Tuesday, September 30, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 24

 LANGIT TAK LAGI KELAM  24

(Tien Kumalasari)

 

Seakan kasihan kepada bumi yang kerontang, tiba-tiba segumpal awan mengajak teman-temannya berkumpul, lalu menjatuhkan hujan yang sedikit demi sedikit menjadi deras.

Tubuh setengah tua yang lunglai di rumput kering, yang kemudian menjadi basah, bangkit, lalu mengusap wajahnya yang kuyup. Setetes demi setetes membasahi wajah tuanya, sebagian masuk ke dalam mulutnya, membuat tenggorokannya tak lagi kering. Ia bahkan menengadahkan wajahnya, meraup air dengan telapak tangannya dan meneguknya bertubi-tubi.

Tubuh tua itu adalah pak Misdi, yang pingsan kelelahan di pinggir jalan. Tak seorangpun yang lewat memperhatikannya, karena mengira dia hanyalah pengemis yang tertidur di rerumputan.

Pak Misdi duduk bergeming tanpa peduli hujan yang tak kenal belas. Kilat yang menyambar, kemudian diiringi gelegar guntur yang terdengar bagai membelah langit. Tiba-tiba pak Misdi sadar bahwa dia sedang mencari anaknya. Ia langsung berdiri, lalu berjalan tertatih menembus guyuran air yang tercurah dari langit.

“Misnah … Misnah … kamu di mana … Misnah? Aku harus menemukan kamu, apa yang terjadi sehingga kamu pergi begitu saja?” teriaknya keras, berpacu dengan kerosak hujan dan angin yang menderu.

“Ya Allah, kembalikan anakku. Biarlah dia pulang, ya Allah. Bukankah dia selamat tak kurang suatu apa? Dia selamat bukan? Ya Allah, tunjukkan di mana Misnah, di mana dia, ya Allah,” pak Misdi terus berteriak-teriak, sambil menadahkan tangannya ke langit.

 Seperti menjawab teriakan pak Misdi, guntur menggelegar mengejutkan pak Misdi, sehingga dia berjalan sempoyongan, lalu terjatuh di pinggir jalan. Sesungguhnya pak Misdi sangat letih. Ia teringat ketika mencari Jarot, ia juga berjalan ke mana-mana, tapi tidak seperti sekarang rasanya. Jiwanya seakan terbang karena kehilangan. Ia masih terduduk di tepi jalan, ketika sebuah mobil melintas. Mobil itu dikendarai oleh seorang wanita cantik, yang kemudian berhenti di dekat pak Misdi. Ia mengambil bungkusan yang ada di samping tempat duduknya, lalu membungkusnya dengan plastik, kemudian dilemparkannya ke arah pak Misdi.

“Pak, hujan sangat deras. Menepilah. Itu ada sedikit makanan.”

Pak Misdi menatap bungkusan plastik itu, lalu mengangkat wajahnya, menatap wanita pengendara mobil yang sedang membuka kaca di sampingnya.

“Itu makanan, masih hangat.”

Pak Misdi bergeming. Matanya yang kosong tak merasakan lapar di perutnya. Tapi wanita pengendara mobil itu merasa iba melihatnya. Ia sama sekali tak menyentuh bungkusan makanan yang tergeletak diantara genangan air hujan.

Tiba-tiba ia turun dan mengambil payung, lalu berjalan mendekati pak Misdi. Ia merasa pernah melihat pak Misdi, tapi lupa di mana. Rasa kasihan menyergapnya, lalu ia memungut makanan yang terjatuh, diletakkan di depan pak Misdi yang bersimpuh dengan pakaian dan tubuh basah.

“Saya baru saja membeli makanan untuk suami saya. Masih ada sisa kok, bapak makan ya?”

Pak Misdi hanya mengangguk, tapi tak menyentuh bungkusan itu.

“Saya hanya makan bersama anak saya,” katanya lirih.

“Kalau begitu bawalah pulang, di dalam mobil masih ada satu, nanti berikan pada anak Bapak,” katanya sambil berbalik ke mobil, lalu mengambil satu lagi bungkusan makanan.

Ia mengambil bungkusan sebelumnya yang terbungkus plastik, lalu memasukkan bungkusan yang satunya, supaya tidak terkena air.

Hujan mulai reda, pak Misdi mengusap wajahnya yang tampak pucat.

“Kok saya pernah melihat wajah Bapak ya, rumah Bapak di mana?”

“Jauh, saya sedang mencari anak saya.”

“Oh, anak … anak perempuan? Sekolah di SMP dekat sebuah gedung pertemuan?”

“Ibu melihatnya?” mata pak Misdi berbinar, mengira wanita di depannya mengetahui di mana Misnah berada.

“Saya pernah melihat Bapak dan anak perempuan di depan sekolah itu. Mungkin Bapak sedang mengantarkan anak Bapak, atau apa waktu itu. Saya ingat, karena Bapak mengambilkan dompet saya yang terjatuh ketika turun dari mobil.”

Wajah pak Misdi kembali muram. Ia memang ingat ketika mengambilkan dompet seorang wanita di depan sekolah Misnah. Ia sedang bersama suaminya, dan seorang pemborong yang kebetulan sedang merenovasi di sekolah Misnah waktu itu. Tapi ia  tak begitu memperhatikan pemilik dompet itu. Ia segera berlalu karena saatnya membuka bengkelnya.

Pak Misdi tak menjawab apapun, apalagi hatinya sedang kacau.

“Anak Bapak pergi ke mana? Ini agak jauh dari sekolah anak Bapak.”

“Entahlah, dia pergi sejak berangkat sekolah, sudah dua hari yang lalu. Saya bingung harus mencari ke mana,” katanya sambil berdiri begitu saja, bahkan meninggalkan bungkusan plastik yang diberikan wanita itu.

“Pak … Pak, ini kok nggak dibawa,” katanya sambil mengejar pak Misdi lalu memberikan bungkusan yang tadi ditinggalkan. Ia juga memberikan  beberapa lembar uang yang dimasukkan ke dalam saku pak Misdi yang basah kuyup.

“Sebaiknya Bapak pulang dulu, ganti pakaian Bapak dengan yang kering.”

“Saya tidak akan pulang sebelum ketemu Misnah,” dan pak Misdi tetap berjalan menjauhi wanita baik yang memberinya makanan dan sejumlah uang.

“Rumah Bapak di mana? Saya antarkan pulang dulu, nanti mencari lagi.”

Tapi pak Misdi terus saja melangkah pergi. Plastik berisi makanan itu masih digenggamnya.

***

Wanita cantik itu adalah Andira, istri Andra yang usahanya berhasil baik. Ia menjadi pemasok bahan bangunan, dan bekerja sama dengan teman Andira. Hari itu Andira mengantarkan suaminya bertemu temannya karena ada pembicaraan penting. Teman berbincang mereka adalah Satria yang mendapat tugas membangun sebuah gudang di lahan yang baru mereka beli. Karena mereka bicara di lapangan, Andira kemudian pergi membelikan beberapa bungkus makanan, yang kebetulan dua bungkus diantaranya diberikan kepada pak Misdi.

 ***

Rizki sedang memarahi Citra karena dianggapnya sangat sembrono.

“Kamu bilang kamu taruh di rumah kamu, kenapa ganti di tempat lain?”

“Orang tuaku marah-marah, tidak mau menampung orang sakit, jadi aku titipkan di tempat kost teman SMA ku.”

“Dia mau?”

“Aku beri dia sejumlah uang. Pasti dia mau. Lalu akan kita apakan gadis bau itu?”

“Harus kita singkirkan. Dia tahu terlalu banyak. Dia bisa membuka aibku.”

“Mengapa tidak langsung saja kamu menabraknya sampai mampus?”

“Aku mengira dia sudah tewas, tapi aku melihat ada mobil berhenti dan menolongnya. Itu mobil pak Listyo. Waktu itu dia pingsan, semoga belum sempat mengatakan apapun. Dia membawanya ke rumah sakit. Cerita selanjutnya kamu sudah tahu bukan? Yang bodoh itu kamu, mengapa ketika kamu membawanya tidak langsung kamu lemparkan ke mana gitu, malah kamu bawa pulang, toh akhirnya kamu pindahkan ke tempat lain.”

“Aku tidak mau bertindak sebelum kamu tahu. Sekarang ayo kita lakukan bersama-sama.”

“Jadi sekarang kita ke rumah teman kamu itu?”

“Iya, itu tempat kos-kosan. Ibunya yang punya.”

“Baiklah, aku sudah tahu tempat yang bagus untuk membuang dia. Tak mungkin dia bisa pulang lagi. Tapi nanti mampir ke rumah sebentar, ada yang harus aku kerjakan.”

“Apa tuh?”

“Ini uang, masalah uang.”

“Kamu mau mencuri di siang bolong begini? Apakah ayahmu pergi?”

“Tidak, kamu tenang saja, nanti menunggu aku di mobil. Aku tidak akan membawa masuk mobilku.”

“Sebenarnya kamu mau apa? Mengapa tidak segera kita habisi saja bocah tengil itu?”

“Sabar, ini juga penting. Tenang saja, aku tidak akan lama.”

***

Dewi mau berangkat ke rumah pak Hasbi untuk memenuhi janjinya yang tertunda beberapa hari. Mbok Manis mengantarkannya sampai ke depan.

“Den Ajeng mau ke rumah tuan Hasbi sekarang?”

“Iya Mbok, aku sudah berjanji sejak beberapa hari yang lalu, untuk menemaninya. Sejak pak Misdi dan Misnah diusir, kakek tampak sangat sedih.”

“Diusir sendiri, mengapa jadi sedih ya?”

“Kakek sebenarnya menyayangi mereka, tapi kakek tidak suka karena menganggap pak Misdi melakukan perbuatan tercela. Itu membuatnya sedih.”

“Tapi Den Ajeng bilang, belum tentu pak Misdi dan Misnah melakukannya.”

“Benar, tapi itu kan harus dibuktikan, seperti ketika kakek menemukan bukti uangnya ada di kamar pak Hasbi. Jadi harus ada cara yang bisa ditunjukkan kepada kakek bahwa tuduhannya hanyalah fitnah dari orang lain.”

“Lalu kabarnya Misnah bagaimana ya Den Ajeng? Apa benar dia diculik? Padahal anak kecil, apa salah dia, coba?”

“Masalah ini sudah ditangani yang berwajib. Semoga semuanya segera terkuak, Misnah segera bisa ditemukan.”

“Kasihan anak itu, jangan sampai dia dicelakai.”

“Doakan dia selamat ya Mbok.”

“Iya Den Ajeng.”

“Sekarang aku berangkat dulu, takutnya kakek mengira aku berbohong.”

***

Pak Hasbi sedang duduk sendiri di teras rumah. Menatap halaman yang di beberapa tempat sudah menjadi taman bunga yang asri. Ia juga melihat beberapa pohon mawar yang bunganya bermekaran. Itu bunga kesukaan Bening, almarhumah cucunya. Kesedihan melintasi benaknya. Bukan hanya mengingat Bening, tapi mengingat orang yang telah menata taman kecil itu menjadi sebuah taman yang asri.

“Sebenarnya apa yang kamu inginkan pak Misdi? Bukankah kehidupan di sini sudah membuat kamu dan anakmu berkecukupan? Makan tiga kali sehari, kebutuhan terpenuhi. Malah gaji kamu biarkan utuh, apa kamu kira itu akan membuatku percaya bahwa kamu sebenarnya tak butuh  uang? Entah apa maksudmu, dengan meninggalkan dua bulan gajimu itu,” kata pak Hasbi dalam hati.

Ia ingin masuk ke dalam rumah ketika kepalanya terasa berdenyut. Tapi tiba-tiba ia melihat mobilnya sendiri, berhenti di luar pagar, lalu Rizki turun dari dalamnya.

“Kebetulan Bapak ada di depan.”

"Mengapa mobilnya tidak kamu bawa masuk?”

“Rizki mau pergi lagi, nanti kelamaan kalau harus masuk ke halaman.”

“Mau apa kamu?”

“Pak, kebetulan Rizki sedang punya banyak waktu. Bapak biasanya menyumbang ke panti-panti dan yayasan itu kan? Bagaimana kalau sekarang saja?”

“O, iya. Sudah saatnya, harusnya dua atau tiga hari lagi, tapi kalau kamu mau sekarang ya tidak apa-apa, semuanya sudah aku tulis, dan aku siapkan dalam amplop-amplop.”

“Bagus sekali Pak, jadi Rizki tidak usah menunggu terlalu lama.”

Pak Hasbi berdiri lalu masuk ke dalam rumah. Rizki menunggu sambil bibirnya cengar cengir menahan rasa senang. Tapi senyuman itu segera hilang ketika mendengar langkah ayahnya yang keluar dengan membawa setumpuk amplop.

“Ini, sudah aku tuliskan semuanya, nama panti dan yayasan yang harus kamu datangi. Serahkan masing-masing amplop sesuai alamat yang bapak tuliskan.”

“Siap Pak, sudah semuanya?”

“Sudah, hati-hati, ini uang yang tidak sedikit, dan harus sampai kepada yang berhak menerimanya.”

“Iya Pak, jangan khawatir,” kata Rizki sambil menggenggam aplop-amplop itu, lalu melangkah pergi.

“Jangan lupa minta tanda terimanya, bapak sering lupa,” pak Hasbi berteriak.

“Beres,” kata Rizki tanpa berhenti. Kalau bisa ia ingin berjalan sambil menari ke arah mobilnya.

“Lama sekali,” gerutu Citra yang menunggu di dalam mobil.

“Ini tidak lama, karena bapak sudah menyiapkan semuanya,” kata Rizki setelah masuk, lalu menjalankan mobilnya.

“Ini amplop-amplop itu?”

“Iya,” jawab Rizki sambil tersenyum iblis.”

“Aku buka ya, aku jadikan satu saja semuanya?”

“Ya, jadikan satu saja.”

***

Tepat ketika Rizki pergi, Dewi datang dengan membawa sepeda motornya. Ia heran melihat mobil pak Hasbi diparkir di luar. Ia juga melihat ada teman wanita di dalam mobil itu sebelum Rizki membawa mobil itu pergi.

Dewi memarkir sepeda motornya, tapi pak Hasbi sudah masuk ke dalam. Ketika Dewi masuk, ia tak melihat sang kakek di ruang tengah, di mana dia biasanya duduk.

“Kakek?” Dewi berteriak, tapi simbok yang menjawabnya.

“Tadi simbok lihat masuk ke dalam kamar. Sudah sejak kemarin Tuan menunggu non Dewi.”

“Iya Mbok, masih ada urusan. Aku ke kamar kakek ya.”

Ketika Dewi memasuki kamar, ia melihat pak Hasbi sedang berbaring. Tapi matanya belum terpejam.

“Dewi? Aku baru saja masuk ke kamar setelah dari pagi duduk di teras,” kata pak Hasbi yang kemudian bangkit.

“Kakek capek ya?”

“Entahlah, dari tadi kepalaku pusing.”

“Lho, kenapa? Kalau begitu Kakek tiduran saja.”

“Tidak apa-apa, ayo kita berbincang di luar,” katanya sambil turun dari ranjang.

“Tadi Rizki pulang? Dewi melihat mobilnya diparkir di luar.”

“Iya, katanya biar cepet. Dia mau mengantarkan uang sumbangan ke panti dan yayasan seperti biasanya.”

“Apa?”

Dewi terkejut. Dia sedang mencurigai Rizki, lalu sekarang Rizki membawa uang banyak yang akan disumbangkan ke panti-panti?

***

Besok lagi ya.

Monday, September 29, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 23

 LANGIT TAK LAGI KELAM  23

(Tien Kumalasari)

 

Arum heran, Dewi berteriak, lalu diam beberapa saat lamanya.

“Jeng, kamu masih di situ? Jeng Dewi?”

“Oh .. iya … mbak, masih … tentu saja masih.”

“Kok kemudian diam, memikirkan apa?”

“Itu Mbak, anak yang ditolong mas Listyo … itu anak sekolahan?”

“Iya, mas Listyo menyuruh saya membawakan baju ganti, bajunya masih seragam sekolah tadi. Ini baru mau saya carikan baju saya yang kekecilan. Soalnya dia kan masih kecil. Nanti kami mau ke rumah sakit mengantarkan baju-baju dan kalau mungkin makanan. Kasihan dia. Sama mas Listyo itu lho, malah tas sekolah dan lain-lain yang punya dia, dibawa ke rumah, nanti aku akan membawanya ke rumah sakit saja. Kalau-kalau dia mencarinya.”

“Tapi dia sudah tidak apa-apa kan?”

“Katanya sudah sadar, tapi masih kelihatan bingung. Jadi mas Listyo bilang belum bisa menemukan siapa dia dan di mana keluarganya.”

“Aku mau bicara sama mas Listyo, bisa?”

“Bisa, tadi baru mandi. Eh … tidak, itu sudah selesai,” kata Arum

“Ya, Dew … kelihatannya kamu tertarik sekali pada gadis kecil yang aku temukan itu,” sahut Listyo

“Ya, karena aku sedang menunggu seorang gadis kecil yang akan mengembalikan rantang kerumah, tapi sampai malam tak kunjung tiba.”

“Oh, Arum cerita tentang rantang? Memangnya kamu yakin bahwa kamu mengenal dia?”

“Gadis itu juga penjual roti.”

“Benarkah dia?”

“Dia berjualan roti sepulang dari sekolah.”

“Kok persis. Dia memang masih mengenakan seragam sekolah. Apa benar dia? Kalau begitu kamu tahu dong di mana orang tuanya? Atau aku yakinkan dulu apa benar dia yang kamu maksud?”

“Aku justru sedang ingin bertemu dia karena ingin menanyakan di mana rumahnya.”

“Lho, ini aneh. Kamu mengenal dia, tapi tidak tahu di mana dia tinggal?”

“Walau hampir yakin, tapi semuanya belum jelas kalau aku belum bertemu dia.”

“Siapa sebenarnya dia?”

“Beberapa bulan yang lalu dia ikut kakek Hasbi. Ayahnya yang seorang tukang tambal ban diminta agar merawat kebunnya, dan anaknya disekolahkan.”

“Berarti dia tinggal di rumah pak Hasbi?”

“Tidak. Beberapa hari yang lalu mereka diusir.”

“Lhoh, bagaimana nih ceritanya. Rumit banget kelihatannya.”

“Begini, aku mau  ikut ke rumah sakit, supaya semuanya menjadi jelas. Sebenarnya Mas Listyo bisa melihat baju seragamnya. Badge yang ada kan bisa menunjukkan dia di sekolah mana?”

“Oh iya, kenapa aku bodoh sekali? Nanti aku lihat. Sampai sekarang dia belum ganti baju, Arum baru aku suruh membawakan baju ganti.”

“Mas mau ke sana sekarang? Nanti aku cerita semuanya. Eh, rumah sakit mana?”

“Rumah Sakit Pusat, dia baru saja  ke ruang rawat, tapi tadi masih bingung, belum bisa mengatakan apa-apa.”

“Iya, baiklah aku menyusul ke sana sebentar lagi, aku bilang sama Satria dulu.”

***

Ketika sampai di rumah sakit, mereka tiba bersamaan. Dewi bersama Satria, dan Listyo bersama Arum. Arum membawa sebuah bungkusan besar, berisi baju-baju yang akan dipakaikan pada Misnah. Arum juga membawa rantang dan barang-barang milik gadis kecil itu, termasuk roti di dalam keranjang, yang sebenarnya disesali Arum, mengapa Listyo membawanya pulang, tidak ditinggalkan saja di rumah sakit, supaya gadis itu mengenali miliknya.

“Itu benar, sepertinya rantang di rumahku. Jadi kalau begitu aku yakin, gadis itu Misnah,” kata Dewi.

“Syukurlah kalau kamu mengenalinya. Ayo masuk,” kata Listyo.

“Syukurlah bertemu di sini, tadi aku lupa bertanya kamar apa nomor berapa,” kata Dewi yang kemudian mengikuti Listyo masuk.

Ketika memasuki ruang rawat Misnah, mereka terkejut karena tak menemukan Misnah di sana.

“Mana dia?”

“Dia bisa berjalan?” tanya Dewi.

“Pastinya bisa, tapi dia kan diinfus?”

“Mungkin ke kamar mandi,” sambung Arum.

Tapi mereka tak menemukan Misnah di sana. Perawat jaga juga terkejut. Ia tidak menemukan Misnah di mana-mana.

“Apa tadi ada yang membezoek dia?”

“Ada, katanya kakaknya.”

“Perempuan atau laki-laki?”

“Perempuan cantik, masih muda kok. Dia bilang kakaknya. Tapi  apa dia mengajaknya pergi. Akan saya tanyakan ke penjaga di depan,” kata perawat yang kemudian kelihatan panik, lalu setengah berlari ke arah depan.

Listyo dan Dewi saling pandang. Mereka heran, apakah Misnah diculik? Tapi kenapa?

“Siapa yang mengaku sebagai kakaknya Misnah?” tanya Dewi.

“Kamu yakin dia Misnah?”

“Hampir yakin,” kata Dewi yang  melihat keranjang roti dan rantang yang dibawa Arum. Dewi tidak lupa kalau rantang itu rantang dari rumahnya.

“Dia punya kakak?” kata Listyo.

“Setahuku tidak, Pak Misdi hanya hidup berdua bersama Misnah, itupun anak angkat.”

Lalu perawat itu mengatakan, kalau tadi ada seorang wanita muda, bersama seorang gadis yang tubuhnya ditutupi Jacket, tapi keningnya di plester, keluar dari halaman rumah sakit sambil berjalan kaki.

“Itu jelas pasien kami. Mohon maaf, ini keteledoran kami, yang mengaku kakaknya itu membungkus tubuhnya dengan jacket,” kata perawat yang kemudian berlari melapor ke kantor.

“Kita harus lapor polisi,” kata Listyo tandas.

***

Pagi hari itu, ketika sarapan, pak Hasbi menegur Rizki karena semalam pulang sangat larut.

“Beberapa hari ini kamu selalu pulang malam, dan yang terakhir tadi malam, kamu pulang sangat larut. Apa yang kamu lakukan?”

“Ini kan mau ujian Pak, saya dan teman-teman sedang diskusi tentang semua mata kuliah, di rumah teman.”

“Kalau memang begitu, mengapa tidak di rumah sini saja. Kalau kamu dan teman-teman kamu berdiskusi di sini, simbok bisa menyediakan minum dan makanan untuk kalian.”

“Tadinya pengin begitu, tapi kasihan simbok, kan setiap habis makan malam, simbok harus pulang?”

“Kalau kamu bilang, simbok pasti akan melakukannya.”

“Iya, lain kali akan saya ajak teman-teman kemari saja.”

“Apa kamu masih berhubungan dengan gadis itu?” tiba-tiba tanya pak Hasbi.

“Gadis yang mana Pak? Rizki punya banyak teman gadis.”

“Yang kamu ajak ke acara pernikahan Dewi itu.”

“O, itu juga hanya teman.”

“Aku melihat kalian ada hubungan yang tak biasa. Kamu kira, karena aku sudah tua lalu tidak bisa melihat hubungan yang biasa atau yang tidak?”

“Kami memang dekat, tapi ya cuma teman kok.”

“Bapak ingatkan kamu, gadis itu bukan gadis baik-baik.”

“Apa maksud Bapak?”

“Dia bukan gadis yang baik. Entah mengapa, bapak ingin mengingatkan kamu, jangan berhubungan terlalu dekat.”

“Tidak baiknya kenapa Pak?”

“Entahlah, Bapak tidak bisa mengatakannya. Tapi naluri bapak mengatakan bahwa dia bukan gadis yang pantas untuk kamu.”

“Bapak ada-ada saja.”

“Bapak serius. Tapi jangan tanya mengapa. Sebuah naluri terkadang tidak bisa digambarkan. Tapi perlu kamu ingat bahwa seorang tua memiliki mata yang tajam dalam menilai seseorang.”

Rizki tak menjawab, asyik menguyah makanannya.

“Sepertinya dia itu senang menguasai. Kalau kamu meneruskan hubungan kamu, kamu akan terus dikuasainya. Kamu harus menjauhi dia.”

Rizki kemudian berpikir. Gadis itu suka menguasai? Apa benar Citra begitu? Nyatanya dia selalu mengatur apa yang harus dilakukannya. Banyak memberi saran ini dan itu. Apakah itu yang dimaksud sang ayah?

“Camkan apa yang dikatakan bapak, sebelum kamu menyesalinya.”

Rizki hanya mengangguk pelan, tapi diam-diam dia memikirkan sikap Citra selama ini. Benarkah dirinya sudah dikuasai Citra, dan dia tak pernah mampu menolaknya?

***

Simbok menyajikan cemilan ke teras, ketika melihat pak Hasbi duduk sambil melamun di sana.

“Tuan, ini ceriping pisang yang simbok buat sendiri. Manis dan legit,” kata simbok.

“Iya, taruh saja di situ.”

“Saya akan menyiram tanaman dulu, kemarin belum sempat menyiramnya.”

“Terserah kamu saja,” kata pak Hasbi tak acuh.

“Kamu ingat nggak Mbok, bukankah Dewi berjanji akan datang setiap hari?” lanjut pak Hasbi tiba-tiba yang membuat simbok berhenti melangkah.

“O, itu simbok juga mendengarnya, tapi mungkin non Dewi sedang sibuk dan belum sempat melakukannya.”

“Sudah dua hari sejak dia mengatakannya. Tapi aku bisa mengerti, dia kan punya suami. Mungkin juga suaminya tidak mengijinkan.”

“Saya kira bukan karena itu. Suami non Dewi orangnya sangat baik. Dia juga perhatian pada Tuan, kan?”

“Iya juga sih.”

“Tuan tunggu saja, siapa tahu hari ini non Dewi datang. Nanti kalau dia datang pasti mengatakan, maaf Kek, kemarin ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan, begitu tuan,” kata simbok, terdengar seperti sedang menghibur anak kecil yang sedang rewel.

“Tidak apa-apa, aku bisa memaklumi.”

“Tiba-tiba ada dua orang anak yang berdiri di depan pagar. Kelihatannya mau masuk, tapi ragu-ragu.

“Siapa anak kecil itu?”

“Nggak tahu, Tuan, coba saya tanya dia,” kata simbok yang kemudian bergegas mendekati anak-anak itu.

“Mau mencari siapa, cah ayu?” tanya simbok ramah.

“Misnah ada?”

“Misnah, tidak ada. Kamu temannya?”

“Teman sekolahnya. Apa Misnah sakit?”

“Lhoh, saya tidak tahu, Nak. Misnah sekarang tidak ada di sini.”

“O, tidak ada di sini?”

“Iya. Memangnya ada apa mencari Misnah?”

“Hari ini tidak masuk tanpa ijin. Bu Guru meminta kami menengoknya, barangkali dia sakit.”

“O, tidak masuk ya? Sayangnya Misnah sekarang tidak tinggal di sini, jadi entah ada apa ya, sampai dia tidak masuk.”

“Sekarang Misnah tinggal di mana?” kata anak satunya.

“Waduh, aku juga tidak tahu Nak, entah dia sekarang tinggal di mana,” jawab simbok yang juga kebingungan.

“Ya sudah, kami pamit dulu Bu,” kata kedua gadis kecil itu sambil pergi dengan bergandengan tangan.

“Owalah, ada apa anak itu sampai tidak masuk sekolah?”

“Ada apa Mbok?” tanya tuan Hasbi setelah melihat kedua anak itu pergi.

“Mereka teman Misnah. Teman sekolah,” jawab simbok sambil mendekat.

“Mau apa mereka?”

“Mau ketemu Misnah, dan menanyakan apa Misnah sakit, soalnya hari ini tidak masuk tanpa pamit.”

“Mengapa mencari kemari?”

“Mereka kan tidak tahu kalau Misnah sudah pergi, Tuan, jadi mereka masih menganggap kalau Misnah ada di sini.”

Tuan Hasbi terdiam.

Ia kembali menyesali apa yang menurutnya diperbuat Misnah.

“Anak baik, anak pintar, mengapa mencuri?” gumamnya pelan, tapi simbok tidak mendengarnya, karena kemudian sibuk menyalakan kran air untuk menyiram tanaman.

***

Teman-teman sekolahnya juga menanyakan kepada perusahaan roti, di mana Misnah selalu mengambil dagangan setiap pulang sekolah.

Tapi pekerja di sana juga heran, kemarin siang dia mengambil dagangan, tapi sampai sekarang belum muncul. Biasanya dia menyetor sore hari, atau mengembalikan dagangannya kalau ada yang tidak laku.

“Kemarin juga ada laki-laki setengah tua yang menanyakan Misnah. Katanya dia adalah ayahnya. Kasihan, dia tampak sedih,” lanjut pekerja perusahaan roti itu.

Teman-teman Misnah sudah ribut, berita hilangnya Misnah segera tersebar.

Misnah pintar dan baik hati. Dia disukai para guru dan teman-temannya. Karena itulah ketika dia tidak masuk sehari saja maka segera wali kelas meminta teman Misnah yang sering jalan bersama untuk menanyakan keadaannya.

***

Pak Misdi merasa tubuhnya sangat lelah, jiwanya apa lagi. Hilangnya Misnah melebihi kesedihannya ketika tak berhasil menemukan anaknya yang ketika masih bayi dibawa oleh istrinya.

Nasib anak kandungnya diperkirakan sudah lebih baik kalau saja ada di sebuah panti asuhan atau dipungut oleh seseorang. Tapi Misnah? Bagaimana nasibnya? Apa yang terjadi sehingga tak pulang?

“Apa yang terjadi pada anakku? Kenapa kamu tidak pulang Nduk? Biasanya kamu tidak begini. Kamu tahu Nduk, bapakmu sangat sedih kehilanganmu. Bapak tak bisa hidup tanpa kamu Misnah. Kalau terjadi sesuatu atas kamu, entah apa yang akan bapak lakukan? Bapak bertahan hidup karena kamu. Gadis pintar yang penuh kasih sayang, yang mewarnai hidup bapakmu ini dengan kehidupan yang tentram walau miskin tak punya harta.”

Ia terus berjalan melewati hari dan malam, sambil air matanya bercucuran.  Entah sampai di mana kakinya melangkah, ia tak tahu lagi. Ia tak tahu apakah hari sudah malam, ataukah masih pagi. Langit tampak selalu gelap dan kelam. Ia juga lupa lapar dan minum, lalu ambruk di sebuah rerumputan yang gersang karena hujan lama tak datang.

***

Besok lagi ya.

Saturday, September 27, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 22

 LANGIT TAK LAGI KELAM  22

(Tien Kumalasari)

 

Pengendara mobil itu terbahak, mentertawakan Misnah yang sedang menangis sambil ngelesot di jalan.

“Ada apa kamu ini? Sedih ya, hidup sengsara di jalanan?” ejeknya sambil masih tertawa-tawa.

“Melihat tampang laki-laki itu, membuat Misnah melupakan kesedihannya. Kemarahannya memuncak. Ia harus punya kesempatan untuk memaki-makinya.

“Kamu? Anak orang kaya yang jahat itu mentertawakan kehidupanku? Aku justru tertawa melihat kamu. Kamu kaya raya, tapi hatimu buruk dan busuk. Kamu fitnah aku dan ayahku, tapi sebenarnya penjahatnya adalah kamu. Ya kan?”

“Apa maksudmu? Kamu dan ayahmu itu memang pencuri, ya sudah terima saja, kan sudah terbukti kalau kamu memang pencuri?”

“Aku dan ayahku diam karena mengingat kebaikan tuan Hasbi, tapi aku tahu apa yang kamu lakukan! Kamulah pencuri yang sebenarnya!”

“Jangan sembarangan ngomong, aku tampar mulutmu yang lancang itu.”

“Oh ya? Tampar saja, biar semua orang melihatnya, biar polisi melihatnya lalu menjadikan perkara ini dibawa ke kantor polisi, dan aku akan mengatakan semuanya.”

Laki-laki yang memang Rizki adanya turun dari mobil. Ia siap menghajar gadis kecil yang dianggapnya lancang itu.

“Aku pernah melihat kamu membuka almari tuan, apakah aku harus mengatakannya kepada tuan, supaya kamu yang diusir olehnya?”

“Omong kosong!!”

“Ayo, tampar aku, memangnya aku takut? Orang jahat seperti kamu ini tidak harus ditakuti. Aku sudah tahu semuanya. Bisa saja aku menemui tuan Hasbi dan mengatakan apa yang pernah aku lihat. Tapi ayahku yang jujur dan baik hati melarangnya. Biarlah Allah yang menghukum kamu atas perbuatan kejam kamu.”

“Dasar bodoh! Karena kamu takut hidup sengsara di jalanan maka kamu mengarang cerita yang bukan-bukan!”

“Aku tidak takut hidup sengsara di jalanan, karena hatiku lebih nyaman. Tapi kamu yang menyimpan kejahatan di dalam hidup kamu, tak akan bisa tenteram seumur hidup kamu,” kata Misnah yang kemudian melangkah pergi, meninggalkan Rizki yang masih berdiri sambil menatapnya geram.

“Anak kecil kebanyakan bicara, biar aku habisi saja dia,” geramnya sambil masuk ke dalam mobilnya, lalu menjalankannya berbalik arah, mengikuti ke mana Misnah melangkah.

Tanpa belas, kemudian Rizki menyerempet tubuh Misnah sehingga terpental dan jatuh menimpa tanah keras yang dipijaknya.

Misnah menjerit kesakitan, dan mobil Rizki melaju tanpa belas.

Misnah menatap mobil yang menyerempetnya, matanya berkilat menahan amarah.

"Penjahat itu berusaha mencelakai aku. Dia ingin membunuhku rupanya,” kata Misnah yang menahan sakit di tubuhnya, dan darah memenuhi wajahnya karena keningnya menimpa batu.

Ia ingin berdiri, tapi badannya terasa sakit semua. Ada seseorang yang kemudian membantunya berdiri. Orang itu baru turun dari mobil dan melihatnya tergeletak di tepi jalan.

“Aku bawa kamu ke rumah sakit, kamu terluka parah, kamu kenapa sebenarnya?”

“Diserempet mobil.”

“Ayo ke rumah sakit, kamu terluka parah.”

“Tidak usah … tidak usah,” kata Misnah yang tidak membawa uang sepeserpun karena uang yang di dalam dompet di larikan pencopet.

“Ini rotinya berantakan, kamu menjual roti?” kata orang itu yang kemudian memasukkan roti-roti yang terserak, ke dalam keranjangnya.

“Ya. Biarkan saja, terima kasih.”

“Ini rantangnya juga terlempar ke mana-mana. Untunglah nggak ada isinya.”

“Terima kasih, biar saya melanjutkan perjalanan saya.”

“Mana bisa Nak, kamu terluka. Tuh, kamu jalan juga terpincang-pincang.”

“Tidak apa-apa. Tidak apa-apa.”

“Jangan bandel, kamu harus ke rumah sakit, kelihatannya pelipismu robek.”

“Tidak apa-apa, terima kasih,” kata Misnah menghindar.

“Saya akan mengembalikan … ini dulu,” lanjutnya sambil menunjuk ke arah rantang yang dimasukkannya ke dalam keranjang, lalu tiba-tiba Misnah merasa lemas dan ambruk ke tanah.

Penolong itu terkejut, mau tak mau ia harus menggendong gadis kecil itu dan membawanya ke arah mobilnya. Setelah memungut tas, keranjang dan rantang yang tadinya dibawa gadis itu, ia segera melarikannya ke rumah sakit.

***

Sudah sangat siang ketika Dewi menunggu gadis bernama Misnah yang katanya akan mengembalikan rantang. Ia bahkan duduk di teras depan dengan ditemani kedua abdi setianya.

“Kok belum datang ya Mbok.”

“Katanya mau mengembalikan rantang. Kok nggak datang, padahal aku juga mau beli rotinya, gantian, soalnya kemarin yang memborong sudah yu Manis,” kata mbok Randu.

“Mungkin masih muter menjajakan dagangannya,” sahut mbok Manis.

“Ini sudah sore, masa sih masih menjajakan dagangannya?” sahut Dewi yang sepertinya juga kecewa.

“Apakah dia bohong?”

“Hanya rantang plastik saja. Bukankah kemarin sampeyan juga bilang kalau tidak dikembalikan juga tidak apa-apa?”

“Iya sih, tapi kalau dia baik pasti dikembalikan.”

Tiba-tiba ponsel Dewi berdering.

“Ya, mbak Arum?”

Ternyata telpon dari Arum, istri Listyo.

“Apa mas Listyo mampir ke situ?”

“Tidak tuh? Memangnya ngomong kalau mau mampir?”

“Tidak sih, tapi waktu mau pulang kan nanya, aku mau nitip apa, katanya dia sudah dalam perjalanan pulang. Tapi sudah dua jam lebih belum sampai rumah tuh.”

“Ya ampun, mampir ke mana ya? Ditelpon saja Mbak.”

“Sudah, ponselnya nggak aktif. Itu sebabnya aku menelpon jeng Dewi.”

“Nggak mampir kok. Mungkin ke mana dulu, begitu. Tapi nanti kalau dia mampir beneran, aku kabarin mbak Arum.”

Ponsel ditutup dengan perasaan heran. Tak biasanya Listyo telat pulang ke rumah. Pasti ada sesuatu yang terjadi, pikir Dewi.

“Ke mana ya mas Listyo? Istrinya sampai kebingungan.”

“Den Listyo sekarang jarang kemari kalau nggak sangat perlu, ya kan Den Ajeng?”

“Benar Mbok, aku kok ya jadi kepikiran. Mikir Misnah, mikir mas Listyo.”

“Saya ke belakang dulu, menyiapkan minuman hangat, sudah saatnya den Satrio pulang.”

“Iya Mbok.”

Dan nyatanya sampai kemudian Satria pulang, yang ditunggu tidak juga muncul.

***

Pak Misdi kebingungan, karena sudah sore Misnah belum juga menyusul ke bengkel kecilnya. Pak Misdi pulang dengan perasaan khawatir, tapi tentu saja ia tak menemukan Misnah di sana. Dengan panik pak Misdi mencari ke perusahaan roti tempat Misnah selalu mengambil dagangannya. Tapi ia juga mendapat jawaban yang membuatnya semakin panik. Misnah belum datang menyetor atau mengembalikan dagangannya barangkali ada yang tersisa.

“Ke mana ya anak itu? Tak biasanya sampai sore begini. Biasanya dia pulang sebelum sore, karena punya kewajiban belajar."

Kalang kabut pak Misdi menyusuri jalanan, yang kira-kira dilalui oleh Misnah dalam menjajakan dagangannya.

Hari sudah gelap ketika itu. Pak Misdi menemukan sebuah mushala, kemudian bershalat di sana, sambil menangis.

“Ya Allah, tunjukkanlah ke mana perginya Misnah, dan apa yang terjadi?”  

Dengan berlinangan air mata pak Misdi menyusuri jalan, berharap menemukan Misnah yang tak diketahui kemana perginya dan apa yang terjadi.

***

Sementara itu di rumah sakit Misnah masih dirawat. Penolong itu adalah Listyo yang kebetulan melihat Misnah saat terkulai di tepi jalan.

Ia meraba ponselnya untuk mengabari istrinya tentang apa yang dialaminya, tapi rupanya ponselnya mati. Ia lupa ngecas sehingga tak bisa menghubungi siapapun. Tapi rasa belas kasih yang dimilikinya, membuatnya kemudian mengurus gadis kecil yang terluka ke rumah sakit, dan bertanggung jawab atas semua biayanya.

Misnah belum sadar ketika itu. Listyo membuka tas sekolahnya, tapi tidak menemukan apa-apa di dalam tas itu. Misnah punya kartu pelajar, tapi ada di dalam dompet yang dicopet orang.

Karenanya sampai sore Listyo belum menemukan jalan untuk mengabari keluarganya.

Luka yang di derita Misnah agak parah. Ia mengalami gegar otak ringan dan dahinya perlu dijahit. Karenanya ia perlu dirawat.

Ia belum bisa meninggalkan gadis yang ditolongnya sebelum gadis itu siuman dan bisa mengatakan dimana keluarganya.

Kemudian atas bantuan petugas rumah sakit itu ia bisa mengisi batery ponselnya.

***

Dewi sedang berbincang dengan suaminya malam itu, dan membicarakan tentang Misnah yang jualan roti, dan ingin sekali ditemuinya.

“Kamu tetap mencurigai Rizki yang melakukan pencurian itu?”

“Tampaknya begitu. Dari mas Listyo aku kemudian menyadari bahwa Rizki tidak benar-benar menyayangi kakek seperti kakek menyayanginya. Agak menyesal aku, karena yang mengusulkan agar kakek mengadopsi Rizki itu adalah aku. Nyatanya tidak sesuai dengan keinginan kakek, yang berharap punya teman di kesehariannya.”

“Kamu tahu di mana pak Misdi mangkal?”

“Belum tahu, kata simbok sudah tidak di dekat rumah kakek lagi. Pastinya sungkan, atau juga nggak suka berada di sana.”

“Kata mbok Manis, Misnah berjualan setelah pulang sekolah.”

“Iya, dia masih memakai seragam sekolahnya ketika berjualan itu.”

“Kalau begitu dilihat saja seragamnya, kan ada badge yang tertempel, yang menunjukkan asal sekolahnya?”

“O iya, pasti bisa, tapi nanti kalau ketemu, sedangkan seharian aku menunggu dia tidak datang, sementara simbok-simbok bilang katanya dia akan datang mengembalikan rantang. Tapi bagus sekali Sat, hanya saja kalau ketemu kan tidak usah melihat baju seragamnya. Bisa bertanya langsung kan?”

“Semoga besok kamu bisa bertemu dia. Bukankah kebenaran harus benar-benar terkuak?”

“Iya Sat, kasihan kalau memang pak Misdi dan Misnah tidak bersalah.”

Tiba-tiba ponsel Dewi berdering. Rupanya Arum menelpon lagi.

“Ya Mbak? Mas Listyo belum ketemu?”

“Sudah, ya ampun, ternyata mas Listyo menolong orang kecelakaan di jalan.”

“Menolong orang?”

“Ada gadis kecil keserempet mobil, tampaknya si pengendara mobil tidak bertanggung jawab. Gadis itu tergeletak di tepi jalan, lalu mas Listyo yang kebetulan lewat menolongnya, membawanya ke rumah sakit.”

“Ya ampun. Tapi nggak apa-apa kan?”

“Tadi masih belum siuman, jadi mas Listyo belum bisa meninggalkannya.”

“Tidak menghubungi keluarganya?”

“Tidak ada identitas yang bisa menunjukkan siapa dia dan di mana rumahnya.”

“Keluarganya pasti bingung dong.”

“Tentu saja. Nggak tahu tuh, bagaimana nanti mas Listyo. Semoga saja semuanya baik-baik saja.”

“Aamiin.”

“Aku cuma mengabari, supaya jeng Dewi tidak bingung, soalnya tadi aku telpon kemari.”

“Iya, sempat kepikiran juga. Syukurlah kalau sudah jelas keberadaannya.”

“Baik, nanti aku kabari lagi.”

“Ada apa? Mbak Arum ya yang menelpon?”

“Tadi siang mbak Arum kan bingung, mas Listyo belum pulang padahal sudah mengatakan kalau mau pulang. Dikiranya mampir kemari, padahal tidak. Ini tadi mengabari bahwa mas Listyo belum pulang karena menolong orang kecelakaan di jalan.”

“Waduh, bagaimana keadaannya?”

“Belum tahu, waktu menelpon tadi katanya belum siuman. Orang tuanya belum tahu, nggak ada identitas yang dibawa korban.”

Tapi tak lama kemudian ponsel Dewi berdering lagi.

“Mbak Arum, ada apa lagi?”

“Mas Listyo baru saja pulang, gadis kecil itu sudah siuman tapi belum bisa ditanya apapun, kelihatannya masih bingung. Tapi sudah dipindahkan ke ruang rawat, mas Listyo yang mengurusnya. Ini dia malah membawa pulang tas sekolah gadis itu, keranjang berisi roti dan ada rantang kosong juga.”

“Apa? Keranjang berisi roti, rantang, tas sekolah?” Dewi berteriak.

***

Besok lagi ya.

 

Friday, September 26, 2025

LANGIT TAK LAGI KELAM 21

 LANGIT TAK LAGI KELAM  21

(Tien Kumalasari)

 

Mbok Manis tersenyum sambil menowel pipi gadis bernama Misnah itu.

“Namanya cantik. Kamu juga cantik.”

“Terima kasih, Bu,” jawab Misnah tersipu.

“Panggil aku simbok, jangan ‘bu’."

“Aku juga simbok,” sambung mbok Randu.

Misnah teringat pembantu tuan Hasbi yang dia tidak pernah tahu namanya kecuali simbok. Pada awalnya dipanggil bu, dia juga menolak. Apakah kedua simbok ini juga pembantu maka tak mau dipanggil ibu?

“Kami ini pembantu di rumah ini, biasa dipanggil simbok. Ini Mbok Randu, aku sendiri mbok Manis.”

“Nah, betul kan, apa semua pembantu tak mau dipanggil ibu? Memang beda, simbok sama sibu?” kata batin Misnah yang merasa senang karena roti dagangannya laku banyak di rumah itu.

“Kamu ini baru pulang dari sekolah ya?”

“Iya, mbok.”

“Ya ampun, apa tidak capek?”

“Saya pulang, langsung ambil roti buatan perusahaan roti dekat sekolah, untuk membantu menjualkan. Nanti saya mendapat upah untuk bayar sekolah,” katanya sambil mengemasi sisa dagangannya.

“Owalah, kasihan nduk, orang tuamu di mana?”

“Saya hanya punya ayah.”

“Ayahmu bekerja?”

“Bapak saya tukang tambal ban di dekat pasar sana.”

“Kasihan, saya ambilkan makan ya, kamu pasti belum makan,” kata mbok Randu sambil berdiri.

“Tidak usah Mbok, saya langsung jalan saja.”

“Jangan menolak, kamu pasti belum makan,” sambung mbok Manis.

“Tapi ….”

“Sama ambilkan minum, taruh di botol bekas sirup,” teriak mbok Manis kepada sahabatnya.

“Ya ampun, saya hanya tukang jualan, mengapa harus dikasih makan?”

“Makan itu rejeki. Kamu tidak boleh menolaknya.”

Misnah mengangguk, dan tak terasa air mata sudah tergenang dipelupuknya. Banyak orang baik di dunia ini, mengapa ada orang sejahat Rizki? Ia dan ayahnya teraniaya, bukan karena tak diberi makan dan minum, tapi karena dituduh mencuri. Sakit hati Misnah, dan tentunya juga pak Misdi, ayahnya.

Ketika kemudian mereka mendapat rumah sewa yang boleh dibayar belakangan, pak Misdi langsung mengambil alat-alat bengkel yang masih dititipkan di warung. Ia mencari tempat yang dirasa baik, yaitu di dekat pasar, dibawah pohon asam yang sangat rindang. Misnah yang tak ingin berhenti sekolah, kemudian mencari pekerjaan seusai sekolah, dan kebetulan ada perusahaan roti yang mau mempekerjakannya sepulang sekolah. Sudah seminggu mereka menjalani kehidupan baru, selepas dari rumah pak Hasbi. Misnah menabung hasilnya berdagang roti, sedikit demi sedikit. Pak Misdi sudah melarangnya, karena kasihan kepada Misnah yang pastinya capek setelah sekolah lalu menjajakan roti. Tapi Misnah tetap pada pendiriannya. Tak banyak roti yang dibawanya, mengingat sore harinya dia sudah harus belajar agar bisa mengikuti semua pelajaran sekolahnya.

Setelah roti habis terjual, dia menyusul ayahnya ke bengkel. Biasanya sang ayah sudah menyediakan nasi untuk dimakan berdua. Nasi seadanya yang dibelinya dipasar.

“Ini, makanlah dulu,” tiba-tiba mbok Randu mengejutkannya.

“Ini … saya bawa pulang saja, nanti saya makan bersama bapak,” kata Misnah tersipu. Tak tega rasanya makan sendiri, sementara ayahnya entah sudah makan atau belum.

“Lha kalau begitu aku ganti dulu tempatnya,” kata mbok Randu yang membawa nasi dan lauknya ke belakang.

“Saya … mengapa jadi merepotkan,” katanya sendu.

“Tidak apa-apa, kasihan sama kamu yang pulang sekolah langsung bekerja.”

“Saya sudah biasa melakukannya.”

Berulang kali Misnah mengucapkan terima kasih ketika mbok Randu membawa keluar rantang plastik dua susun, bertutup rapat.

“Besok rantangnya saya kembalikan kemari, terima kasih banyak,” kata Misnah dengan suara bergetar.

“Tidak dikembalikan juga tidak apa-apa Misnah, hanya rantang plastik, di sini masih ada beberapa.”

Misnah hanya tersenyum, kemudian berlalu.

Mbok Randu dan mbok Manis menatap langkah gadis kecil itu dengan perasaan terharu. Mbok Manis malah meneteskan air mata, teringat Sinah yang pembangkang dan akhirnya mengalami nasib yang sangat tragis.

“Kalau saja Sinah sebaik itu,” bisiknya.

“Sudah Yu, ndak usah diingat-ingat lagi. Ayo icipin rotinya, sambil menunggu den ajeng Dewi pulang,” kata mbok Randu sambil menepuk bahu sahabatnya.

Baru saja mereka menggigit roti pisang dan memuji enak, Dewi memasuki halaman dengan sepeda motornya.

“Lagi pada ngapain tuh?” sapa Dewi sambil turun dari sepeda motornya, lalu menghampiri keduanya.

“Ini Den Ajeng, yu Manis mborong roti.”

“Mborong roti? Banyak banget.”

“Ini nanti untuk Den Ajeng, lalu yang lain mau dibagi-bagi untuk para abdi yang lain.”

“Waduh, roti pisang kesukaanku Mbok, ayo masuk dulu. Tumben-tumbenan nih, ada acara mborong roti?”

“Ada anak kecil, jualan roti sepulang sekolah, kami merasa kasihan, lalu membeli beberapa bungkus roti dagangannya.”

“Oh ya? Anak itu pasti anak yang rajin dan bersemangat membantu orang tuanya.”

“Katanya hasil berjualan itu untuk biaya sekolahnya.”

“Memangnya dia tak punya orang tua?”

“Orang tuanya hanya ayahnya, pekerjaannya tukang menambal ban.”

Dewi berhenti melangkah.

“Anak tukang tambal ban? Jangan-jangan Misnah,” kata Dewi pelan.

“Benar Den Ajeng, namanya Misnah, kami tadi menanyainya? Kok Den Ajeng tahu?”

“Mana anak itu? Sudah lama perginya?”

“Baru saja Den Ajeng.”

Dewi membalikkan tubuhnya dan berlari ke arah jalan. Ia menoleh ke sana kemari, mencari bayangan penjual roti, tapi ia tak melihatnya. Mungkin sudah berjalan menjauh, atau berbelok di tikungan.

“Ia pasti Misnah, anak pak Misdi. Aduh, ke mana ya dia?”

Dewi memasuki rumah dengan perasaan kecewa.

***

Mbok Manis dan mbok Randu membagikan roti yang mereka beli kepada beberapa abdi lainnya. Rumah Dewi adalah rumah peninggalan dari almarhum kakeknya yang lumayan besar. Beberapa abdi mengurus rumah itu, dari halaman sampai ke dalam rumah, tidak cukup hanya mbok Randu dan mbok Manis yang sudah semakin tua, dan hanya bertugas memasak dan mengurus momongannya bersama suaminya. Mereka ada empat orang, yang mengabdi bertahun-tahun dengan setia. Karena itulah Adisoma dan istrinya merasa tenang putri satu-satunya menghuni rumah itu sejak masih kuliah. Apalagi sekarang ada suami yang menemaninya.

“Kelihatannya den ajeng mengenal Misnah. Tadi dikejarnya sampai ke jalan,” kata mbok Manis.

“Dan seperti sangat ingin bertemu dia. Siapa sebenarnya Misnah?”

“Entahlah, sepertinya sangat penting.”

“Lalu akan dicari ke mana, orang jualan pasti muter entah kemana.”

“Tapi bukankah besok dia akan datang lagi kemari?” kata mbok Manis yang tiba-tiba teringat sesuatu.

“Siapa yang akan datang kemari?” kata Dewi yang sudah keluar dari kamarnya.

“Gadis kecil penjual roti itu, Den Ajeng.”

“Kalian pesan roti lagi?”

“Bukan. Tadi yu Randu memberi makan dengan wadah rantang. Katanya besok dia akan datang untuk mengembalikan rantang itu.”

“Benarkah?”

“Katanya sih begitu. Tapi ya nggak tahu juga, kan hanya rantang plastik, tidak dikembalikan juga tidak apa-apa sebenarnya.”

“Kalau dia memang anak yang jujur, pasti benar-benar kembali kemari,” gumam Dewi.

“Kami kasihan melihatnya. Pulang sekolah langsung berjualan, katanya untuk biaya sekolah,” kata mbok Manis.

“Besok kalau dia datang, beri tahu aku ya. Aku mau ketemu dia.”

“Baiklah, Den Ajeng.”

***

Pak Misdi tersenyum melihat anaknya datang.

“Duduklah dulu Nah, maaf tadi belum sempat beli nasi, habis pekerjaan sedang rame. Tunggu sebentar, keburu lapar ya?”

“Tidak usah Pak, aku sudah membawa nasi.”

“Lhoh, kok tiba-tiba kamu datang membawa rantang?”

“Ini tadi aku jualan di sebuah rumah kuno, dua orang pembantunya membeli daganganku agak banyak, dan tidak cukup dengan itu, dia juga memberi aku makan dan minum. Ketika aku bilang bahwa makanannya akan saya bawa saja, mereka menggantinya dengan rantang. Ini yang bawah nasi, yang di atas lauknya.”

“Alhamdulillah, hari ini banyak rejeki ya Nah, kita bisa nabung untuk membayar sewa rumah dan bayar sekolah kamu.”

“Iya Pak, sekarang ayo kita makan,” kata Misnah yang memang sudah merasa lapar. Ia mengambil piring dan sendok yang selalu dibawanya, karena setiap hari makan siang berdua di tempat mangkal.

“Ini adalah anugrah. Kita terima saja difitnah orang, tapi Allah memberi jalan untuk rejeki kita.”

“Kan Bapak pernah bilang, jangan takut menjadi miskin karena Allah Maha Kaya.”

“Benar, dan diberikanNya kekayaan itu untuk kehidupan kita. Juga untuk umat yang memintanya. Karena itu jangan lupa selalu  mengingatNya. Kamu tidak melupakan shalat walau sedang menjajakan dagangan kamu kan?”

“InsyaaAllah tidak pak, setiap sudah waktunya, Misnah selalu berhenti di masjid atau mushala. Bahkan terkadang di situ ada saja orang yang membeli dagangan Misnah.”

“Alhamdulillah. Anak baik, semoga kelak kamu hidup mulia dan berkecukupan, tidak miskin seperti bapakmu ini.”

“Aamiin. Tapi apapun dan bagaimanapun kehidupan Misnah kelak, Bapak akan selalu bersama Misnah.”

“Kalau kamu sudah bersama suami kamu?”

“Tetap saja Bapak harus bersama Misnah.”

Pak Misdi menatap anaknya dengan perasaan yang mengharu biru. Makan siang kali itu, entah mengapa terasa sangat nikmat. Bukan karena lauknya yang enak, tapi karena rasa ‘menerima’ yang terungkap dari keduanya. Tak ada sesal walau teraniaya, tak ada sesal walau hidup susah, karena percaya ada yang Maha Kaya yang akan selalu memberi, dan itu adalah anugrah. Rasa percaya juga anugrah, bukan?

“Sebentar lagi kita pulang. Kamu harus istirahat dan belajar.”

Misnah mengangguk dan tersenyum. Itu sudah kewajibannya.

***

Malam hari itu pak Hasbi duduk ditemani simbok, di ruang tengah. Rizki belum pulang. Entah mengapa beberapa hari ini Rizki selalu pulang malam.

“Kalau kamu mau pulang, pulang saja Mbok, aku tidak apa-apa.”

“Tidak bisa begitu Tuan, mas Rizki belum pulang, nanti Tuan sendirian.”

“Biasanya aku juga tidak apa-apa sendirian saja.”

“Tapi saat ini Tuan tampak seperti kurang sehat, tidak tega saya membiarkan Tuan sendirian.”

“Kalaupun ada Rizki, paling juga dia langsung masuk ke kamarnya. Aku juga sendirian kan?”

“Tapi suasananya berbeda.”

“Kamu bilang aku kurang sehat?”

“Setidak nya tidak sumringah seperti biasanya.”

“Sebenarnya aku tidak apa-apa. Apa kamu kira aku merasa susah kehilangan uangku yang pastinya lumayan banyak? Tidak. Aku biasa saja.”

“Tapi Tuan memikirkan perginya pak Misdi.”

“Aku hanya kasihan pada dia. Mengapa dia melakukan hal seburuk itu? Padahal kalau dia butuh sesuatu, dia bisa minta padaku. Ya kan?”

“Ya berbeda Tuan. Namanya minta itu kan harus dilandasi keberanian. Berat lho Tuan, bilang minta. Bilang pinjam saja berat.”

“Tapi memilih jalan buruk seperti itu kan tidak benar. Sayang sekali, Misnah masih sangat muda, tapi dididik untuk melakukan dosa.”

Simbok diam saja. Sesungguhnya dia tidak percaya Misnah melakukannya. Simbok lebih cenderung mencurigai Rizki. Entah apa maksudnya, tapi sejak awal Rizki kan tidak suka pada pak Misdi dan anaknya. Simbok tidak tahu kalau Rizkilah yang sering mengambil uang ayahnya. Pada pikiran simbok, Rizki hanya ingin menyingkirkannya. Simbok ingin mengatakannya pada sang tuan, tapi tidak berani.

“Kalau memang butuh uang, mengapa uang gaji juga tidak dibawanya?” kata simbok, mirip bergumam, pada akhirnya 

“Untuk menutupi keburukannya, barangkali. Sudahlah, aku tidak ingin membicarakannya. Kamu pulang saja, nanti anakmu menunggu."

Simbok mendengar mobil masuk ke halaman, berarti Rizki sudah pulang. Karena itulah kemudian simbok segera pamit.

***

Siang hari itu Misnah keluar dari halaman sekolah, memanggul tas sekolahnya di punggung, lalu berjalan ke tempat perusahaan roti untuk mengambil dagangan. Ia juga membawa rantang yang diberikan kedua simbok yang baik hati, yang telah membeli roti dagangannya kelewat banyak.

Dengan keranjang dagangan dia mulai menjajakan dagangannya. Beberapa roti telah terjual, lalu ia menuju rumah kuno yang pembantunya sangat baik hati.

Ketika ada pembeli yang menghentikannya di jalan, Misnah dengan gembira melayaninya. Ia teringat kata-kata ayahnya. Allah Maha Kaya, janganlah takut menjadi miskin. Mintalah maka Allah akan memberi.

Sambil menata lagi dagangannya di keranjang, ia mengambil dompet uangnya untuk dimasukkan ke dalam saku, sebelum melanjutkan langkahnya.

Tapi tiba-tiba seorang pengendara sepeda berhenti, lalu merebut dompet itu dan kabur.

Misnah menjerit keras.

“Tolooong!! Itu … punyakuuu !!”

Tapi tak ada yang menolongnya, karena jalanan tergolong sepi. Pengendara sepeda yang mencopet itu sudah hilang entah kemana. Misnah ambruk di pinggir jalan sambil menangis sesenggukan.

“Ya Allah, bagaimana ini ….”

Tiba-tiba sebuah mobil berhenti. Pengendaranya seorang laki-laki muda.

“Heii!!" teriaknya sambil membuka jendela mobilnya.

Misnah menatapnya, dan matanya menyala bagai menyemburkan api.

***

Besok lagi ya.

LANGIT TAK LAGI KELAM 38

   LANGIT TAK LAGI KELAM  38 (Tien Kumalasari}   Pak Misdi terkejut, ketika Listyo membawanya ke rumah pak Hasbi. “Kok ke sini pak Listyo? T...