MAWAR HITAM 43
(Tien Kumalasari)
Pak Hasbi heran, mengapa sang ‘cucu’ berlari-lari saat mendengar dering ponsel.
“Kenapa dia?” tanyanya kepada simbok yang duduk menunggu di kursi yang agak jauh dari meja makan.
“Barangkali karena mendengar suara telpon, Tuan.”
“Ada yang menelpon? Kok heran aku, ponsel baru dibeli, sudah ada yang menelpon?” kata pak Hasbi yang langsung berdiri, lalu melangkah ke kamar Dewi.
Saat itu Dewi sedang menjawab panggilan, dan sedang menyebut nama seseorang.
“Satria?”
Lalu Dewi terkejut ketika tiba-tiba melihat ‘kakeknya’ sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Siapa itu, Bening? Kamu kenal?”
Dewi langsung menutup ponselnya.
“Entahlah Kek, Dewi tidak tahu.”
“Tapi kamu menyebut nama orang, kalau tidak salah Satria, kamu sepertinya kenal.”
“Mana mungkin Kek, orang yang menelpon tadi bilang mau mencari Satria, saya mengulang pertanyaannya yang menyebut nama Satria? Begitu Kek. Lalu langsung saya tutup,” kata Dewi dengan wajah muram.
“Ada-ada saja, nomor baru sudah ada yang nyasar. Tapi kamu tidak usah marah, namanya juga orang kesasar, mengapa kamu marah? Ayo, lanjutin saja makannya, masih beberapa sendok lagi kan, sayang kalau dibuang,” kata pak Hasbi membujuk Dewi, karena mengira Dewi kesal karena ada telpon nyasar. Padahal kesal karena gagal berbincang dengan Satria.
“Ayo, lanjutin makannya.”
“Nanggung Kek, udah kenyang.”
“Sudah, jangan marah,” kata pak Hasbi sambil mengacak rambut Dewi. Menyaksikan sikap pak Hasbi, rasa kesal Dewi luruh seketika. Rasa kasihan kepada si kakek kembali muncul. Seperti tak tega sebenarnya membohonginya terus.
“Mbok, Bening makannya sudah, aku juga sudah.”
“Tidak dihabiskan Non?” tanya simbok kepada Dewi yang berjalan di belakang pak Hasbi.
“Sudah kenyang, maaf ya mbok, saya hanya mau minum dulu, lalu tidur.”
“Baiklah Non. Tapi tunggu sebentar, walau sudah di kamar, jangan rebahan dulu. Makanan belum mlorot, kata orang-orang kuno.”
“Iya, Mbok.”
“Ya sudah, sana istirahat. Ponsel kamu dimatiin saja, supaya tidak ada yang mengganggu,” kata pak Hasbi.”
“Baik Kek,” kata Dewi sambil masuk ke dalam kamarnya.
Untunglah pak Hasbi percaya. Memang harus percaya sih, nomor baru, siapa yang tahu kalau tidak orang kesasar.
“Ada-ada saja,” gumam si kakek.
“Tapi Kek, mulai besok Bening mau mengurus kuliah yang terputus ya?” kata Dewi sambil masih berdiri di tengah pintu.
“Kamu serius, mau kuliah lagi?”
“Serius dong Kek, Bening menyesal dulu meninggakan kuliah.”
“Baiklah, besok kakek antar ke kampus kamu.”
“Apa? Nggak usah Kek, seperti sekolah taman kanak-kanak saja, pakai diantar segala.”
“Jangan begitu Bening, kakek tidak tega melepas kamu pergi sendirian.”
“Kan hanya ke kampus? Tolong Kakek, jangan perlakukan Bening seperti anak kecil. Bening juga malu kalau ke kampus diantar kakeknya. Pasti banyak yang mengolok-olok Bening.”
“Tidak apa-apa, kakek mengantar kamu, tapi hanya menunggu di mobil,” pak Hasbi ngeyel.
“Kalau lama bagaimana?”
“Kan hanya mengurus kembalinya kuliah kamu, masa lama?”
“Ya lama Kek, kan harus mencari kembali berkas-berkas lama, bayar administrasi. Nanti jangan lupa Dew.. eh.. Bening dikasih uang lho Kek.”
“Gampang, sudah sana, istirahat saja. Besok kakek bawa uang yang banyak. Berapa yang harus kamu bayar, kakek bayar. Tapi kakek tetap akan mengantar kamu, walau harus menunggu berjam-jam di luar kampus.”
“Baiklah, terima kasih, Kakek,” kata Dewi sambil merangkul pak Hasbi, membuat pak tua itu tersenyum haru.
"Tak apa diantar pak Hasbi, kan hanya menuggu diluar,” kata Dewi dalam hati.
***
Dewi menutup pintunya, lalu menguncinya dari dalam.
Ia bernapas lega, karena semuanya berlalu. Tidak begitu mudah, tapi berhasil melaluinya. Ia sudah menangkap nomor kontak Satria, tapi dia tak berani menelpon. Takut kalau sang ‘kakek’ mendengarnya. Ia hanya menulis pesan, sambil menceritakan kisah singkatnya sampai detik ia menghubungi Satria dengan mencuri-curi saat ia sedang makan bersama sang kakek.
“Maaf Dewi, ponselku tertinggal di rumah kost, jadi tidak tahu kalau kamu menelpon. Tapi pak Asmat sudah meneruskan pesan kamu ke pak Sunu, lalu pak Sunu menelpon pak Listyo. Kamu tahu pak Sunu?” tulis Satria dalam pesan singkatnya.
“Ya aku tahu, dia pemilik perusahaan di mana kamu bekerja kan?” balas Dewi lagi.
“Rasanya tak puas hanya tulis menulis begini. Ceritamu juga hanya sekilas, walau lumayan panjang, penginnya segera bertemu. Mengapa kamu tidak kabur saja?”
“Jangan Sat, dia laki-laki baik. Dia tua dan kesepian karena merindukan cucunya. Aku harus mencari cara untuk menyadarkannya, tapi tidak untuk sekarang ini.”
“Kapan kita bisa bertemu?”
“Tenang Sat, besok kakek mengijinkan aku ke kampus. Ini juga panjang ceritanya. Kalau bisa kamu datang ke kampus. Bisakah? Hanya itu satu-satunya jalan agar kita bisa bertemu. Kalau bisa kedua orang tuaku juga. Maaf, agak aneh, tapi hanya ini yang bisa aku lakukan. Bisa kan besok siang?”
“Aku sudah ijin selama beberapa hari gara-gara mencarimu, tapi besok saat istirahat siang aku akan ke kampus, supaya bisa bertemu kamu.”
“Bagus, Sat. Sampai ketemu besok, takutnya kakek curiga karena lampu kamarku masih menyala. Nanti dia menegur aku.”
“Baiklah, sampai ketemu besok, Dew. Yang penting aku sudah lega. Pak LIstyo juga sudah menemui orang tua kamu malam ini. Mereka pasti senang mendengar bahwa kamu baik-baik saja.”
“Aku belum bisa menghubungi orang tuaku. Nomor ponselnya lupa semua. Yang aku ingat hanya nomor telpon kantor kamu.”
“Iya, aku mengerti.”
“Sampai besok ya Sat. Itupun aku akan diantar ‘kakek’ lhoh.”
“Diantar?”
”Aku sudah melarangnya, dia nekat. Katanya tak apa menunggu aku berjam-jam di kampus.”
Satria tertawa. Dan kali ini tawa yang sangat lega. Seperti juga Dewi yang merasakan perasaan yang sama.
***
Saraswati justru menangis haru mendengar cerita Listyo bahwa Dewi ternyata baik-baik saja. Tapi Adisoma sedikit kesal karena Dewi tidak bisa melepaskan diri dari orang tua yang seakan ‘menyanderanya’.
“Iya Listyo, mengapa Dewi tidak langsung kabur saja? Apa orang tua itu mengancamnya? Bahkan ancaman itu akan membahayakan nyawanya?” tanya Saraswati.
“Sepertinya tidak, Bibi. Ada suatu alasan yang pasti akan bisa dijelaskan, mengapa Dewi tidak segera bisa terlepas dari pak tuan itu,” jawab Listyo.
“Alasan apa? Jangan-jangan laki-laki tua itu hidung belang yang akan merusak kehidupan anakku," tuduh Adisoma.
“Tidak Paman, pak tua itu mengaku sebagai kakek. Dan Dewi disebut sebagai Bening, cucunya yang sudah meninggal.”
“O, barangkali wajah Dewi itu mirip dengan cucunya yang sudah meninggal, makanya pak tua itu menahan Dewi agar tidak pergi.”
“Sepertinya begitu. Saya sebenarnya sudah mengetahui nomor kontaknya, barangkali Paman atau Bibi ingin menghu bunginya.
”Bagus segali Lis, mana, aku minta. Mengapa kamu tidak bilang dari tadi?”
“Tapi jangan malam ini, Paman. Karena tadi Satria mencoba menelpon, lalu ketahuan pak tua itu. Tampaknya Dewi ketakutan, lalu ponselnya dimatikan.”
“Kurangajar benar, pak tua itu. Orangnya seperti apa, aku kok tetap curiga kalau dia itu laki-laki hidung belang.”
“Ini nomornya Paman, kalau paman mau menghubungi, lebih baik lewat pesan singkat saja. Kasihan Dewi kalau sampai diapa-apain seandainya pak tua itu mendengarnya.”
“Iya Kangmas, Kangmas harus sabar, meskipun kelihatannya baik-baik saja, kita belum tahu yang sebenarnya bagaimana.”
“Iya, aku juga cuma mau mengirim pesan singkat saja,” kata Adisoma yang merasa kesal sejak mendengar bahwa Dewi bersama seorang laki-laki tua dan tidak bisa lari darinya. Pikiran buruk menyelimutinya, dan membuatnya khawatir.
Untunglah, ketika menerima pesan dari ayahandanya, Dewi bisa menerangkan secara singkat, tentang orang tua yang mengakuinya sebagai cucu, sementara sang cucu sebenarnya sudah meninggal.
***
Pagi hari itu mbok Manis merasa lega ketika mendengar bahwa Dewi beik-baik saja. Ia berangkulan dengan mbok Randu dan bertangis-tangisan karena bahagia.
“Aku benar-benar bersyukur Yu, den ajeng selamat,” kata mbok Manis sambil mengusap air matanya.
“Tentu saja aku juga bersyukur. Denayu juga tampak berbahagia, sejak semalam wajahnya berseri-seri.”
“Yu Randu, apa sebaiknya aku menemui Sinah ya?”
“Itu lebih baik, tapi mengapa tiba-tiba ingin menemui, sementara sejak awal aku meminta sampeyan menemui tapi sampeyan tidak mau mendengarnya.”
“Sebenarnya aku sedang menghawatirkan den ajeng. Aku takut den ajeng kenapa-kenapa, lalu aku mengamuk di kantor polisi setelah menemuinya.”
“Sampeyan itu ada-ada saja. Temui saja, beri petuah yang baik agar dia sadar.”
“Aku akan meminta ijin pada den ayu. Apa kamu mau ikut?”
”Lebih baik aku ikut, supaya kalau sampayen mengamuk, aku bisa menahannya,” canda mbok Randu.”
***
Pagi itu keluarga Adisoma sangat senang. Nanti saat tengah hari, Listyo mengundangnya untuk datang ke kampusnya, karena Dewi akan ke sana. Listyo sudah menjelaskan mengapa harus datang ke kampus untuk menemuinya, dan tidak langsung bisa pulang. Lagipula si kakek juga mengantarnya, walau menunggu di mobil.
“Ada-ada saja. Dewi itu kan anakku, mengapa pak tua itu merasa berkuasa atas Dewi dan mengatur hidupnya. Ke kampus saja harus diantar,”omel Adisoma.
“Kangmas sabar ya, kita temui saja Dewi, yang penting dia selamat. Nanti kalau ketemu kan dia bisa menjelaskan semuanya,” bujuk Saraswati yang bisa bersikap lebih sabar.
“Nanti mbok Manis dan mbok Randu minta ijin sebentar," lanjut Saraswati.
“Mau ke mana mereka?”
“Mau menemui Sinah di kantor polisi.”
“Menemui juga mau apa? Dia menangis sampai air matanya kering, tetap saja Sinah harus dipenjara untuk menebus dosa-dosanya.”
“Mbok Manis itu kan biyungnya, berapapun besar dosa Sinah, mbok Manis tetap ikut merasakan penderitaannya.”
“Anak susah diatur begitu, bahkan hampir mencelakakan banyak orang … kalau dia menderita sekarang, itu adalah penebus dosa-dosanya.”
“Sudalah, Kangmas kok malah mengungkit masalah itu lagi. Ayo kita sarapan, agak siang nanti kita ke kampus untuk ketemu Dewi.”
“Masalah itu akan tetap diungkit, apalagi di pengadilan nanti. Biarkan saja dia membusuk di penjara.”
“Sssh, Kangmas, sudahlah.”
Saraswati, wanita yang lembut dan baik hati, dia sudah bisa memaafkan Sinah, apalagi setelah tahu bahwa Dewi baik-baik saja. Tapi berbeda dengan Adisoma, yang kejahatan Sinah membuatnya menyimpan dendam, yang entah akan sampai kapan bisa terhapusnya.
***
Siang hari itu, demi mempertemukan Dewi dan keluarga serta kekasihnya, Listyo meluangkan waktu dan ruang kerjanya, dan mengundang keluarga Dewi dan juga Satria.
Mereka sudah bertemu, bertangisan, dan mendengar cerita Dewi dari awal sampai akir dari petaka yang menimpanya. Membuat Adisoma semakin kesal terhadap Sinah.
Sementara itu pak Hasbi yang menunggu di mobil merasa kesal karena sudah berjam-jam Dewi masuk, tapi belum kelar juga.
“Apa susahnya mengurus pendaftaran kuliah kembali? Kan Bening sudah pernah kuliah, tinggal memperbarui datanya,” omelnya berkali-kali.
Pak Hasbi sudah berkali-kali naik turun mobil karena kelelahan. Lalu karena tak sabar, dia langsung berjalan memasuki halaman kampus. Dia bukan orang bodoh. Ia menemui resepsionis dan mengatakan keinginannya bertemu Bening yang sudah lama mengurus pendaftarannya kembali.
"Bening? Bukankah yang namanya Bening sudah tidak lagi kuliah di sini?" jawab resepsionis yang kebetulan mengenal Bening.
Pak Hasbi tampak marah.
"Dia baru saja datang untuk mengurus kuliahnya lagi," katanya dengan nada tinggi.
"Tapi saya tidak_"
"Sudah, ijinkan saya masuk, biarkan saya mencarinya sendiri," ujar pak Hasbi yang langsung masuk ke dalam.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteAlhamdulillah...eMHa_43 sudah tayang. Terima kasih bu Tien dalam kesibukkannya masih menyempatkan menulis ubtuk bacaan para penggemarnya.
DeleteSemoga bu Tien dan pa Tom selalu diberikan kesehatan yang prima.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin 🤲🤲
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteHamdallah....sampun tayang
ReplyDelete🦋🌹🦋🌹🦋🌹🦋🌹
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏😍
Cerbung eMHa_43
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien selalu
sehat, tetap smangats
berkarya & dlm lindungan
Allah SWT. Aamiin YRA.
Salam aduhai 💐💞
🦋🌹🦋🌹🦋🌹🦋🌹
Alhamdulillah MAWAR HITAM~43 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..🤲
Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 43" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🩷🩷
ReplyDelete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 43* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Terima ksih bunda MH nya..slmt mlm dan slmt istrhat..salam sht sll unk bunda bersm bpk🙏🥰❤️🌹
ReplyDeleteTerima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 43..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Gaswat...kakek Hasbi msk ke dalam Kampus, iki bisa jadi.. seling surup...dengan kel Adisoma nih...😁
Hanya Dewi yang dapat melerainya.
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🙏🤗🥰💖🌿🌸
ReplyDeleteWaduh... Jangan2 , Adisoma kenal dengan kakek Hasbi, teman bisnis nya 🤭
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Alhamdulillah MH dah tayang dg cengkok cerita yg menarik Bu , Maturnuwun Bu Tien, semoga tetep sehat semangat menulis cerbung yg menarik para pembaca yg setia...
ReplyDelete🙏
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 43 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien ❤️🌹🌹🌹🌹🌹
Seruuuuuuu...
ReplyDeleteMatur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, barokalloh
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien, salam sehat selalu sekeluarga
ReplyDeleteWah, bagus juga ya si kakek ikut ke kampus, supaya terbuka fakta tentang Bening. Semoga dia bisa menerima kenyataannya. Apalagi kalau ternyata ada hubungan/kenal dengan Adisoma.😅👍🏻
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Salam sehat.🙏🏻
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien