MAWAR HITAM 38
(Tien Kumalasari)
Dewi membalas pelukan pak Hasbi dengan perasaan mengharu biru. Ia bingung harus melakukan apa. Pak Hasbi kehilangan cucu dan menganggap Dewi adalah cucunya yang hilang dan kembali lagi. Ia tampak begitu sedih ketika mendengar dirinya akan pergi, bahkan air matanyapun bercucuran, bahkan lagi … ia ingin mati kalau dirinya pergi.
Pak Hasbi menangis pilu. Kepalanya diletakkan di pundak Dewi, dan Dewi membiarkan pundaknya basah oleh air matanya.
“Kakek, tenanglah dulu, mari kita duduk dan bicara dengan baik.”
“Aku tidak akan membiarkan kamu pergi, aku akan mati.”
“Jangan begitu Kakek, mati dan hidup itu bukan kita yang menentukannya.”
“Tapi aku bisa. Banyak cara untuk menuju kematian. Kalau hidup tidak berharga, apa lagi yang akan dicari?”
“Kakek, duduklah dengan baik,” Dewi menuntun pak Hasbi dan mendudukkannya di kursi, lalu mengusap air mata dipipinya dengan telapak tangan.
“Kamu, setelah sakit dan menghilang entah ke mana, pikiranmu jadi berubah. Dulu itu kamu kecewa karena apa sehingga pergi meninggalkan kakek? Kamu bicara yang tidak-tidak. Bagaimana kamu ini, kamu itu cucuku, rumahmu di sini, bukan di mana-mana. Orang tuamu sudah tak ada, bagaimana kamu bisa mengatakan ingin menemuinya?”
Dewi kebingungan. Siapa bicara yang tidak-tidak? Dirinya, atau ‘kakeknya’?
“Kakek, aku tidak bingung. Aku bicara benar.”
“Apakah aku harus membawamu ke dokter untuk mengobati syarafmu yang terganggu? Apakah karena sakit itu yang membuatmu berubah?”
Dewi menghela napas panjang. Ia tak bisa membiarkan pak Hasbi begitu saja, dan tak bisa kalau tak mempedulikan perasaannya. Bagaimanapun sang 'kakek' telah menyelamatkan jiwanya. Merawatnya dengan penuh kasih sayang. Tapi dia butuh menghubungi seseorang untuk mengabarkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Dewi menyandarkan kepalanya disandaran kursi ukir yang didudukinya. Pak Hasbi menatapnya, lalu mengelus kepalanya.
“Apa kamu sedih? Banyak kejadian orang kehilangan ingatannya karena suatu penyakit. Meskipun kakek sedih, tapi kakek bahagia kamu sudah kakek temukan. Ke mana saja kamu setelah kamu sakit ? Banyak orang mengatakan bahwa kamu telah meninggal. Aku dirawat di rumah sakit ketika mendengar berita itu. Dan aku tidak percaya. Mereka menunjukkan kepadaku sebuah nisan dengan tulisan ‘BENING’, tapi aku tidak percaya. Mereka hanya membuat agar aku tidak terus mencarimu. Dan aku benar kan, aku akhirnya menemukanmu, walau dalam keadaan terluka, tapi kamu selamat, kamu hidup dan akan menemani aku di hari tua aku ini,” katanya dengan suara bergetar.
Tak urung menitik air mata Dewi mendengar cerita sang ‘kakek’.
“Jangan menangis, Bening. Kita sudah bersama lagi. Kamu akan menemani kakek sampai ajal menjemput kakek. Ya kan? Jangan biarkan kakek kesepian lagi, Bening.”
Dewi mengangguk dengan perasaan berat, hanya untuk membuat pak Hasbi lega. Dan senyuman pak Hasbi segera merekah melihat anggukan Dewi.
“Bening, besok kita ke dokter syaraf. Kamu harus sehat, lahir batin. Jangan sampai di pikiran kamu ada bayangan orang-orang lain yang kamu anggap orang tuamu, atau sebuah rumah yang kamu anggap sebagai rumahmu. Inilah rumahmu, ini kakekmu, ayah dari ibumu yang sudah meninggal bersama ayahmu dalam sebuah kecelakaan. Saat itu kakek merasa hancur, tapi kakek harus bertahan, karena orang tuamu meninggalkan kamu pada kakek ini.”
Dewi mengurai cerita yang diungkapkan sang ‘kakek’, dan mulai mengerti asal mulanya, mengapa pak Hasbi menganggap dirinya adalah cucu kesayangannya, yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya untuk dirawat.
Bisa dibayangkan betapa sedihnya saat cucu yang harus dirawatnya kemudian meninggal pula.
"Tidak usah ke dokter Kek, aku baik-baik saja."
Lalu pak Hasbi mengelus lagi kepala Dewi.
“Bening, kamu ingin makan apa? Biar simbok memasak untuk kamu. Simbok itu sudah lama ikut kakekmu ini, bahkan sejak ayah ibumu masih ada.”
“Simbok ada di belakang, biar Dewi membantu memasak ya Kek.”
“Kamu selalu merasa bahwa kamu Dewi, baiklah. Kamu adalah Dewi di rumahku ini. Lakukan apa yang kamu sukai, asalkan jangan meninggalkan kakek,” kata pak Hasbi sambil menepuk-nepuk tangan Dewi.
Dewi tersenyum, lalu melangkah ke dapur, menemui pembantu yang sedang bersiap memasak.
“Mbok, mau masak apa?”
“Non Bening di sana saja, nanti tuan marah kalau Non ada di dapur.”
“Tidak, aku sudah mengatakan pada kakek, bahwa aku ingin membantu,” kata Dewi yang kemudian duduk di sebuah kursi di depan bangku yang dipakai simbok untuk memetik sayuran.
“Mau masak apa?”
“Ini … sayur bobor kesukaan tuan, karena tuan suka yang empuk dan mudah di kunyah, lauknya juga harus empuk. Tuan tidak suka daging, kecuali hanya kuahnya saja. Non mau dimasakin apa? Tadi sebenarnya tuan menyuruh simbok untuk menanyakannya pada Non.”
“Aku tidak memilih, terserah simbok masak apa.”
“Non Bening dulu suka ayam goreng.”
“Tidak, aku tidak suka.”
“Semuanya jadi berbeda setelah Non pergi.”
“Mbok, aku tuh beneran bukan Bening.”
“Non jangan bercanda. Kata tuan, non pergi setelah sakit. Kemungkinan karena Non ingin sesuatu, tapi tuan tidak bisa memenuhi karena waktu itu tuan juga sakit.”
“Aku tidak percaya simbok mengenali aku sebagai Bening,” kata Dewi pelan.
Simbok menoleh ke arah depan dengan rasa takut. Lalu ia menutup bibirnya dengan jari telunjuk.
“Ada apa?”
“Tuan mengatakan bahwa Non adalah non Bening, kalau saya nggak ikutan, nanti tuan marah,” kata simbok lirih.
"Jadi simbok tahu kan, kalau saya bukan Bening?” tanya Dewi yang mengimbanginya dengan suara sama lirihnya. Simbok hanya mengangguk, tapi kemudian matanya tampak berkaca-kaca.
“Saya kasihan pada tuan,” suara lirihnya bergetar, berbaur dengan tangis yang tiba-tiba menyela.
Dewi mengangguk mengerti.
“Di hari tuanya, tuan selalu kesepian. Merindukan cucunya yang dianggap hilang,” suaranya masih dengan terisak.
Tiba-tiba ….
“Mbook, sini.”
Simbok terkejut, apa sang tuan mendengar dia berkata-kata?
“Mboook…”
Simbok mengusap air matanya yang sempat meleleh di pipi.. lalu setengah berlari mendekati tuannya. Dewi menajamkan pendengarannya, kalau simbok dimarahi gara-gara perkataannya, dia harus siap membelanya, walau belum tahu harus membela dengan cara bagaimana.
“Kamu jangan hanya memasak untuk aku, tanyakan pada Bening, dia mau dimasakin apa.”
Simbok merasa tubuhnya disiram dengan seember air, dingin, segar. Kirain mau dimarahin.
“Saya sudah menanyakan. Kata Non Dewi_”
“Non Bening, bagaimana kamu ini?” pak Hasbi memotong perkataan simbok
“Eh … iya, kenapa mulut simbok jadi susah diatur ya, iya.. Tuan, non Bening.”
“Kenapa mata kamu merah? Kamu nangis?”
“Ti … tidak Tuan, saya mengiris bawang merah. Bawang merah suka begitu Tuan, selalu membuat orang menangis,” kata simbok sambil beranjak ke belakang.
Sesampai di dapur, simbok mengelus dadanya sambil berbisik: “slameeet, slameeet.. slamett.”
Dewi tersenyum lucu.
“Itulah Non, simbok takut sekali kalau tidak menganggap Non sebagai non Bening,” bisiknya pelan.
Dewi tersenyum, ia sedang berpikir, apakah dia bisa mempergunakan simbok untuk bisa berkabar kepada orang tua atau kerabatnya, atau juga Satria, yang dibayangkannya pasti juga sedang bingung memikirkan dirinya yang hilang selama berhari-hari, bahkan mungkin dikira sudah mati. Merinding bulu kuduk Dewi membayangkan sebuah kematian.
***
Mbok Randu dan mbok Manis sedang duduk berdua di bawah pohon tanjung. Mbok Randu merasa iba melihat mbok Manis selalu tampak murung. Hal itu bisa dimengerti, karena mbok Manis pastilah kecewa dan sedih mengetahui perilaku anak gadisnya yang mampu melakukan hal sejahat itu.
“Yu, dari pada sampeyan terus-terusan sedih, tengoklah anakmu di tahanan, aku juga mau kok menemani,” kata mbok Randu.
“Untuk apa aku bertemu dia Yu, aku sedih dan juga marah, apakah aku harus memarahi Sinah di depan polisi-polisi itu?”
“Kalau ingin marah, ya marah saja Yu, memang seharusnya sampeyan marah karena kelakuan Sinah itu tidak benar. Tapi kedatangan seorang simbok, pasti akan membuat Sinah mengerti, betapa sedihnya orang tua ketika mengetahui kelakuan anaknya.”
“Masa iya, Sinah bisa mengerti kalau simboknya bersedih? Dia itu tidak berperasaan, Yu Randu sendiri kan tahu, bagaimana ketika kita makan di restoran Mawar Hitam, lalu dia menyebut dirinya bernama Mawar, apa dia menaruh hormat sedikit saja kepada simboknya? Jangankan hormat, perhatian saja tidak ada. Dia menatapku seperti meremehkan aku. Pasti dipikirnya aku kan hanya abdi, sedangkan dia kan pemilik rumah makan.”
“Itu benar Yu, tapi kalau sampeyan datang, pastinya bukan sekedar marah, tapi juga memberi petuah, ya kan?”
“Begitukah menurutmu? Berapa kali aku memberi petuah, dan berapa kali juga dia mengabaikannya. Entah bagaimana dia akhirnya bisa mencapai kehidupan layak, tapi kemudian dia harus masuk penjara. Menurutku dia mendapatlan itu dengan cara yang tidak benar,” kata mbok Manis sambil mengusap air matanya. Wajahnya yang keriput, ditambah mata sembab karena dipakai menangis terus-terusan, membuat mbok Manis tampak jauh lebih tua dari umur yang sebenarnya.
“Aku bisa mengerti Yu, ini adalah cobaan. Siapa tahu setelah mendapat hukuman maka dia bisa menyadari kesalahannya.”
Mbok Manis masih sibuk mengusap air matanya, lalu mbok Randu menariknya berdiri.
“Ayo kita masuk Yu, saatnya menata meja makan.”
“Kamu saja yang melakukannya. Den mas Adisoma tidak suka melihatku. Dia tampak sangat benci sama aku.”
“Tidak, itu kan hanya perasaanmu saja.”
“Itu benar, semenjak ada berita kalau den ajeng Dewi dicelakai oleh Sinah, maka den mas tampak sangat membenci aku. Tatapan matanya kelihatan kalau dia juga marah sama aku. Lha aku ini dosanya apa ta Yu, aku kan tidak ikutan melakukan kejahatan, walaupun Sinah itu anakku?”
“Aku kira tidak begitu juga ah, itu hanya perasaan sampeyan saja.”
“Sudah, kamu saja yang masuk ke dalam, kalau den ayu bertanya, katakan kalau aku sedang tidak enak badan.”
***
Keluarga Adisoma sedang makan di rumahnya yang ada di Jogya. Mereka masih berada di sana, mengharapkan berita baik tentang Dewi yang diharapkan masih selamat.
“Mbok Manis ke mana?” tanya den ayu Saraswati kepada mbok Randu yang melayani.
“Sedang tidak enak badan, Den Ayu,” jawab mbok Randu takut-takut.
“Itu salahnya sendiri, punya anak tidak diajari perilaku yang baik, sekarang ketika ada masalah, dia memikirkan sampai sakit-sakitan begitu.”
“Kangmas jangan menyalahkan mbok Manis, Sinah itu sejak dulu selalu mengecewakan orang tuanya, susah diatur. Sekarang ini kita bisa membayangkan bagaimana sedihnya dia,” kata Saraswati lembut.
“Membayangkan dia sedih, lalu bagaimana dengan kita? Bukankah kita lebih sedih dari dia karena nasib Dewi belum jelas sedangkan nasib anaknya sudah jelas?” kesal Adisoma.
“Kangmas, sudahlah, kita kan selalu berdoa untuk keselamatan Dewi. Sekarang diyakini Dewi selamat, hanya belum jelas di mana dia berada. Kalau Kangmas marah-marah terus, toh tidak ada gunanya.”
Adisoma tidak menjawab, langsung berdiri dan mengambil ponselnya, untuk kembali menelpon Listyo.
***
Dewi duduk di samping pak Hasbi. Ada rasa nyaman ketika pak Hasbi mengelus kepalanya. Ia tak lagi memiliki kakek dan nenek sejak masih kecil, sekarang kasih sayang seorang kakek itu dirasakannya. Karena rasa iba dengan keadaannya, walaupun kesempatan untuk kabur dari rumah itu sangat terbuka, tapi Dewi tak ingin melakukannya. Yang ingin dilakukannya sekarang adalah mengabari keluarga dan kekasihnya bahwa dia selamat tak kurang suatu apa. Tapi dengan apa? Dia tak punya ponsel, dan pak Hasbi juga tidak pernah memegang ponsel. Dia orang kaya yang sederhana. Dalam kesendiriannya, dia tak pernah berhubungan dengan siapapun kecuali tetangga dekatnya, itupun jarang dilakukannya. Kalau dia berjalan-jalan, maka dia berjalan sendiri. Kalau ingin beli sesuatu, dia juga melakukannya sendiri.
“Kakek, apakah Kakek tidak ingin berjalan-jalan?”
“Mengapa kamu menanyakan itu?”
“Bukankah kalau di rumah saja kita akan bosan? Bolehkah Bening berjalan-jalan bersama simbok?”
“Kasihan cucuku, baiklah, ajak simbok jalan-jalan. Nanti kakek antarkan dengan mobil kakek. Kakek juga sudah lama tidak berjalan-jalan. Bertahun-tahun malah.”
Dewi terpana menatap sang ‘kakek’. Itu bukan yang diharapkannya bukan?
***
Besok lagi ya.
ππππππππ
ReplyDeleteAlhamdulillah πππ¦
Cerbung eMHa_38
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiinπ€². Salam serojaπ
ππππππππ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulillah
ReplyDeleteNuwun jeng Ning
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteMawar Hitam _38 sudah tayang.....
Terimakasih bu Tien, teriring doa semoga bu Tien sehat selalu dan selalu sehat agar istiqomah beribadah dan menulis cerita bersambung dengan konsisten. Aamiin Yaa Robbal'alamiin π€²
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Mawar Hitam telah tayang
ReplyDeleteMatur nwn bu Tien, semoga selalu sehat dan bahagia bersama keluarga.π€²
ReplyDeleteSalam Aduhai dari mBantul
Maturnuwun bu Tien " Mawar Hitam ep 38" sampun tayang . Semoga bu Tien selalu sehat demikian pula pak Tom dan amancu... salam hangat dan aduhai aduhai bun ππ©·π©·
ReplyDeleteSlmt mlm bunda..terima ksih MH bya sdh tayang..slm sht sll unk bunda bersm bpkππ₯°πΉ❤️
ReplyDeleteSuwun Bu Tien, cerbungnya sdh tayang. Smg sll sehat. Aamiin
ReplyDeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sekeluarga sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga bunda sekeluarga sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " MAWAR HITAM 38 " sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *MAWAR HITAM 38* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Alhamdulillah MAWAR HITAM~38 telah hadir. Maturnuwun Bu Tien, semoga panjenengan beserta keluarga tetap sehat dan bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
ReplyDeleteAamiin YRA..π€²
Matur nuwun, Bu Tien
ReplyDeleteAlhamdulillah, MAWAR HITAM(MH) 38 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAlhamdulillah, maturnuwun Bunda Tien.
ReplyDeleteSemoga Bunda, Pak Tom beserta keluarga selalu sehat, bahagia serta selalu dalam lindungan Allah SWT.
Aamiin YRA..π€²
Tinggal penyelesaian akhir. Bagaimana nasib mas kakek Hasbi, harusnya Dewi tidak tega meninggalkan sendiri.
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang aduhai semoga selalu sehat bersama keluarga, aamiin.
Alhamdulillah...cerbung MH sdh terbit,matur nuwun ibu Tien semoga sehat selalu beserta keluarga senantiasa dlm lindungan Allah SWT Aamiin
ReplyDeleteAlhamdulillaah " Mawar Hitam - 38" sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiinπ€²
Terima kasih Bunda, cerbung Mawar Hitam 38..sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin.
Dewi jadi terharu..mendengar cerita Kakek Hasbi.
Kakek Hasbi hrsnya di bawa ke Psikiater krn mengalami gangguan jiwa akibat kehilangan orang2 yang dia sayangi.
Dewi hrs jalan2 ke kota agar bisa berhubungan dengan siapapun dan dapat memberi kabar klu dirinya selamat.
Alhamdulillah.....
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
ReplyDelete