RUMAH KENANGA DI TENGAH BELANTARA 6
(Tien Kumalasari)
Kelimanya terjatuh di sebuah tanah lembab, yang untunglah tidak membuat tubuh mereka terluka kecuali hanya sakit karena terbentur tanah. Untungnya juga karena tanah itu tidak keras.
Suara ah uh ah uh dari mereka segera terhenti ketika mereka bisa bersandar di sebuah dinding berbatu. Gelap di sekeliling mereka.
“Celaka. Kita benar-benar terkubur hidup-hidup,” keluh Sarman.
“Ini tempat apa? Disekeliling lobang ini adalah dinding batu.”
“Seperti sebuah sumur kering.”
“Apa kita bisa naik ke atas? Ada bongkahan-bongkahan batu di dinding ini, yang barangkali bisa kita panjat agar bisa keluar dari sini,” kata Sanusi.
“Ayo kita coba memanjat keatas,”
Sanusi mendahului teman-temannya memanjat, dengan dibantu oleh batu-batu yang menonjol di dinding lobang.
“Hati-hati, agak licin,” seru Sanusi.
Tapi akhirnya Sanusi sampai juga ke bibir lobang. Tapi ia menyentuh sesuatu yang keras.
“Apa ini? Celaka, sumur ini tertutup batu besar,” kata Sanusi yang kemudian turun lagi ke bawah.
“Tertutup batu besar?”
“Siapa yang menutupnya?”
“Suara gemuruh ketika kita terjatuh tadi rupanya suara batu yang menutup lobang di atas kita,” kali ini Alvin bersuara.
“Benar, suara batu yang menutup lobang itu.”
“Jadi benar, tak ada jalan keluar.”
“Sedih melihat kegelapan.”
“Ada yang membawa korek api? Ada ranting-ranting kering di sini. Kita bisa membakarnya untuk penerangan,” kata Hasto yang tangannya meraba-raba. Tapi tak seorangpun diantara mereka yang membawa korek api.
“Cari batu untuk pemantik, siapa tahu bisa,” kata Sarman.
Mereka meraba-raba, dan akhirnya menemukan sebuah batu sebesar genggaman. Mereka memukulkan batu itu sekeras-kerasnya sehingga muncullah api. Agak susah sebenarnya, karena batu itu lembab. Hanya sekejap muncul pijaran api, tapi kemudian tak mampu membakar daun dan ranting-ranting yang ada di sana.
Tiba-tiba Rasto berteriak.
“Ternyata aku membawa korek api.”
Semuanya bernapas lega. Dengan segera mereka bisa membakar daun dan ranting-ranting kering, yang kemudian membuat ruangan sempit itu menjadi benderang.
“Tempat apa ini? Tak mungkin tiba-tiba ada sumur berbatu. Pasti ini dibuat oleh manusia. Entah manusia di jaman apa.”
Kelimanya kemudian berjalan mengitari lobang, lalu tiba-tiba ada yang menginjak sesuatu. Ada batu menonjol yang kemudian setelah diinjak, membuat dinding didepannya terbuka.
“Haaa, ada ruangan lain.. yang lebih luas?”
Mereka memasuki ruangan itu. Ada banyak batu-batu besar. Ada meja dan kursi terbuat dari kayu. Mereka berlarian mendekatinya.
“Aneh.”
“Ini dulunya adalah tempat tinggal. Lihat, ada tumpukan kayu pemanas di sana.”
“Bagus sekali, kita bisa menyalakannya untuk penghangat dan penerangan.”
Mereka mengitari ruangan itu, yang ternyata sangat luas. Ada kamar-kamar, lalu ia melihat sebuah kayu berbentuk tempat tidur yang berukir.
“Ini kamar siapa?”
“Rumah apa?”
Pertanyaan yang pastinya tak terjawab karena kelimanya sama-sama pendatang dan tidak tahu apa-apa.
Api yang mereka nyalakan di luar telah padam. Kegelapan kembali melingkupi setiap ruangan. Mereka mulai meraba-raba.
Tiba-tiba Hasto menjerit. Tangannya meraba sesuatu, dan itu adalah tulang manusia.
“Ada apa?”
“Tu … tulang manusia …” lalu Hasto berlari kalang kabut mengitari ruangan karena terkejut dan ketakutan.
“Hasto, tenanglah,” kata Rasto yang kemudian menyalakan koreknya.
Tiba-tiba di sudut ruangan mereka menemukan sebuah benda yang ternyata adalah lampu minyak. Yang aneh adalah, masih ada minyak yang menggenangi sumbunya.
Alvin meminta korek api yang dibawa Rasto, lalu menyalakan lampu itu. Benar, bisa menyala. Suasana menjadi sedikit terang.
“Apakah ini masih malam? Bukankah ketika kita terperosok ke dalam lobang aneh itu hari sudah malam?”
“Entahlah. Dan mengapa kita bisa bernapas lega? Semuanya rapat di tempat ini.”
“Benar, aku yakin pasti ada lobang di mana oksigen bisa masuk ke dalam. Kalau tidak pasti kita sudah mati lemas.”
“Lobang tempat kita masuk tadi.. pasti ada celah-celahnya.”
Hasto menghampiri kursi yang ada di tengah ruangan. Menyandarkan tubuhnya sambil terengah-engah.
“Ada tengkorak di ruangan itu,” katanya gemetar.
Sanusi mengambil sebatang kayu kecil yang kering, kemudian menyalakannya dari lampu minyak itu. Agak lama, tapi akhirnya menyala juga. Ruangan menjadi lebih terang, dan sedikit hangat. Sarman mencari kayu-kecil supaya mudah dibakar dan agar ruangan menjadi lebih terang lagi.
Suasana menjadi mencekam karena masing-masing diliputi rasa takut.
Lebih baik kita duduk dan menenangkan pikiran.
“Tapi … ini kub..buran …” kata Hasto dengan suara bergetar.
“Kita tidak tahu, kalau bisa tenangkan diri kita, agar bisa tidur.”
“Lebih baik berdekatan dengan tengkorak yang diam, daripada dengan manusia siluman seperti tadi,” kata Sanusi yang paling berani diantara mereka.
Ia meminta teman-temannya agar selalu mengingat Tuhan dengan cara masing-masing, agar bisa mendapatkan pertolonganNya.
“Ini gara-gara Alvin,” kata Hasto yang merasa lebih tenang.
“Maaf. Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa sampai ke tempat itu. Aku bersyukur bisa bertemu kalian, sehingga aku bisa terlepas dari pengaruh siluman itu.”
“Siluman, tapi cantik,”
“Cantik tapi siluman. Kita berempat juga nyaris menjadi mangsanya.”
“Bukankah perempuan bernama Widuri itu akan membantu kita?”
“Kamu tidak bisa menangkap apa yang dikatakannya? Dia membantu, tapi minta imbalan. Bukan uang atau barang yang dia inginkan, tapi tubuh kita. Masa kalian tidak tahu maksudnya?”
Yang lain kemudian berpikir, dan merasa bahwa apa yang dikatakan temannya adalah benar. Siluman itu menghendaki tubuh mereka. Seketika bulu kuduk mereka meremang.
"Lebih baik kita tidur untuk menenangkan pikiran,” kata Alvin yang tiba-tiba teringat pengalamannya sendiri. Ia lupa apa yang terjadi, tapi dia ingat ketika teman-temannya menemukannya.
***
Sementara itu pertarungan antara Widuri dan Kenanga sudah berakhir. Mereka baru menyadari kalau orang yang mereka perebutkan sudah tidak ada. Siluman juga bisa tertipu. Mereka tahu kalau Alvin sudah tak ada, bahkan empat kawan yang ditemukan Widuri, ketika mbok Wungkuk menuding-nuding kedalam, membuat pertarungan itu berhenti. Keduanya memburu ke dalam rumah, dan mendapati Alvin dan teman-temannya tak ada. Selendang pengikat hati Alvin tergeletak dilantai. Kenanga baru menyadari bahwa teman-teman Alvin bukan orang biasa, tapi yang memiliki kedekatan dengan Sang Pencipta. Kemudian mereka bertiga berusaha mengejar, lalu melihat kelimanya terperosok ke dalam sebuah lobang. Entah mengapa Widuri dan Kenanga tak berani mengusik mereka ke dalam lobang. Ia kemudian menyuruh mbok Wungkuk menutup lobang itu dengan sebuah batu besar.
Kenanga dan Widuri kemudian pergi ke masing-masing tempatnya, sambil mengobati luka-luka akibat pertarungan itu. Siluman juga bisa terluka, dengan caranya. Tapi apakah mereka akan berhenti?
***
Kelima sahabat itu sudah terlelap setelah bersusah payah berusaha mengendapkan kegelisahan mereka.
Tapi tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Kelimanya mendengar semua dan terbangun bersama-sama.
Remang masih terasa, karena yang menyala tinggal lampu minyak sedangkan nyala api pada kayu telah padam entah kapan.
Mereka menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tak ada bayangan apapun. Mereka duduk berdesakan di sebuah kursi panjang. Telinganya dipasang dengan seksama.
Tapi suara langkah kaki itu tak terdengar lagi. Masa kelimanya kompak mendengar suara yang sama?
Tapi tak lama kemudian mereka mendengar suara aneh, seperti air yang menetes dari tempat tinggi. Ting … ting … ting… ting… berulang-ulang.
Hasto merangkul tangan sahabatnya. Keringat membasahi tangan itu.
“Itu suara apa? Tadi ada orang berjalan kan?”
“Ini seperti suara air yang menetes. Apakah ada air di sekitar tempat ini?”
“Entahlah. Mengapa baru sekarang kita mendengarnya?"
Kantuk yang semula membuat mereka terlelap, lenyap seketika, berganti kegelisahan dan ketakutan yang menghentak. Doa-doa yang mereka panjatkan menjadi kacau oleh perasaan takut itu sendiri.
Tak lama kemudian suara tetes air itu sudah tak terdengar lagi. Walau begitu rasa takut masih tersisa.
Mereka bahkan tak berani bergerak. Kalau bisa, mereka akan menahan napas mereka agar tak menimbulkan suara.
Tiba-tiba lampu minyak di sudut ruangan itu tampak berkebat kebit, bergerak-gerak, seperti tertiup angin, padahal tak ada angin dirasakan oleh mereka. Lagipula angin dari mana? Tak ada lobang di tempat itu.
Mereka memejamkan mata. Rapat-rapat. Berharap tak melihat apapun yang membuat mereka semakin ketakutan.
Ternyata perkiraan mereka meleset. Lepas dari lingkungan siluman yang mengganggu, sekarang mereka masuk ke dalam suasana yang lebih menyeramkan. Bukan siluman cantik yang menggoda, tapi suasana yang lebih mencekam. Ini membuat dada mereka terasa sesak.
Dan tiba-tiba lagi Hasto menjerit, karena sesuatu menyentuh kakinya.
“Ttooollloong…”
Keempat temannya terkejut, lalu melihat tikus sebesar kucing meluncur menjauh entah kemana.
“Ya ampun, itu tikus …?”
Belum tenang dari rasa terkejutnya, tiba-tiba terdengar angin menderu-deru.
“Angin? Dari mana ada angin ?"
“Pastinya di luar.”
“Berarti ada lobang yang bisa membawa kita keluar, karena kita bisa mendengar suara angin.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteEpisode 6 sdh tayang
Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Rumah Kenanga di Tengah Belantara 06" sampun tayang...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom dan amancu selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Hamdallah sampun tayang
ReplyDeleteππ³ππ³ππ³ππ³
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ¦
Cerbung eRKaDeBe_06
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€².Salam seroja π
ππ³ππ³ππ³ππ³
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien....
Semoga sehat selalu dan hilang rasa capeknya....
Aamiin....
Matur suwun bu Tiens salam sehat utk keluarga di Solo.
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, serial baru cerbung Rumah Kenanga Ditengah Belantara....06..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Lepas dari siluman Peri, Alvin dkk msk perangkap siluman lainnya di dalam gua, yang lebih menakutkan...serem dan menegangkan ini..π»π
Alhamdulillah mksh Bu Tien smg keluarga sehat selalu
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " RUMAH KENANGA DITENGAH BELANTARA ~ 06 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin