Wednesday, August 13, 2025

MAWAR HITAM 39

 MAWAR HITAM  39

(Tien Kumalasari)

 

Pak Hasbi heran, ketika melihat Dewi terpaku dan tidak segera menyuruh simbok bersiap ketika pak Hasbi memintanya.

“Ayo, tunggu apa lagi, segera suruh simbok bersiap, kita jalan-jalan bersama, aku yang setir mobilnya,” kata pak Hasbi bersemangat.

“Kakek, mengapa Kakek harus ikut. Kasihan, apalagi Kakek harus setir mobil, bagaimana kalau aku sama simbok saja. Tapi aku minta uangnya ya Kek,” kata Dewi berpura-pura manja kepada kakeknya, agar sang ‘kakek’ senang.

Pak Hasbi memang tersenyum senang.

“Masalah uang itu gampang, nanti aku beri kamu uang agar kamu bisa beli apa saja yang kamu suka. Tapi kakek tidak bisa membiarkan kamu pergi sendiri. Dan kamu tidak perlu merasa kasihan kepada kakek. Kakek ini biarpun sudah tua, tapi masih berani ngebut di jalan,” katanya sambil terkekeh, tapi membuat semangat Dewi luruh mendengar tekad sang ‘kakek’. Maksudnya Dewi akan mencari kesempatan agar bisa menghubungi keluarganya, bukan untuk meninggalkan laki-laki tua yang kesepian dan merindukan cucunya.

“Ayolah, mana simbok. Mboook,” panggil pak Hasbi tak sabar.

Simbok bergegas mendekati sang tuan.

“Ya, Tuan.”

“Kamu sudah mandi?”

“Sudah Tuan, pagi-pagi sekali saya sudah mandi.”

“Sekarang ganti bajumu dengan yang lebih pantas. Bening ingin jalan-jalan bersama kamu. Aku yang akan mengantar.”

“O, begitu ya Tuan,” kata simbok yang sebenarnya sudah mengerti maksud Dewi mengajaknya jalan-jalan, tapi kalau bersama pak Hasbi, lalu bagaimana?

“Hei, mengapa bengong? Cepat ganti bajumu.”

“Saya baru mau masak, Tuan.”

“Hari ini tidak usah masak. Kita makan di restoran sampai kenyang. Cucuku bosan tinggal di rumah terus.”

“O, begitu ya Tuan.”

“Cepaaat,” kata pak Hasbi tak sabar.

Simbok segera membalikkan tubuh, sambil melirik sekilas ke arah Dewi yang masih belum beranjak juga.

“Bening, apa kamu akan tetap memakai baju itu? Tapi itu sudah bagus. Dulu kita beli di Malioboro ketika jalan-jalan, apa kamu lupa?”

“Tidak, Kakek.”

“Ya sudah, kakek saja yang ganti baju, tidak apa-apa kamu tetap memakai itu,” kata pak Hasbi sambil beranjak ke kamarnya.

Dewi termenung dengan masih tetap duduk di tempatnya semula. Ia sedang berpikir, ia harus melakukan apa supaya sang ‘kakek’ melepasnya hanya sekedar untuk menelpon saja.

***

Pak Hasbi mengajak jalan-jalan Dewi dan simbok ke sebuah area pertokoan. Pak Hasbi tampak bahagia. Ia berjalan sambil merangkul Dewi yang dianggapnya Bening, cucunya. Sementara Dewi dengan gelisah berjalan disisinya. Simbok yang berjalan di belakangnya merasa kasihan karena Dewi tidak bisa berbuat apa-apa dengan pak Hasbi di sampingnya.

“Kakek, aku lapar,” tiba-tiba kata Dewi.

“Haa, lapar, tentu saja. Tapi kamu tidak ingin membeli baju, atau sepatu, atau apa yang kamu inginkan? Setelah kamu membeli sesuatu, kita baru makan.”

“Tapi aku sudah lapar sekali, Kakek,” Dewi merengek sambil menyandarkan kepalanya dipundak pak Hasbi.

“Oh, kasihan cucuku, ternyata tidak bisa menahan lapar sebentar saja. Baiklah, mengapa tidak? Ayo kita makan dulu, baru kita belanja. Nanti simbok juga boleh beli beberapa potong baju, ya Mbok,” katanya kemudian kepada simbok, sambil terus berjalan mencari rumah makan.

“Saya tidak usah Tuan, biar non Bening saja.”

“Tidak begitu Mbok, ini ungkapan kebahagiaan aku, karena telah bertemu cucuku.”

“Ya sudah, terserah Tuan saja.”

Mereka memasuki sebuah rumah makan yang ramai pembeli. Itu restoran terkenal, dan banyak pelanggannya. Pak Hasbi memilihnya. Walau harganya mahal karena sudah punya nama, tapi ia ingin menyenangkan ‘cucunya’.

“Simbok jangan misah, di sini saja, semeja dengan kami,” kata Dewi setelah menemukan bangku seperti keinginannya.

“Tidak Non, simbok di sini saja.”

“Mbok, kamu harus menurut apa kata cucuku. Dia senang kalau kita bisa makan bersama, jangan sungkan, ini bukan di rumah sendiri, jadi tempat duduknya bisa untuk umum.”

“Ayo Mbok, dekat aku sini.”

Akhirnya dengan kikuk simbok duduk di samping Dewi.

“Bening, kamu mau makan apa? Pesan saja. Itu daftar menu, kamu tuliskan sekalian semua.”

“Kakek mau makan apa? Di sini tidak ada sayur bobor,” ledek Dewi.

Pak Hasbi terkekeh.

“Kamu jangan mengejekku. Sayur bobor itu sayuran sehat, isinya bayam sama buah labu. Simbok kalau memasak enak sekali, gurih … nikmat,” puji pak Hasbi, membuat simbok tersipu.

“Lalu kakek mau makan apa?”

“Carikan menu bubur, aku bubur saja, nggak mau daging atau ikan, gigi kakek sudah nggak kuat mengunyah daging.”

“Adanya puding …”

“Nah, puding … aku suka, tidak perlu dikunyah.”

“Baiklah. Lalu simbok apa?”

“Saya terserah Non saja.”

“Nasi ayam panggang saja ya Mbok, aku juga sama.”

“Terserah Non saja.”

“Kedengarannya enak tuh, sudah lama tidak makan ayam panggang.”

“Kakek mau?”

“Nanti minta simbok agar ayamnya dipotong-potong ya.”

“Baiklah, semua nasi ayam panggang, kakek tambah puding, aku mau es beras kencur. Simbok sama kan?” kata Dewi karena simbok juga mengangguk.

Pesanan sudah disampaikan kepada pelayan rumah makan.

“Kek, aku mau ke toilet dulu ya.”

“Eh, ayo kakek antar.”

“Kakek, masa Kakek mengantar aku ke toilet? Toiletnya kan untuk wanita, kalau kakek ikut, nanti dikira laki-laki yang suka gangguin perempuan, bagaimana?”

“Masa iya, orang setua kakek suka nggangguin wanita?”

“Kakek itu masih gagah dan tampan, bisa saja orang mengira begitu.”

“Kamu tidak bisa pergi sendirian, Bening. Kakek khawatir ada apa-apa.”

“Aku sama simbok saja, sama-sama perempuannya.”

”Tapi, kakek khawatir sekali kalau_”

“Tidak apa-apa, Bening bukan anak kecil Kek, lagi pula ada simbok yang akan menjaga Bening. Ya kan Mbok?”

“Iya Tuan, biar saya menjaga non Bening sampai selesai.”

“Iya Kek, ayo Mbok sudah kebelet nih, aku,” katanya sambil berdiri.

Simbok mengikuti dibelakang Bening, sedangkan kakek menatapnya dengan khawatir.

Tapi Dewi tidak ke kamar mandi, dia berbelok ke arah resepsionis, untuk meminjam telepone.

“Boleh ya, pinjam telepone? Ada hal penting yang harus saya sampaikan, nanti saya juga mau kok kalau harus membayar.”

“Baiklah Nona, silakan.”

Tapi Dewi tidak hafal semua nomor yang akan dihubunginya. Barangkali karena bingung dan tergesa-gesa tak satupun ia ingat nomor kontak yang ingin dihubunginya. Satria, ibu dan ayahandanya, Listyo.  Ingat depannya belakangnya lupa.. begitu seterusnya.. sementara ia takut pak Hasbi melihatnya.  Satu-satunya yang dihafal adalah nomor kantor Satria. Karena itu ia menelpon ke nomor kontak kantor itu, mencari Satria.

“Maaf, Nona, saat ini pak Satria sedang tidak masuk ke kantor. Nona bisa menghubungi nomor ponselnya.”

“Oh, begitu ya, tapi saya tidak tahu nomor kontak ponselnya. Saya sedang tergesa-gesa. Nama saya Dewi, katakan pada dia bahwa saya baik-baik saja, dan saat ini saya berada di sebuah restoran. Nama restoran itu RESTU ABADI. Tolong di sampaikan ya, saya sedang tergesa-gesa.”

Karena takut sang kakek curiga, maka Dewi bergegas meninggalkan tempat itu dan langsung pergi ke toilet.

Baru saja dia masuk, pak Hasbi benar-benar menyusul. Tak peduli itu toilet untuk wanita, tetap saja dia ke sana. Dilihatnya simbok sedang bersandar di tembok.

“Mana Bening?”

“Oh, Tuan … mengapa Tuan kemari?” tanya simbok, sedikit kaget karena tuannya tiba-tiba datang.

“Kalian lama sekali.”

“Tadi harus ngantre Tuan, Non Bening baru saja masuk.”

“O, ya sudah, cepat kembali. Pesanan sudah terhidang di meja,” kata pak Hasbi sambil membalikkan tubuhnya. Sejatinya dia juga sungkan memasuki area toilet untuk wanita.

Simbok bernapas lega, untunglah Dewi bertelpon hanya sebentar. Kalau tidak, entah apa yang akan dikatakannya nanti.

“Seperti suara kakek?” kata Dewi yang baru saja keluar.

“Iya Non, untunglah Non sudah selesai menelpon tadi. Tuan itu bawaannya khawatir saja. Takut Non hilang lagi.”

“Kasihan ya Mbok, aku tak akan meninggalkan kakek begitu saja. Kakek harus sadar dulu, baru aku bisa pergi dengan lega. Tapi keluargaku harus tahu kalau aku baik-baik saja.”

“Non sungguh baik. Seperti non Bening. Sebenarnya almarhumah juga sayang sama tuan. Tapi Non, nanti kalau tuan bertanya, kok lama … Non harus jawab kalau tadi ngantre, gitu ya Non. Soalnya tadi saya juga menjawab begitu.”

“Iya, aku dengar kok waktu simbok menjawab.”

***

Siang itu, untuk kesekian kalinya pak Sunu membezoek Andra, yang keadaannya jauh lebih baik, walaupun dokter belum mengijinkannya pulang. Ada gegar otak ringan yang diderita, sehingga memerlukan perawatan dan pengawasan selama beberapa hari lagi.

“Bagaimana keadaan kamu?” tanya sang mertua yang bicara lembut sejak membezoek pertama kali menantunya.

“Saya baik, Pak.”

“Kamu harus tenang, semuanya terkendali. Hanya saja Satria sering minta ijin karena calon istrinya belum ditemukan.”

“Saya menyesal tidak bisa berbuat apa-apa waktu itu.”

“Kamu sudah melakukan yang terbaik. Sebelum kamu dianiaya, kamu sudah mengabarkan kecurigaan kamu kepada Satria yang langsung menghubungi pihak berwajib. Sekarang kan sudah ditangani. Tiga orang penjahat sudah ditangkap. Salah satunya adalah Sinah.”

Andra memalingkan wajahnya mendengar nama Sinah disebut. Walau pak Sunu sudah memaafkannya, tapi Andra masih merasa terbebani oleh ‘dosa’nya.

“Saya minta maaf,” katanya lirih.

“Ya sudah, lupakan saja, seperti aku juga sudah memaafkannya. Itu semua karena cinta istrimu yang kelewat besar.”

Andra menatap istrinya yang sejak tadi diam sambil memijit-mijit kakinya. Andira tersenyum ke arahnya.

“Kamu bisa menunggu sampai sembuh benar, baru bisa kembali bertugas. Selama kamu tidak ada, aku yang menghandle semuanya.”

“Saya … masih diijinkan bekerja?”

“Apa kurang jelas aku mengatakannya? Tentu saja iya.”

Berlinang air mata Andra mendengarnya.

Tiba-tiba ponsel pak Sunu berdering, dari kantor.

“Ya, ada apa?”

“Saya Asmat Pak, seharusnya saya menghubungi pak Satria, tapi ponselnya susah dihubungi.”

“Memangnya ada apa?”

“Tadi ada yang menelpon, namanya Dewi.”

“Dewi itu katanya calon istri Satria, begitulah aku mendengarnya. Benar kan?"

“Benar Pak, dia bilang bahwa keadaannya baik-baik saja, dan saat ini dia sedang berada di sebuah rumah makan RESTU ABADI.”

“Kalau dia baik-baik saja mengapa tidak segera pulang saja atau lapor ke polisi sehingga mereka bisa segera menanganinya?”

“Saya tidak tahu Pak, Dewi menelpon dengan sangat tergesa-gesa, seperti ada yang ditakutkan.”

“Segera lapor ke polisi saja sambil menghubungi Satria,” titah pak Sunu.

“Baik.”

“Ke mana Satria, mengapa tidak bisa dihubungi?”

“Bapak kan punya nomor dosen Satria yang katanya murid Bapak?” kata Andra.

“Oh iya, aku akan mencoba menghubungi Listyo saja, barangkali dia bisa langsung menghubungi Satria." kata pak Sunu yang segera mengambil ponselnya.

Andra menatapnya sambil terus memarahi dan menyesali semuanya. Ia tahu bahwa semua petaka itu terjadi karena kesalahannya.

***

Listyo menutup ponselnya setelah pak Sunu menghubunginya.

“Sat, ponselmu mana?”

“Ketinggalan di kamar Pak, saya tadi berangkat dengan tergesa-gesa.”

“Dewi menelpon ke kantor kamu.”

“Dewi?”

“Ayo ikut, dia ada di rumah makan Restu Abadi,” kata Listyo sambil melangkah ke arah mobilnya, setelah mereka beristirahat dalam mencari keberadaan Dewi.

“Mengapa Dewi ada di sana?” tanya Satria setelah mobil itu berada dalam perjalanan.

“Aku tidak tahu, tapi dia mengatakan bahwa keadaannya baik-baik saja.”

“Kalau begitu mengapa dia tidak langsung pulang saja?”

“Semuanya tidak jelas, pak Asmat yang menerima telpon mengatakan kalau Dewi bicara dengan singkat dan tergesa-gesa. Tampaknya dia takut sesuatu.”

“Apa dia diculik seseorang?”

Mobil Listyo melaju ke arah rumah makan yang disebutkan. Keduanya memasuki rumah makan dan mengitari seluruh ruangan dengan pandangan tajam.

Tapi mereka tak menemukan yang dicarinya.

***

Besok lagi ya.

 

 

 

23 comments:

  1. Alhamdulillah MAWAR HITAM~39 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
    Aamiin YRA..🤲

    ReplyDelete
  2. Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 39" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun šŸ™šŸ©·šŸ©·

    ReplyDelete
  3. 🪻🪷🪻🪷🪻🪷🪻
    Alhamdulillah šŸ™šŸ˜
    Cerbung eMHa_39
    sampun tayang.
    Matur nuwun Bu, doaku
    semoga Bu Tien selalu
    sehat, tetap smangats
    berkarya & dlm lindungan
    Allah SWT. Aamiin YRA.
    Salam aduhai šŸ’šŸ¦‹
    🪻🪷🪻🪷🪻🪷🪻🪷

    ReplyDelete
  4. Selamat mlm bunda MH nya..terima ksih dan slm sht sll unk bunda bersm bpkšŸ™šŸ„°šŸŒ¹❤️

    ReplyDelete
  5. Matur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang

    ReplyDelete
  6. Matur nuwun Bu Tien, salam sehat bahagia aduhai dari Yk....

    ReplyDelete
  7. Alhamdulillah Mawar Hitam sudah tayang
    Maturnuwun bunda Tien semoga bunda sekeluarga sehat walafiat
    Salam aduhai hai hai

    ReplyDelete
  8. Alhamdulillah, mtnw mbakyu, sehat selalu❤

    ReplyDelete
  9. Alhamdulillaah dah tayang dan langsung di baca, sebentar lagi Dewi bahagia bersama satria "ngarep"
    Makasih Bunda

    ReplyDelete

  10. Alhamdullilah
    Matur nuwun bu Tien
    Cerbung *MAWAR HITAM 39* sdh hadir...
    Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
    Aamiin...



    ReplyDelete
  11. Alhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 39 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.

    ReplyDelete
  12. Wafuh ..tlisipan
    .Dewi dah pulang
    Alhamdulillah
    Syukron nggih Mbak Tien❤️🌹🌹🌹🌹🌹

    ReplyDelete
  13. Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 39..sdh tayang.
    Sehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
    Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.

    Bening...jangan lupa ya...nnt klu kakek Hasbi..membelikan baju baru..minta di beliin juga HP buat main game di rumah...dan buat menghubungi orang2 yang kamu sayangi...😁

    ReplyDelete
  14. Sudah makin dekat.. Cuma Dewi tidak bisa dihubungi karena tidak punya alat komunikasi. Mengapa tidak minta dibelikan HP ya, kepada kakek Hasbi..
    Salam sukses mbak Tien yang Aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.

    ReplyDelete
  15. Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 39 " sudah tayang
    Semoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin

    ReplyDelete
  16. Terimakasih bunda Tien, sehat selalu bunda Tien sekeluarga.... Aamiin Allahumma Aamiin 🤲🤲🤲

    ReplyDelete
  17. Sebelumnya Sinah jadi Mawar, sekarang Dewi jadi Bening. Mbak Tien maha pengatur dalam novel ini...
    Terimakasih Mbak Tien...

    ReplyDelete
  18. Nampaknya kakek Hasbi sudah menyadari bahwa Dewi bukan Bening, makanya dia awasi ketat dengan alasan takut kehilangan lagi.
    Coba kalau sampai digrebek polisi di rumah makan pasti heboh sekali, sayangnya Dewi tidak berhasil mengulur waktu ya...

    Trmksh, ibu Tien...semoga cepat pulih dari sakit batuknya ya...šŸ™šŸ»šŸ™šŸ»šŸ™šŸ»

    ReplyDelete

MAWAR HITAM 39

  MAWAR HITAM  39 (Tien Kumalasari)   Pak Hasbi heran, ketika melihat Dewi terpaku dan tidak segera menyuruh simbok bersiap ketika pak Hasbi...