CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG 20
(Tien Kumalasari)
Saraswati menatap utusan itu dengan heran. Bukankah suaminya setiap hari pamit ke keraton, bahkan terkadang sampai malam baru pulang?
“Apa yang kamu katakan? Bukankah suamiku setiap hari datang ke keraton?”
“Ampun Den Ayu, sudah sebulan lebih den mas tidak sowan. Karena itu keadaannya dipertanyakan. Apakah den mas Adisoma sakit?”
“Tidak, suamiku baik-baik saja. Sekarangpun beliau belum pulang, pagi tadi berangkat ke keraton. Memang sih tidak memakai pakaian dinas menghadap, tapi selalu berangkat.”
Utusan yang bernama Kuncung itu terdiam. Ia segera sadar ada sesuatu yang tak beres. Sang den mas menyembunyikan sesuatu, pasti. Ia pamit ke keraton tapi pergi ke tempat lain. Ia ingin mengutarakan apa yang dipikirkannya, tapi diurungkannya. Ia tak ingin terlibat dalam kebohongan, karenanya ia segera mohon diri.
Mbok Manis yang menemani Saraswati masih duduk bersimpuh di lantai, sambil menundukkan wajahnya. Hatinya teramat sedih. Betapa akan berdukanya sang bendoro kalau mengetahui hal yang sebenarnya.
“Mbok, apa kamu mendengar apa yang dikatakan utusan itu?”
“Saya hanya mendengarnya sepotong-sepotong, tidak begitu memperhatikan, Den Ayu.”
“Ini sangat aneh. Setiap hari kangmas berpamit ke keraton, bahkan terkadang sampai malam baru pulang. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa sudah sebulan lebih kangmas tidak pergi ke keraton? Bukankah kangmas punya tugas yang banyak sehingga setiap kali pulang sering dengan tubuh kelelahan?”
“Iya, Den Ayu.”
“Apa yang terpikir olehmu, Mbok?”
Mbok Manis tidak bisa menjawabnya, sampai kemudian ditemukannya jawaban yang barangkali cukup menghibur. Mbok Manis tak ingin bendoro yang lembut hati itu terluka.
“Mengapa diam. Mbok?”
“Barangkali karena den mas sering bertugas diluar, maka tidak ada yang tahu kalau sebenarnya den mas juga melakukan sesuatu untuk keraton.”
“Nah, itulah juga yang aku pikirkan.”
“Mengapa Den Ayu tidak menelponnya?”
“Aku tidak pernah menelpon kangmas saat dia pergi, takut mengganggu. Kangmas itu kan pekerjaannya banyak karena dipercaya, jadi tanggung jawabnya juga banyak.”
Mbok Manis mengangguk pilu. Ia menahan tetes air mata yang sudah memenuhi kelopaknya.
“Coba kamu panggilkan Tangkil, Mbok. Ia pasti tahu kangmas bertugas di mana. Nanti kalau kangmas pulang aku akan mengingatkan agar dia tidak selalu terpaku pada pekerjaannya. Kasihan kan, kalau dia kelelahan? Dia kan juga tidak muda lagi, walaupun dari luar kelihatan masih gagah.”
Mbok Manis segera bangkit untuk mencari Tangkil. Disaat siang biasanya Tangkil duduk di bawah pohon tanjung sambil merokok.
Dan itu benar. Tangkil sedang bersandar pada pokok pohon tanjung sambil mengepulkan asap rokoknya dengan nikmat. Bau kemenyan memenuhi alam sekitar.
“Tangkil!” panggil mbok Manis.
Tangkil menoleh, berhenti mengisap rokoknya, lalu mematikannya di tanah, karena mbok Manis tidak suka mencium bau rokok kemenyan yang dihisapnya.
“Ada apa lagi?”
“Den ayu memanggil kamu. Bersiaplah memberi jawaban,” kata mbok Manis dengan wajah murung.
“Memangnya ada apa?”
“Den Ayu memanggilmu. Hati-hati menjawabnya.”
“Ada apa sih?”
“Ada utusan dari keraton yang menanyakan bahwa den mas sudah lama tidak menghadap ke keraton. Padahal setiap hari kan pamit ke keraton, bahkan sampai malam baru pulang?”
“Mati aku!” kata Tangkil sambil memukul kepalanya.
“Jangan mati dulu, jawab pertanyaan den ayu. Kamu kan tahu apa yang sebenarnya terjadi?”
“Tidak, aku tidak begitu tahu. Hanya di awal-awal terjadinya, den mas sering menyuruh aku melakukan ini dan itu. Sekarang tidak pernah lagi suruhan apa-apa.”
“Ya sudah, terserah kamu mau menjawab apa, segera ke sana, den ayu menunggu di pendopo,” kata mbok Manis sambil membalikkan tubuhnya, kembali menemui sang bendoro. Tangkil mengibaskan bajunya lalu mengikuti langkah mbok Manis.
***
Di depan Saraswati, Tangkil mengatakan bahwa dia tidak tahu ke mana Adisoma pergi setiap harinya, membuat Saraswati heran. Tapi hanya jawaban tidak tahu itulah bagi Tangkil yang bisa menyelamatkannya dari cecaran pertanyaan Saraswati.
“Bukankah kamu sering mengantarkan kangmas pergi?”
“Benar, Den Ayu, tapi kalau perginya jauh. Terkadang naik kereta, atau bahkan mobil. Tapi akhir-akhir ini saya hanya disuruh menyiapkan mobil. Lalu den mas pergi sendiri.”
“Apakah kangmas tidak pernah mengatakan ke mana perginya?”
“Tidak tahu, Den Ayu, dan saya juga takut menanyakannya.”
“Iya, kamu benar.”
Saraswati menghela napas panjang. Sedikitpun ia tak mencurigai suaminya sedang berdusta akhir-akhir ini.
“Tugas kangmas sangat berat. Barangkali dia tidak harus kelihatan di keraton karena bertugas di mana-mana," gumam Saraswati.
Tangkil hanya menundukkan kepalanya. Sesungguhnya ia merasa terpercik dosa yang dilakukan sang bendoro. Tapi mau bagaimana lagi. Dia hanyalah abdi.
“Ya sudah, kamu boleh pergi. Nanti aku tanyakan sendiri saja pada kangmas,” katanya sambil berdiri. Mbok Manis mengikutinya, setelah melirik ke arah Tangkil yang sedang menggaruk-garuk kepalanya. Mbok Manispun menggeleng-gelengkan kepalanya. Pasti akan terjadi huru hara kalau sang bendoro pulang. Tapi tak tahu jugalah, kalau nanti Adisoma bisa memberikan alasan yang tepat. Mbok Manis tahu, laki-laki penyeleweng sangat pintar berbohong. Semakin besar saja rasa ibanya kepada Saraswati yang tak ada duanya kebaikan yang dimilikinya.
***
Ketika Kuncung keluar dari halaman rumah Adisoma, kebetulan Adisoma datang dan melihatnya. Hatinya terasa tidak enak. Sontak ia menghentikan mobilnya tepat dihadapan Kuncung.
“Ya ampun, Den Mas membuat saya hampir mati karena terkejut,” kata Kuncung sambil memegangi dadanya.
“Harusnya kamu mati saja sekalian,” umpat Adisoma yang dalam hati merasa bahwa Kuncung akan membuat gara-gara ketika masuk ke dalam rumahnya.
“Baru saja saya bertemu den ayu Saraswati,” kata Kuncung tanpa merasa bahwa kedatangannya membuat Adisoma tidak suka.
“Mengapa kamu menemui istriku?”
“Saya disuruh para pangageng keraton untuk menanyakan keadaan Den Mas.”
“Mengapa menanyakan keadaanku hahh?” Adisoma mulai marah.
“Karena sudah sebulan lebih Den Mas tidak datang ke keraton.”
“Lancang kamu! Kamu mengatakan itu kepada istriku?”
“Apakah saya salah?”
“Dasar bodoh! Dungu!” umpat Adisoma ditambah dengan umpatan yang lain, yang lebih menyakitkan. Kuncung terkejut. Ia tak pernah melihat Adisoma semarah itu.
“Den Mas, saya hanya menjalankan perintah.”
“Kamu bisa menelpon aku, bukan langsung datang ke rumah!”
“Saya khawatir Den Mas sedang sakit.”
“Kamu mendoakan aku sakit? Kamu ingin aku sakit?” Adisoma semakin tidak terkendali.
“Bukan begitu. Sama sekali tidak mendoakan. Saya hanya_”
“Sudah … sudah … sana pergi, pergi! Jangan bicara lebih banyak lagi sehingga membuat aku muak!”
“Den Mas,” Kuncung masih berdiri di dekat mobil.
“Minggir!!” hardik Adisoma yang membuat Kuncung melompat ke belakang dan hampir terjengkang karena Adisoma menjalankan mobilnya tiba-tiba. Ia sedang meraba-raba, apa salahnya sehingga Adisoma bisa semarah itu. Barangkali benar, sang den mas sedang membohongi istrinya.
***
Memasuki rumahnya, Adisoma mereka-reka jawaban yang ada hubungannya dengan kedatangan Kuncung. Ia tidak menemukan istrinya. Ternyata di dalam kamar, Saraswati sedang dipijit kakinya oleh mbok Manis.
“Den Mas sudah rawuh,” kata mbok Manis yang lebih dulu melihat kedatangan Adisoma.
Mbok Manis undur kebelakang, sementara Saraswati kemudian bangkit untuk menyambut.
“Kangmas sudah pulang?”
“Aku lelah, pekerjaan tak ada habisnya. Jadi aku pulang agak siang.”
“Memangnya kangmas mengerjakan apa?”
“Banyak. Tidak pekerjaan yang membutuhkan tenaga, tapi pikiran.”
“Sebenarnya pekerjaan apa yang kangmas lakukan?”
“Kamu tidak perlu tahu. Itu tugas laki-laki. Tanggung jawabku banyak, semua harus selesai dengan sempurna.”
“Tadi ada utusan dari keraton.”
“Kuncung kan? Dia itu tidak tahu apa-apa. Mana dia tahu tugas apa yang dibebankan padaku.”
“Tapi dia hanya utusan, jadi bukan kemauan Kuncung sendiri.”
“Ah, sudahlah, aku sangat lelah.”
“Kangmas sudah makan?"
“Sudah, aku hanya ingin berbaring.”
“Biar aku pijit kaki Kangmas.”
“Tidak usah, kasihan kamu. Memijit itu pekerjaan berat.”
“Apa biar mbok Manis memanggil tukang pijit?”
“Tidak … tidak, aku mau tidur saja.”
Saraswati membantu melepaskan pakaian suaminya, lalu mengambilkan baju ganti rumahan, setelah sang suami membersihkan diri di kamar mandi.
“Kangmas tidak usah pergi kemana-mana setelah ini, lebih baik beristirahat saja di rumah,” kata Saraswati sambil membantu mengenakan baju ganti suaminya.
“Baiklah,” jawab Adisoma singkat, lalu membaringkan tubuhnya di ranjang. Saraswati menatapnya iba.
“Kasihan, suamiku sampai kelelahan,” bisiknya sambil mengambil selimut, diselimutkannya di tubuh sang suami sampai ke pinggang, sementara Adisoma memejamkan mata. Entah apa yang dipikirkannya. Padahal dia ingat, sudah berjanji pada Arum bahwa dia akan mengantarkannya kontrol ke klinik dokter kandungan. Sepertinya tak mungkin pergi lagi setelah dia mengeluh sangat lelah.
***
“Nak Sinah, mengapa tidak makan, malah tiduran?” tanya bu Karti sambil melongok ke kamar Sinah.
“Kepala saya tiba-tiba sangat pusing.”
Bu Karti yang merasa kasihan kemudian mendekat, lalu memegangi lengan Sinah. Ia terkejut, karena badan Sinah terasa panas.
“Nak Sinah panas sekali. Saya carikan daun dadap serep dulu untuk meredakan panasnya,” kata bu Karti sambil pergi menjauh.
Sinah tak menjawab. Tapi ia tak suka panasnya diobati daun dadap serep. Ia tahu daun itu akan ditempelkan di dahinya, lalu akan merusak wajahnya yang menurutnya cantik. Walau hanya sementara, tapi pasti akan meninggalkan warna hijau kecoklatan. Sinah tak akan mau. Karenanya ketika bu Karti datang membawa mangkuk besar yang berisi daun penurun panas dan sudah diremas-remas, Sinah menolaknya.
“Tidak usah Bu, nanti saya mau ke klinik saja.”
“Ini pengobatan terbaik untuk panas.”
“Jangan, saya lebih suka pergi ke dokter. Nanti sore saya mau ke dokter saja.”
Bu Karti mengangkat bahunya. Ia membawa mangkuk itu keluar, dan membuang isinya di tempat sampah.
“Anak jaman sekarang, tidak suka obat-obatan tradisional.”
Ia kembali memasuki kamar Sinah.
“Nanti saya antarkan periksa ke dokternya.”
“Tidak usah Bu, saya bisa sendiri.”
“Nak Sinah kan sedang sakit, masa mau ke dokter sendiri. Tidak apa-apa nanti aku antarkan saja,” katanya sambil keluar. Sinah mendiamkannya.
***
Di luar, mendung menggantung. Arum harus pergi kontrol ke klinik dokter kandungan. Sesungguhnya dia tidak mengharapkan diantar Adisoma, karena memang dia ingin berangkat sendiri bersama pembantunya. Tapi mendung begitu gelap, sebentar lagi pasti hujan. Adisoma yang berjanji akan mengantarkan juga tak kunjung datang. Arum tak mau melewatkan jadwal kontrolnya saat kandungannya mulai membesar. Karena itu ia berpesan kepada pembantunya agar menjaga Aryo, sementara dia akan berangkat sendiri saja.
Sang pembantu hanya disuruhnya mencari becak.
Dibawah mendung yang menggantung, Arum berangkat sendiri. Ia bersyukur hujan belum jatuh sampai dia tiba di klinik. Ia mendapat nomor lebih awal karena memang datang cepat-cepat demi menghindari hujan.
Selesai diperiksa, dengan perasaan lega dia mendapat keterangan bahwa keadaan kandungan baik, bayinya sehat. Hanya beberapa bulan lagi dia akan melahirkan. Setelah mendapat jadwal kontrol berikutnya dan mengambil obat, dia menuju ke arah depan untuk mencari becak. Sialnya tiba-tiba hujan turun dengan lebatnya. Ia urung melangkah keluar, memilih menunggu di dalam, berharap akan ada becak melintas.
Ketika duduk itu tiba-tiba ada dua orang wanita yang sudah selesai mengambil obat. Ia bukan ke dokter kandungan, tapi ke dokter umum yang juga ada di klinik itu. Mereka adalah Sinah dan bu Karti.
“Mbak sendirian?” tanya Sinah
“Iya, mau pulang tiba-tiba hujan.”
“Sama. Nanti kalau ada becak, biar dipakai Mbak saja, kasihan sedang hamil. Sendirian pula,” kata Sinah lagi.
“Tidak diantar suami?” sambung bu Karti.
“Tidak,” kata Arum pelan.
Tapi tiba-tiba Sinah mengingat sesuatu. Ia seperti pernah melihat wanita itu.
***
Besok lagi ya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteAlhamdulillah....
ReplyDeleteCeJeDePeeS_20 sudah tayang.
Terima kasih Bu Tien. Semoga Bu Tien sehat selalu dan selalu sehat..... HARUS sebab ada yang perlu diperhatikan.
Salam SEROJA dan tetap ADUHAI.... 💪🩷💜
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Terimakasih Bunda ...semoga sehat selalu
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tutus
Matur nuwun mbak Tien-ku Cintaku Jauh Di Pulau Seberang sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulillah matur nuwun bunda, sehat2 njih
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
Matur nuwun
Alhamdulillah..suwun ....
ReplyDeleteSami2 ibu Atiek
DeleteMatur suwun bu Tien & salam sehat untuk keluarga..
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteSalam sehat juga
🎋🎍🎋🎍🎋🎍🎋🎍
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung CJDPS_20
sampun tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, tetap
smangats berkarya &
dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 💐🦋
🎋🎍🎋🎍🎋🎍🎋🎍
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Alhamdulillah yg ditunggu dtang juga, maturnuwun Bu Tien, semoga Bu Tien dan Kel sehat2 dan bahagia selalu...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Tatik
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien semoga sehat walafiat pak Tom Widayat juga diberi kesehatan yang prima
Salam aduhai hai hai
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Aduhai hai hai
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Cintaku Jauh di Pulau Seberang eps 20 " sampun tayang, Semoga bu Tien selalu sehat dan Pak Tom bertambah sehat, bertambah segar ceria, bahagia dan dlm lindungan Allah SWT aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Matur nuwun, Bu Tien. Sehat selalu kagem panjenengan dan pak Tom
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Anik
Alhamdulillah CINTAKU JAUH DI PULAU SEBERANG~20 sudah hadir. Maturnuwun Bu Tien.. semoga tetap sehat semangat nggih.. 🙏🙏🙏
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien dan pak Tom selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Alhamdulillaah tayang, makasih bunda semoga sehat selalu bersama bapa
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Engkas
Matur nuwun Bu Tien, semoga Ibu sehat wal'afiat dan Pak Tom semakin sehat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdullilah..terima ksih bunda cerbungnya..slm seroja dan tetap aduhai unk bunda bersm bpk🙏🥰💞🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam seroja dan aduhai juga
Terima kasih Bunda, cerbung Cintaku Jauh Di Pulau Seberang 20...sdh tayang.
ReplyDeleteSehat selalu dan tetap semangat nggeh Bunda Tien.
Syafakallah kagem Pakdhe Tom, semoga Allah SWT angkat semua penyakit nya dan pulih lagi seperti sedialakala. Aamiin
Arum..jangan sampai kena jebakan Batman nya Sinah ya, Sinah itu pinter 'tumbak cucukan' lho...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " Cintaku Jauh di Pulau Seberang 20 "
ReplyDeleteSemoga Bunda dan Pak Tom Widayat selalu sehat wal afiat .Aamiin
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Terimakasih bunda Tien, salam sehat selalu dengan keluarga tercinta, dan aduhai selalu
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteSalam sehat juga dan aduhai
Sinah akan nyerocos lagi?
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 Mas MERa
DeleteWah, makin seru nih...akankah Sinah buka rahasia?🤔
ReplyDeleteTerima kasih, bu Tien...salam sehat.🙏🏻🙏🏻🙏🏻