Tuesday, August 19, 2025

MAWAR HITAM 44

 MAWAR HITAM  44

(Tien Kumalasari)

 

Resepsionis berteriak, tapi pak Hasbi tak menggubrisnya. Dia terus masuk, dan bertanya kepada seseorang yang ditemuinya.

“Mas .. mas, mau nanya, di mana ya ruang pendaftaran ?”

“Pendaftaran apa Pak?”

“Pendaftaran ulang, maksud saya begini, cucu saya, Bening, sudah lama tidak masuk kuliah, setahunan lebih atau apa, saya lupa, tapi dia ingin kembali kuliah. Harus daftar ulang kan? Di mana kantornya?”

“Oh .. diruangan itu Pak, Bapak terus saja, lalu sebelah kiri ada …. eh, Bapak tadi bilang siapa? Bening?” tiba-tiba anak muda itu teringat sesuatu tentang nama yang disebut pak Hasbi.

“Iya, Bening. Kurang jelas ya, aku ngomongnya?”

“Jelas Pak, tapi saya agak kaget, bukankah Bening sudah_”

“Sudah lama tidak kuliah, tapi dia ingin kuliah lagi,” potong pak Hasbi menahan rasa kesal.

“Tapi Pak, Bening … Bening … “

“Ada apa sampeyan manggilin nama cucuku, pertanyaannya apa … jawabnya apa …”

“Maaf Pak, tapi kalau boleh saya ngomong … saya mendengar kalau Bening itu … mm … memang banyak yang tidak tahu sih … tapi …eh .. maaf ya Pak, katanya  … Bening itu sudah meninggal?”

“Omong apa sampeyan itu. Bening baru sejam yang lalu masuk kemari karena ingin masuk kuliah lagi, kok sampeyan mendoakan yang buruk untuk cucuku?” pak Hasbi marah sekali. Ia meninggalkan orang tersebut yang sebenarnya dulu teman kuliah Bening dan tahu kalau Bening sudah meninggal. Tapi karena tidak ada pemberitahuan resmi ke kampus, jadi tidak semua orang mengtahuinya.

Ia menatap laki-laki tua itu dengan heran, dan kemudian mengikutinya diam-diam, karena dia juga heran mendengar Bening datang ke kampus itu. Apa berita yang didengarnya itu salah?

Pak Hasbi masuk ke sebuah kantor, dia tidak tahu itu kantor urusan apa, pokoknya masuk saja.

“Ada yang bisa dibantu, Pak?” tanya seseorang yang pastinya petugas di kantor itu.

“Saya mencari cucu saya. Dia sedang mengurus pendaftaran kembali karena lama tidak masuk kuliah. Saya menunggu lama sekali, tapi dia tidak keluar juga. Apa bukan di sini ya, urusannya?”

“Dari tadi tidak ada yang mengurus pendaftaran kembali. Siapa nama cucu Bapak?”

“Bening. Memang di sini bukan tempat pendaftaran kembali itu?”

“Bening? Itu mahasiswa yang sudah lama tidak masuk kuliah, saya tidak tahu urusannya bagaimana, mungkin sudah dikeluarkan, atau apa.”

“Apa maksud Bapak? Cucu saya datang kemari karena ingin kuliah lagi. Ke mana lagi dia? Tadi ke sini kan?”

“Tidak ada. Tidak ada yang namanya Bening datang kemari.”

“Mungkin sedang membayar, langsung membayar biar cepat beres urusannya. Di mana kalau harus membayar uang kuliah atau tunggakan yang belum dibayar? Saya akan melunasinya. Bening sudah saya beri uang yang banyak. Apa masih kurang ya?” kata pak Hasbi seperti kepada dirinya sendiri, lalu membalikkan tubuhnya, mencari ke tempat lain.

“Keterlaluan anak itu. Kalau urusan administrasi terlalu lama begini, kan bisa dilanjutkan esok harinya? Kelamaan di sini bikin pusing,” gumamnya sambil berjalan dan menoleh ke kiri dan ke kanan, sementara mahasiswa yang ditanyainya untuk pertama kali, ketika melihat pak Hasbi membalikkan tubuhnya, lalu bersembunyi di balik tiang, pura-pura sedang membuka-buka buku.

Pak Hasbi lewat, tapi ternyata dia melihat anak muda yang sedang membuka-buka buku itu.

“Nak, di mana ruang … apa itu namanya … kasir … atau apa, yang kalau ingin membayar kuliah harus ke situ?”

Anak muda itu terkejut. Ia mengira cucunya membayar uang kuliah? Dirinya yang sedang bermimpi, atau pak tua itu yang linglung?

“Hei, aku sedang bicara sama sampeyan!”

“Oh … maaf Pak, saya sedang menghafalkan pelajaran,” jawab anak muda itu sekenanya.

“Di mana tempatnya? Ruang atau loket pembayaran kuliah?” kata pak Hasbi dengan nada tinggi.

“Di sana Pak … agak ke belakang, bapak terus saja, lalu belok kanan.”

“Nah, gitu dong, ditanya orang tua malah seperti orang bengong,” omel pak Hasbi pelan.

Tapi sebelum dia berbelok, ia melihat sebuah ruangan yang pintunya terbuka, terdengar suara ramai orang berbicara bersahutan, dan salah satunya dikenalinya sebagai suara cucunya.

“Itu kan suara Bening? Apa yang dilakukannya di situ, ketawa-ketiwi dengan orang-orang. Apa dia lupa kalau kakeknya sedang menunggu selama berjam-jam?” omelnya sambil langsung masuk, dan berdiri di tengah pintu. Banyak orang di sana, ada perempuan setengah tua yang cantik dan anggun, ada laki-laki mengenakan destar dan hem lurik yang menawan. Yang membuatnya kesal, Dewi menggelendot di lengan wanita setengah tua itu.

“Benar-benar lupa kalau aku sedang menunggu, siapa perempuan itu?” omelnya sambil langsung masuk ke dalam sambil berteriak.

“Bening!!”

Bukan hanya Dewi yang terkejut, tapi semua orang yang hadir di situ. Listyo, Satria, Adisoma, Saraswati. Mereka menoleh ke arah datangnya suara.

“Kakek!?” pekik Bening.

Bening segera melepaskan tangannya yang masih bergayut di lengan sang ibunda, lalu berdiri. Tapi sebelum Dewi melangkah, pak Hasbi sudah lebih dulu mendekat dan menarik lengannya dengan kasar.

“Bening, apa maksudmu beramah tamah dengan mereka? Kamu lupa kalau kakek sedang menunggu di luar? Kamu sengaja membuat kakek kesal, kecapekan, lalu_”

“Siapa kamu?” tiba-tiba Adisoma datang menghardik.

“Eh, kamu yang siapa?” jawab pak Hasbi tak kurang garang.

“Kamu ….! Ini anakku.”

“Dasar tak tahu malu!!” keras suara pak Hasbi.

”Kakek, ayo kita pulang,” kata Dewi untuk meredakan kemarahan kakek.

“Ini cucuku. Kalian belum tahu?”

Tapi Adisoma segera meraih lengan Dewi sehingga pegangan sang kakek terlepas.

“Apa-apaan kamu?” kakek berteriak.

“Kakek, ayo kita pulang. Lepaskan saya Pak," pintanya kepada sang ayahanda.

“Kamu harus pulang bersamaku?” hardik Adisoma.

“Apa maksudmu?” pak Hasbi mendekat ke arah Dewi, berusaha meraih lengannya, tapi Adisoma mendorongnya sehingga pak Hasbi terjengkang.

Dewi menjerit keras, memburu ke arah sang ‘kakek’ yang terbaring diam. Rupanya karena kelelahan, dan karena menahan kemarahan yang sudah memuncak ke ubun-ubun, ditambah hempasan tubuhnya di lantai yang keras, membuat pak Hasbi pingsan.

“Apa yang Kanjeng Rama lakukan?” tangis Dewi.

“Mengapa Kangmas memukulnya?” Saraswati ikutan marah melihat tingkah suaminya.

“Aku sudah bicara banyak, aku harus menyadarkan pak Hasbi perlahan-lahan, karena tak tega meninggalkannya, mengapa Kanjeng Rama bersikeras membawa saya pulang?” tangis Dewi sambil memangku kepala pak Hasbi yang diam tak bergerak.

“Satria, bantu pak tua itu, aku akan mengambil mobil. Kita bawa dia ke rumah sakit,” kata Listyo sambil keluar dari ruangan dengan setengah berlari.

Dewi dan Satria mencoba menyadarkan pak Hasbi, tapi tak berhasil.

“Kakek, bangunlah, ayo kita pulang Kek, kita pulang ya Kek, maafkan Dewi. Bangun Kek, ayo kita pulang … Kakek … bangun Kek …”

Mendengar suara mobil,  Satria segera mengangkat tubuh pak Hasbi, dibantu  Dewi, lalu mahasiswa yang tadi mengikuti pak Hasbi juga membantunya membawa ke mobil Listyo.

“Apa yang terjadi, Dew?” tanyanya kepada Dewi.

Dewi hanya menggoyangkan tangannya, lalu berlari ikut ke dalam mobil, bersama Satria.

Adisoma berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa.

“Aku hanya mendorongnya sedikit, mengapa bisa pingsan?” katanya lirih. Sesungguhnya dia menyesal, apalagi ketika sang istri terus-terusan mengomelinya.

“Mengapa tak bisa mengendalikan diri? Kangmas lebih kuat dari dia, mendorong pelan apa, aku tahu Kangmas membuatnya terjengkang, dan itu bukan mendorong sedikit, tapi sekuat tenaga.”

“Ya sudah, ya sudah … ayo ikut ke rumah sakit, aku akan bertanggung jawab,” katanya sambil meraih bahu sang istri.

“Kalau terjadi apa-apa atas kakek itu tadi, Kangmas bisa kena perkara!”

“Ya sudah, diam dulu, aku jadi semakin bingung mendengar omelan kamu.”

“Ada apa Pak, apa yang terjadi? Dia itu kakeknya Bening, tadi mencari Bening. Lalu_”

“Diam kamu, jangan ikut-ikutan,” kata Adisoma sambil terus berlalu.

Laki-laki muda itu hanya bengong.

“Banyak orang aneh,” omelnya.

***

Pak Sunu memanggil pak Asmat untuk menjelaskan laporan yang diberikannya. Ketika datang ke ruangannya, pak Sunu menanyakan Satria.

“Mana Satria?”

“Pak Satria minta ijin saat makan siang tadi, entah mengapa sampai sekarang belum kembali.”

“Dia sedang banyak masalah.”

“Kabarnya calon istrinya sudah ditemukan. Tadi pak Satria pamit sebentar untuk menemuinya.”

“Ini sudah lewat sejam dari waktu istirahat. Pak Asmat tidak berusaha menghubunginya?”

“Saya pikir urusannya belum selesai. Pak Satria tidak pernah meninggalkan tugas kalau tidak karena sesuatu yang mendesak.”

“Ya, aku tahu. Tapi kita akan mengajaknya bicara tentang keuangan kita. Coba pak Asmat hubungi dia. Kalau memang sedang ada urusan, ya sudah, nggak apa-apa.”

“Baiklah.”

Pak Asmat segera menghubungi Satria, yang segera dijawab.

“Pak Satria sedang di mana? Pak Sunu ingin membicarakan sesuatu, saya sedang berada di ruangannya.”

“Maaf pak Asmat, sampaikan juga maaf saya kepada pak Sunu. Saya sedang berada di rumah sakit,” jawab Satria dari seberang.

“Di rumah sakit? Siapa yang sakit? Bukan pak Satria kan?”

“Bukan, ceritanya panjang. Dia orang yang menolong Dewi, mohon maaf ya Pak, sampaikan maaf saya kepada pak Sunu. Segera setelah urusannya selesai, saya kembali ke kantor.”

“Bagaimana? Masih ada masalah?” tanya pak Sunu setelah pak Asmat meletakkan gagang telponnya.

“Pak Satria sedang ada di rumah sakit.”

“Satria sakit?” pak Sunu tentu saja terkejut.

“Bukan. Katanya orang yang menolong pacarnya itu yang sakit, tapi tidak jelas kenapa. Pak Satria bilang kalau urusannya selesai beliau akan segera kembali ke kantor.”

“Kasihan anak itu, ada-ada saja. Kabarnya penculik pacarnya itu adalah orang yang mengganggu Andra, dan mengaku bernama Mawar, Andira yang mengatakannya sendiri.”

“Tapi sudah tertangkap kan?”

“Sudah. Dan syukurlah juga pacar Satria juga sudah ditemukan. Tapi masih ada masalah lagi rupanya. Mudah-mudahan bisa segera terselesaikan.”

“Aamiin.”

“Baiklah, ayo kita mulai pembicaraan kita, nanti Satria bisa kita ajak bicara belakangan.”

***

Hari itu juga mbok Manis dan mbok Randu sudah sampai di kantor polisi, dimana Sinah ditahan. Sebentar-sebentar mbok Manis mengusap air matanya. Banyak hal yang dipikirkannya. Tentang kelakuan anaknya yang tidak benar, tentang hukuman penjara yang menunggunya. Tak ada orang tua yang tidak sedih mengetahui anaknya akan dipenjara.

“Sudahlah Yu, jangan menangis lagi. Kita sudah akan bertemu Sinah, tapi ingat lho Yu, sampeyan tidak usah marah-marah. Cukup melepaskan kangen, lalu mendoakan yang baik-baik. Karena marah-marahpun toh tak akan ada artinya, semuanya sudah terlanjur, yang penting adalah kelak dia bisa memperbaiki perilakunya, dan berjalan di jalan yang baik,” kata mbok Randu pajang lebar, sambil menepuk-nepuk tangan sabahatnya.

Tapi tak lama kemudian terdengar keributan dari dalam. Seorang polisi berteriak.

“Tahanan bernama Sinah melarikan diri.”

***

Besok lagi ya.

 

26 comments:

  1. Replies
    1. Matur nuwun Bu Tien Kumalasari Mawar Hitam eps 44 sampun tayang.
      Mugi panjenengan tansah pinaringan rahayu widodo tinebihna ing rubeda lan sambikala. Aamiin.

      Salam tallim kagem mas Tom

      Delete
  2. Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 44" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun ๐Ÿ™๐Ÿฉท๐Ÿฉท

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Alhamdulillah MAWAR HITAM~44 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..๐Ÿคฒ

    ReplyDelete
  5. ๐Ÿ„๐ŸŒต๐Ÿ„๐ŸŒต๐Ÿ„๐ŸŒต๐Ÿ„๐ŸŒต
    Alhamdulillah ๐Ÿ™๐Ÿ’๐Ÿฆ‹
    Cerbung eMHa_44
    telah hadir.
    Matur nuwun sanget.
    Semoga Bu Tien & kelg
    sehat terus, banyak berkah
    & dlm lindungan Allah SWT.
    Aamiin๐Ÿคฒ. Salam seroja๐Ÿ˜
    ๐Ÿ„๐ŸŒต๐Ÿ„๐ŸŒต๐Ÿ„๐ŸŒต๐Ÿ„๐ŸŒต

    ReplyDelete

  6. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *MAWAR HITAM 44* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda dan keluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 44 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  10. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 44 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  12. Maturnuwun Bu Tien, MH dah tayang๐Ÿ™

    ReplyDelete
  13. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Yk....

    ReplyDelete
  14. Nah... Disinilah obat itu diperoleh. Akibat jatuh terjengkang lalu dirawat dokter. Maka kembalilah ingatannya.
    Hallo Sinah, mau lari kemana.. Jalanan ramai, kalau lari lari di jalan bisa ketabrak mobil.
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  15. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 44..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Boleh jadi setelah kakek Hasbi pulih dari pingsan, maka sakit gangguan jiwa nya sembuh.
    Tetapi Dewi baik hati, karena kakek tsb telah menolong Dewi, boleh dong kakek punya cucu sambung Dewi, atau Dewi punya kakek angkat kakek Hasbi...hanya menebak....bolehkan..๐Ÿ˜☂️๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉ

    ReplyDelete
  16. Alhamdulillah..... terima kasih Bu Tien, semoga sehat selalu.

    ReplyDelete
  17. Sinah itu selalu bikin recok...
    Terimakasih Mbak...

    ReplyDelete
  18. Sinah2 ..mbok ya taubat to...
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน๐ŸŒน

    ReplyDelete
  19. Terima ksih bunda๐Ÿ™slm shr sll dri sobmu unk bunda dan bpk๐Ÿ™๐Ÿฅฐ❤️๐ŸŒน

    ReplyDelete
  20. Alhamdulillah, sehat selalu nggih Bu Tien

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 44

  MAWAR HITAM  44 (Tien Kumalasari)   Resepsionis berteriak, tapi pak Hasbi tak menggubrisnya. Dia terus masuk, dan bertanya kepada seseoran...