JANGAN BIARKAN BUNGAKU LAYU 36
(Tien Kumalasari)
Angkot itu melaju, melanjutkan perjalanannya. Hati Kinanti serasa tak tenang. Ada yang menyesak dadanya. Bukan main sang suami ini. Bisa semobil bersama Wanda? Ada hubungan apa? Bukankah dulu Guntur benci sekali kepada Wanda? Mengapa mereka sekarang bisa pergi bersama?
Disebuah pemberhentian, mobil yang dikendarai Guntur melintas. Ingin Kinanti berteriak. Susah payah dia menahan menetesnya air mata. Ini tak terduga. Tak pernah dibayangkannya sang suami tiba-tiba dekat dengan Wanda. Tiba-tiba? Tentu bukan tiba-tiba. Beberapa proses dilalui Guntur, sehingga dia benar-benar menyukai Wanda. Guntur menganggap Wanda adalah wanita yang kuat, yang berhasil melalui berbagai kesulitan dalam hidupnya. Jatuh bangun demi bertahan hidup untuk anak semata wayangnya. Itu membuatnya kagum, lalu menjadi suka.
Kinanti merasa hancur tiba-tiba.
Hati yang gundah membuatnya kemudian turun di tempat yang lebih jauh dari pada biasanya dia berhenti. Ia sadar ketika sudah jauh dan ketika sang sopir mengingatkannya.
“Bukannya ibu mau turun sebelum perempatan?”
Kinanti terkejut.
Ia minta berhenti, lalu turun kemudian mengusap air matanya. Rumahnya terletak jauh dan sudah dilaluinya. Ia terpaksa memanggil taksi untuk mengantarkannya pulang.
Ketika sampai di rumah, ia tak melihat mobil sang suami, padahal jelas-jelas mobil itu sudah mendahuluinya tadi.
“Dibawa ke mana perempuan itu oleh suamiku?” gumamnya sambil mengusap air matanya. Ia tak ingin sang ibu melihat tangis dan dukanya.
“Baru pulang? Agak terlambat hari ini?” sapa sang ibu.
“Non Kiran naik taksi tadi,” sambung bibik sambil membawa segelas jus tomat kesukaan majikannya.
“Naik taksi? Benarkah?” tanya sang ibu yang tidak melihat kedatangannya.
Kinanti mencoba tersenyum.
“Iya Bu, ingin cepat sampai di rumah. Soalnya banyak pekerjaan tadi. Apakah Emma rewel?”
“Tidak, yang rewel justru Emmi.”
“Mengapa?”
“Dia sudah sangat mengantuk, sementara kamu belum pulang-pulang juga.”
“Oh, sekarang dia tidur?”
“Akhirnya tidur dikelonin bibik.”
“Syukurlah.”
“Minum dulu jusnya Non, Non kelihatan pucat.”
“Siapkan makan untuknya, Bik. Dia pasti terlambat makan. Nanti ASInya menjadi sangat sedikit,” kata bu Bono.
Bibik segera beranjak ke belakang untuk melaksanakan perintah nyonya majikan, sementara Kinanti segera masuk ke kamar.
“Cuci kaki tangan dulu sebelum mendekati anak-anak, Kinan.”
“Iya Bu, mau langsung ke kamar mandi.”
Kinanti masuk ke kamar anak-anaknya, tapi sebelum mendekat dia mencuci kaki dan tangannya terlebih dulu. Selalu begitu ajaran sang ibu.
Tapi begitu mendekati anak-anaknya, Kinanti tak tahan lagi untuk tidak meruntuhkan air mata.
Ia membaringkan tubuhnya di samping Emmi, lalu merengkuh tubuhnya sambil menangis terisak-isak.
Emmi menggeliat, membuka matanya sebentar, tapi begitu melihat sang ibu yang memeluknya, ia kembali memejamkan matanya dan segera terlelap lagi.
“Nak, apa kamu tahu ayahmu telah melupakan kita? Dia pulang ke kota ini, tapi tidak langsung pulang ke rumah. Ada perempuan yang dibawanya, entah ke mana. Barangkali dia punya alasan, tapi perasaan ibu ini … mengapa menjadi sangat tidak enak? Ada sesuatu yang terjadi, yang sepertinya akan menyakiti. Ibu harus berkeluh kepada siapa?” bisiknya pelan.
Ditatapnya wajah cantik anaknya, wajahnya sangat mirip sang ayah. Kinanti mengelusnya dengan air mata masih membasah. Ia masih berharap, ada alasan yang membuat suaminya berduaan bersama Wanda di kota ini. Tapi alasan apa? Bagaimana mungkin seseorang yang tadinya dibenci kemudian menjadi lengket dan tampak duduk berdua dengan manis?
Ketukan di pintu membuat Kinanti terkejut. Ia mengusap air matanya, kemudian berlari kembali ke kamar mandi. Barangkali dengan mengguyur wajahnya dengan air dingin, sembab yang mengganggu akan hilang.
“Kinanti, makan dulu.”
Bu Bono masuk ke kamar, dan tidak melihat Kinanti di sana. Ia menoleh ke kamar mandi, dan mendengar gemercik air dari dalam.
“Dari tadi kamu di kamar mandi?” tanya bu Bono dari luar.
“Tadi sudah bersih-bersih badan, tapi tiba-tiba perut Kinan sakit,” suara Kinanti diiringi gemercik air.
“Kamu terlambat makan.”
“Mungkin Bu.”
“Segera makan, ibu siapkan obat sakit perut,” kata bu Bono sambil beranjak mengambilkan obat.
Kinanti keluar dari kamar mandi, mengambil handuk dan mengusap wajahnya. Masih tampak sembab. Ia mencari alasan kalau sang ibu menanyakannya. Ia mengambil pakaian ganti, lalu menyapu wajahnya dengan bedak, tipis-tipis.
***
Kinanti makan, tapi ia serasa sedang menelan sekam. Ingin dia membuang makanan ibu, tapi sang ibu yang mendekat kemudian mengingatkannya.
“Makan yang banyak, apalagi sayur-sayuran itu. Kalau makan sedikit, produksi ASI juga sedikit.”
Mengingat anaknya, Kinanti segera menghabiskan makanannya. Untunglah sang ibu tidak ikut duduk di depannya, karena mendengar Emma merengek.
“Tadi nyonya sudah makan,” kata bibik tanpa ditanya.
Kinanti tak menjawab.
“Apa Non sakit?”
“Tidak Bik.”
“Tapi wajah Non pucat sekali.”
“Tadi, sakit sekali perutku.”
“Itu obat sakit perut sudah ibu siapkan,” kata sang ibu yang mendekat sambil menggendong si kecil.
“Nah, itu Nyonya, kelihatan kalau non Kinan sakit. Wajahnya pucat sekali,” kata bibik.
“Benar, wajahmu pucat sekali. Minumlah obatnya,” kata sang ibu sambil mengamati wajah Kinanti.
Ingin sekali Kinanti menubruk sang ibu, menangis di dadanya, mengutarakan semua kesedihannya. Tapi ditahannya sekuat tenaga. Semua belum jelas, ia juga masih bertanya-tanya walaupun ia hampir yakin bahwa terjadi sesuatu antara sang suami dan Wanda.
“Setelah ini kamu istirahat dulu saja, persediaan ASI untuk Emma masih cukup. Bibik sedang menyiapkannya. Hari ini suamimu pulang kan? Jangan sampai dia cemas melihat kamu sakit,” kata sang ibu lagi.
Kinanti berdiri, mencium pipi si kecil, kemudian berlalu ke kamarnya. Obat yang diberikan sang ibu hanya digenggamnya, karena dia tidak benar-benar sakit perut. Hatinya yang sakit. Adakah tablet penghilang rasa sakit hati?
***
Guntur menurunkan Wanda di rumah salah seorang temannya, yang terletak agak jauh di pinggiran kota. Sebelum turun, Wanda mengajak Guntur agar ikut bersamanya menemui teman-temannya.
“Ayo, turunlah.”
“Nggak ah, aku mau langsung pulang saja.”
“Ayolah, hari ini ada reuni teman-teman sekelas aku. Kamu juga pasti mengenalnya,” katanya sambil menarik-narik tangan Guntur.
“Tidak usah, aku pulang saja. Kinanti pasti menunggu.”
“Kamu bisa pulang sore nanti. Ya kan? Ayolah.”
Mata bening itu mengerjap-ngerjap, membuat Guntur berdebar tak menentu. Entah mengapa, Wanda sekarang bukan Wanda yang dulu, yang kasar dan semaunya. Ia lebih lembut dan keibuan. Sikapnya juga manis.
“Ayuk, teman-temanku pasti senang kalau ada kamu.”
Tapi Guntur tiba-tiba merasa sungkan kepada teman-teman Wanda. Mereka bukan teman sekelas, dan Guntur tidak begitu dekat dengan mereka. Masih terpikirkan olehnya, akan sangat sungkan ketika mereka bertanya tentang kedekatannya dengan Wanda.
“Maaf Wanda, aku pulang saja, besok aku jemput kamu. Pulang jam berapa?”
“Nanti aku telpon kamu. Ada rencana mau jalan-jalan juga.”
“Baiklah, aku langsung pulang ya.”
Wanda tersenyum. Manis sekali senyum itu, membuat Guntur terpana. Entah mengapa, Wanda benar-benar memikat hatinya.
Ketika menuju pulang, tak sedikitpun terbayang wajah istri dan anak-anaknya, yang biasanya sangat dirindukannya setelah seminggu tidak bertemu. Ia hanya membayangkan senyuman Wanda, ucapan manisnya, rayuannya. Guntur mengibaskannya. Sedikit resah, dan juga gundah.
“Ada apa aku ini?” gumamnya sambil terus memacu laju mobilnya.
***
Ketika ia memasuki halaman rumahnya, hari sudah sore. Ia turun dari mobil, dilihatnya sang ibu mertua sedang duduk sambil memangku Emma yang sedang terlelap.
Guntur mendekat, tapi bu Bono melarangnya ketika Guntur ingin mencium pipinya.
“Lupa ya? Cuci kaki tangan dulu sebelum mendekati anak-anak.”
Guntur tersipu.
“Iya Bu, Guntur lupa.”
“Istrimu sakit.”
Guntur berhenti melangkah.
“Sakit apa Bu?”
“Ketika puang dari bekerja, katanya perutnya sakit. Lihatlah dulu.”
Guntur melangkah ke arah kamar, dilihatnya Kinanti terbaring sambil memeluk guling. Guntur duduk di tepi ranjang. Dipegangnya dahi sang istri barangkali panas, atau apa. Tapi Kinanti terbangun dan menepiskan tangannya.
“Kinan?” tanya Guntur heran.
“Mas dari mana?”
“Pertanyaan kamu aneh. Aku dari rumah sakit, pulang sebentar mengambil baju, lalu berangkat ke sini.”
“Jangan bohong.”
“Kinanti, apa maksudmu?”
Kinanti bangkit, Guntur segera memeluknya, tapi lagi-lagi Kinanti menghindar.
Guntur menatapnya heran. Ia melihat wajah sang istri sedikit sembab dan tampak pucat.
“Kamu sakit perut, kata ibu.”
“Bukan. Hatiku yang sakit.”
“Kinan, jauh-jauh aku datang demi kamu dan anak-anakku, mengapa tanggapanmu seperti ini?”
“Kamu pulang demi aku dan anak-anak?”
“Ada apa ini?”
Guntur berdiri, lalu menatap sang istri dengan tatapan tajam.
“Aku bertanya, Mas dari mana?”
“Pertanyaan apa itu?”
“Hanya menjawab dari mana, apa susah? Apa pertanyaanku salah?”
”Tentu saja salah. Tak biasanya kamu bertanya seperti itu ketika aku pulang. Apa yang membuat kamu punya pertanyaan seperti itu?” alis Guntur menjadi berkerut.
“Tak biasanya, berarti kamu pulang dengan tak biasanya." Mata Kinanti mulai merebak air mata.
“Karena aku pulang lebih sore?”
“Karena kamu pulang tidak sendiri,” kata Kinanti tandas, membuat Guntur terperangah. Ia mendekati Kinanti, bermaksud memeluknya, tapi Kinanti mendorongnya.
“Kinanti, tadi aku ketemu Wanda di jalan, sedang menunggu taksi, entah dia dari mana. Ia mau bertemu teman-temannya yang mengadakan reuni malam ini. Jadi aku minta agar dia bisa bareng, kan kita satu arah?” kata Guntur dengan tatapan melembut. Biasanya Kinanti luruh dengan tatapan itu. Guntur tidak ganteng-ganteng amat, tapi tatapannya selalu membuatnya tertawan. Tapi itu kan biasanya. Tidak untuk kali ini.
Kinanti diam membeku, Guntur meraih tubuhnya, kali ini sekuat tenaga, sehingga Kinanti tak mampu meronta.
“Kamu melihatnya, lalu cemburu?”
Kinanti terus meronta-ronta.
“Kami hanya bersama karena tujuan dia juga di kota ini. Lalu aku mengantarkan dia ketempat di mana dia mau pergi.”
“Aku melihatmu sekitar jam dua tadi, dan jam lima lebih baru sampai di rumah?”
“Ooh, kamu melihatnya, jadi benar kamu melihatnya? Tapi rumah temannya yang bernama Susana atau siapa tadi, aku kurang memperhatikan, letaknya agak di pinggiran kota. Sore hari, apalagi malam Minggu, jalanan macet. Jadi tentu saja aku terlambat sampai di rumah. Ayo dong Kinan, tidak usah cemburu begini. Aku sangat mencintai kamu, apa kamu tidak prcaya?”
Kinanti mendorong suaminya, dan kali ini Guntur melepaskannya.
“Percayalah, Kinanti, aku sangat mencintai kamu.”
Kemarahan Kinanti agak goyah, mendengar kata cinta yang bertubi-tubi. Tapi ia belum bisa menghilangkan kekesalannya.
“Dulu kamu sangat membenci dia,” katanya lirih, sambil berusaha keluar dari kamar. Tapi Guntur menarik lengannya.
“Manusia bisa berubah, bukan? Dulu Wanda sangat menjengkelkan, menyebalkan. Kelakuannya norak dan tidak tahu malu.”
“Dan sekarang menyenangkan?” Kinanti menatap tajam suaminya.
“Senang dalam arti kata tidak lagi membencinya. Kita sudah semakin dewasa, aku sudah punya dua orang anak yang cantik-cantik. Mengapa kita harus menyimpan kebencian selamanya?”
Ketukan pintu membuat pertengkaran itu terhenti. Sangat tidak enak kalau sampai orang tua mendengar anak bertengkar dengan suaminya.
“Bibik sudah menyiapkan kopi, Non, keburu dingin.”
Ternyata bibik yang mengetuk pintu. Ia sudah seperti keluarga, karenanya ia tidak merasa sungkan meminta majikannya untuk menikmati minuman buatannya. Apalagi pintunya tidak tertutup rapat.
“Iya Bik,” jawab Kinanti singkat, lalu mendorong suaminya minggir, agar dia bisa keluar kamar.
“Baiklah, tunggu aku di luar, aku mandi dulu ya,” kata Guntur lembut, tapi Kinanti tak menjawabnya.
“Mana suamimu?” tanya sang ibu yang sedang menyuapi Emmi.
“Sedang mandi.”
“Perutmu masih sakit?”
“Tidak.”
“Ibu yang menyuruh bibik mengetuk pintu kamarmu.”
“Tidak apa-apa, mas Guntur sedang mandi.”
“Suami sudah datang, pasti sakit Non sudah hilang,” ledek bibik sambil meletakkan sepiring pisang goreng di meja.
Kinanti hanya tersenyum tipis.
“Mau makan sama ibu saja,” kata Emmi sambil mendekati sang ibu.
Kinanti memeluknya, lalu meminta piring yang berisi makanan untuk Emmi.
“Biar saya Bu.”
Bu Bono mengangguk.
Tapi tiba-tiba ia mendengar ponsel berdering di kamar. Itu ponsel suaminya. Kinanti bergegas masuk. Ponsel itu terletak di atas meja, di samping tas pinggang kecil milik Guntur.
Kinanti ingin mengangkat ponsel itu, tapi tiba-tiba Guntur muncul dari kamar mandi dengan tubuh hanya terbalut handuk, lalu meraih ponsel itu dengan cepat.
***
Besok lagi ya.
🌸☘️🌸☘️🌸☘️🌸☘️
ReplyDeleteAlhamdulillah 🙏💝
JeBeBeeL_36 sdh tayang.
Matur nuwun Bu, doaku
semoga Bu Tien & kelg
selalu sehat, bahagia
& dlm lindungan Allah SWT.
Aamiin.Salam aduhai🦋😍
🌸☘️🌸☘️🌸☘️🌸☘️
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun jeng Sari
ADUHAI..
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAlhamdulilah
ReplyDeleteAlhamdulilah, maturnuwun bu Tien JBBL 36 sampun tayang, semoga bu Tien sekeluarga sll sehat, sll bahagia dan diberikan rizki yang melimpah aamiin yra 🤲🤲
DeleteSalam hangat dan aduhai aduhai bun 🩷🩷
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Sri
Salam.hangat aduhai 2x
Matur nuwun mbak Tien-ku Jangan Biarkan Bungaku Layu telah tayang
ReplyDeleteSami2 pak Latief
DeleteMatur suwun bu Tien
ReplyDeleteSami2 pak Indriyanto
DeleteAlhamdulillah JBBL~36 telah hadir, maturnuwun Bu Tien.. semoga tetap sehat dan bahagia senantiasa bersama keluarga.
ReplyDeleteAamiin YRA.🤲
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Djodhi
Yes
ReplyDeleteMatur nuwun mbak Tien
Salam sehat dari Purwodadi Grobogan
Sami2 ibu Kharisma
DeleteSalam hangat dari Solo
Matur nuwun, bu Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Anik
DeleteAlhamdulillah...JeBeBeeL_36 sdh tayang
ReplyDeleteTerima kasih Bu Dhe, sehat selalu dan selalu sehat... Salam SEROJA fan tetap ADUHAI....
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun mas Kakek
ADUHAI
Alhamdulillah.Maturnuwun Cerbungnipun 🌷🌹 🙏🙏🙏Semoga Bunda selalu sehat wal afiat 🤲
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Herry
Alhamdullilah .terima ksih bundaqu .slmt mlm dan slmt istrhat .slm seroja unk bunda sekel🙏🥰🌹❤️
ReplyDeleteSami2 ibu Farida
DeleteSalam hangat
Alhamdulillah
ReplyDeleteSyukron nggih Mbak Tien 🌹🌹🌹🌹🌹
Sami2 ibu Susi
DeleteAlhamdulillah... sehat2 selalu bunda Tien
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Wiwik
Alhamdulillah JBBL- 36 sdh hadir
ReplyDeleteTerima kasih Bunda Tien, semoga sehat dan bahagia selalu
Aamiin🤲
Salam Aduhai🙏
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Ting
Aduhai
Kesrimpet bebet kesandhung gelung. Itu baru terjadi terhadap Guntur. Tidak menyadari sudah terperangkap jeratan Pelakor. Segera sadarkah Guntur atau justru terbenam makin dalam...
ReplyDeleteSalam sukses mbak Tien yang ADUHAI, semoga selalu sehat, aamiin..
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Latief.
Bagus ungkapannya.
Alhamdulillah
ReplyDeleteTerima kasih bunda Tien
Sami2 ibu Endah
DeleteYaaaah....mulai seru lagi episode Guntur & Wanda. Matur nuwun abu Tien, tetap sehat njih Ibu....
ReplyDeleteAamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun ibu Reni
Ingat 2 putrimu Guntur... kasihan masih kecil... terimakasih bunda Tien
ReplyDeleteSami2 ibu Komariyah
DeleteGuntur sudah berani bermain air...
ReplyDeleteNanti hanyut baru tau..
Terimakasih Mbak tien
Sami2 MasMERa
DeleteTerima kasih Bunda Tien... cerbung Jangan Biarkan Bungaku 36 Layu...sampun tayang.
ReplyDeleteSehat selalu Bunda, bahagia bersama pakdhe Tom dan Amancu di Sala. Aamiin
Guntur sikap nya ng aneh aneh..i..dan pinter bohong kpd Kinanti, krn sdh terkena jebakan nya Wanda...yang anggun dan keibuan...😁
Lagi kasmaran sama janda cantik ya Gun...😁😁
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
DeleteMatur nuwun pak Munthoni
Aamiin Yaa Robbal'alamiin
ReplyDeleteMatur nuwun pak Wedeye
Waah...mulai terpikat tuh si Guntur sama si Wanda. Kinan harus lebih tegas, jangan mudah dirayu dengan kata2 cintanya...wkwk...😁
ReplyDeleteTerima kasih, ibu Tien. Semoga sehat selalu.🙏🏻
Alhamdulillah
ReplyDeleteKetahuan berkali kali terlambat pulang rupanya ada lemburan.
ReplyDeletePesaing yang menjijikan, blegidhig, mbedhedheg, nguleg uleg; padahal dibawah uleg uleg itu pedes bukan maen.
Lha nggak ditanggapi aja nyosor terus, apalagi dikasih peluang sudah skil pr nya di praktekin, ya nggak malu cita-cita nya hampir sukses.
Ngumpulin teman-teman mau pers konferen.
Sok ngefren kuwi mau, hasil olèhé nyisil, padaké mangan kwaci, gênah pancèn karepé Wanda nggawé koming.
Cita citané rak cèn ngrebut Guntur tå, jebul di tenani olèhé ber cita cita.
Kok kåyå lali mulå bukané, genah Guntur ngakoni; saiki menarik hati.
Lagi mèsêm waé kêsêngsêm, kamangka sabên² kepinginé krungu suarané, halah piyé kuwi, åpå manèh nang kontrakan ijèn wis embuh; kirang kring waé telpon né, kåyå nemu dalané terus njranthal ngono sajaké, wah wis nerak anggêr² sêpuluh kuwi; 'åjå milik bojoning liyan'.
La bisané ngono anggêr duwé karêp sambêr gelap.
Gègèr sepèi wis, arep piyé manèh.
Éndå ora biså, blaka ketulå tulå.
Mburu sênêng iki på sing diarani puber kedua, ash mbuh; lagi luwé; ånå sing ndulang, kari ongap-angop waé, rakober merem, mung kepingin ketrampilan waé.
Abot sanggané, cèn Guntur bocah opèn, awit biyèn, manuk kedasih nyebar wisa.
Nyalahaké sing pawèh, salahé, aku ora njaluk.
Diéling éling såyå koming di awat-awat såyå rungkat.
Terimakasih Bu Tien
Jangan Biarkan Bungaku Layu yang ke tiga puluh enam sudah tayang
Sehat sehat selalu doaku
Sedjahtera dan bahagia bersama keluarga tercinta
🙏
Alhamdulillaah, matur nuwun Bu Tien, sehat wal'afiat semua ya 🤗🥰💖
ReplyDeleteKinanti sdh hancur hatinya,
Kasihan kinanti, ko guntur bisa ya hatinya luluh sama si wanda....
ReplyDeleteMks bun ....sehat"ya ...maaf baru comment
Ikut prihatin ya nduk.. kinanti, sing sabar, jaga kesehatan jiwa raga nggih.
ReplyDelete