LANGIT TAK LAGI KELAM 15
(Tien Kumalasari)
Pak Misdi menatap anaknya tajam. Misnah mencurigai sesuatu? Apakah itu benar? Misnah masih anak-anak. Cara berpikirnya pasti jauh dari pemikiran orang dewasa. Kalau tiba-tiba ia mencurigai sesuatu, belum tentu itu benar. Barangkali hanya perasaannya saja.
“Mengapa Bapak menatapku seperti itu? Bapak tidak percaya?”
“Ssst, jangan keras-keras. Kita sedang membicarakan pemilik rumah ini,” bisik pak Misdi.
“Lha iya, apakah Bapak tidak percaya?” Misnahpun akhirnya berbisik.
“Bagaimana kamu menganggapnya hal itu adalah mencurigakan?"
“Perilaku yang aneh itu mencurigakan. Mas Rizki membuka almari tuan, sambil matanya melihat ke sana kemari, untunglah ketika dia menoleh ke arah pintu, aku sudah sempat mundur untuk menghindar, tapi karena itulah maka gagang sapu menyentuh vas bunga itu.”
“Ya sudah, kamu tidak usah memikirkannya. Kita ini kan ... katakanlah hanya pembantu, bukan bagian dari keluarga ini. Kalau kita berpendapat, lalu terdengar oleh mereka, apalagi kalau mas Rizki mendengarnya, maka dia bisa membenci kita.”
“Memang dia itu sudah kelihatan kalau membenci kita.”
“Ssst, sudah, diamlah. Jangan lagi mengatakan apapun tentang perasaan kamu yang belum tentu benar itu. Nanti kamu malah mendapat celaka.”
“Mengapa celaka? Aku kan tidak melakukan kesalahan apapun.”
“Misnah, jangan ngeyel. Kita ini orang kecil, tidak berhak menilai.”
“Kalau orang kecil, apakah harus diam saja ketika ditindas?”
“Ssst.”
Pak Misdi keluar dari kamar, untuk mencegah Misnah yang terus saja bicara, dan itu membuat pak Misdi takut.
Begitu keluar, simbok yang berdiri di pintu dapur kebetulan memanggilnya.
“Kamu tidur?”
“Tidak, hanya membantu Misnah mengambil jemuran,” jawab pak Misdi sekenanya, padahal dia sedang ‘memarahi’ anaknya.
“Tuan mencarimu di kebun depan tuh.”
“Baiklah, aku ke sana,” kata pak Misdi yang langsung bergegas ke arah depan melalui pintu samping.
***
Sesampai di depan, ia melihat pak Hasbi sedang duduk di bawah pohon sawo, seperti biasanya.
“Tuan mencari saya?”
“Apa kamu sedang beristirahat atau tidur?”
“Tidak Tuan, masa siang-siang saya tidur? Sedang berbincang dengan Misnah sebentar.”
“O iya, minggu depan Misnah sudah harus masuk sekolah. Ya kan?”
“Betul Tuan, tadi dia sudah mencuci baju seragam yang akan dipakainya ketika masuk.”
“Syukurlah kalau sudah jadi.”
“Simbok membawanya ke penjahit dekat sini, katanya.”
“Semua urusan anakmu sudah aku serahkan pada simbok.”
“Terima kasih banyak, Tuan.”
“Ini, untuk kamu.”
“Ini apa Tuan?”
“Gaji kamu, karena sudah membuat halamanku bersih dan indah dipandang.”
“Tidak usah Tuan, terima kasih banyak.”
“Kamu menolaknya? Coba hitung, apakah kurang?”
“Bukan, bukan masalah kurang. Begini Tuan, Tuan kan sudah menyekolahkan Misnah dan memenuhi semua kebutuhan kami, jadi Tuan tidak usah membayar untuk apa yang kami lakukan. Semuanya sudah sangat lebih. Lebih banyak, lebih baik, lebih segalanya. Mana mungkin saya masih harus menerima uang dari Tuan?”
“Pak Misdi, kalau aku menyekolahkan Misnah, itu kemauanku. Bukan kemauan kamu untuk menyekolahkan anakmu, lalu imbalannya adalah kamu harus bekerja untuk aku, tidak. Kebaikan itu bukan dagangan. Tak ada kaitannya dengan jual beli. Kalau seseorang melakukan kebaikan dengan mengharapkan imbalan, itu namanya dia menjual kebaikan. Sedangkan aku menyekolahkan Misnah itu karena aku ingin dia menjadi pintar. Kalau bisa nanti, sampai Misnah kuliah, aku yang akan membiayainya, tapi aku tidak menjual apa yang aku lakukan. Kamu mengerti maksudku?”
“Tuan sangat baik. Berbudi luhur dan mulia. Saya sangat bersyukur bisa mengabdi kepada Tuan.”
“Kamu dan Misnah sudah menjadi keluargaku. Terima uang ini, jangan anggap sebagai gaji atau imbalan. Anggap saja sebagai pemberian.”
“Saya sudah makan minum, bahkan pakaian, sudah cukup dari Tuan, saya tidak membutuhkan uang lagi.”
“Tidak mungkin. Pada suatu hari nanti pasti kamu membutuhkan sesuatu yang di sini tidak ada. Dan sesuatu itu pasti membutuhkan uang. Tolong jangan menolak. Ini adalah rejeki dari Allah. Aku hanyalah perantara,” kata pak Hasbi sambil tetap meletakkan amplop berisi uang itu di pangkuan pak Misdi.
“Terima kasih banyak, Tuan,” kata pak Misdi yang akhirnya mendekap amplop itu ke dadanya. Walau tak berharap, tapi pak Misdi yakin bahwa itu adalah karunia.
“Setiap bulan aku akan memberikannya untuk kamu. Jangan namakan itu gaji kalau kamu tidak mau, tapi namakan dia rejeki.”
Pak Misdi mengangguk terharu.
“Saya juga minta maaf karena Misnah telah memecahkan vas bunga yang pastilah harganya sangat mahal.”
“Itu kan sudah berlalu, kamu sudah meminta maaf berkali-kali, dan sebanyak itu pula aku mengatakan bahwa itu bukan masalah bagi saya, jadi berarti aku memaafkannya bukan?”
“Tuan adalah malaikat,” kata pak Misdi sambil berlinang air mata.
“Jangan begitu, nanti malaikat yang asli akan marah kalau disamakan seperti aku,” kata pak Hasbi sambil tertawa.
“Ayolah, aku memanggil kamu agar kita bisa mengobrol bersama, jangan membicarakan hal-hal yang aneh-aneh seperti itu.”
Pak Misdi mengangguk-angguk.
“Ingatkan aku kalau suatu saat aku lupa memberi uang sama kamu. Soalnya aku ini sekarang sangat pelupa.”
“Masa sih Tuan? Kelihatannya Tuan masih ingat segalanya. Menyuruh ini … itu … keesokan harinya juga masih ingat.”
“Kemarin itu aku lupa mengunci almari. Aku pikir sudah menguncinya dan sudah meletakkannya di tempat biasa. Ee, tahu-tahu aku melihatnya masih tergantung di situ. Berarti kan aku lupa mengambil kuncinya. Ya sudah, memang sudah tua, lupa itu biasa, seperti katamu kan Pak? Almari baju-bajuku dan almari tempat aku menyimpan uang kan beda. Yang akhir-akhir ini sering kacau adalah almari uangku. Tapi ya tidak apa-apa, selama ini aman-aman saja, masa di dalam rumah ada pencuri?”
“Iya, Tuan. Hal seperti itu tidak usah dipikirkan. Tapi lain kali Tuan harus hati-hati, dan mengingat semuanya dengan baik. Apalagi almari penyimpan uang.”
“Kan aku sudah bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Sejauh ini aku tidak pernah kehilangan uangku.”
Tiba-tiba pak Misdi ingat pada apa yang dikatakan Misnah. Almari yang dimaksud pak Hasbi tadi kan almari uang, dan Rizki membukanya, mencurigainya? Ah, anak itu ada-ada saja. Masa Rizki mencuri uang ayahnya sendiri, bukankah kata simbok Rizki itu selalu dimanja? Pasti dia tidak kekurangan uang. Pikir pak Misdi.
***
Sore hari itu Dewi mengeluh tentang hubungan Rizki dan Citra. Entah mengapa, Dewi tidak suka.
“Memangnya kenapa? Sesama teman bisa saja saling suka.”
“Suka boleh, tapi kalau dia serius, yang dipacari haruslah gadis yang baik dan benar-benar baik.”
“Memangnya Citra bukan gadis yang baik?”
“Entahlah. Terkadang kebaikan seseorang itu terpancar pada matanya.”
“Benarkah? Memangnya kenapa pancaran mata Citra?”
“Agak aneh, gitu. Dan ketika bertemu kita di warung itu, sama sekali dia tidak menyapa kita kan? Asyik melanjutkan makannya, tidak peduli walau dia tahu bahwa aku boleh dikatakan ‘kerabat’ Rizki.
“Benar, dia juga tidak menyapa aku. Dan itu pula sebabnya aku mengajak kamu ke meja yang lain. Tampaknya dia tak suka ada orang lain semeja dengan mereka.”
"Ketika Rizki mengajaknya ke pernikahan kita, baik ketika siraman maupun saat resepsi, Rizki tidak peduli ada kakek di sana. Ketika mau pulang kakek mencari-cari, dia sudah pergi bersama Citra. Sehingga mas Listyo yang mengantarkannya. Waktu resepsi, juga begitu, yang mengantarkan kakek malah pak Andra.”
“O iya, ketemu pak Andra ya?”
“Dulu pak Andra itu kan calon suami cucunya.”
“Calonnya Bening ya? Kasihan Bening.”
“Mudah-mudahan sudah tenteram disisiNya.”
“Aamiin. Dulu yang harus dikasihani itu kakek. Tapi sekarang kakek sudah merasa nyaman, apalagi punya teman ngobrol. Kamu sudah kenalan kan, sama pak Misdi?”
“Kelihatannya orang baik.”
“Sat, bolehkah aku mencari pekerjaan?”
“Kamu kan sudah punya pekerjaan?”
“Pekerjaan apa?”
“Merawat aku,” kata Satria sambil tertawa lucu, membuat Dewi kemudian memukulnya dengan bantal kursi yang tadi disandarinya.
“Serius nih.”
“Dewi, bukannya aku melarang, tapi kalau kamu bekerja, kemudian hamil, lalu melahirkan, bagaimana merawat anak? Dulu kamu pernah bilang, bahwa kalau punya anak tidak akan diserahkan perawatannya kepada orang lain.”
“Kapan aku punya anak?”
“Kapan-kapan, suatu saat Allah akan memberi, insyaaAllah.”
“Semoga segera diberi ya Sat,” kata Dewi sambil mengelus perutnya yang masih rata.
“Aamiin. Mintalah, maka Allah akan memberi.”
“Sekarang sudah malam, aku mau tidur ya.”
“Ya jangan tidur sendiri, masa pengantin baru tidur sendiri?” kata Satria yang segera mengikuti istrinya, membuat mbok Randu dan mbok Manis tertawa tertahan, sambil menutupi mulutnya.
“Semoga segera punya momongan ya Yu?” kata mbok Randu, mbok Manis mengangguk, sambil mengangkut gelas-gelas kosong bekas minum bendoronya.
***
Pagi hari itu Citra dan Rizki menghitung uang yang dikumpulkan. Mereka masih berada di dalam mobil, ketika datang ke kampus pagi hari itu.
“Lumayan banyak ya Riz, tapi ini belum cukup untuk membeli mobil. Masih kurang banyak.”
“Iya, sabar sedikit .. pokoknya dikumpulkan dulu. Tapi diam-diam aku berpikir, kalau kita beli mobil, lalu akan ditaruh di mana mobilnya? Nggak mungkin aku bawa pulang.”
“Kalau kamu bawa pulang, pasti ditanya sama bapakmu. Jadi taruh di rumahku saja. Jadi kamu bawa mobil tua ini dari rumah, lalu ke rumahku, ganti mobil baru. Gampang kan?”
“Agak ribet ya. Paling baik adalah mobil lama ini diganti mobil baru, jadi aku dari rumah langsung, tidak usah gonta ganti mobil.”
“Ya ampuun, kamu nggak rela ya kalau mobilnya ditaruh di rumahku?”
“Bukannya nggak rela, hanya ribet.”
“Cuma gitu saja ribet,” sungut Citra.
Keduanya bersitegang tentang mobil, padahal yang namanya mobil belum ada di tangan.
“Ya sudah, nanti gampang kalau sudah cukup uangnya, sekarang ayo turun, nanti kita telat.”
“Kalau ingin aman, nanti beli mobilnya atas namaku saja, jadi ayahmu tidak curiga kalau sewaktu-waktu kamu bawa mobilnya.”
“Atas namamu?”
“Nggak rela ya? Bukankah nanti kita akan menjadi suami istri?”
Rizki tak menjawab, tiba-tiba Rizki merasa bahwa Citra sangat mendominasi keinginan mobil itu, lalu ingin menguasainya, padahal Rizki ingin mobil itu menjadi miliknya sendiri. Masa atas namanya harus Citra? Ide yang tiba-tiba membuatnya tak senang.
“Ayo turun, malah bengong,” kata Citra yang sudah lebih dulu turun.
***
Pagi hari itu pak Hasbi sedang duduk di teras. Misnah sudah masuk sekolah selama seminggu lebih, sehingga rumah sudah bersih dan rapi. Misnah memang rajin. Ia mengutamakan sekolahnya, tapi tidak melupakan kewajibannya membantu simbok.
“Pak, Rizki minta uang, tidak usah banyak-banyak Pak, hanya buat uang saku,” kata Rizki tiba-tiba.
“Iya, kamu lama tidak meminta uang.”
“Rizki tidak mau boros sekarang ini, kasihan Bapak.”
“Memangnya kenapa kasihan sama bapak, asal untuk suatu kebutuhan, bapak tidak pernah keberatan kok.”
“Tidak apa-apa, Rizki juga harus prihatin, mau ujian segala.”
“Bagus, anak baik. Sebentar bapak ambilkan,” kata pak Hasbi sambil bangkit.
Seperti biasanya ia mengambil uang dari almari, tapi kali itu pak Hasbi agak heran. Tumpukan uangnya seperti menyusut banyak.
Meskipun dulu adalah pengusaha, tapi setelah meninggalkan bisnisnya, ia tak pernah suka bolak balik ke bank. Ia mengambil, lalu ditumpuk di rumah, sehingga kalau butuh sesuatu tinggal ambil di almari. Tapi kali ini ia merasa uangnya cepat sekali habis.
“Sedikit saja Pak,” Rizki melongok dari pintu kamar.
“Ya … ya.”
“Rizki kesiangan, Bapak kok melamun di depan almari?”
“Bapak sedang berpikir, uang bapak ternyata hampir habis,” kata pak Hasbi sambil memberikan beberapa lembar uang kepada Rizki.
“Masa Pak? Dulu Bapak tidak pernah kehabisan uang. Sejak ada pak Misdi dan anaknya kok Bapak bisa kehabisan uang?”
“Apa maksudmu?”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteAlhamdulillah..sudah tayang
ReplyDeleteAssalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 15 " sampun tayang... Rizki rizki.... kapan tobatnya ...kok gak sadar sadar...
ReplyDeleteSemoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun ๐คฒ๐๐ฉท๐ฉท
Matur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah sampun tayang.
ReplyDeleteMatur nuwun mugi Bunda Tien tansah pinaringan kasarasan lan karahayon.
Alhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~15 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.๐คฒ
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 15 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda dan Pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 15 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️๐น๐น๐น๐น๐น
Terima ksih bunda sdh tayang cerbungnya..slm sht sll dan slmt mlm ๐๐ฅฐ๐น❤️
ReplyDelete๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐๐๐ฆ
Cerbung eLTe'eLKa_15
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien dan
keluarga sehat terus,
banyak berkah dan
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin๐คฒ.Salam seroja ๐
๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ๐น๐ฟ
Maturnuwun Bu Tien cerbungnya๐
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien. Duh jahatnya Rizki....dan aduhai matre-nya Citra. Semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAlhamdulillaah "Langit Tak Lagi Kelam -15 sdh hadir.
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin๐คฒ
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien cerbungnya, sehat dan bahagia selalu sekeluarga
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillah, matursuwun Bu Tien
ReplyDeleteWaah...mulai deh, si Rizki menebar fitnah pada pak Misdi dan Misnah. Belum lagi 'racun' dari si Citra...si pengeretan. Gawat!๐ฐ
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sayang...๐๐ป๐