ia duduk sembarangan dan bersandar di tembok batu. Batu sepertinya sangat dominan di tempat itu, baik dinding, pintu maupun peralatan yang ada, bahkan ujung tombak itupun terbuat dari batu yang diruncingkan.

Tiba-tiba ia mendengar langkah kaki. Bulu kuduk Sanusi merinding. Seperti tadi, ada langkah langkah kaki di balik dinding. Lalu berhenti.

Tapi kemudian langkah kaki itu menjauh.

“Dia, atau siapapun dia, sudah pergi. Suara langkah siapa itu?”

Sanusi masih terduduk ketika tiba-tiba ia melihat sesuatu di atasnya. Ada celah yang menganga, tapi hanya sedikit. Walau begitu Sanusi segera sadar kalau udara tidak begitu pengap karena angin bisa masuk dari celah itu.

Sanusi mendekat, apakah dia bisa keluar dari celah itu? Rasanya tak mungkin. Celah itu hanya sebesar telapak tangan, kiri kanan adalah batu.

Lalu Sanusi mundur dari sana, mengamati sekeliling celah itu, barangkali ada sesuatu yang bisa menjadikan jalan untuk keluar dari sana.

Tiba-tiba celah itu seperti menyemburkan sinar, bukan sinar biasa, tapi sinar pagi. Matahari memancarkan sinarnya dan menembus ke ruangan itu. Sanusi bernapas lega. Ia merasa sudah dekat dengan dunia luar.

“Ya Allah, selalu tolonglah hamba-hambaMu ini,” bisiknya dengan linangan air mata.

Sinar itu semakin terang, dan suasana di dalam ruangan juga semakin terang. Walau tidak benderang, tapi Sanusi bisa melihat ke sekeliling dengan lebih jelas.

Dari celah itu ia bisa melihat daun-daun yang bergoyang. Sebuah harapan muncul. Ia kemudian merobek bajunya, lalu mengambil sebatang tombak. Ia mengikatkan sobekan baju di ujungnya, lalu membawa tombak itu ke celah yang terlihat, memasukkan ujung tombak dengan sobekan baju itu, agar terlihat dari luar.

Ia juga berteriak minta tolong.

“Tolooong,” berkali-kali dia berteriak, dan ujung tombak itu digoyang-goyangkannya.

Tiba-tiba terdengar suara.

“Sanusi?”

Itu suara Alvin?

Namun suara itu tidak terdengar dari arah luar, tapi di sisi ruang yang lain.

***

Besok lagi ya.

 

24 comments:

  1. Matur nuwun mbak Tien-ku Rumah Kenanga Di Tengah Belantara telah tayang

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah wa syukurillah...
    Alvin dkk sudah tayang....
    Matur nuwun Bu Tien....
    Salam Seger Waras... 🤝🤝🙏

    ReplyDelete
  3. Met malam semuanya, selamat menikmati....

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah sampun tayang,matur nuwun Bunda Tien,mugi tansah pinaringan kasarasan lan karahayon.

    ReplyDelete
  5. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 07" sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun 🤲🙏🩷🩷

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah Rumah kenanga di tengah belantara 07 sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien, mugi Ibu & kelg. tansah pinaringan sehat. Sugeng ndalu.

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA~07 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🤲

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah epsd ke 7 dah hadir,matur nuwun Bu Tien 🙏🙏

    ReplyDelete
  9. Terima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....07..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.

    Serem banyak tulang manusia berserakan di dlm gelap nya gua. Sanusi dan Alvin punya ide mencari jln keluar dari gua, semoga berhasil ya..😥😓

    ReplyDelete
  10. Alhamdullilah sdh tayang..terima kaih bunda..slmt mpm dan slmt istrht..slm seroja sll unk bunda sekeluarga🙏🥰🌹❤️

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  12. Semakin pinisirin
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 07 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  14. 🏚️🪾🏚️🪾🏚️🪾🏚️🪾
    Alhamdulillah 🙏😍
    Cerbung eRKaDeBe_07
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai 🦋🌹
    🏚️🪾🏚️🪾🏚️🪾🏚️🪾

    ReplyDelete
  15. Terima kasih, ibu Tien...makin menegangkan nih ceritanya...hiii...😰

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah... sudah tayang, kemarin juga tayang, sy kura libur telat baca🤭🤭 Terimakasih bunda Tien, cerbung versi lain yg seram dan bikin deg2an dan penasaran.

    ReplyDelete
  17. Semakin menegangkan. Baca sambil deg2an terus. Aduh kasihan anak2 belum bisa menemukan jalan keluar.

    ReplyDelete
  18. Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga tetap sehat wal'afiat.

    ReplyDelete

RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 07

  RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA  07 (Tien Kumalasari)   “Benarkah kita akan menemukan jalan keluar?” tanya Hasto penuh harap. “Suara ang...