Friday, August 15, 2025

MAWAR HITAM 41

 MAWAR HITAM  41

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi nyaris masuk ke dalam mobil, lalu berhenti ketika melihat Dewi menatap ke arah suara laki-laki yang berteriak memanggil Dewi.

Ia urung masuk, lalu menatap Dewi dengan mengerutkan dahi.

“Bening, ada apa kamu? Orang itu memanggil Dewi, kamu Bening. Apa kamu diterpa rasa lupa lagi? Mengapa dia memanggil Dewi?”

Dewi menatap pak Hasbi dengan tersenyum, sementara dua orang laki-laki mendekat ke arah Dewi.

"Hanya kebetulan barangkali" kata Dewi.

“Bening. Masuk!” perintah pak Hasbi, tandas.

“Dewi, ke mana saja kamu selama ini?”

Mereka adalah Listyo dan Satria. Gagal menemukan Dewi di rumah makan yang dimaksud dalam pesan yang diterima pak Asmat, mereka keluar dari rumah makan itu, dan keluar masuk dari toko ke toko, karena pelayan rumah makan itu mengatakan kalau gadis yang dimaksud sudah pergi dan tampaknya bermaksud mau belanja. Mereka hampir putus asa, dan bersiap kembali ke mobil Listyo, ketika tiba-tiba melihat bayangan Dewi. Tentu saja mereka senang bukan alang kepalang.

Dewi terpaku di tempatnya. Bingung harus bersikap bagaimana.

“Bening, masuk! Mbok, ajak non Bening masuk ke mobil.”

“Ayo Non, tuan sudah menunggu.”

Persis yang digambarkan pelayan rumah makan itu, bahwa gadis yang ditanyakan Listyo dan Satria memang makan di sana, bersama laki-laki setengah tua dan seorang wanita yang tampaknya pembantunya.

Simbok menarik lengan Dewi dan memintanya masuk ke mobil. Tapi Listyo dan Satria sudah sampai di sana.

“Dewi? Kamu tidak mengenali aku?” tanya Satria ketika melihat Dewi tampak seperti bingung.

“Bening! Apa kamu tidak mendengar perintah kakek?” kata pak Hasbi kesal.

Satria dan Listyo juga ingat, bahwa wanita yang dicarinya, disebut Bening oleh ‘kakeknya’.

Bening mengedipkan sebelah matanya ke arah mereka, lalu masuk ke dalam mobil setelah simbok mendorong-dorongnya.

“Dewi!” Listyo dan Satria berteriak hampir berbarengan, membuat pak Hasbi murka.

“Kamu ini laki-laki kurangajar ya. Dia itu cucuku, namanya Bening. Kamu membuatnya kebingungan,” hardiknya.

“Tapi_”

“Kakek, ayo kita pulang,” teriak Dewi dari dalam mobil, maksudnya agar tidak terjadi ‘huru-hara’ atas kemarahan sang ‘kakek’, sementara pak Hasbi masih memelototi keduanya dengan marah.

Mendengar teriakan Dewi, pak Hasbi segera masuk ke dalam, lalu menstarter mobilnya, dan segera menjalankannya.

Listyo berlari ke arah mobilnya sendiri, yang diparkir agak jauh.

“Cepat, kita harus mengikuti mereka.”

Satria yang ada dibelakangnya segera memasuki mobil ketika Listyo sudah menstarter mobilnya.

“Waduh, kita sudah ketinggalan. Ke mana tadi perginya mobil pak tua itu?” kata Listyo sambil terus memacu mobilnya.

“Sudah nggak kelihatan lagi, jarak mobil pak Listyo dengan pak tua itu terlalu jauh.”

“Apa ya sebenarnya yang terjadi? Tapi sepertinya Dewi tidak kelihatan tertekan. Dia tadi mengerdipkan sebelah matanya kepada kita. Itu isyarat bahwa kita harus diam saja?”

“Sepertinya begitu. Ini aneh. Lalu bagaimana kita harus mengetahui keberadaannya?”

“Jadi penasaran, walaupun kita bisa merasa lega melihatnya baik-baik saja.”

“Tapi tidak bisa begitu juga, kita tetap harus tahu apa yang terjadi. Sepertinya pak tua itu bukan orang jahat. Dia menyebut Dewi sebagai cucunya, dan mengatakan bahwa namanya Bening. Tapi nama itu seperti tidak asing ya Pak?”

“Bening … Bening … Bening …” Listyo seperti sedang mengingat-ingat.

“Ada salah seorang mahasiswa bernama Bening, seingat saya. Tapi dia jarang masuk.”

“Yaaa, itu dia. Mahasiswa bernama Bening, tapi sudah setahun lebih tidak mengikuti kuliah. Entah ke mana dia sekarang.”

“Apakah ada hubungannya dengan kakek tua itu?”

“Yah, nama bisa saja sama. Tapi mengapa Dewi dipanggil Bening? Barangkali juga bukan Bening yang kita maksud.”

Keduanya diam dalam pemikiran yang pastinya sama, yaitu tentang Dewi dan Bening yang entah Bening yang mana.

“Kita benar-benar kehilangan dia,” keluh Listyo.

***

Adisoma sedang berbincang dengan istrinya. Berita tentang Dewi yang selamat tak kurang suatu apa sudah didengarnya sejak tadi, dan belum lama ini Listyo dan Satria mengatakan kalau melihat Dewi, tapi tidak sempat mengikuti.

“Aku tidak mengerti maksud Listyo tadi,” kata Adisoma.

“Aku juga tidak mengerti apa yang Kangmas katakan. Melihat Dewi tapi tidak sempat mengikuti? Maksudnya apa?”

“Mereka melihat Dewi bersama seorang laki-laki setengah tua, naik mobil dan bergegas pergi. Tapi mobil Listyo diparkir agak jauh, sehingga tidak bisa mengikuti.”

“Apakah Dewi diculik orang?” kata Saraswati ketakutan.

“Katanya Dewi kelihatannya baik-baik saja. Laki-laki yang bersamanya dipanggilnya ‘kakek’, itulah yang membuat aku tidak mengerti.”

“Ya Tuhan, apa yang terjadi pada anakku.”

“Harusnya aku ikut bersama mereka tadi.”

“Mas bilang saja sekarang, kalau mau ikut bersama mereka.”

“Aku pernah mengutarakan hal itu pada Listyo, tapi dia menyarankan agar aku tidak usah ikut. Tapi daripada menunggu begini, kan lebih baik ikut mencari.”

“Kalau begitu aku juga mau ikut.”

“Kamu itu apa-apaan Diajeng. Aku saja dilarang, apalagi Diajeng. Ya sudah, kita menunggu dulu sampai hari ini. Kalau hari ini mereka belum bisa juga menemukannya, baru aku akan melakukan sesuatu.”

***

Ketika melampaui sebuah warung makan, pak Hasbi menghentikan lagi mobilnya. Dewi menyentuh lengannya.

“Kakek, mengapa berhenti lagi di sini? Kita kan sudah makan?”

“Bukan untuk makan, simbok biar turun untuk membeli lauk untuk makan malam kita.”

“Mengapa harus beli, Kek,” kata Dewi yang sangat kesal, padahal ia ingin segera sampai di rumah pak Hasbi lalu menghubungi lagi Satria atau kantor Satria, karena hanya itu satu-satunya nomor kontak yang diingatnya.

“Iya Tuan, saya nanti sesampai di rumah kan bisa masak?”

“Kamu kan capek Mbok, seharian ikut jalan-jalan. Jadi nggak usah masak. Beli apa saja untuk makan malam kita nanti.”

Dari kaca spion, simbok yang melihat isyarat dari Dewi segera tahu, bahwa Dewi ingin segera sampai di rumah.

“Tidak Tuan, masa saya capek? Saya malah senang kalau begitu datang nanti harus masak, soalnya tadi juga sudah siap-siap masak, tapi diajak bepergian.”

“Mbok, aku ingin simbok masak nasi goreng, pasti enak malam-malam menyantap nasi goreng,” sambung Dewi.

“Nah, iya Non. Itu gampang, tidak terlalu banyak waktu untuk memasak.”

“Ayo Kek, tidak usah berhenti, kita langsung pulang saja. Bening ingin makan nasi goreng.”

“Kalau begitu beli di sini saja. Warung ini karung masakan yang terkenal, masakannya enak. Ada mie, ada nasi goreng, cap cay. Ayo Mbok, kamu masih bawa uang tidak, ini aku beri lagi.”

“Kakek, aku tidak mau beli, aku ingin masakan simbok, ayolah Kek, lagi pula kepalaku pusing sekali. Mungkin aku yang kecapekan,” rengek Dewi.

Mendengar keluhan pusing dari ‘cucunya’, pak Hasbi segera menjalankan mobilnya setelah menatap Dewi dengan khawatir.

“Pusing ya? Kamu tidak bilang dari tadi. Nanti sore kakek mau memanggil pak Mantri lagi.”

“Tidak usah Kek, Dewi mau langsung tidur saja. Tolong agak cepat jalannya Kek.”

“Oh iya, baiklah. Tapi jalanan rame, kakek kan harus hati-hati.”

Walau begitu agak lega hati Dewi karena si kakek menuruti kemauannya untuk segera pulang.

Begitu sampai di rumah, Dewi segera minta ijin kepada ‘kakeknya’ untuk segera masuk kamar dengan alasan capek.

“Kakek panggil pak Mantri ya.”

“Tidak usah Kek, hanya pengin segera tidur saja,” kata Dewi sambil menutup pintu kamarnya.

“Mbok, buatkan minuman hangat untuk non Bening, supaya capeknya hilang. Biasanya kan kamu pinter membuat minuman-minuman segar. Seperti wedang jahe atau wedang sereh, atau beras kencur.”

“Iya, Tuan, baiklah, non Bening akan saya buatkan wedang jahe saja.”

“Iya, cepatlah, aku juga ingin segera istirahat.”

***

Dewi merasa lega ketika ia sudah berada di kamarnya. Dia segera mengambil ponsel barunya yang pastinya sudah terisi pulsa, lalu memutar nomor kantor Satria.

Lagi-lagi pak Asmat yang menerima.

“Pak Satria tidak masuk kantor hari ini Mbak, tadi saya sudah menghubungi nomornya, tapi tidak diangkat.”

“Jadi Bapak belum bisa menyampaikan pesan yang saya utarakan tadi?”

“Saya menghubungi pak Sunu, yang pastinya sudah bisa menyampaikannya kepada pak Satria.”

“Siapa pak Sunu?”

“Yang punya perusahaan ini Mbak.”

“Ini saya bicara dengan siapa?”

“Saya Asmat, asisten pak Satria.”

“Begini saja, saya minta nomor pak Satria, bisa kan? Saya Dewi, tunangan pak Satria.”

Lalu pak Asmat memberikan nomor kontak Satria.

Dewi memutar nomor kekasihnya dengan perasaan lega. Tapi tak ada jawaban di nomor itu.

“Kok nggak diangkat ya, ini sepertinya benar nomor Satria. Jadi benar kata pak Asmat bahwa dia tidak bisa menghubungi Satria.”

Dewi mengeluh dengan perasaan sedih.

“Padahal tadi dia sudah melihat aku, hampir bicara dengan aku. Tapi aku kan harus menjaga perasaan pak Hasbi. Dan aku merasa tenang karena sudah punya ponsel, jadi aku hanya memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja, yang pastinya Satria dan mas Listyo mengerti. Aduh, bagaimana ini?” keluh Dewi.

***

“Kita ke mana sekarang Pak?” tanya Satria ketika merasa bahwa Listyo berbelok arah setelah gagal mengikuti mobil pak Hasbi.

“Ke kampus.”

“Untuk apa?”

“Mencari data tentang mahasiswa bernama Bening.”

“Bapak yakin, Bening bekas mahasiswa Bapak itu ada hubungannya dengan kejadian ini?”

“Namanya berusaha, apapun harus dilakukan. Nanti di dalam data itu kita kan bisa menemukan alamat rumah Bening juga.”

“Lalu kita akan menelusuri rumah Bening?”

“Ya, tentu saja.”

Ketika memasuki kampus dan meminta berkas data mahasiswa bernama Bening, akhirnya ditemukanlah alamat Bening.

Hari sudah sore ketika itu, tapi keduanya melupakan letih dan lelah, dan tetap menuju alamat yang telah ditemukan.

Mereka memasuki sebuah gang, lalu  berhenti ketika ada orang melintas. Listyo segera menghentikannya.

“Pak, apakah Bapak tahu, di mana rumah Bening?”

“Bening? Cucunya pak Hasbi? Bukankah Bening sudah meninggal hampir setahun lalu?”

“Meninggal?”

“Iya. Bapak siapanya?”

“Oh, saya hanya temannya, yang lama tidak bertemu, jadi ingin mengabarkannya.”

“Sayang sekali. Dia meninggal karena penyakit kanker yang dideritanya. Mohon maaf saya sedang tergesa-gesa. Kalau mau tahu rumahnya di sana tuh, agak diujung, yang ada hanya kakeknya,” kata orang itu kemudian berlalu.

Satria mengangkat bahunya.

Kemudian Listyo membawa mobilnya mundur, keluar dari gang.

“Bapak tidak ingin ke rumah Bening untuk meyakinkan, apakah dia ada hubungannya dengan Dewi atau tidak?”

“Rasanya hanya nama yang sama,” kata Listyo.

“Apa salahnya kita mencoba?”

***

Besok lagi ya.

20 comments:

  1. 🧑🌻🧑🌻🧑🌻🧑🌻
    Alhamdulillah πŸ™πŸ˜
    Cerbung eMHa_41
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai πŸ’πŸ¦‹
    🧑🌻🧑🌻🧑🌻🧑🌻

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah... matur nuwun bunda sehat2 selalu

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah eMHa_41 sudah tayang. Matur nuwun bu Tien.

    Semoga bu Tien dan pak Tom, sehat terus dan terus sehat, tetap berkarya dan ADUHAI

    ReplyDelete
  4. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  5. Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 41" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun πŸ™πŸ©·πŸ©·

    ReplyDelete
  6. Terimakasih Mbu Tien... sehat trs bersma keluarga trcnta... penasaran lanjutkan ke rumah Bening....

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 41 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  8. Terimakasih bunda Tien
    Semoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillah MAWAR HITAM~41 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🀲

    ReplyDelete

  10. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *MAWAR HITAM 41* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah,MH telah tayang ,mmbacanya dng penasaran terus, smg bisa ketemu,. terimakasih Bu Tien
    ...πŸ™

    ReplyDelete
  12. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 41..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Iki piye ta..kok tak jadi mampir ke rumah nya Bening.
    Hari sdh larut malam kata sang Sutradara...bsk di lanjut lagi...😁😁

    ReplyDelete
  13. Alhamdulillah
    Terima kasih bunda Tien
    Semoga bunda sekeluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  14. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 41 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  15. Penonton kecewa karena Listyo mundur..
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  16. Ah Listyo payah...masa ga bisa hubungkan kisah Bening dengan Dewi yang dipanggil Bening sih? Harusnya kan dia curiga ya?πŸ€”

    Terima kasih, ibu Tien...semoga makin sehat dan dipulihkan.πŸ™πŸ»

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah... matur suwun bu Tien
    Salam, semoga sehat2 selalu. AamiinπŸ™

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 41

  MAWAR HITAM  41 (Tien Kumalasari)   Pak Hasbi nyaris masuk ke dalam mobil, lalu berhenti ketika melihat Dewi menatap ke arah suara laki-la...