CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 21
(Tien Kumalasari)
Hujan semakin deras. Arum mulai gelisah karena merasa terlalu lama meninggalkan Aryo. Ia menyesal menolak Adisoma yang mau mengantarkannya. Tapi rasa sesal itu kemudian dikibaskannya. Ia bermaksud bercerai setelah melahirkan, jadi dia tak ingin bergantung pada Adisoma sejak sekarang. Entah apa nanti yang akan dilakukannya untuk menghidupi ke dua anaknya, tapi dia tak ingin lagi menjadi istri Adisoma. Ada beban berat yang disandangnya. Tentang rasa bersalahnya kepada Saraswati, terutama.
“Hujan masih deras,” gumam Sinah sambil berkali-kali menatap Arum.
Tiba-tiba dari loket pengambilan obat terdengar suara panggilan.
“Ibu Arumsari.”
Arum terkejut, ia berdiri dan bergegas mendekat. Ada apa dia dipanggil lagi? Apa ada obat yang ketinggalan?
“Ya?” tanya Arum setelah di depan loket.
“Obat ibu ketinggalan. Untunglah ibu masih di sini.”
Arum menepuk jidatnya. Ternyata tadi dia hanya membayar obat, tapi tidak membawa obatnya.
“Oh, iya. Untunglah belum pulang. Terima kasih,” katanya sambil mengambil keresek putih berisi obat-obatnya yang ketinggalan di depan loket.
Arum kembali ke tempat dia duduk, masih menunggu hujan.
“Ada apa Mbak?” tanya Sinah yang kemudian tahu bahwa nama wanita itu adalah Arumsari.
“Ini, obat saya ketinggalan di loket.”
“Untunglah Mbak belum pergi. Berterima kasihlah kepada hujan,” canda Sinah.
Arum tersenyum. Ia memang harus berterima kasih kepada hujan demi obatnya yang ketinggalan, tapi ia juga menyesali hujan karena membuatnya jadi terlambat pulang.
“Rumahnya di mana Nak?” bu Karti ikut nimbrung.
“Jl. Mengkudu.”
“Oh, lumayan jauh ya Mbak, nomer berapa?” Sinah rupanya sedang mengorek di mana tempat tinggal gadis yang pernah dilihatnya bersama Adisoma.
“Nomer sembilan.”
“Mengapa tidak diantar suami?” tanya bu Karti lagi.
“Suami saya … “ Arum ragu mengatakannya. Untuk menyebut Adisoma sebagai suami saja berat rasanya.
“Suaminya sibuk? Atau bekerja di tempat jauh, sehingga harus periksa kandungan sendiri?” sambung Sinah.
“Jauh.”
“Maksudnya bekerja di tempat jauh?”
Arum mengangguk. Ia melongok keluar, barangkali dia melihat becak. Lalu ia berdiri. Tak ingin mendengar pertanyaan dua wanita dimana dia harus menyebutkan suaminya di mana, lalu mereka juga akan bertanya, namanya siapa. Sedikit rasa kesal mulai mengganjal.
“Masih hujan lho Nak,” kata bu Karti mengingatkan Arum, ketika melihat Arum berjalan ke arah luar.
Arum menoleh dan tersenyum. Lalu tiba-tiba dia melihat sebuah mobil mendekat. Mobil Adisoma. Diantara rasa enggan, Arum juga bersyukur sehingga bisa segera pulang karena ternyata Adisoma tidak melupakan janjinya, kecuali hanya terlambat datang.
Adisoma turun, lalu membimbing Arum masuk ke mobilnya.
Sinah menatapnya tak berkedip. Benar dugaannya. Itu wanita yang pernah dilihatnya ketika ia ke pasar bersama bu Karti. Dia bersama Adisoma lagi.
“Sudah jelas dia berselingkuh,” gumamnya.
“Apa?” tanya bu Karti heran.
“Itu tadi, wanita bernama Arumsari itu.”
“Untunglah dijemput, suaminya pastinya.”
“Ibu lupa? Kita pernah melihat mereka waktu belanja di pasar.”
“Belanja di pasar apa?”
“Waktu Ibu mendapat pesanan nasi urap untuk bancaan itu. Kita melihat mereka juga kan?”
“O, itu … yang kamu bilang den mas … itu?”
“Iya.”
“Benar wanita itu selingkuhannya? Bukan istrinya?”
“Dia kan sudah punya istri, ibunya den ajeng Dewi itu. Nah, mungkin itu selingkuhannya, atau selirnya, atau istri mudanya, entahlah.”
“O … ada-ada saja. Sudah tidak muda lagi, pethakilan,” gumam bu Karti.
Memikirkan temuannya, rasa pusing di kepala Sinah mendadak hilang. Panas di badannya sudah banyak berkurang. Barangkali karena dokter sudah menyuntiknya juga.
***
“Aku minta maaf, terlambat datang. Tadi ke rumah, diberi tahu kalau kamu sudah berangkat naik becak,” kata Adisoma dalam perjalanan mengantar Arum.
“Tidak apa-apa, aku memang berniat pergi dan pulang sendiri.”
“Ini hujan. Tidak baik untuk kesehatan kamu dan bayimu pastinya.”
“Apakah aku harus bergantung pada orang lain ketika aku membutuhkan sesuatu?”
Adisoma terkejut, sedikit tersinggung.
“Orang lain? Kamu lupa, aku adalah suami kamu?”
Arum terdiam. Secara agama, ya. Tapi bukankah dia minta agar Adisoma menceraikannya setelah dirinya melahirkan?
“Kamu tidak sepenuh hati bersedia menjadi istriku.”
“Memang iya,” Arum berterus terang.
“Arum?”
Agak kesal sebenarnya Adisoma, yang kalau di rumahnya dihormati oleh semua orang, tapi di dekat Arum diperlakukan seenaknya, seakan tidak ada rasa hormat sedikitpun. Kalau tidak karena Arum adalah ibu dari anak-anaknya, ia pasti sudah meninggalkannya. Tapi bagaimana lagi, rasa cinta itu tiba-tiba ada.
“Bukankah aku sudah pernah bilang kalau setelah melahirkan aku ingin cerai saja?”
“Apa kamu benar-benar serius? Kamu ingin menjadi gelandangan bersama anak-anakmu?”
Arum terdiam. Tentang kehidupan dirinya dan anak-anaknya bagaimana, dia belum memikirkannya. Ia percaya bahwa nanti pasti akan ada jalan.
“Kamu jangan hanya memikirkan diri kamu sendiri. Pikirkan anak-anakmu.”
Arum tak menjawab. Hujan sudah reda ketika Adisoma menurunkan Arum di rumahnya.
“Aku langsung pulang, ini uang untuk pengganti kamu periksa dan membeli obat tadi, sekalian uang belanja,” kata Adisoma sambil meletakkan amplop berisi uang di atas meja di ruang tamu.
Arum berhenti sejenak lalu menatap kepergiannya, sebelum Adisoma kemudian pergi dengan membawa mobilnya.
***
Saraswati kebingungan mencari suaminya, yang tadi tertidur pulas di kamar. Saraswati yang sudah selesai mandi dengan dilayani mbok Manis, tak menemui suaminya di ranjang. Apa di depan? Atau di taman? Mana mungkin, Adisoma duduk di taman. Udara begini redup dan rintik hujan masih menghiasi alam sekitar.
Saraswati mengenakan pakaian yang sudah disiapkan pembantunya, kemudian pergi ke pendopo.
Tapi tak tampak bayangan sang suami.
“Mbok, ke mana perginya kangmas?”
“Saya juga tidak tahu, Den Ayu. Bukankah tadi tidur di ranjang?”
“Itulah, ketika aku berangkat mandi, kangmas masih tidur, setelah selesai mandi, kangmas sudah tidak ada.”
Ketika melihat Tangkil melintas, Saraswati melambaikan tangannya untuk memanggil. Tergopoh Tangkil mendekat.
“Ya, Den Ayu.”
“Kamu sedang apa?”
“Membersihkan ranting-ranting kering yang berjatuhan. Hujan sangat deras tadi.”
“Kamu melihat kangmas?”
“Tadi ….”
Tangkil ragu untuk menjawab, tapi tatapan mata Saraswati seperti menusuk jantungnya.
“Tadi kenapa?”
“Tadi den mas keluar, dengan membawa mobil.”
“Kemana? Apa kangmas mengatakan sesuatu?”
“Tidak, langsung keluar begitu saja. Saya hanya mengambilkan mobil di garasi.”
“Sebenarnya apa yang sedang dikerjakan kangmas selama beberapa bulan ini?”
“Ss.. saya tidak tahu, barangkali ada bangunan yang harus diperbaiki, atau apa. Sungguh saya tidak tahu, Den Ayu.”
Saraswati membalikkan tubuhnya, kembali masuk ke dalam.
“Den Ayu, saya membuatkan minuman hangat dulu untuk Den Ayu,” kata mbok Manis sambil bersiap mengundurkan diri, membiarkan Saraswati duduk di ruang tengah.
“Saya mau jahe panas saja ya Mbok, udara sangat dingin.”
“Baik,”
***
Mbok Manis bergegas ke dapur, tapi bersamaan dengan itu terdengar ponselnya berdering.
“Den Ayu apa tidak sabar menunggu?” keluhnya sambil masuk ke dalam kamar. Tapi ternyata panggilan telpon dari Sinah.
“Ada apa? Aku sedang sibuk,” kata mbok Manis kesal.
“Mbok, jangan marah dulu, ada informasi penting yang simbok harus tahu.”
“Impormasi itu apa?”
“Berita … berita penting.”
“Kamu kalau menelpon pasti membuat mbokmu ini heboh. Ada apa? Cepat, den ayu sedang menunggu aku.”
“Aku sudah tahu siapa yang bersama den mas Adisoma. Namanya Arumsari.”
Mbok Manis sudah tahu kalau bendoronya mengambil Arumsari sebagai selir.
“Memangnya kenapa?”
“Aku sudah tahu di mana rumahnya.”
“Di mana?” tiba-tiba mbok Manis tertarik juga pada berita yang dibawa Sinah.
“Di jalan Mengkudu nomor sembilan.”
“Apa? Dari mana kamu tahu?”
“Kebetulan bertemu ketika aku sedang ke dokter karena sakit. Dia sedang memeriksa kandungan.”
“Lalu kamu tanyakan rumahnya? Di mana tadi alamatnya?”
“Jalan Mengkudu nomor sembilan.”
“Ya sudah, ya sudah, nanti aku telpon lagi, aku harus membuatkan wedang jahe nih,” kata mbok Manis sambil menutup ponselnya begitu saja.
***
Ketika menghidangkan wedang jahe ke atas meja, dimana Saraswati sedang duduk menunggu, pikiran mbok Manis hanya tertuju pada alamat rumah Arum. Tak tega membiarkan den ayu menderita, ia harus memperi peringatan Arum agar berhenti mengganggu rumah tangga Adisoma. Di mana ya letak jalan Mengkudu? Mengapa tadi tidak bertanya sekalian pada Sinah. Pastinya Sinah tahu, letak jalan itu di daerah mana.
“Mbok, wedangnya di kasih apa? Bukan gula?” tiba-tiba Saraswati berteriak, membuat mbok Manis terkejut.
“Memangnya kenapa, den ayu?”
”Wedang jahe ini rasanya aneh. Gulanya aneh, menurutku ini rasa kecap.”
“Ya ampun. Ampuun Den Ayu, saya salah,” katanya sambil bangkit, segera mengambil gelas berisi jahe dan cairan berwarna kecoklatan yang ternyata kecap. Ia bergegas ke belakang, membuat Saraswati terheran-heran.
“Aneh sekali mbok Manis hari ini. Bagaimana mungkin, wedang jahe gulanya kecap? Untung aku baru mencecapnya sedikit. Kalau tidak, perutku bisa mual-mual.”
Ketika itu Saraswati mendengar langkah kaki mendekat, yang ternyata sang suami, yang tentu saja sudah mengarang jawaban di sepanjang perjalanan pulang seandainya sang istri bertanya.
“Kangmas dari mana? Katanya lelah, tapi tidak mau beristirahat dengan baik,” tegur Saraswati.
“Aku sebenarnya ingin sepenuhnya beristirahat hari ini, tapi ada hal yang harus aku sampaikan kepada mandor pelaksana, jadi aku kembali menemuinya.”
“Ini sudah sore, apakah masih ada pekerja?”
“Karena penting, aku ke rumahnya.”
“Kasihan Kangmas, mengapa Kangmas tidak menyuruh orang lain saja melakukannya. Kangmas itu kan termasuk petinggi keraton, masa harus menangani semuanya sendiri?”
“Karena aku bukan orang biasa, maka aku diberi kepercayaan untuk melakukan banyak hal.”
“Ya sudah, Kangmas mandi air hangat dulu ya, biar saya suruhan menyiapkannya.”
“Baiklah, Diajeng.”
Keduanya masuk ke dalam, sehingga ketika mbok Manis membawa gelas yang berisi jahe dan gula aren tidak menemui sang bendoro di sana.
Walau begitu ia tetap meletakkan gelas di meja, lalu bersimpuh di bawah, sambil menunggu Saraswati kembali duduk di situ.
“Kangmas baru saja kembali, Mbok. Tadi ada yang harus dikerjakannya, jadi buru-buru pergi lagi,” kata Saraswati setelah memerintahkan kepada abdi untuk menyiapkan air hangat untuk mandi suaminya.
“Apakah saya harus membuatkan lagi wedang jahe untuk keng raka?”
“Nanti saja aku tanyakan dulu, mau wedang jahe atau apa.”
“Baiklah Den Ayu.”
“Nah, ini sudah benar. Bagaimana tadi bisa keliru? Kamu membakar jahenya sambil melamun atau apa?”
“Maaf Den Ayu, sebenarnya saya sedang melihat-lihat kebutuhan dapur. Mengingat ingat harus belanja apa. Saya ingat kecap hampir habis, malah menuangkan kecap ke dalam gelas,” kata mbok Manis sambil tertawa.
“Apa kamu mau belanja sendiri? Tidak suruhan yang lainnya saja?”
“Tidak Den Ayu, saya mau ke pasar sendiri saja besok.”
“Baiklah kalau begitu.”
***
Pagi hari itu Mbok Manis berangkat pagi-pagi. Bukan karena takut barang-barang di pasar sudah habis, tapi karena ia ingin menemui Arum. Ia harus memberi peringatan Arum karena yang dilakukannya sudah sangat keterlaluan.
Ia menaiki becak langganan, yang kebetulan tahu di daerah mana jalan Mengkudu yang dimaksud.
Agak jauh, mbok Manis pasti akan pulang kesiangan, tapi dia tak peduli. Ia bahkan tidak takut kalau nanti Arum mengadu kepada Adisoma. Dia sudah menemukan cara agar Arum takut dan tidak berani mengadu. Dengan sedikit berputar-putar, akhirnya alamat yang dicatat dalam benaknya itu sudah ditemukan. Ia harus cepat, sebelum Adisoma lebih dulu datang, lalu dia tak berkutik.
Di sebuah rumah kecil yang asri, becak yang ditumpangi mbok Manis berhenti.
“Sepertinya di sini tempatnya Mbok. Lihat di pagar itu, nomor sembilan kan?
“Iya, kamu betul, tunggu sebentar ya.”
Mbok Manis turun, bergegas mendekati rumah. Di depan rumah ia melihat seorang wanita menyapu.
“Enak sekali, sudah seperti den ayu, punya pembantu juga,” geram mbok Manis.
“Mau mencari siapa?”
“Di mana yang punya rumah?”
Tapi sebelum pembantu itu menjawab, Arum sudah muncul di depan pintu. Arum sangat terkejut melihat mbok Manis.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah...
ReplyDeleteCeJeDePeeS_21 sudah hadir.
Matur nuwun Bu Tien.....
Mugi² tansah pinaringan rahayu widodo tinebihna ing rubeda lan sambekala.
Aamiin....
Alhamdulillah
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Jeng In
Hamdallah....sampun tayang
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 21 " sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra ๐คฒ๐คฒ
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun ๐ฉท๐ฉท
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai hai hai
Matur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
๐ชป๐ชท๐ชป๐ชท๐ชป๐ชท๐ชป๐ชท
ReplyDeleteAlhamdulillah ๐ ๐
Cerbung CJDPS_21
telah hadir.
Matur nuwun sanget.
Semoga Bu Tien & kelg
sehat terus, banyak berkah
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam seroja๐ฆ๐ธ
๐ชป๐ชท๐ชป๐ชท๐ชป๐ชท๐ชป๐ชท
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 21 "sudah tayang
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah cerbung Cintaku Jauh di Pulau Seberang 21 sudah tayang
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom Widayat sehat walafiat
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Matur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteTerima ksih bunda cerbungnya .slmt mpm slmt istrht dan slm seroja unk bunda bersm bpk ๐๐๐น๐ฅฐ
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam seroja juga
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien❤️๐น๐น๐น๐น๐น
Sami2 ibu Susi
DeleteTerima kasih Bunda Tien, barokalloh... salam sehat
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yulian
Mks bun CJDPS 13 sdh tayang...selamat malam smg bunda beserta kelrg selalu dlm lindungan Allah ta'ala
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Supriyati
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 21...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Lha rak tenan ta, Sinah dapat info tentang Arum. Mbom Manis yang datang sendiri ke rmh Arum, nglabrak nih yee๐๐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah, ceritanya makin seru ya Bu Tien, terimakasih telah tayang eps 21, semoga Bu Tien tetap sehat,semangat dan bahagia bersama keluarga tercinta...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulillaah CJDPS- 21 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia bersama keluarga tercinta.
Aamiin Yaa Robbal' Aalaamiin๐คฒ
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Cerita tambah seru...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteMatur nuwun Bu Tien, semoga tetap sehat wal'afiat dan Pak Tom semakin sehat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni