Saturday, September 20, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 16

 LANGIT TAK LAGI KELAM  16

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi menatap Rizki dengan pandangan tak senang. Apakah maksudnya Rizki menuduh pak Misdi dan anaknya telah berbuat tidak benar di rumah itu?

“Aku bertanya, apa maksudmu, Rizki?”

“Mengapa Bapak seperti marah pada Rizki? Bukankah benar, bahwa selamanya Bapak tidak pernah mengeluh kehilangan uang? Baru sekarang Rizki mendengar Bapak kehilangan uang.”

“Aku tidak mengeluh, hanya merasa bahwa uangku di dalam almari mulai menipis. Bukan bermaksud menuduh siapapun. Sudahlah, berangkatlah kuliah, jangan bicara apapun lagi.”

Rizki menerima uang pemberian sang ayah, kemudian kembali mencium tangan ayahnya, dan berlalu.

Pak Hasbi kembali menatap ke dalam almari tempat dia menyimpan uang.

“Apa aku yang lupa, atau bagaimana. Aku merasa uangku tiba-tiba seperti semakin menipis. Untuk apa saja uangku itu. Pengeluaran yang tidak seperti biasanya adalah untuk membayar rumah sakit ketika Pak Misdi dirawat, lalu membayar sekolah Misnah, lainnya apa lagi? Rasanya ketika itu tumpukan uangku masih banyak.”

Pak Hasbi mulai menghitung tumpukan uang, lalu kembali menatanya.

“Kalau begini, setiap aku mengambil uang, pasti kelihatan. Salahku sendiri, aku sangat ceroboh. Aku tidak pernah mencatat semua pengeluaran dan sisa uangku. Aku pikir juga tidak apa-apa, toh yang mempergunakan juga aku sendiri. Tapi aku memang pelupa. Barangkali aku lupa telah mempergunakan untuk apa. Apakah aku sudah memberikan sumbangan kepada beberapa panti yang selalu aku kirimkan kepada mereka setiap bulan? O iya, apakah aku sudah mengirimkannya ya?”

Pak Hasbi menutup kembali almarinya, lalu menguncinya. Kemudian dia berjalan ke belakang. Simbok sedang memasak, dan pak Misdi sedang sarapan di meja dapur.

“Pak Misdi baru sarapan?” tanya pak Hasbi.

“Iya, Tuan.”

“Saya suruh sarapan dari tadi, bareng sama Misnah tidak mau. Baru sekarang mau, Tuan.”

“Ini kesiangan, apa tidak lapar?”

“Baru jam sembilan, Tuan. Biasanya juga jarang sekali sarapan.”

“Lain kali jangan dibiasakan tidak makan pagi. Setiap pagi harus sarapan, supaya ketika seharian banyak melakukan pekerjaan, bisa lebih giat, dan kuat.”

“Tuh, dengerin Pak.” sambung simbok.

“Oh iya Mbok, aku tuh sekarang pelupa. Apa aku sudah menyuruh kamu mengirimkan uang untuk beberapa panti seperti biasanya?”

“Belum Tuan, biasanya Tuan mengirimkan di awal bulan. Kalau bulan lalu sudah, tapi bulan ini belum. Saya baru akan mengingatkan.”

“O, belum ya? Memang iya, seingatku memang belum.”

“Tuan itu mengapa, kok kelihatan seperti bingung?” tegur simbok.

“Iya, aku merasa sering lupa, ternyata masalah sumbangan ke panti itu memang belum, jadi aku tidak lupa.”

“Mengapa Tuan seperti sedang memikirkan sesuatu?”

“Entahlah, apa lagi yang terlupa. Uang di almari sudah menipis, aku mau mengambil lagi di bank.”

“Sepertinya baru dua bulan yang lalu Tuan mengambil uang.”

“Iya, aku ingat, yang aku tidak ingat adalah, untuk apa uangku, mengapa baru dua bulan sudah menipis.”

Pak Misdi menyelesaikan makannya, lalu membawa piring kotor ke tempat cucian piring, langsung mencucinya. Gemercik air yang mengguyur, seperti gemercik pikirannya yang langsung lari ke mana-mana. Ia tidak lupa tentang kecurigaan Misnah, lalu ia mulai menduga-duga.

“Mungkin mas Rizki minta uang lagi.”

“Akhir-akhir ini dia jarang meminta uang. Kalaupun meminta. Dia selalu bilang sedikit saja, karena tidak ingin membeli apa-apa. Aku senang Rizki tidak banyak tingkah. Dia sudah berubah, tidak suka menghambur-hamburkan uang. Dia juga selalu bersikap baik, tidak pernah membantah apa yang aku katakan.”

Pak Misdi keluar, melalui pintu dapur bagian belakang.

“Pak Misdi, kalau sudah istirahat, kita ngobrol di depan ya,” kata pak Hasbi agak berteriak karena pak Misdi sudah ada di luar.

“Baik Tuan.”

“Mbok, nanti antarkan sumbangan untuk panti seperti biasanya. Aku akan menghitungnya dan meletakkan di amplop-amplop sekarang.”

“Baik, Tuan. Saya selesaikan masak dulu.”

Pak Hasbi masuk ke kamar, mengambil amplop lalu menghitung uang untuk disumbangkan ke panti, seperti biasanya, sambil terus mengingat-ingat tentang uangnya. Ia tidak menuduh siapa-siapa, sepertinya tak ada yang pantas dicurigai. Simbok sudah ikut bersamanya selama puluhan tahun, dia selalu bersikap baik, dan dia pasti punya uang banyak dari gaji yang selalu ditabungnya, setelah sebagian dikirimkan ke kampung untuk keluarganya. Rizki sudah menjadi anak baik, tidak suka menghambur-hamburkan uang sejak beberapa waktu terakhir ini.

***

Ketika istirahat di kampus, Citra masih membicarakan tentang uang yang terkumpul. Entah mengapa, Rizki agak kurang senang, ketika Citra mengingatkan lagi tentang siapa nanti yang tertulis sebagai pemilik mobil itu.

“Kalau kamu ingin selamat, pakai saja namaku, jadi ayahmu tidak curiga. Ini lebih aman, ya kan Riz?”

“Ya, nanti aku pikirkan lagi.”

“Kamu kelihatan tidak rela sih Riz, aku hanya memikirkan keamanannya, supaya kamu selamat dari tuduhan. Lagi pula kalau sudah jelas milikku, kamu bebas membawanya pulang, dengan alasan pinjam mobilku karena mobil tua itu  kenapa-kenapa.”

“Kamu ini kenapa? Kita belum membeli mobilnya, tapi kamu sudah ribut masalah nama di surat-surat mobil itu.”

“Semuanya kan harus dipikirkan sejak awal. Kenapa kamu seperti tidak suka?”

“Pagi tadi bapak mulai merasa duitnya cepat habis. Aku tidak akan mengambilnya lagi.”

“Apa ayahmu menuduh kamu yang mencuri uangnya?”

“Tidak, mungkin juga belum.”

“Kalau kamu tidak mengambilnya lagi, kita tidak akan segera beli mobil Riz, gimana kamu itu?”

“Suasana sedang tidak aman. Jangan sampai bapak menuduh aku.”

“Kamu kan punya pembantu baru? Masa tidak tahu bagaimana caranya mengalihkan tuduhan kepada pembantu itu? Kamu akan aman kalau kamu melakukannya. Buat dia dipecat sehingga tidak menjadi penghalang untuk keinginan kita itu.”

Rizki terdiam. Tiba-tiba keinginan untuk mengambil lagi uang ayahnya surut begitu saja, entah kenapa. Mungkin takut ayahnya  menuduhnya, mungkin agak kesal tentang keinginan Citra. Rizki juga merasa kalau Citra lama-lama seperti menguasai dirinya.

“Mengapa diam Riz, apakah usulku salah?”

“Diamlah, nanti aku pikirkan sendiri.”

“Ya sudah. Aku hanya mengusulkan, mana yang terbaik untuk kamu. Demi keselamatan kamu, agar ayah kamu tidak marah sama kamu, lalu kamu dicoret dari catatan ahli waris.”

Rizki tak menjawab. Kebetulan kelas sudah dimulai, ia segera bergegas masuk dengan wajah datar, entah apa yang dipikirkannya.

“Riz, nanti selesai kuliah mampir makan siang dulu ya, aku sudah lapar nih,” kata Citra sebelum memasuki ruang kuliah.

“Aku akan langsung pulang, pengin makan di rumah saja,” jawab Rizki.

“Tapi aku lapar nih,” Citra masih sempat merengek.

“Kamu juga makan di rumah saja. Aku ingin segera pulang dan istirahat.”

Citra berjalan di belakangnya dengan wajah cemberut.

***

Misnah memasuki rumah pak Hasbi dari pintu samping, tapi ketika melihat pak Hasbi duduk di teras, dia segera menghampiri dan mencium tangannya.

“Kamu naik apa?”

“Jalan kaki, Tuan.”

“Mengapa selalu jalan kaki, bukankah aku menyuruh kamu naik becak saja?”

“Tidak jauh Tuan, sayang kalau harus naik becak. Sekalian olah raga,” kata Misnah sambil bercanda, dan itu memang membuat pak Hasbi tersenyum.

“Olah raga di panas terik seperti ini?”

“Tidak apa-apa, yang penting badannya gerak. Itu namanya olah raga.”

“Ya sudah, langsung ke rumah, dan istirahat. Simbok sedang aku suruh mengirim sumbangan ke panti-panti, kalau kamu mau makan, ambil sendiri seperti biasanya.”

“Iya Tuan, saya sudah tahu,” jawab Misnah yang kemudian masuk melalui pintu samping. Ia bersyukur, pak Hasbi yang kaya raya selalu memperhatikannya, bahkan sampai soal makan juga pak Hasbi ikut memikirkannya.

“Orang yang luar biasa baiknya,” gumamnya pelan sambil memasuki kamarnya.

Pak Hasbi masih duduk di teras, Misnah hanya anak dari seorang tukang tambal ban, tapi bisa bersikap sangat santun. Dia juga rajin membantu semua pekerjaan rumah. Pak Hasbi merasa senang, telah membantu orang yang tepat. Ia merasa, apa yang dilakukannya dengan menyekolahkan Misnah, adalah tidak sia-sia.

Baru saja Misnah masuk, simbok sudah datang, turun dari becak, langsung menuju ke arah sang tuan.

“Saya tadi mampir ke sekolah Misnah, barangkali bisa mengajaknya bareng pulang tapi tampaknya sekolah sudah sepi, sudah pada pulang. Berarti Misnah sudah pulang. Kok tidak ketemu di jalan?”

“Misnah baru saja pulang.”

“Oh, sudah pulang? Syukurlah.”

Simbok mengeluarkan beberapa amplop dari dalam tasnya.

“Tuan, seperti biasa, ini kwitansi-kwitansi dari panti.”

Simbok sudah melayani pak Hasbi sejak lama. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Dirinya juga yang selalu mengirimkan sumbangan ke panti-panti, dan tahu bahwa pemberian sumbangan itu ada tanda terimanya.

“Ya sudah, nanti aku simpan. Sekarang kamu istirahat sana.”

“Tuan kok sendirian?”

“Pak Misdi juga sedang istirahat pastinya, suruh dia makan.”

“Saya siapkan makan untuk Tuan sekarang.”

“Ya, baiklah.”

Simbok langsung ke belakang, lalu pak Hasbi menuju ke kamarnya, untuk menyimpan semua kwitansi di sebuah tempat yang disediakannya.

Ia kembali membuka almari uangnya, dan melihat uangnya memang tinggal sedikit.

“Aku pergunakan untuk apa ya uangku? O, dasar orang tua, mengingat-ingat saja kok ya tidak bisa segera ingat.”

Ketika keluar dari kamar untuk menuju ke ruang makan, ia berpapasan dengan Rizki yang baru saja pulang, yang kemudian langsung mencium tangan ayahnya.

“Tumben sudah pulang?”

“Iya, begitu selesai kuliah langsung lapar.”

“Bagus, bapak juga baru mau makan.”

“Tumben makan di rumah, mas Rizki,” sapa simbok yang sedang membawa mangkuk sayur dari arah dapur.

“Kangen masakan Simbok,” kata Rizki sambil masuk ke kamarnya.

Simbok tersenyum. Memang benar kata sang tuan, bahwa Rizki sudah berubah menjadi baik. Syukurlah, kata batin simbok.

***

Rizki makan bareng sang ayah, dan ada perasaan tak enak ketika mendengar keluhan ayahnya tentang uang yang hampir habis, tapi tak tahu entah dipergunakan untuk apa.

“Bapak sudah semakin tua, susah sekali mengingat-ingat. Sepertinya aku tidak mempergunakannya dalam jumlah besar.”

“Mungkinkah ada yang mencurinya?” tiba-tiba kata Rizki.

“Jangan bicara sembarangan.”

“Kemungkinan itu ada kan?”

“Selama bapak tinggal di sini, tidak pernah ada orang yang berani mencuri. Teman bapak hanya simbok, bapak tak pernah kehilangan.”

”Tapi Bapak lupa, ada orang baru di sini, sudah sebulan, bukan?”

“Apa? Pelankan suaramu. Menuduh tanpa bukti itu dosa. Bapak bertemu dengan orang-orang baik.”

“Orang yang punya niat jahat biasanya memperlihatkan perilaku baik,” kata Rizki dengan suara pelan.

Pak Hasbi menimbang-nimbang. Mungkinkah pak Misdi atau Misnah melakukannya?

“Beberapa hari yang lalu, bapak memberi uang pak Misdi, hampir ditolaknya, karena merasa bahwa bapak sudah berbaik hati padanya. Dia orang baik.”

“Itulah, dia harus kelihatan baik, supaya tidak dicurigai,” kata Rizki yang tidak sadar, bahwa dia sedang menceritakan dirinya sendiri.

Pak Hasbi dan Rizki bicara sangat pelan.

“Nanti Rizki pasti bisa membuktikan, bagaimana sebenarnya mereka.”

***

Besok lagi ya.

25 comments:

  1. Alhamdulillah....
    Episode 16 sudah tayang.
    Matur nuwun bu Tien.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 16 " sudah tayang.
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  3. Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang

    ReplyDelete
  4. Assalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 16 " sampun tayang...
    Semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ€²πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  5. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien selalu sehat

    ReplyDelete
  6. Alhamdulillah
    Tetima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~16 telah hadir. Maturnuwun, semoga Bu Tien & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA.🀲

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 16 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  10. Waaah mulai memfitnah ini, mmbuat hati deg2an ,...... maturnuwun Bu Tien cerbungnya, smg Bu Tien tetep sehat bahagia bersama suami tercinta.

    ReplyDelete
  11. Matur nuwun Bu Tien, selamat berakhir pekan dg keluarga tercinta....

    ReplyDelete
  12. 🌻☘️🌻☘️🌻☘️🌻☘️
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eLTe'eLKa_16
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    🌻☘️🌻☘️🌻☘️🌻☘️

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah... Trm ksh Bu Tien.. semakin tak sabar menunggu lanjutannya. Besok libur dulu..

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah cerbung asyik sudah tayang. Terimakasih bunda Tien, salam sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga...

    ReplyDelete
  15. Terima ksih cerbungnya bunda..slmt mlm dan slmt istrhat..slm seroja unk bunda sekeluargaπŸ™πŸ₯°πŸŒΉ❤️

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah matursuwun BuTien, salamsehat bahagia selalu πŸ™πŸ’–

    ReplyDelete
  17. Terima kasih Bunda Tien... Semoga selalu sehat sehingga bisa terus berkaryaπŸ™πŸ™πŸ™

    ReplyDelete
  18. Nah lho...pak Hasbi akan mengambil uang lagi di bank...setok simpanan Rizki bisa nambah nanti...Citra makin senang tuh, dasarnya mata duitan.πŸ˜…

    Terima kasih, ibu Tien...sehat selalu.πŸ™πŸ»πŸ’–

    ReplyDelete
  19. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya πŸ™πŸ€—πŸ₯°πŸ’–πŸŒΏπŸŒΈ

    Waduh Rizky kamu bikin gemes aja,..kamu akan kena getahnya dari ulahku sendiri..
    Aduhai Bu Tien 😁🀭

    ReplyDelete

LANGIT TAK LAGI KELAM 16

  LANGIT TAK LAGI KELAM  16 (Tien Kumalasari)   Pak Hasbi menatap Rizki dengan pandangan tak senang. Apakah maksudnya Rizki menuduh pak Misd...