LANGIT TAK LAGI KELAM 14
(Tien Kumalasari)
Misnah merasa ada sesuatu yang tak beres karena tingkah Rizki sangat mencurigakan. Ia mundur beberapa langkah, agar Rizki tak melihatnya. Tapi gagang sapu yang dibawanya menyentuh vas bunga di meja dekat kamar, sehingga vas bunga itu jatuh berserakan, dan mengeluarkan suara berdentingan.
“Siapa?” tiba-tiba Rizki melompat keluar karena ketakutan. Ia tak sempat melakukan apa-apa karena mendengar pintu kamar mandi terbuka.
Melihat vas bunga berserakan dan Misnah memungutinya dengan wajah pucat, Rizki menghardiknya. Tentu ia sangat marah karena aksinya terganggu.
“Apa yang kamu lakukan, bodoh?” hardiknya.
“Maaf … maaf … saya sedang menyapu … sapunya menyentuh vas ini.”
“Itu vas mahal. Kamu sangat gegabah!”
“Maaf … maaf …”
“Kamu tadi melihat apa? Di dalam kamar itu?” kali ini suaranya agak pelan, biarpun tetap dengan nada ancaman.
“Tidak … tidak … saya tidak melihat apapun. Saya sedang menyapu … lalu …”
“Lalu apa?”
“Ti tidak apa-apa …”
“Ada apa ini?”
“Lihat Pak, bocah ini memecahkan vas bunga yang Bapak sayangi.”
“Ya Tuhan … bagaimana bisa pecah?”
“Tuan, maafkan saya … “ kata Misnah sambil menangis.
“Saya baru menyapu, gagang sapu ini menyentuh vas, lalu jatuh … pecah, Tuan. Harganya berapa, saya akan ganti,” bisiknya ketakutan.
“Enak saja kamu ngomong. Ini bukan vas murahan yang dibuat dari tanah liat. Ini dari porselin.. Mahal, tahu?”
“Ta … tapi … “
“Misnah, sudah, kamu tidak usah menangis. Sudah pecah … mau bagaimana lagi?”
“Enak saja dia Pak, suruh ganti. Jangan berikan gajinya selama beberapa tahun untuk mengganti vas ini.”
“Saya tidak sengaja Tuan, vasnya menyentuh … eh… maksud saya … sapunya menyentuh vas … soalnya … saya tadi … “
“Diam, jangan banyak alasan … “
“Rizki, kamu yang diam. Dia masih kanak-kanak. Mengapa kamu sampai seperti itu marahnya?”
“Mengapa Bapak membela yang salah?”
“Dia tidak sengaja, sudahlah. Tidak apa-apa Misnah, jangan menangis lagi.”
Misnah masih memunguti pecahan vas, yang sudah dimasukkannya ke dalam keresek, yang diberikan simbok ketika mendengar hiruk pikuk itu.
Rizki kesal sekali. Dia sudah membangun hubungan baik dengan ayahnya, berlaku santun setiap hari, karena ingin agar sang ayah memberinya ruang untuk mendapatkan pujian, supaya apa yang dia lakukan tak akan memicu kemarahan ayahnya. Tapi kegagalannya mencuri tadi membuatnya sangat kesal, sehingga kehilangan sikap santunnya. Ketika kemudian dia menyadarinya, ia memilih menjauh dan membiarkannya ‘libur mencuri’ untuk hari itu.
Rizki mengambil tas kuliah, lalu mendekati ayahnya, serta mencium tangannya, kemudian pergi.
“Rizki berangkat dulu Pak,” katanya pelan.
“Hati-hati di jalan,” selalu begitu pesan sang ayah.
“Ya, Pak.”
“Kamu masih punya uang saku?”
“Masih, tinggal sedikit, tapi masih cukup. Rizki tidak ingin beli apa-apa,” katanya sambil berhenti sebentar, kemudian berlalu.
"Syukurlah. Anak itu sudah berubah."
Misnah masih memunguti pecahan vas, lalu pak Hasbi berteriak ketika melihat darah.
“Misnah, kakimu terluka.”
Misnah beringsut. Memang telapak kakinya terluka dan berdarah.
“Mbok, bantu Misnah dan bawakan obat,” teriak pak Hasbi.
“Tidak apa-apa, Tuan, sudah hampir selesai,” kata Misnah sambil mengusap air matanya dengan ujung bajunya.
“Sudah Nah, ke belakang saja, biar aku yang membersihkan, setelah itu aku bantu mengobati luka kakimu.”
“Ini sudah hampir selesai,” kata Misnah sambil meraih sapu yang tergeletak di lantai, lalu membersihkannya dengan sapu.
“Hati-hati kalau ada sisa pecahan belingnya,” kata pak Hasbi.
“Sudah bersih Tuan. Sekarang duduklah dulu, aku bersihkan lukamu, tuh, darahnya ke mana-mana," kata simbok.
“Menurutlah Nah, setelah kakimu dibebat, kamu bisa melanjutkannya. Darahmu ke mana-mana tuh,” kata pak Hasbi yang kemudian dituruti oleh Misnah.
Ia duduk mengelesot di lantai, lalu dengan kapas dan alkohol simbok membersihkan lukanya. Misnah meringis kesakitan, tapi ditahannya.
“Untung lukanya tidak dalam, belingnya juga sudah tidak menancap.”
“Sebentar, diobati dulu, baru diplester. Cukup diplester, karena lukanya kecil.”
“Terima kasih Mbok.”
“Setelah ini kamu istirahat dulu,” kata pak Hasbi.
“Sudah tidak apa-apa, Tuan, saya masih harus menyapu di serambi depan. Akan saya selesaikan,” kata Misnah sambil berdiri.
“Hm, anak ini rajin bekerja seperti ayahnya,” gumam pak Hasbi, yang diamini oleh simbok sambil membawa pecahan beling yang kemudian dibuang ke tempat sampah.
Pak Hasbi masuk ke kamarnya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi, dan terkejut ketika mendengar Rizki berteriak marah kepada Misnah, sehingga belum sempat menyisir rambut putihnya.
Ketika ia masuk ke dalam kamar, ia agak heran melihat kunci almari uang masih tergantung.
“Rupanya aku kelupaan lagi. Sejak kapan kunci ini tergantung di almari? Aku lupa mengambilnya. Tapi aku tadi tidak melihat kunci ini di sini ketika mengambil baju di almari sebelahnya. Atau karena aku tidak perhatian ya?” gumam pak Hasbi.
Pak Hasbi mencopot kunci dari almari penyimpanan uang itu, lalu meletakkannya di laci meja samping tempat tidurnya.
“Benar-benar menjadi pelupa.”
Pak Hasbi menyisir rambutnya, kemudian pergi ke arah depan, duduk di bawah pohon sawo, melihat pak Misdi yang mulai menata tanamannya.
***
Citra pergi bersama Rizki dengan wajah muram. Pagi ini Rizki hanya mengajaknya makan di warung kampung. Warung biasa, yang dikunjungi hanya oleh orang-orang biasa. Tak ada yang gemerlap, tak ada mobil berjajar di depannya. Yang ada hanyalah sepeda butut, atau bahkan orang yang hanya berjalan kaki.
“Kamu mulai pelit? Kamu sembunyikan di mana uang curian kamu?”
“Ssst, kenapa berteriak? Kalau didengar orang aku bisa ditangkap polisi, dikira maling beneran," kata Rizki pelan sambil menutup mulut Citra dengan telapak tangannya.
“Lalu kenapa pagi ini? Uang yang kamu simpan selalu sisa dari uang jajan kita, kenapa sekarang mulai pelit? Kamu ingin menyimpan uang lebih banyak?”
“Citra, pagi ini aku tak bisa mengambil uang ayahku.”
“Kenapa? Kamu tak menemukan kuncinya?”
“Bukan. Tadi sebelum aku melakukannya, Misnah pembantu bodoh itu memecahkan vas bunga. Suaranya yang keras pasti membuat ayahku segera keluar dari kamar mandi. Dan itu benar. Untunglah aku sempat lari keluar, dan memarahi gadis bodoh itu.”
“Jadi karena itu? Apa kamu tidak mau mengurangi uang yang kamu simpan, sedikit saja juga tidak apa-apa., hanya untuk makan di tempat yang pantas.”
“Kita sudah sepakat, uang yang aku kumpulkan tidak bisa diambil-ambil, supaya segera terlaksana keinginan kita membeli mobil. Kalau dikurangi, sampai kapan kita bisa membelinya? Pasti akan memakan waktu lebih lama. Ya kan?”
“Iya juga sih. Besok kamu harus hati-hati, cari waktu yang tepat.”
“Cari waktunya sudah dapat, hanya halangannya itu yang tiba-tiba datang. Dasar gadis bodoh.”
“Kalau bodoh, mengapa tidak diusir saja?”
“Inginnya sih begitu, tapi ayahku sangat menyayangi dia dan bapaknya yang menjadi tukang kebun. Ayahku sangat suka pada mereka dan memperlakukan seperti keluarganya. Entah mengapa bapak itu, bukan siapa-siapa tapi dibela-belain menyekolahkan si Misnah itu.”
“Namanya Misnah? Sekolah apa? Kuliah seperti kita?”
“Ya tidak, dia masih kecil, baru lulus SD. Jadi dia masuk SMP tahun ini.”
“Bapakmu orang aneh. Baik kepada orang lain, tapi tidak suka kepada anaknya sendiri. Kenapa ya?”
“Itulah, terkadang aku juga kesal. Tapi kan akhir-akhir ini aku sedang bersikap baik, supaya bapak senang.”
“Rizki? Kalian makan di sini juga?”
Rizki terkejut. Dewi dan suaminya juga masuk ke warung sederhana itu.
“Mbak Dewi?” kata Rizki yang kemudian menyalaminya, juga kepada Satria.
“Kamu makan di sini?”
“Iya Mbak, cari yang irit. Kasihan bapak kalau aku jajan di rumah makan mahal.”
“Anak baik. Ya sudah, aku cari tempat di sana saja, ya Sat.”
“Benar, kalau di sini nanti mengganggu,” kata Satria yang kemudian menggandeng Dewi untuk mencari meja yang lain.
“Riz, itu kan yang kemarin dulu itu menikah?”
“Iya. Pengantin baru mereka.”
“Kelihatannya anak orang kaya, mengapa makan di tempat murahan seperti ini?”
“Entahlah, aku juga tidak tahu.”
“Berarti mereka itu orang-orang pelit. Besok kalau kita kaya, aku nggak mau makan di tempat seperti ini.”
“Ya tidak. Kalau kita benar-benar menjadi orang kaya, rumah makan murahan begini nggak pantas untuk kita.”
“Aku ingin segera mewujudkan impian kita Riz. Kita harus segera lulus, lalu menikah, ya kan?”
“Tentu saja.”
“Dan kamu pewaris tunggal dari seorang konglomerat yang pelit. Kamu harus bisa mencari celah untuk bisa menguasai hartanya.”
“Jangan khawatir. Dia juga sudah tua. Hidupnya tinggal menghitung hari.”
Lalu keduanya terkekeh senang.
Ketika itu Dewi sedang melewati mereka karena sedang memesan sesuatu ke loket.
“Siapa yang tinggal menghitung hari?” tanyanya.
Rizki dan Citra tentu saja sangat terkejut.
“Eh, Mbak Dewi. Ini lho Mbak, aku sama Citra ingin segera menikah, tapi kuliah belum selesai, jadi ya selalu menghitung-hitung hari,” jawab Rizki sekenanya.
“Kamu tadi bilang sudah tua. Kakek, yang kamu maksud?
“Ya ampun, masa aku bicara tentang ayahku sendiri. Kalau kelamaan pacaran, lama-lama kan menjadi tua. Jadi kami menghitung hari, kapan kira-kira bisa menikah.”
“Masih kuliah jangan terburu-buru memikirkan menikah,” kata Dewi yang kemudian berlalu.
“Kok tiba-tiba dia lewat sini sih? Kira-kira mendengar semua pembicaraan kita nggak ya?” tanya Rizki khawatir.
“Kelihatannya tidak, yang ditanyakan hanya tentang menghitung hari. Ya kan? Tapi jawaban kamu sudah tepat, buktinya dia langsung diam,” kata Citra enteng.
Tapi ada yang terpikir oleh Dewi, dan itu sangat tidak membuatnya senang.
***
Seharian Misnah tampak murung. Ia memecahkan vas bunga cantik, yang pastinya sangat disayang oleh tuan Hasbi. Ingin rasanya ia menggantinya, tapi dengan apa? Vas itu tampak mahal. Ada gambar-gambar unik yang menawan, disertai warna-warna indah.
“Misnah, mengapa kamu masih saja memikirkan vas itu. Bukankah tuan Hasbi tidak marah?”
“Tuan Hasbi tidak marah, tapi aku merasa bersalah Pak.”
“Tentu saja, kamu merasa bersalah. Tapi untuk apa kamu menyesalinya terus menerus? Kalau kamu ingin menggantinya, ya mana mungkin. Vas itu pasti mahal. Gaji bapak selama bertahun-tahun belum tentu cukup untuk menggantinya.”
“Iya. Tadi mas Rizki juga marah dan mengatakan itu,”
“Lain kali kamu harus berhati-hati. Banyak barang-barang bagus di rumah ini. Jangan sampai kamu memecahkan yang lain.”
“Tapi sebenarnya Misnah sudah berhati-hati lhoh Pak, tapi karena Misnah melihat mas Rizki di kamar tuan, lalu hal itu terjadilah.”
“Hanya melihat mas Rizki di kamar tuan, memangnya apa hubungannya dengan jatuhnya vas bunga?”
“Aku melihat mas Rizki seperti melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi di kamar tuan. Ia sedang membuka almari tuan. Karena takut dikira memergoki, aku mundur-mundur untuk menjauh dari depan pintu, tidak aku sangka gagang sapu menyenggol vas itu.”
“Apa yang dilakukan mas Rizki?”
“Seperti sembunyi-sembunyi.”
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.... Eps 14 sdh tayang....
ReplyDeleteTerimakasih bu Tien, semoga panjenengan pinaringan rahayu widodo tinebihna ing rubeda lan kalis ing sambikala.
DeleteAamiiin π€²π€²π
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Langit Tak Lagi Kelam telah tayang
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " LANGIT TAK LAGI KELAM 14 " sudah tayang.
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah, LANGIT TAK LAGI KELAM(LTLK) 14 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAssalamualaikum bu Tien, maturnuwun cerbung " Langit tak lagi kelam 14 " sampun tayang... semoga ibu Tien serta Pak Tom selalu sehat dan penuh berkah aamiin yra .. salam hangat dan aduhai aduhai bun π€²ππ©·π©·
ReplyDeleteAlhamdulillah cerbung eps 14 dah tayang, semoga Misnah TDK kena imbasnya kelakuan Rizki yg jelek,... maturnuwun Bu Tien,smg sehat dan bahagia bersama Kel tercinta.
ReplyDeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah LANGIT TAK LAGI KELAM~14 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan & keluarga tetap sehat dan bahagia serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA.π€²
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Hamdallah
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Terima kasih, ibu. Rizki semoga saja gagal terus, mencuri uangnya.
ReplyDeleteYerima ksih bunda cerbungnya..slmt mlm dan slmt istrht..slm sehat sll unk bunda sekelππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Langit Tak Lagi Kelam..14 ..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedia kala. Aamiin.
Dewi sdh menikah dengan Satria, kok memanggilnya msh jangkar ya. Apalagi dia anak gadis ningrat, hrs nya dapat menghormati suaminya, dengan memanggil nya.. mas Satria, atau Kangmas.
Misnah kamu gadis yang lugu dan berani kan. Ceritakan kpd tuan Hasbi perihal Rizki yang mencurigakan di kamar pribadi tuan Hasbi tsb.
Ya benar, saya juga pernah pertanyakan, tapi belum terjawab..
DeleteApalagi orang Jawa ada unggah ungguh nya,.
πΊπ·πΊπ·πΊπ·πΊπ·
ReplyDeleteAlhamdulillah ππ
Cerbung eLTe'eLKa_14
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai ππ¦
πΊπ·πΊπ·πΊπ·πΊπ·
Terima kasiy Mbu Tien... semakin asyiik trs...
ReplyDeleteSehat trs bersama keluarga trcnta
Terimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteAlhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien salam sehat wal'afiat semua ya ππ€π₯°ππΏπΈ
ReplyDeleteVas bunga penyelamat ya Misnah, semoga Dewi segera paham dg sikap Rizky ,,,maunya ππ€
Terimakasih bunda Tien, sehat dan bahagia selalu bunda Tien sekeluarga....
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️πΉπΉπΉπΉπΉ