ADA MAKNA 03
(Tien Kumalasari)
Suryawan mengamati wajah yang selalu dikenangnya itu, mana mungkin dia lupa. Tapi ia segera memiringkan tubuhnya, agar tertutupi tubuh salah seorang anaknya. Ia bahkan menggeser sidikit kursinya. Ia tak ingin Kinanti melihatnya. Ia segera menunduk menikmati hidangannya, pura-pura tak peduli pada teriakan anaknya untuk temannya di sebelah sana.
“Emma!!” teriak Feri.
“Tidak usah kesana, lanjutkan makanmu,” tegur Tia ketika melihat Feri ingin berdiri.
Feri kemudian hanya melambaikan tangannya, lalu melanjutkan makan.
“Siapa dia?” tanya Tia kemudian.
“Temanku, yang memberikan hadiah sepeda untukku,” jawab Feri.
“Orang kaya. Kelihatan dari penampilannya.”
“Memang kaya. Ayahnya pengusaha, ibunya seorang dokter gigi,” jawab Feri yang sebenarnya pernah menerangkan tentang keluarga Emma kepada kakaknya.
“Dia teman sekelas kamu?”
“Tadinya adik kelas, setelah Feri tinggal kelas sampai dua kali, lalu jadi teman.”
“Cantik.”
“Yang jelas dia baik hati. Keluarganya ramah. Aku pernah beberapa kali main ke rumahnya.”
“Dia teman istimewa?”
“Apa maksudnya teman istimewa?”
“Kamu punya perasaan khusus pada dia.”
“Enggak.”
“Kamu sering ke rumahnya kan?”
“Tidak sendirian, bersama teman yang lain. Waktu itu sekolah usai agak awal, karena gurunya rapat atau apa, lalu kami rame-rame main ke sana.”
“Ibunya sangat ramah, kami disuguhin banyak cemilan, dan disuruhnya makan siang di sana. Ada enam atau tujuh anak waktu itu.”
“Hm, itu yang membuat kalian suka. Pakai disuguhin makan juga.”
“Bukan itu. Mbak Tia nuduhnya yang enggak-enggak saja,” kata Feri bersungut-sungut, sementara saudaranya yang lain asyik dengan makanannya. Suryawan bahkan sama sekali tak menggubrisnya. Ia tampak sudah menyelesaikan makan.
“Bapak kok sudah, makannya? Mie nya belum dimakan lhoh.”
“Kenyang,” jawab Suryawan singkat.
“Kalau ada yang ulang tahun, seringnya menyuguhkan mie, sebagai simbul sebuah doa, agar panjang umur,” kata Tia.
“Bapak sudah berdoa. Mengapa harus makan mie? Doa bapak adalah, agar anak-anakku sehat, panjang umur, bahagia, mulia dunia akhirat.”
“Aamiin,” sahut yang lain, hampir bersamaan.
“Ini bukan hanya doa untuk yang sedang ulang tahun saja, tapi juga doa untuk anak-anak semua.”
“Aamiin.”
“Aku seperti pernah melihat wanita itu,” tiba-tiba celetuk Tia.
“Yang mana?” tanya Feri.
“Itu, yang bersama temanmu itu. Ibunya ya?”
“Iya. Itu ibunya Emma yang dokter gigi. Setelah selesai makan aku mau nyamperin ke sana. Nggak enak kalau tidak. Mereka sudah baik pada Feri.”
“Ya sudah, terserah kamu saja.”
Begitu makanan dihabiskan, Feri segera berdiri mendekat ke arah meja keluarga Ardi. Dengan santun Feri menyalami tangan Ardi dan Kinanti, lalu kepada Emmi dan Emma, juga Nuri.
“Ini yang ulang tahun ya?” tanya Ardi.
“Iya Om, terima kasih sudah diberi hadiah yang luar biasa.”
“Kebetulan ada rejeki. Kamu suka?”
“Suka sekali Om, besok Senin mau Feri pakai ke sekolah.”
“Syukurlah,” kata Ardi lagi.
“Ayuk, duduk bersama kami di sini, Feri,” ajak Kinanti ramah.
“Tidak, Tante, terima kasih. Saya sudah makan bersama keluarga besar kami.”
Ardi dan Kinanti tertawa.
“Keluarga besar ya?”
“Ya, itu ada bapak, mbak Tia dan kakak-kakak saya yang lain.”
“Ibu?” tanya Kinanti.
“Saya sudah tidak punya ibu sejak kecil. Kami berlima hanya bersama bapak.”
Degg.
Tiba-tiba Kinanti menatap ke arah meja keluarga Feri. Mereka yang muda-muda ada empat, tapi ayahnya tidak kelihatan jelas, tertutup badan anak-anaknya.
“Ya sudah, saya permisi.”
“Selamat ulang tahun Feri,” kata Ardi yang disusul lainnya, termasuk Kinanti, sambil tak lepas melihat kearah meja itu.
Lalu Feri kembali ke mejanya.
“Mereka bukan keluarga sederhana,” celetuk Ardi.
“Dari mana bapak tahu?” tanya Emmi.
“Kelihatan dari cara mereka berpakaian. Ini juga restoran yang tidak murah. Merayakan ulang tahun di sini lumayan membutuhkan biaya.”
“Mungkin karena terbawa cerita Emma, bahwa mereka tak merayakan ulang tahunnya, karena Feri berkali-kali berkata harus berhemat, jadi terkesan seperti keluarga sederhana,” kata Emmi.
“Mereka hanya berhemat. Membiayai lima anak, eh … yang sulung sudah bekerja ya. Empat anak, yang tiga mahasiswa, yang bungsu masih SMA, menjelang kuliah kan, pasti tidak ringan,” kata Emmi.
“Benar.” kata Emma.
“Kok aku tiba-tiba teringat sesuatu ya Bu,” kata Ardi mengejutkan Kinanti, yang sebenarnya juga sedang memikirkan sesuatu.
Kinanti menatapnya.
“Aku juga teringat sesuatu,” kata Kinanti yang kemudian kembali menikmati makanannya, setelah tak berhasil melihat dengan jelas, laki-laki ayah Feri.
“Dia Suryawan?” kata Ardi lagi.
“Entah, nggak jelas,” jawab Kinanti.
“Kita samperin?”
“Eh, nggak usah. Ada-ada saja.”
“Bapak sama Ibu mengenal mereka?”
“Tidak, hanya teringat seseorang saja,” kata Kinanti yang tak ingin bercerita tentang masa lalunya.
Dua keluarga makan dengan masing-masing celotehnya, tapi keluarga Ardi selesai terlebih dulu, kemudian berlalu, setelah Emma melambaikan tangan kepada sahabatnya.
Suryawan merasa bahwa Kinanti sedang mengawasinya. Ketika berdiri, pasti dia akan lebih jelas melihat dirinya. Ia pura-pura menjatuhkan sendoknya, kemudian membungkuk untuk memungutnya, berlama-lama.
***
Di dalam kamar, sebelum tidur, Ardi berbicara tentang Suryawan. Kehidupan yang diceritakan Feri, mirip keluarga Suryawan. Duda, anaknya lima.
“Apakah Ibu berpikir bahwa dia adalah Suryawan bekas pacar Ibu?”
“Iih, kenapa dia bekas pacar aku.”
“Bukankah itu benar?”
“Hanya teman dekat saja. Belum pernah pacaran sama dia.”
“Tapi sudah hampir melamar kan?”
“Mengapa Bapak tiba-tiba berpikir begitu? Lupakan saja, aku saja sudah melupakan. Tadi juga tidak jelas apa benar dia.”
“Sayang tidak melihat wajahnya. Tapi Ibu kan pernah bertemu anak-anaknya? Tidak ingat mereka sama sekali?”
“Waktu itu mereka masih kecil-kecil. Wajahnya saja aku tidak kenal semuanya sekarang. Puluhan tahun berlalu kan?”
“Iya benar.”
“Ya sudah, tidak usah memikirkan yang sudah lewat. Aku justru memikirkan Emmi dan Emma, apa yang dirasakannya setelah mendengar bahwa Bapak bukan ayahnya.”
“Pasti itu sebuah cerita yang luar biasa bagi mereka. Mana mereka memikirkan sebelumnya? Aku kan mencintai mereka seperti anak kandung sendiri.”
“Barangkali Allah yang menuntunnya, ketika Emmi tiba-tiba ingin melihat album lama, dan membuat ia berpikir tentang hal yang menurutnya aneh.”
“Sebenarnya aku tidak ingin menyembunyikan apapun saat Emmi dan Emma sudah remaja. Mereka berhak tahu hal yang sebenarnya kan? Kelak kalau mereka menikah, juga pasti akan mencari ayahnya. Hanya saja kita belum sempat mengatakannya, dia sudah menanyakannya lebih dulu.”
“Benar. Tapi mengapa Bapak mengatakan pada Emmi bahwa Guntur mungkin sudah pensiun? Rasanya belum deh.”
“Harusnya belum, tapi dia sudah mengajukan pensiun, lalu pindah ke Jawa lagi. Salah satu teman kuliah aku ada yang pernah bertemu dia ketika bekerja di Balikpapan. Dia pernah menjadi pasiennya.”
“Dia kenal sebelumnya?”
“Dalam sebuah acara … apa ya, ada Guntur malah ada kamu juga, entah kamu kenal enggak ya. Oh ya, ada ulang tahun perusahaan bapakku, dia kan juga pengusaha, kelihatannya sempat berbincang dengan Guntur, tapi waktu itu kamu sedang rame-rame bicara sama ibu-ibu, dan tidak sempat mengenalnya. Nah, ketika dia pindah ke sana, bertemu Guntur. Tapi lama setelahnya, ia mendengar Guntur minta pensiun dan pindah lagi ke Jawa. Waktu itu kelihatan kalau Guntur sangat tertekan, dan tidak fokus dengan tugasnya. Beruntung tidak pernah mencelakakan pasien. Untuk itulah kemudian minta pensiun dini.”
“Bapak tidak pernah cerita sama aku.”
“Takut kalau kamu teringat yang enggak-enggak.”
“Semuanya sudah lewat, aku sudah menguburnya dalam-dalam, karena aku sudah bahagia dengan keluarga ini.”
“Ibu harus bahagia, karena ini adalah janjiku.”
“Terima kasih atas cinta tulus yang Bapak berikan untuk ibu,” kata Kinanti sambil merangkul suaminya.
***
Agak lama setelah berobat, hari itu bu Simah kembali datang ke rumah praktek Guntur. Kali itu ia tidak membawa pisang, tapi membawa seplastik keresek alpukat.
“Selamat sore Dokter.”
“Selamat sore bu Simah. Aduh, bawa apa ini?”
“Ini alpukat, hanya beberapa, tapi sudah ada yang masak.”
“Ibu beli di mana?”
“Beli apa, ini hasil kebun saya sendiri.”
“Ibu punya kebun buah-buahan?”
“Hanya kebun kecil. Ada pisang, ada jambu, ada mangga, ada alpukat. Oh ya, ada papaya juga. Saya hidup dari menjual buah-buahan itu, Dok.”
“Luar biasa Ibu ini. Terima kasih banyak. Sekarang Ibu lagi sakit?”
“Tidak sakit sih Dok, tapi lutut saya ini kok seringkali susah untuk ditekuk. Tulang tua ya Dok?”
“Iya Bu, biasa, kalau sudah berumur, keluhannya ada di lutut. Hanya itu?”
“Iya Dok. Beri obat yang manjur ya.”
“Iya, insyaaAllah Bu. Bagaimana kabar anak ibu? Kelihatannya Ibu sudah bahagia sekarang?”
“Kelihatan ya, kalau saja sedang bahagia?”
“Kelihatan dong Bu, kalau orang sedang banyak pikiran itu wajahnya agak muram, tidak bercahaya. Itu terlihat waktu ibu datang pertama kali. Tapi sekarang wajah ibu kelihatan berseri-seri lhoh.”
Bu Simah tertawa, menampakkan giginya yang tinggal dua biji, persis seperti kelinci.
“Anak saya sudah sadar Dok, istri mudanya, eh … bukan, mereka tidak pernah menikah kok … selingkuhannya sudah ditinggalkan, beberapa hari yang lalu dia datang, minta maaf, lalu diajaknya istri dan anaknya pulang. Tentu saya senang, ya kan Dok?”
“Iya, saya ikut senang. Ini resepnya ya, dua macam, diminum bareng. Tapi setelah makan ya minumnya, hanya pagi sama sore. Dan lagi, jangan lupa kalau minum obat harus minum air putih yang banyak ya Bu.”
“Iya Dok, terima kasih. Tapi … eh, maaf Dok, ini mahal apa tidak obatnya?”
“Tidak mahal. Itu juga obat generik.”
“Baiklah. Nanti saya langsung mampir apotek. Saya kalau pulang pasti lewat apoteknya itu. Jadi gampang.”
“Syukurlah Bu.”
“Tapi tadi Dokter bilang, kalau orang lagi bahagia itu wajahnya berseri-seri, kalau lagi susah, wajahnya muram, lha saya lihat, eh … maaf, saya kok lancang, tapi benar kok, saya selalu memperhatikan Dokter. Kelihatannya kok Dokter seperti orang sakit? Masa dokter bisa sakit?”
“Ibu ini gimana, dokter juga manusia, masa tidak boleh sakit?”
“Kan kalau sakit bisa mengobati diri sendiri?”
“Tidak semua sakit bisa diobati dengan obat. Ada yang bisa diobati dengan hati, hati kita sendiri. Itu seperti ketika Ibu datang untuk pertama kali. Ibu mengeluh sesak napas, pusing. Itu kan sebenarnya bukan sakit karena penyakit, tapi karena ibu sedang merasa sedih, kesal, marah. Ya kan?”
“Iya Dok. Dokter jangan sakit ya, kalau sakit, pasien-pasien Dokter bagaimana? Bilang dong sama istri, agar selalu bisa membahagiakan suami. Eh, maaf, saya ini lancang ya Dok, maaf orang tidak makan sekolahan, tata kramanya agak kurang. Apa dokter marah?” kata bu Simah sambil berdiri.
“Tidak Bu, tidak apa-apa. Tapi saya tidak punya istri.”
“Lhoh, dokter ini bujang?”
“Duda Bu. Ya sudah, hati-hati di jalan,” kata Guntur yang tidak ingin pasiennya yang banyak bicara ini bertanya lebih jauh.
“O, duda? Tahu begitu anak perempuanku yang sulung dulu aku kenalkan pada dokter ini. Orangnya baik, tapi kan dia sudah punya suami sekarang,” omel bu Simah sambil berjalan keluar.
***
Emmi sedang bersantai di teras, ketika ponselnya berdering. Senyumnya mengembang setelah melihat siapa yang terpampang di layar ponselnya.
“Assalamu’alaikum, mas.”
“Wa’alaikumussalam, Emmi, apa kabar.”
“Kabar baik Mas, lama tidak menelpon. Sibuk ya?”
“Sedang sibuk menyelesaikan skripsi aku, padahal sebenarnya sudah kangen berat sama kamu.”
“Kalau kangen datang dong, temuin aku.”
“Lain kali aku pasti datang. Aku juga ingin ketemu orang tua kamu. Masa sama calon mertua belum juga kenal?”
“Idiih, sejak kapan punya calon mertua?”
“Sejak aku kenal kamu. Kamu adalah gadis baik yang pernah aku kenal, dan langsung membuat aku jatuh cinta.”
“Waah, sore-sore ada rayuan gombal nih.”
“Ini rayuan, tapi bukan gombal, tahu.”
“Mas, kapan ke mari?”
“Sebentar lagi. Ini sebenarnya aku sedang punya misi.”
“Misi apa Mas?”
"Misi dalam mencari ayahku.”
“Ayah Mas hilang?”
“Ya, semacam itulah, sejak aku masih kecil ibuku sudah bercerai. Akhir-akhir ini aku mendengar kabar bahwa ayahku ada di Balikpapan.”
“Sudah tahu alamatnya?”
“Belum, hanya tahu namanya saja.”
“Mas mau mencarinya ke sana? Mudahkah mencari seseorang yang hanya berbekal sebuah nama?”
“Ayahku seorang dokter, rumah sakit dimana dia bekerja aku sudah tahu.”
“Oh, bagus kalau begitu. Semoga lancar.”
“Terima kasih Emmi.”
“Sama-sama mas Wahyu.”
***
Besok lagi ya.
Matur nuwun mbak Tien-ku Ada Makna sudah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien " Ada Makna 03" sampun tayang, Semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, selamat berbuka puasa dan selamat menjalankan ibadah Teraweh. aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Aduhai 2x
Alhamdulillah sudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Endah
Alhamdulillah ADA MAKNA~03 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbung " ADA MAKNA "
ReplyDelete🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdulillah "Ada Makna 03" sdh hadir. Matur nuwun Bu Tien🙏
ReplyDeleteSugeng ndalu, mugi Bu Tien & kelg tansah pinaringan sehat 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Sis.
Sugeng dalu
🍓🫐🍓🫐🍓🫐🍓🫐
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
Cerbung ADA MAKNA 03
sudah tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai 🦋😍
🍓🫐🍓🫐🍓🫐🍓🫐
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun jeng Sari
Aduhai
👀👀👀👀👀👀👀👀
ReplyDeleteAlhamdulillah ADA MAKNA
#Episode_03
Sudah ditayangkan.
Matur nuwun bu Tien.
Semoga bu Tien selalu sehat dan sehat selalu, tetap berkarya dan tetap ADUHAI
🌹🌹
Selamat buat Kung Latief Sragentina MALIT. Disusul jeng Sri Maryani Pondok Gede
👀👀👀👀👀👀👀👀
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun mas Kakek
Matur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete
ReplyDeleteAlhamdullilah
Matur nuwun bu Tien
Cerbung *ADA
MAKNA 03* sdh hadir...
Semoga sehat dan bahagia bersama keluarga
Aamiin...
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Wedeye
Ceritanya spt benang ruwet. Nggak tahu gimana penyelesaiannya.
ReplyDelete🤕
Tapi saya percaya, Ibu Tien punya jln keluar yg aduhai.
🥰😍
Ruwet ya ?
DeleteNanti saya urai benangnya biar lurus.
Salam hangat ibi Rosie
Alhamdullilah Ada Makna 03 sdh tayang..mksih y bunda..slm sht sll unk bunda sekeluarga😭🥰❤️🌹
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteAduhai
Nah.. dapatkah mereka dipersatukan.. mengingat Wanda pernah menghancurkan rumah tangga Kinanti.
ReplyDeleteKinanti -Ardi-Guntur, Wanda, Suryawan.
Bersatu dalam Keluarga Besar.
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun pak Latief
Matur nuwun ibu
ReplyDeleteSami2 ibu Windari
DeleteEmmi pacaran sm Wahyu atsu Feri? Feri anak Suryawan... Sedangkan Wahyu bpknya Zaki sdh MD? Yg ada bpk sambung dr. Guntur? Mereka sdr krn perkawinan bpknya dulu dg Wanda? Ada Makna apakah mb Tien.bermaksud membuat crt mengumpulkan balung pisah.kel Kinanti-Guntur-Suryawan d Wanda? ... Sll aduhai cerita yg dirangkai..slmt melaksanakan tarawih ...
ReplyDeleteMatur nuwun jeng Sapti
DeleteAduhai deh
Terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSemoga bunda Tien selalu sehat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Salamah
Matur nuwun Bu Tien. Hehe seru Emmi dekat dg Wahyu anak Wanda & Alm. Zaki sedangkan Emma dekat dg Feri anak Suryawan. Semoga Ibu selalu sehat wal'afiat....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Alhamdulillah, ADA MAKNA (AM),03 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin.
DeleteMatur nuwun ibu Uchu
Wah semakin seru, terima kasih Bu Tien semoga sehat selalu.
ReplyDeleteAamiin
DeleteMatur nuwun ibu Yati
Sudah dua kartu domino yang keluar, Ferry dan Wahyu...
ReplyDeleteTerimakasih Mbak Tien...
Sami2 MasMERa
DeleteAda lagi nih. Kartu domino? Hahaa.. biasa main kartu ya?
Hehe...setelah tua nampaknya Ardi tidak konyol lagi ya...lucu membayangkannya bicara "benar" pada Kinanti dengan panggilan 'bapak-ibu' lagi!😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien...salam sehat.🙏🏻
Sami2 ibu Nana
DeleteSalam srhat juga
Suryawan sembunyi takut bertemu Kinanti, padahal Ardi ingin memastikan, Kinanti yg tidak mau. Terimakasih bunda Tien,salam sehat selalu dan aduhaiii
ReplyDeleteSami2 ibu Komariah
DeleteAduhai deh
Terimakasih merespon pertanyaan saya di episode 2 bu Tien.
ReplyDeleteSaya sudah beberapa tahun mengikuti tulisan Bu Tien. Tiap hari menunggu kelanjutan kisahnya.
Akhirnya hubungan anak anak kelak akan mempertemukan para orang tua antara Guntur - Kinanti- Ardi - Suryawan - Wanda.
Berarti Emmi berhubungan dengan Wahyu yang beberapa tahun lebih muda karena ketika Wanda hamil, Emmi sudah balita.
This comment has been removed by the author.
DeleteZaki lahir sebelum Guntur menikah kan?
DeleteMaaf, Wahyu anak Zaki beberapa tahun lebih tua dari Emmi ya bund, Yang lahir belakangan baru anak Guntur. Salfok, karena kata Wahyu bapaknya adalah Guntur, yang bapak sambung nya.
ReplyDeleteSehat selalu bu Tien agar selalu berkarya yang kami tunggu setiap hari.
Iya. Dia bertugas mencari bekas istri ibunya yang pernah jadi ayah sambungnya. Guntur ayah adiknya
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteNuwun ibu Umi
DeleteCeritanya semakin seru. Terima kasih, ibu.
ReplyDeleteSami2 ibu Linatun
DeleteBukan rayuan gombal lho..tp rayuan pulau kelapa kali ya...😅
ReplyDeleteMatur nuwun bunda Tien..🙏
Sehat selalunjih bun...
🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Padma Sari