LANGIT TAK LAGI KELAM 24
(Tien Kumalasari)
Seakan kasihan kepada bumi yang kerontang, tiba-tiba segumpal awan mengajak teman-temannya berkumpul, lalu menjatuhkan hujan yang sedikit demi sedikit menjadi deras.
Tubuh setengah tua yang lunglai di rumput kering, yang kemudian menjadi basah, bangkit, lalu mengusap wajahnya yang kuyup. Setetes demi setetes membasahi wajah tuanya, sebagian masuk ke dalam mulutnya, membuat tenggorokannya tak lagi kering. Ia bahkan menengadahkan wajahnya, meraup air dengan telapak tangannya dan meneguknya bertubi-tubi.
Tubuh tua itu adalah pak Misdi, yang pingsan kelelahan di pinggir jalan. Tak seorangpun yang lewat memperhatikannya, karena mengira dia hanyalah pengemis yang tertidur di rerumputan.
Pak Misdi duduk bergeming tanpa peduli hujan yang tak kenal belas. Kilat yang menyambar, kemudian diiringi gelegar guntur yang terdengar bagai membelah langit. Tiba-tiba pak Misdi sadar bahwa dia sedang mencari anaknya. Ia langsung berdiri, lalu berjalan tertatih menembus guyuran air yang tercurah dari langit.
“Misnah … Misnah … kamu di mana … Misnah? Aku harus menemukan kamu, apa yang terjadi sehingga kamu pergi begitu saja?” teriaknya keras, berpacu dengan kerosak hujan dan angin yang menderu.
“Ya Allah, kembalikan anakku. Biarlah dia pulang, ya Allah. Bukankah dia selamat tak kurang suatu apa? Dia selamat bukan? Ya Allah, tunjukkan di mana Misnah, di mana dia, ya Allah,” pak Misdi terus berteriak-teriak, sambil menadahkan tangannya ke langit.
Seperti menjawab teriakan pak Misdi, guntur menggelegar mengejutkan pak Misdi, sehingga dia berjalan sempoyongan, lalu terjatuh di pinggir jalan. Sesungguhnya pak Misdi sangat letih. Ia teringat ketika mencari Jarot, ia juga berjalan ke mana-mana, tapi tidak seperti sekarang rasanya. Jiwanya seakan terbang karena kehilangan. Ia masih terduduk di tepi jalan, ketika sebuah mobil melintas. Mobil itu dikendarai oleh seorang wanita cantik, yang kemudian berhenti di dekat pak Misdi. Ia mengambil bungkusan yang ada di samping tempat duduknya, lalu membungkusnya dengan plastik, kemudian dilemparkannya ke arah pak Misdi.
“Pak, hujan sangat deras. Menepilah. Itu ada sedikit makanan.”
Pak Misdi menatap bungkusan plastik itu, lalu mengangkat wajahnya, menatap wanita pengendara mobil yang sedang membuka kaca di sampingnya.
“Itu makanan, masih hangat.”
Pak Misdi bergeming. Matanya yang kosong tak merasakan lapar di perutnya. Tapi wanita pengendara mobil itu merasa iba melihatnya. Ia sama sekali tak menyentuh bungkusan makanan yang tergeletak diantara genangan air hujan.
Tiba-tiba ia turun dan mengambil payung, lalu berjalan mendekati pak Misdi. Ia merasa pernah melihat pak Misdi, tapi lupa di mana. Rasa kasihan menyergapnya, lalu ia memungut makanan yang terjatuh, diletakkan di depan pak Misdi yang bersimpuh dengan pakaian dan tubuh basah.
“Saya baru saja membeli makanan untuk suami saya. Masih ada sisa kok, bapak makan ya?”
Pak Misdi hanya mengangguk, tapi tak menyentuh bungkusan itu.
“Saya hanya makan bersama anak saya,” katanya lirih.
“Kalau begitu bawalah pulang, di dalam mobil masih ada satu, nanti berikan pada anak Bapak,” katanya sambil berbalik ke mobil, lalu mengambil satu lagi bungkusan makanan.
Ia mengambil bungkusan sebelumnya yang terbungkus plastik, lalu memasukkan bungkusan yang satunya, supaya tidak terkena air.
Hujan mulai reda, pak Misdi mengusap wajahnya yang tampak pucat.
“Kok saya pernah melihat wajah Bapak ya, rumah Bapak di mana?”
“Jauh, saya sedang mencari anak saya.”
“Oh, anak … anak perempuan? Sekolah di SMP dekat sebuah gedung pertemuan?”
“Ibu melihatnya?” mata pak Misdi berbinar, mengira wanita di depannya mengetahui di mana Misnah berada.
“Saya pernah melihat Bapak dan anak perempuan di depan sekolah itu. Mungkin Bapak sedang mengantarkan anak Bapak, atau apa waktu itu. Saya ingat, karena Bapak mengambilkan dompet saya yang terjatuh ketika turun dari mobil.”
Wajah pak Misdi kembali muram. Ia memang ingat ketika mengambilkan dompet seorang wanita di depan sekolah Misnah. Ia sedang bersama suaminya, dan seorang pemborong yang kebetulan sedang merenovasi di sekolah Misnah waktu itu. Tapi ia tak begitu memperhatikan pemilik dompet itu. Ia segera berlalu karena saatnya membuka bengkelnya.
Pak Misdi tak menjawab apapun, apalagi hatinya sedang kacau.
“Anak Bapak pergi ke mana? Ini agak jauh dari sekolah anak Bapak.”
“Entahlah, dia pergi sejak berangkat sekolah, sudah dua hari yang lalu. Saya bingung harus mencari ke mana,” katanya sambil berdiri begitu saja, bahkan meninggalkan bungkusan plastik yang diberikan wanita itu.
“Pak … Pak, ini kok nggak dibawa,” katanya sambil mengejar pak Misdi lalu memberikan bungkusan yang tadi ditinggalkan. Ia juga memberikan beberapa lembar uang yang dimasukkan ke dalam saku pak Misdi yang basah kuyup.
“Sebaiknya Bapak pulang dulu, ganti pakaian Bapak dengan yang kering.”
“Saya tidak akan pulang sebelum ketemu Misnah,” dan pak Misdi tetap berjalan menjauhi wanita baik yang memberinya makanan dan sejumlah uang.
“Rumah Bapak di mana? Saya antarkan pulang dulu, nanti mencari lagi.”
Tapi pak Misdi terus saja melangkah pergi. Plastik berisi makanan itu masih digenggamnya.
***
Wanita cantik itu adalah Andira, istri Andra yang usahanya berhasil baik. Ia menjadi pemasok bahan bangunan, dan bekerja sama dengan teman Andira. Hari itu Andira mengantarkan suaminya bertemu temannya karena ada pembicaraan penting. Teman berbincang mereka adalah Satria yang mendapat tugas membangun sebuah gudang di lahan yang baru mereka beli. Karena mereka bicara di lapangan, Andira kemudian pergi membelikan beberapa bungkus makanan, yang kebetulan dua bungkus diantaranya diberikan kepada pak Misdi.
***
Rizki sedang memarahi Citra karena dianggapnya sangat sembrono.
“Kamu bilang kamu taruh di rumah kamu, kenapa ganti di tempat lain?”
“Orang tuaku marah-marah, tidak mau menampung orang sakit, jadi aku titipkan di tempat kost teman SMA ku.”
“Dia mau?”
“Aku beri dia sejumlah uang. Pasti dia mau. Lalu akan kita apakan gadis bau itu?”
“Harus kita singkirkan. Dia tahu terlalu banyak. Dia bisa membuka aibku.”
“Mengapa tidak langsung saja kamu menabraknya sampai mampus?”
“Aku mengira dia sudah tewas, tapi aku melihat ada mobil berhenti dan menolongnya. Itu mobil pak Listyo. Waktu itu dia pingsan, semoga belum sempat mengatakan apapun. Dia membawanya ke rumah sakit. Cerita selanjutnya kamu sudah tahu bukan? Yang bodoh itu kamu, mengapa ketika kamu membawanya tidak langsung kamu lemparkan ke mana gitu, malah kamu bawa pulang, toh akhirnya kamu pindahkan ke tempat lain.”
“Aku tidak mau bertindak sebelum kamu tahu. Sekarang ayo kita lakukan bersama-sama.”
“Jadi sekarang kita ke rumah teman kamu itu?”
“Iya, itu tempat kos-kosan. Ibunya yang punya.”
“Baiklah, aku sudah tahu tempat yang bagus untuk membuang dia. Tak mungkin dia bisa pulang lagi. Tapi nanti mampir ke rumah sebentar, ada yang harus aku kerjakan.”
“Apa tuh?”
“Ini uang, masalah uang.”
“Kamu mau mencuri di siang bolong begini? Apakah ayahmu pergi?”
“Tidak, kamu tenang saja, nanti menunggu aku di mobil. Aku tidak akan membawa masuk mobilku.”
“Sebenarnya kamu mau apa? Mengapa tidak segera kita habisi saja bocah tengil itu?”
“Sabar, ini juga penting. Tenang saja, aku tidak akan lama.”
***
Dewi mau berangkat ke rumah pak Hasbi untuk memenuhi janjinya yang tertunda beberapa hari. Mbok Manis mengantarkannya sampai ke depan.
“Den Ajeng mau ke rumah tuan Hasbi sekarang?”
“Iya Mbok, aku sudah berjanji sejak beberapa hari yang lalu, untuk menemaninya. Sejak pak Misdi dan Misnah diusir, kakek tampak sangat sedih.”
“Diusir sendiri, mengapa jadi sedih ya?”
“Kakek sebenarnya menyayangi mereka, tapi kakek tidak suka karena menganggap pak Misdi melakukan perbuatan tercela. Itu membuatnya sedih.”
“Tapi Den Ajeng bilang, belum tentu pak Misdi dan Misnah melakukannya.”
“Benar, tapi itu kan harus dibuktikan, seperti ketika kakek menemukan bukti uangnya ada di kamar pak Hasbi. Jadi harus ada cara yang bisa ditunjukkan kepada kakek bahwa tuduhannya hanyalah fitnah dari orang lain.”
“Lalu kabarnya Misnah bagaimana ya Den Ajeng? Apa benar dia diculik? Padahal anak kecil, apa salah dia, coba?”
“Masalah ini sudah ditangani yang berwajib. Semoga semuanya segera terkuak, Misnah segera bisa ditemukan.”
“Kasihan anak itu, jangan sampai dia dicelakai.”
“Doakan dia selamat ya Mbok.”
“Iya Den Ajeng.”
“Sekarang aku berangkat dulu, takutnya kakek mengira aku berbohong.”
***
Pak Hasbi sedang duduk sendiri di teras rumah. Menatap halaman yang di beberapa tempat sudah menjadi taman bunga yang asri. Ia juga melihat beberapa pohon mawar yang bunganya bermekaran. Itu bunga kesukaan Bening, almarhumah cucunya. Kesedihan melintasi benaknya. Bukan hanya mengingat Bening, tapi mengingat orang yang telah menata taman kecil itu menjadi sebuah taman yang asri.
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan pak Misdi? Bukankah kehidupan di sini sudah membuat kamu dan anakmu berkecukupan? Makan tiga kali sehari, kebutuhan terpenuhi. Malah gaji kamu biarkan utuh, apa kamu kira itu akan membuatku percaya bahwa kamu sebenarnya tak butuh uang? Entah apa maksudmu, dengan meninggalkan dua bulan gajimu itu,” kata pak Hasbi dalam hati.
Ia ingin masuk ke dalam rumah ketika kepalanya terasa berdenyut. Tapi tiba-tiba ia melihat mobilnya sendiri, berhenti di luar pagar, lalu Rizki turun dari dalamnya.
“Kebetulan Bapak ada di depan.”
"Mengapa mobilnya tidak kamu bawa masuk?”
“Rizki mau pergi lagi, nanti kelamaan kalau harus masuk ke halaman.”
“Mau apa kamu?”
“Pak, kebetulan Rizki sedang punya banyak waktu. Bapak biasanya menyumbang ke panti-panti dan yayasan itu kan? Bagaimana kalau sekarang saja?”
“O, iya. Sudah saatnya, harusnya dua atau tiga hari lagi, tapi kalau kamu mau sekarang ya tidak apa-apa, semuanya sudah aku tulis, dan aku siapkan dalam amplop-amplop.”
“Bagus sekali Pak, jadi Rizki tidak usah menunggu terlalu lama.”
Pak Hasbi berdiri lalu masuk ke dalam rumah. Rizki menunggu sambil bibirnya cengar cengir menahan rasa senang. Tapi senyuman itu segera hilang ketika mendengar langkah ayahnya yang keluar dengan membawa setumpuk amplop.
“Ini, sudah aku tuliskan semuanya, nama panti dan yayasan yang harus kamu datangi. Serahkan masing-masing amplop sesuai alamat yang bapak tuliskan.”
“Siap Pak, sudah semuanya?”
“Sudah, hati-hati, ini uang yang tidak sedikit, dan harus sampai kepada yang berhak menerimanya.”
“Iya Pak, jangan khawatir,” kata Rizki sambil menggenggam aplop-amplop itu, lalu melangkah pergi.
“Jangan lupa minta tanda terimanya, bapak sering lupa,” pak Hasbi berteriak.
“Beres,” kata Rizki tanpa berhenti. Kalau bisa ia ingin berjalan sambil menari ke arah mobilnya.
“Lama sekali,” gerutu Citra yang menunggu di dalam mobil.
“Ini tidak lama, karena bapak sudah menyiapkan semuanya,” kata Rizki setelah masuk, lalu menjalankan mobilnya.
“Ini amplop-amplop itu?”
“Iya,” jawab Rizki sambil tersenyum iblis.”
“Aku buka ya, aku jadikan satu saja semuanya?”
“Ya, jadikan satu saja.”
***
Tepat ketika Rizki pergi, Dewi datang dengan membawa sepeda motornya. Ia heran melihat mobil pak Hasbi diparkir di luar. Ia juga melihat ada teman wanita di dalam mobil itu sebelum Rizki membawa mobil itu pergi.
Dewi memarkir sepeda motornya, tapi pak Hasbi sudah masuk ke dalam. Ketika Dewi masuk, ia tak melihat sang kakek di ruang tengah, di mana dia biasanya duduk.
“Kakek?” Dewi berteriak, tapi simbok yang menjawabnya.
“Tadi simbok lihat masuk ke dalam kamar. Sudah sejak kemarin Tuan menunggu non Dewi.”
“Iya Mbok, masih ada urusan. Aku ke kamar kakek ya.”
Ketika Dewi memasuki kamar, ia melihat pak Hasbi sedang berbaring. Tapi matanya belum terpejam.
“Dewi? Aku baru saja masuk ke kamar setelah dari pagi duduk di teras,” kata pak Hasbi yang kemudian bangkit.
“Kakek capek ya?”
“Entahlah, dari tadi kepalaku pusing.”
“Lho, kenapa? Kalau begitu Kakek tiduran saja.”
“Tidak apa-apa, ayo kita berbincang di luar,” katanya sambil turun dari ranjang.
“Tadi Rizki pulang? Dewi melihat mobilnya diparkir di luar.”
“Iya, katanya biar cepet. Dia mau mengantarkan uang sumbangan ke panti dan yayasan seperti biasanya.”
“Apa?”
Dewi terkejut. Dia sedang mencurigai Rizki, lalu sekarang Rizki membawa uang banyak yang akan disumbangkan ke panti-panti?
***
Besok lagi ya.