MAWAR HITAM 40
(Tien Kumalasari)
Satria saling pandang dengan Listyo, lalu keduanya mengangkat bahu.
“Apa yang kamu pikirkan Sat?”
“Apa ada orang menipu kita?”
“Entahlah. Tapi si penelpon katanya juga bilang bahwa dia tergesa-gesa. Pak Asmat mengatakan bahwa kamu sedang keluar lalu dia menitipkan pesan.”
“Mengapa dia menelpon ke kantor, dan bukan ke ponsel kita? Baiklah, ponsel saya ketinggalan, tapi kan dia bisa menghubungi yang lainnya?”
“Ingat Sat, saat itu aku menemukan tas kuliah Dewi, ada dompet ada ponsel di dalamnya kecuali buku-buku kuliah. Barangkali karena tidak ingat nomor-nomor kontak kita, lalu dia menelpon ke kantor. Telpon kantor nomornya tidak sepanjang nomor kontak ponsel, jadi lebih mudah menelpon ke kantor kamu,” kata Listyo panjang lebar.
“Betul juga. Kalau dia bawa ponsel tinggal klik nomor kontak yang dikehendaki, jadi nomor persisnya terkadang kita juga tidak tahu.”
“Benar, kalau nomor kantor kan mudah diingat. Tapi apa benar dia Dewi, atau orang yang mengaku bernama Dewi?”
“Lalu dia memakai nomor ponsel siapa?”
“Apakah kita bisa menanyakannya kepada salah seorang pelayan? Ayo kita coba,” kata Listyo sambil mendekati salah seorang pelayan.
“Bapak, kalau di sini penuh, masih ada meja di sudut sana yang masih kosong,” kata pelayan yang mengira keduanya ingin makan di sana.”
“Baiklah, terima kasih. Tapi kami mau bertanya dulu, apa tadi ada seorang gadis yang entah bersama siapa, makan di sini? Nama gadis itu Dewi.”
“Wah, banyak gadis atau wanita yang makan di sini, dan kami tidak tahu nama mereka satu persatu.”
“Wajahnya seperti ini,” kata Satria sambil mengeluarkan dompetnya, dan di situ terpampang foto Dewi separuh badan.
Pelayan itu tampak memperhatikan.
“Sepertinya ada.”
“Ada?” seru keduanya hampir bersamaan.
“Mana dia sekarang?”
“Sudah pergi Pak, sebenarnya gadis itu masih ingin tinggal, tapi laki-laki tua itu memaksanya pergi, karena sudah makan lama.Tampaknya mereka mau belanja.”
“Gadis itu datang bersama seorang laki-laki?”
“Gadis itu menyebutnya kakek, tapi nama gadis itu bukan Dewi. Kakeknya memanggilnya dengan nama Bening … atau Wening … begitu.”
“Bening … atau Wening?”
“Saya kan sambil melayani yang lain, tidak begitu memperhatikan mereka.”
“Dia datang hanya berdua?”
“Dengan satu lagi seorang wanita, tapi tampaknya wanita itu pembantunya.”
“Tapi benar ya, wajah gadis itu seperti ini?” Satria kembali menunjukkan foto Dewi.
“Iya, persis seperti dia. Oh ya, maaf Pak, saya sedang melayani pelanggan yang lain, Bapak silakan duduk, soalnya kalau jam makan siang seperti ini, biasanya restoran kami penuh pelanggan,” kata pelayan itu sambil beranjak pergi.
“Oh iya, maaf, baiklah,” kata Listyo kemudian.
Tapi mereka bukannya duduk, malah beranjak keluar dari rumah makan itu.
Pelayan yang tadi berbincang menatapnya heran.
“Kirain mau makan, rupanya hanya bertanya-tanya,” omelnya.
***
Pak Hasbi mengajak Dewi memasuki sebuah toko pakaian, lalu memintanya agar Dewi memilih mana yang disukainya. Tapi wajah Dewi muram. Ia masih ingin berada di rumah makan itu, berharap orang yang dihubunginya di kantor Satria segera mengabarkan kepada Satria tentang keberadaannya. Tapi memang sudah cukup lama mereka duduk di rumah makan itu. Makanan yang dipesan sudah habis, minuman juga sudah tinggal gelasnya. Lalu Dewi sudah mengulur ulur waktu dengan bicara yang macam-macam, sehingga tak ada lagi alasan untuk masih tetap berada di rumah makan itu.
Simbok menatap Dewi dengan iba. Ia tahu bahwa Dewi sudah meninggalkan pesan kepada yang menerima telponnya.
“Bening, ayo … mau pilih yang mana?”
“Kakek, bajuku masih banyak. Untuk simbok saja.”
“Saya juga tidak, Non."
Mendengar keduanya seperti tak berminat, wajah pak Hasbi menjadi muram. Ia merasa budi baiknya tak diterima.
“Ya sudah, kalau begitu kita pulang saja,” katanya tandas, terdengar kaku, dan Dewi tahu kalau pak Hasbi kesal. Ia segera mendekat dan menggandeng lengannya, dan berkata dengan nada manja.
“Kakek, aku ingin sesuatu, tapi bukan baju. Bolehkah?”
“Kamu mau apa?” tanyanya masih dengan wajah kesal.
“Bolehkah Bening dibelikan ponsel?”
“Ponsel?” tanya sang ‘kakek’ kaget.
“Iya, ponsel.”
“Untuk apa beli ponsel? Kakek saja tidak punya ponsel.”
“Kakek kan sudah tua, tidak butuh berhubungan dengan orang-orang. Tapi aku kan butuh berhubungan dengan teman-teman.”
“Kamu masih ingat pada teman-teman kuliah kamu?”
“Ya ingat dong Kek,”
“Kamu sudah tak mau lagi kuliah sejak kamu belum sakit, kamu malas kuliah, ingin jadi pengusaha seperti kakek. Ya kan?”
“Kek, Bening lupa semuanya. Maukah Kakek menceritakan masa aku kuliah dulu?”
“Ya Tuhan, malang benar kamu ini Bening, pantas bicaramu ketika itu sangat aneh dan membingungkan.
“Kamu kuliah di sebuah universitas terkenal, jurusan ekonomi. Sebentar, ada kartu mahasiswa kamu yang kakek simpan. Di dompet kakek masih ada sepertinya. Nanti boleh kamu simpan. Apa kamu ingin kuliah lagi?” katanya sambil membuka dompetnya, lalu mengeluarkan sebuah kartu mahasiswa.
“Ini, gara-gara kamu enggan kuliah lalu sering bolos, kartu mahasiswa kamu juga kakek yang simpan.”
“Ini kan tempat kuliah aku?” Dewi tanpa sadar berteriak.
“Tuh, kamu sudah ingat sekarang?” kata kakek dengan wajah berseri. Mereka sedang duduk di sebuah kursi tunggu yang ada di toko itu, simbok berdiri agak menjauh.
Dewi bukan ingat tentang tempat kuliahnya sebagai Bening, tapi universitas tempat Bening kuliah, sama dengan tempat kuliahnya. Tapi tampaknya Bening berada setahun diatasnya, dan dia tidak pernah bertemu mahasiswa bernama Bening sejak dia masuk ke sana.
“Iya, aku ingat Kek.”
Wajah Dewi berseri-seri, demikian juga sang ‘kakek’ yang mengira Dewi sudah ingat masa lalunya, bukan lagi dia merasa bahwa namanya Dewi.
“Tuh, sekarang kamu tidak boleh lagi mengatakan bahwa namamu Dewi. Kamu adalah Bening.”
“Kek, bagaimana dengan permintaan aku tadi?”
“Oh, apa? Kamu minta apa?”
“Ponsel.”
“Kamu mau menghubungi temanmu untuk apa? Mereka pasti sudah melupakan kamu, setahun lebih tidak ketemu, dan kau lari dari sana tanpa mau kembali lagi, kan?”
Dewi merasa punya kesempatan untuk berpeluang pergi dari rumah tanpa ada pengawasan dari ‘kakeknya'.
“Kakek, bagaimana kalau aku kuliah lagi?”
“Kamu? Untuk apa? Dulu kamu tidak mau kuliah.”
“Tapi aku sekarang mau, Kek. Boleh kan?”
“Ya sudah, nanti kita bicara di rumah saja, ayo pulang.”
“Lhah … mana ponsel untuk aku?”
“Bening, kamu sungguh-sungguh ingin punya ponsel? Dulu ponselmu kamu tinggalkan di kamarmu, lalu kakek buang setelah kamu pergi. Waktu itu aku sangat kesal karena kamu meninggalkan kakek.”
“Aku ingin sekali punya ponsel lagi. Aku ingin menghubungi dosen di kampus aku, supaya aku diterima kuliah lagi.”
“Mm, gitu ya? Kamu tidak main-main kan?”
“Tentu saja aku bersungguh-sungguh Kek, aku harus menjadi cucu kebanggaan Kakek.”
“Benarkah?” pak Hasbi ingin meyakinkan, karena Bening dulu segan kuliah. Ia lebih suka menemani kakeknya.
“Benar, Kakek,” kata Dewi dengan manja. Ia melonjak kegirangan ketika tampaknya sang kakek menyetujuinya. Apakah ia ingin kabur dengan pura-pura kuliah? Tidak. Dewi merasa iba kepada pak Hasbi, kakek kesepian yang menganggapnya adalah cucunya. Ia akan mencari waktu terbaik untuk membuka semuanya, tidak sekarang.
“Baiklah. Tapi pakai namaku saja kalau mau daftar ke ponsel. Walaupun yang membawa kamu.”
“Baiklah, terima kasih Kakek,” kata Dewi sambil melonjak-lonjak kegirangan.
Simbok ikut tersenyum senang melihat Dewi tampak begitu gembira.
***
Mereka memasuki sebuah toko ponsel, dan pak Hasbi memilihkan yang terbaik untuk ‘cucunya’.
Ketika pak Hasbi mengurus semuanya, simbok menowel lengan Dewi.
“Jadi dengan ponsel itu, Non akan kabur dari rumah Tuan?” tanyanya lirih.
“Dewi menggoyang-goyangkan telapak tangannya sebagai isyarat menolak atas ‘’tuduhan’ simbok.
"Tidak Mbok, tenang saja,” bisiknya pelan, lalu mendekati sang kakek yang sudah selesai bertransaksi, sekaligus menyelesaikan pencatatan atas ponsel itu.
“Nih, untuk kamu,” kata pak Hasbi sambil tersenyum.
“Terima kasih, Kakek,” kata Dewi sambil menerima bungkusan ponsel, lalu merangkul pak Hasbi erat-erat, membuat air mata pak Hasbi berlinang-linang karena haru dan bahagia.
Dari tempat yang agak jauh, simbok mengusap air matanya dengan ujung bajunya. Sudah lama dia tidak melihat sang tuan sebahagia itu.
***
Setelah mendapatkan ponsel, sang ‘kakek’ masih mengajak berjalan-jalan. Keinginannya untuk membelikan baju untuk sang ‘cucu’ masih menggebu-gebu. Karenanya ia kembali memasuki toko pakaian.
“Kek, mengapa masuk kembali kemari?”
“Bening, kamu kan mau kuliah? Beli baju yang pantas untuk kuliah. Selama ini kamu hanya punya baju untuk main-main bersama tetangga,” katanya sambil menggandeng lengan Dewi erat-erat, khawatir sang cucu menolak. Padahal Dewi ingin sekali segera menghubungi kembali kantor Satria, karena hanya itu yang diingatnya. Tapi demi menyenangkan hati sang ‘kakek’ ia tak menolaknya.
Karena terburu-buru, ia sembarang memilih baju, yang penting segera bisa pulang.
“Bening, kamu memilih baju untuk kuliah, mengapa mengambil daster? Itu biar untuk simbok.”
Dewi menutup mulutnya, lalu mengambil lagi beberapa kaos dan celana jean, yang kali ini ia benar-benar memilihnya.
“Ayo Kek, ini sudah cukup. Apa Kakek tidak lelah? Aku yang masih muda saja capek.”
Pak Hasbi tertawa.
“Kakekmu ini masih gagah dan berjiwa muda, mana bisa lelah? Kalau kamu merasa lelah atau capek, itu wajar, karena kamu baru sembuh dari sakit. Baiklah, berikan bungkusannya pada simbok, ayo kita pulang.”
Dewi merasa lega. Ia menyerahkan bungkusan itu kepada simbok, lalu mengikuti pak Hasbi yang berjalan ke arah mobilnya.
Tapi sebelum mereka memasuki mobil, sebuah teriakan mengejutkan Dewi.
“Dewi!”
***
besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteMatur nuwun Mbak Tien sayang. Salam sehat selalu.
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteMakasih bu Tien
ReplyDeleteMaturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 40" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun 🙏🩷🩷
ReplyDeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 40 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
🍍🍉🍍🍉🍍🍉🍍🍉
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💐🦋
Cerbung eMHa_40
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin🤲. Salam seroja😍
🍍🍉🍍🍉🍍🍉🍍🍉
Alhamdulillah....
ReplyDeleteeMHa_40 sudah hadir. Terimakasih Bu Tien, semoga Bu Tien dan Pak Tom, selalu diberikan kesehatan yang prima.
Tetap berkarya & menghibur penggemarnya.
Aamiin...🤲🤲🙏
Alhamdulillah
ReplyDeleteMawar Hitam 40 sudah tayang
Terima kasih bunda Tien
Semoga bunda sekeluarga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Lhaaaah siapa yg panggil ya,mungkin Listyo atau satria, bisa ketemu gak Diseri ke 41, atau mungkin berikutnya lagi,...
ReplyDeleteMaturnuwun Bu Tien, tetep sehat semangat menulis lagi untuk pembaca setia..
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 40 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteTerimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Alhamdulillah MAWAR HITAM~40 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..🤲
Alhamdulillah
ReplyDeleteHappy End in Syaa Alloh ...
Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 40* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Makin seru ceritanya. Dan makin penasaran kelanjutannya
ReplyDeleteYang berteriak sepertinya satria
ReplyDeleteMakasih bunda
Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 40..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Bagaimana sekiranya kakek Hasbi di tinggal Dewi secara tiba tiba? Pastinya akan merana dan kesepian lagi.
Sebelum Dewi msk ke dalam Mobil, orang orang yang dia kasihi memanggilnya.
Makin seru aja nih ceritanya.
Nah.. Satria (mungkin) sudah menemukan Dewi. Semoga tidak terjadi terjadi salah faham Satria dengan kakek Hasbi
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Lha dalah, ini sênêng aku kalau mulai susur menyusuri.
ReplyDeleteTapi bukan susur nya simbok lho, iya ngertilah.
Kalau ketemu jadi berseri kalau tidak ya.. kawatir mulai berbusa
Mumpluk yå, namanya juga berbusa ya mesthi menggelembung membesar.
Mudah mudahan nggak salah tåmpå, maksudté piwé. Saking curigané kan bisa lho pak kakek jadi terpisah sama ning, mana bisa wong sudah setahun nggak ketemu ya mesthi rindu nya masih menderu deru thå yå.
Mudah mudahan gitu, kan bisa.
Sama sama rindu, mbingungi..
Itu lho Satria juga rindu dan curiga..
Ah masak cemburu, sama kakek kakek kok cemburu.
Mudah mudahan mereka sempat omon omon jadi rada adem di hati kakek, kan Ning sudah janji kalau akan selalu ada didekat kakek.
Kakèk kan kenal sama pak Sunu, teman bisnis, ah sok tahu.
ADUHAI
Terimakasih Bu Tien
Mawar hitam yang ke empat puluh sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Matur nuwun Bu Tien.....tetap sehat selalu Bund...
ReplyDeleteAlhamdulillah, sehat2 selalu nggih Bu😍🙏
ReplyDelete