JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 39
(Tien Kumalasari)
Bu Bono tertegun. Ponsel digenggamnya erat. Tak percaya apa yang didengarnya. Sedang di manakah Guntur? Dan mengapa ada seorang perempuan yang mengaku menjadi istrinya? Bu Bono mendekap erat Kinanti yang bersandar tak berdaya di pundaknya.
“Apa kamu sakit karena memikirkan suamimu?” bisiknya di telinga sang anak.
Kinanti tak bereaksi. Matanya terpejam, wajahnya pucat pasi.
“Apa berarti kamu sudah mengerti kelakuan suami kamu? Kamu mengetahui bahwa suami kamu mengkhianati rumah tangganya, dan itu sebabnya sejak kemarin kamu kelihatan pucat seperti orang sakit? Kinanti, anak ibu. Kamu satu-satunya milik ibu, yang sejak kamu ibu lahirkan, ibu sudah berharap agar hidup kamu berbahagia. Tapi sekarang ini, ternyata kamu menderita. Ibu sedih Kinan,” bu Bono masih terus berbisik sambil meneteskan air mata.
Guntur yang sejak memasuki jenjang perkuliahan, yang dibiayai oleh suaminya, dijadikannya orang, dan sekarang dengan teganya menyakiti orang yang sudah berbuat baik kepada dirinya. Menghianati cinta, menodai sebuah pengorbanan, merobek rasa cinta sang istri yang setengah mati mengabdi kepada keutuhan mahligai rumah tangganya. Hati orang tua mana yang tidak tersakiti, sementara sang anak menutupi duka dan luka yang mencabik-cabik jiwanya?
“Mengapa kamu tidak berbagi kepada ibumu ini atas kesedihan yang mengungkung jiwamu? Sejauh apa kamu mengetahui pengkhianatan ini, Kinan? Siapa perempuan yang tega merebut milik orang lain dan menginjak-injak kebahagiaan demi kesenangan dan kepuasan?” bisik bu Bono sambil menciumi wajah sang anak yang masih terasa panas.
“Agak cepat sedikit bisakah, pak sopir?” kata bu Bono yang merasa taksi yang ditumpanginya berjalan lambat.
“Ini sudah maksimal untuk jalanan seramai ini Bu, tapi rumah sakit sudah dekat kok. Sepuluh menit lagi kita sampai,” kata pengemudi taksi yang ikut merasa iba mendengar bisik duka yang diungkapkan pelanggannya.
Bu Bono menelpon rumah sakit dan meminta agar menyiapkan brankar agar Kinanti cepat ditangani.
***
Sementara itu Guntur keluar dari kamar mandi dengan berbalut handuk dan membiarkan basah rambutnya menetes membasahi tubuhnya.
“Siapa yang menelpon?”
“Entahlah, nggak ada namanya, atau mungkin ada, entahlah, aku tidak membacanya,” sahut Wanda sambil menyiapkan baju ganti untuk Guntur.
Sejak kepulangannya setelah reuni dengan teman-temannya, Wanda tidak pulang ke rumah. Ia berangkat kerja dari rumah kontrakan Guntur, lalu pulang kembali ke rumah itu, untuk melayani Guntur makan siang dan malam, bak seorang istri yang sangat perhatian kepada suaminya.
“Dia bilang apa?”
“Hanya mencari kamu.”
“Kamu jawab apa? Ini nomor mertuaku,” kata Guntur setelah memeriksa ponselnya.
“Oh ya? Aku kira perempuan yang ingin menggoda kamu.”
“Kamu jawab apa? Atau kamu mengaku sebagai siapa? Pasti ia heran yang mengangkat panggilannya adalah seorang perempuan.”
“Aku jawab bahwa aku istri kamu.”
“Kamu gila, Wanda,” kata Guntur dengan wajah muram. Ia yakin ibu mertuanya akan marah sekali mengetahui ada seorang perempuan mengaku sebagai istrinya.
“Maaf. Sungguh aku mengira dia perempuan yang ingin mengganggu kamu.”
Guntur berganti pakaian, kemudian menelpon ibu mertuanya.
Tapi nomornya tidak aktif. Ia menelpon nomor kontak Kinanti, tetap tidak dijawab.
“Guntur, mengapa kamu risau? Kita sudah bersikap seperti seorang suami istri. Aku melayani kamu seperti seorang istri melayani suami. Aku berharap kamu segera menikahi aku. Bukankah berkali-kali aku sudah mengatakannya?”
“Ini sungguh rumit.”
“Mengapa rumit?”
“Aku punya keluarga, apa kamu lupa?”
“Kamu seorang laki-laki. Banyak laki-laki punya istri lebih dari satu.”
“Wanda, tidak semudah itu.”
“Sangat mudah. Kamu tinggal bilang kepada Kinanti bahwa kamu akan menikah lagi. Kalau dia tidak mau, ceraikan saja. Apa itu sulit?” kata Wanda sambil membantu Guntur berpakaian.
Perlakuan Wanda yang memikat membuat Guntur luruh dalam pesona Wanda. Kinanti sudah sangat sibuk dengan urusan anak dan pekerjaannya. Ia jarang melayaninya dengan begitu manis, seperti ketika di awal pernikahan mereka. Kehadiran anak mengurangi perhatiannya kepada suami, ditambah ada jarak berjauhan yang membuat mereka hanya bertemu sekali dalam seminggu. Seandainya cinta itu tanaman, maka dia akan tumbuh gersang, lalu ketika ada kesejukan mengguyur, maka cinta itu akan kembali subur. Entah siapa yang menyiramnya, maka kesanalah cinta itu bersandar. Guntur hanya manusia biasa. Iman yang ditanamkan ternyata goyah oleh rayuan. Iman yang digenggam teguh, terburai oleh iblis pembawa dosa yang nikmat.
“Guntur, ayo makan, aku sudah menyiapkannya untuk kamu,” kata Wanda sambil merapikan rambut Guntur yang basah.
“Kamu tidak pulang?”
“Besok saja. Masih suka di sini. Rindu melayani suami,” katanya sambil tersenyum memikat.
“Apa ibumu tidak marah?”
“Aku sudah menelponnya bahwa aku masih bersama teman-teman. Aku titipkan Wahyu pada ibu. Ibuku sangat mencintai cucunya, ia akan menjaganya dengan baik,” kata Wanda enteng.
Guntur tidak begitu berselera makan. Bayangan ibu mertua yang pasti akan memarahinya, sangat mengganggunya.
“Mengapa makan hanya sedikit? Itu masakan kesukaan kamu, biasanya kamu makan dengan lahap.”
“Sebaiknya kamu pulang dulu saja, biarkan aku mengurus keluargaku. Pasti ada huru-hara setelah kamu mengaku menjadi istriku.”
“Janganlah hal itu kamu jadikan huru hara. Aku percaya kamu bisa mengatasinya dengan baik.”
“Kamu pulang malam ini ya, setelah makan aku antarkan.”
“Baiklah kalau begitu. Tapi sebenarnya aku masih ingin menghabiskan malam bersamamu.”
“Pikiranku sedang tidak tenang. Kamu harus mengerti.”
“Baiklah, antarkan aku pulang malam ini. Tapi jangan lupa, diantara kita sudah ada ikatan yang kamu jangan sampai melepaskannya,” pesan Wanda tandas.
Guntur meletakkan sendoknya, tanda bahwa dia tak ingin melanjutkan makan malamnya.
***
Bu Bono duduk sendirian di ruang tunggu. Hatinya bagai tercabik-cabik. Perasaan tak tenang karena Kinanti sakit, ditambah suara perempuan yang mengaku menjadi istri Guntur, membuatnya sangat kacau. Sebentar-sebentar ia mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir.
Tiba-tiba seorang laki-laki mendekatinya.
“Bu Bono ya?”
Bu Bono mengangkat wajahnya sambil mengusap air matanya.
“Saya pernah ke rumah Ibu ketika Kinanti habis melahirkan.”
Bu Bono menatap laki-laki itu tak berkedip. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap tinggi besar.
“Ini kan … nak … dokter … aduh, yang dokter bedah itu kan?”
“Saya Rifai, syukurlah Ibu tidak melupakannya.”
“Agak lupa tadi, maklumlah, pikiran saya sedang kalut. Apa nak dokter sedang dinas sore?”
“Ada operasi sore ini, saya sudah hampir pulang. Saya tahu Kinanti sakit, tapi Ibu tidak usah khawatir.”
“Sakitnya berat?”
“Tidak. Tidak ada penyakit yang berarti. Dokter yang menanganinya mengatakan bahwa Kinanti hanya sedang merasa tertekan.”
“Ooh ….”
“Apakah sedang ada masalah?”
“Ah, tidak. Entahlah, saya kurang begitu mengerti.”
“Lebih baik Kinanti biar dirawat dulu selama satu dua hari. Ibu tidak usah bersedih,” kata dokter Rifai yang mengira tangis bu Bono adalah hanya karena memikirkan Kinanti yang sakit.
Bu Bono mengangguk.
“Sebentar lagi Kinanti akan dipindahkan ke ruang rawat inap.”
“Iya,” kata bu Bono lelah.
“Saya harus pulang dulu, besok saya akan menemui Kinanti di ruang inapnya. Sekali lagi Ibu tidak usah khawatir. Nanti perawat akan memberi tahu Ibu kalau Kinanti sudah merasa tenang dan bisa ditemui.”
“Terima kasih, nak dokter.”
Dokter Rifai berlalu, bu Bono menatap punggungnya dengan perasaan yang belum juga diliputi ketenangan. Entah apa nanti yang akan dikatakannya ketika Kinanti sudah bisa diajak bicara.
***
Bu Wita menyambut kepulangan Wanda di teras depan. Ia melihat Wanda turun dari mobil, tapi entah siapa yang mengantarkannya.
“Ibu pikir kamu masih pulang besok,” sambut sang ibu.
“Ternyata Wanda sudah bisa pulang sekarang. Bagaimana Wahyu?”
“Dia baik-baik saja, tapi sekarang sudah tidur.”
“Oh, syukurlah.”
“Beberapa hari ini kamu tidak mengajar?”
“Itu … eh .. iya, Wanda sudah minta ijin,” kata Wanda berbohong, padahal dia setiap hari mengajar, tapi pulangnya langsung ke rumah Guntur. Kalau malam itu Guntur tidak memintanya pulang, maka dia juga belum ingin pulang. Ia senang kalau ibu Kinanti merasa risau karena jawabannya saat menelpon. Syukurlah, dengan begitu akan lebih mudah Guntur menceraikan Kinanti. Atau malah Kinanti yang minta cerai duluan. Wanda masuk ke dalam dengan senyum kepuasan.
“Tadi siapa yang mengantarkan kamu?” tanya bu Wita sambil mengikuti langkah anaknya.
“Guntur,” jawab Wanda enteng. Ia tak merasa sungkan mengatakannnya. Toh nanti sang ibu juga akan mengetahuinya, kalau ia benar-benar akan menikah.
“Guntur? Serasa pernah mendengar nama itu.”
“Iya datang ketika Wahyu ulang tahun.”
“Oh, dia ….”
Wanda memasuki kamarnya, sang ibu mengikutinya. Tampaknya ia penasaran dengan disebutnya nama Guntur. Nama itu begitu akrab ketika Wanda masih SMA.
“Kamu bersama dia terus?”
“Kami dekat.”
“Maksudnya dekat, apa?”
“Ya dekat. Ternyata kami saling suka.”
“Dia belum berkeluarga?”
“Sudah. Tapi mereka tidak bahagia.”
“Wanda, ibu tidak suka kamu merusak rumah tangga orang. Jangan lakukan hal yang melanggar norma kebaikan.”
“Tidak, Ibu tidak usah khawatir.”
Bu Wita menatap Wanda tak berkedip. Ia sangat khawatir mendengar jawaban anaknya. Keluarga Guntur tidak bahagia, lalu Wanda masuk di kehidupan Guntur?
“Wanda, kamu harus ingat baik-baik, jangan lakukan hal buruk.”
“Tidak Bu, jangan khawatir.”
“Tapi kamu mengatakan bahwa kalian saling suka, dan mereka masih terikat perkawinan. Kamu jangan begitu.”
“Mereka akan segera bercerai,” kata Wanda sambil masuk ke dalam kamar mandi.
Bu Wita keluar dengan perasaan tidak suka. Ketika anaknya sudah dewasa, maka ia tak bisa banyak ikut campur dalam urusannya, tapi kalau si anak melakukan hal yang salah, bukankah dia berhak mengingatkannya?
***
Bu Bono menelpon bibik, dan memintanya agar mengurus anak-anak Kinanti. Lalu ia merasa lega ketika bibik mengatakan bahwa mereka sudah tidur.
Lalu bu Bono duduk di samping tempat tidur Kinanti. Ditatapnya Kinanti yang tampak pulas, tapi wajah pucat itu masih tergambar nyata. Rasa iba membuat bu Bono kembali meneteskan air mata. Ia belum banyak berbincang dengan Kinanti, kecuali hanya menenangkannya agar segera sembuh. Kinanti lebih banyak tidur, barangkali dokter memang memberinya obat penenang. Bu Bono meraba kening Kinanti, sedikit lega karena tubuh itu mulai berkeringat. Berarti panas badannya juga sudah mulai turun. Ketika suaminya sudah tak ada, maka beban luka itu dia sendiri yang memikulnya. Banyak yang dipikirkannya, bukan hanya tentang Kinanti, tapi juga kedua anaknya yang masih kecil-kecil.
Bu Bono merasa lelah. Sangat lelah. Lahir batin. Ia meletakkan kepalanya di tempat tidur Kinanti, bertumpu pada kedua lengannya. Tak lama kemudian dia juga terlelap.
***
Pagi hari itu bibik sangat sibuk. Ia memandikan Emma, lalu memberikan susu yang masih tersisa di freezer, setelah dihangatkannya. Ketika Emma sudah merasa tenang, ia memandikan Emmi.
“Mana eyang?”
“Oh, eyang sedang ke pasar.”
“Ibu sudah kerja?”
“Iya non. Non Emmi tidak boleh nakal ya, harus nurut. Setelah ini, non Emmi makan. Yang banyak, biar sehat.”
“Aku nunggu eyang saja. Mau disuapin eyang.”
“Eyang perginya lama, nanti non Emmi keburu lapar. Kalau lapar, di dalam perut ada yang nyanyi lhoh.”
“Nyanyi?”
“Iya, ada yang nyanyi di dalam perut yang kelaparan. Kruuuk … krruuuuk … gitu.”
“Bagus dong, kalau perut bisa nyanyi.”
“Ya nggak bagus. Nyanyian perut bisa membuat sakit. Mau non Emmi sakit?”
Emmi menggeleng keras.
Bibik tersenyum, ketika Emmi menurut. Ia mau disuapin, dan sesekali ingin menyuap sendiri makanannya.
Makanan Emmi sudah hampir habis, ketika terdengar suara mobil di halaman. Bibik bergegas ke depan, Emmi mengikutinya.
“Bik, selamat pagi,” sapa Ardi.
“Selamat pagi, Tuan.”
“Kinanti sudah berangkat?”
“Non Kinan ada di rumah sakit.”
“Lhoh, tugasnya pindah ke rumah sakit?”
Bibik menoleh ke samping, dimana Emmi berdiri sambil memegangi bajunya. Lalu bibik berbisik di telinga Ardi.
“Semalam non Kinan dibawa ke rumah sakit, karena sakit.”
“Apa?”
Bibik memberi isyarat agar Ardi tidak bicara apapun, karena tidak ingin Emmi mendengar bahwa ibunya di rumah sakit karena sakit.
“Ya Tuhan, kalau begitu aku ke sana saja,” kata Ardi yang langsung membalikkan tubuhnya, dan berlalu dengan mobilnya.
“Ibu di rumah sakit?” tanya Emmi.
“Iya Non, ayo masuk, mau nambah lagi makannya?”
Emmi menggeleng.
“Ibu tidak sakit kan?”
“Tidak, ibu hanya bertugas di rumah sakit.”
Bibik menggandeng tangan Emmi, kemudian menutup pintu rumah. Ada rasa prihatin, karena bibik tahu bahwa rumah tangga majikannya sedang tidak baik-baik saja.
***
Besok lagi ya.
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
ReplyDeleteAlhamdulillah.. Syukron..🙏
JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 39, sudah tayang.
Semoga Bu Tien selalu sehat dan berkarya. Aamiin 🤲 🤲 🤲
🍃🌹🌻💔💔🌻🌹🍃
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas Kakek
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun Bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
Delete🎋💞🎋💞🎋💞🎋💞
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏🤩
JeBeBeeL_39 sdh hadir.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat & bahagia.
Aamiin.Salam seroja😍🦋
🎋💞🎋💞🎋💞🎋💞
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun jeng Sari
Aduhai
Alhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 39 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
ReplyDeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Hadeeeeh ...Wanda makin ngelunjak
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Sri
Aduhai 2x yaa
Horeeeee malit, Jeng Rose
ReplyDeleteMana jeng Rose?
DeleteMatur nuwun Bu Tien. Sugeng ndalu.
ReplyDeleteSami2 pak Sis
DeleteSugeng dalu ugi
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Reni
DeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Herry
Suwun Bu Tien, 🤝 JBBL nya 39
ReplyDeleteSehat sll Ibu …👍💪
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mbah Wi
Alhamdulillah yang ditunggu dudah tayang
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Semoga sehat walafiat
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Endah
Alhamdulillah JBBL~39 telah hadir.. maturnuwun.Bu Tien 🙏
ReplyDeleteSemoga Bu Tien tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
Aamiin YRA 🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Djodhi
Hamdallah
ReplyDeleteNuwun pak Munthoni
DeleteAlhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah "JBBL~39" sdh tayang. Matursuwun Bu Tien, salam sehat selalu 💖🌷
ReplyDeleteSami2 ibu Umi
DeleteSalam sehat juga
Alhamdullilah..terima kasih bundaa jbbl 39 nya dah tayang..slnt mlm dan slm seroja unk bunda dan kel🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam hangat
Ada dua orang pria yang peduli terhadap Kinanti, Ardi dan dokter Rifai. Akan kah mereka benar benar menolong tanpa pamrih...
ReplyDeleteIbunya Wanda tidak setuju kalau Wanda mengganggu rumah tangga orang. Jadi tidak ada seorang pun yang mendukung perbuatan Wanda.
Bahkan Guntur masih ingat, punya tanggung jawab sebuah keluarga.
Nah...buang saja Wanda keselokan..
Salam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Latief
Alhamdulillah matur nuwun bunda Tien... Guntur bagai kacang lupa kulitnya ya
ReplyDeleteSami2 ibu Wiwik
DeleteWanda memang keterlaluan.. Perempuan yg gak punya harga diri.. Cintanya buta.. Nek orang tua dulu bilangnya Mata picek kuping budeg.. Wis ora duwe isin tenan.
ReplyDeleteJeng Ira.
DeleteSudah selesai pesanan lontongnya ?
Luar biasa ceritanya semakin seru, terima kasih Bu Tien semakin degdegan membacanya.
ReplyDeleteSami2 ibu Yati
DeleteMatur nuwun bunda Tien...
ReplyDeleteSehat selalu kagem bunda..🤲🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Padma Sari
Terima kasih Bu Tien, semoga sehat sehat dan tetap berkarya menghibur kami
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Tugiman. Apa kabar nih
Lama nggak muncul
terima kasih sekali mbak Tien, semoga sehat selalu dan selalu bikin geregetan.....ih jengkel banget sama guntur dan wanda....kok jahat banget ya
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Dini
Lama sekali nggak muncul nih
Apakabar?
Walaah...vulgar amat si Wanda. Apes deh si Guntur, sudah kejebak...dasar dia juga nafsu.🤦🏻♀️😬
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.🙏🏻😘😘
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Nana
Tidak ada tepuk tangan 1, pasti 2 tangan
ReplyDeleteGuntur dan Wanda sama2 salah melangkah, penasaran gmn selanjutnya.... Terimakasih bunda Tien
Sami2 ibu Komariyah
DeleteTerima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 39 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Guntur menciptakan persoalan baru, pasti nya Wanda minta di nikah dong, krn sdh sama2 kumpul bocah...he..he..
Kasihan Kinanti yang merana dia, tersiksa dia..he..he...akhir nya di rawat di rumah sakit.
Klu aku jadi Kinanti, gugat cerai Guntur, krn sdh nyata2 berselingkuh, lho kok ngajari elek ta aku..he..he..
Sementara Ardi dan dr Rifai...sama2 siap berkompetisi...😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun pak Munthoni
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, salam sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰
ReplyDelete, Bu Bono prihatin lihat anaknya , Kasihan Kinanti cintanya dihianati suaminya yg mana pernah dibiayai hidup keluarga nya.
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Ika
Matur nuwun BubTien, semoga Ibu sehat wal'afiat...
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Reni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteNuwun pak Wedeye
Alhamdulillah, JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU (JBBL),39 telah tayang, terima kasih bu Tien, semoga Allah senatiasa meridhoi kita semua, aamiin yra.
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun ibu Uchu
Guntur kurang tegas menyebabkan segala sesuatunya hanyut terbawa arus yang tak terkendali...
ReplyDeleteKalau Guntur tak tegas, Mbak Tien matikan saja Wanda itu..
Terimakasih Mbak Tien...
Heheee... nanti lama2 mati sendiri. Hahaaa..
DeleteNuwun MasMERa
Mau ikut ambil bagian, membantu, rewang, åpå prewangan.
ReplyDeleteOh namanya pembantu baru dan dekat mesthi ingin menampilkan kelebihan, kan ketemu lagi saja sudah diberi masukan cerita pilu dan kagum bisa mengatasi jalan kehidupan yang tidak mudah, katanya, jadi kagum, bagaimana bisa menilai, berubah iya, tapi kan terkunci pada kekaguman.
Berarti nggo patokan; mbuh patok dåwå åpå patok cendak, penting duwé patokan.
Pesona yå, nah itu.
Mambu sihir, yaitu yang bikin mabok ingin mendangir lebih dalam.
Malah mempersilahkan penyakit dalam berkunjung, ketemu wong ndableg, susah wis.
Jor kan saja, lari juga susah.
Perbanyak referensi, mana yang baik, jalani.
Mau melupakan ya susah, Dia menciptakan otak buat mengingat, tapi kan memupus dengan damai kan bisa tå.
Gimana tuh, sama; bikin koloni sendiri, nanti kalau teringat pada suatu waktu, ya mengheningkan cipta, kaya upacara itu, iya, yang nggak dapat kita jangkau, ya diserahkan pada pada yang maha terjangkau.
Preman, bukan, semoga bisa menemukan kebahagiaan, terutama yang kena dampak ulah nya.
Nuruti mangkel gêtêm² gitu, yå malah kaya wong édan, kelingan terus nesu déwé ngomel déwé.
Kuasai diri mencintai yang ada, cari keasyikan bermain bersama yang tersayang
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga puluh sembilan sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteNuwun mas crigis